Pertautan antara Kekosongan (Emptiness) dan Welas Asih (Compassion)

pop surrealism lowbrow happy landscape
pop surrealism painting of happy landscape

Oleh Reza A.A Wattimena

Setiap pagi, tukang sayur itu datang. Kali ini, ia menunggu agak lama. Tak ada yang datang membeli. Biasanya, ia sudah didatangi banyak orang untuk membeli sayur.

Pagi itu, mungkin karena bulan puasa, ia sepi pembeli. Saya datang kepadanya, membeli timun dan pisang. Saya lebihkan uang, sambil berkata, “Ini untuk ongkos mudik.” Sang penjual sayur itu agak kaget, lalu tersenyum, dan mengucapkan terima kasih. Lanjutkan membaca Pertautan antara Kekosongan (Emptiness) dan Welas Asih (Compassion)

Neuro(Z)en: Menjadi Bijaksana secara Ilmiah

Pin on * First Aid Kit InventoryOleh Reza A.A Wattimena

Dua tahun belakangan, karena tuntutan pekerjaan, saya tenggelam dalam kajian neurosains dan filsafat. Banyak hal yang membuka mata saya. Beberapa tulisan sudah diterbitkan di http://www.rumahfilsafat.com dan beberapa jurnal. Tahun depan, ada tawaran mendadak untuk memberikan beberapa materi terkait soal serupa.

Neurosains adalah kajian ilmiah tentang hubungan antara otak, kompleksitas sistem saraf dan hidup manusia secara keseluruhan. Kajian ini dimulai pada akhir abad 20, dan meledak di awal abad 21, sampai sekarang. Begitu banyak eksperimen dilakukan. Banyak hal baru yang ditemukan, atau pandangan lama yang mengalami pembuktian. Lanjutkan membaca Neuro(Z)en: Menjadi Bijaksana secara Ilmiah

Revolusi Moral ala Zen

What is Surrealism in art and cinema? | Clipchamp GlossaryOleh Reza A.A Wattimena

Saya diundang menjadi pembicara di Webinar pada Agustus 2021 lalu. Rekan pembicara saya adalah seorang guru besar dari salah satu universitas negeri di Bandung. Ia doyan sekali berbicara soal moral. Baginya, peserta didik itu harus bermoral, yakni patuh pada orang tua, rajin beribadah, patuh pada agama dan tidak boleh berpakaian bebas.

Dalam hati saya, itu bukan moral. Itu perbudakan. Itu penjajahan. Itu penindasan. Saya menawarkan wacana tandingan. Kita tidak butuh moral dangkal semacam itu. Yang kita butuhkan adalah pemikiran kritis, kreatif dan keberanian menantang pola pikir lama yang sudah membusuk. Lanjutkan membaca Revolusi Moral ala Zen

Kebijaksanaan yang Menyembuhkan

Steven Kenny; Deer's Wisdom: Gentleness in word, thought/touch, Ability to  listen, Grace/appreciation for balance, Understanding wha… | Art, Surreal  art, Surrealism

Gambar dari Steven Kenny

Oleh Reza A.A Wattimena

Satu lagi teman dekat saya mendapatkan diagnosis positif COVID 19. Ini adalah satu berita di antara berbagai berita serupa yang kerap mendatangi saya beberapa bulan belakangan. Tak ada gejala yang membahayakan. Hanya badan terasa lemas, dan nafsu makan menurun.

Memang, sakit adalah bagian dari kehidupan. Orang hidup pasti akan mengalami sakit. Dapatlah dikatakan, bahwa sakit justru merupakan saatnya beristirahat. Orang diputus dari kegiatannya sehari, dan beristirahat untuk memulihkan diri. Lanjutkan membaca Kebijaksanaan yang Menyembuhkan

Kebijaksanaan dari “Kegilaan”, Belajar dari Rumi  

Notorious Painting by Jack Clifford | Saatchi Art
Jack Clifford

Oleh Reza A.A Wattimena

Rumi, salah satu tokoh di dalam tradisi Sufi Islam, tak habis-habisnya memberikan inspirasi pada saya. Ia pernah menulis: “Larilah dari apa yang nyaman. Lupakan kenyamanan. Hiduplah di tempat kamu takut untuk hidup. Hancurkan reputasimu. Jadilah pribadi yang kontroversial. Saya telah mencoba hidup dengan perencanaan yang bijak. Mulai sekarang, saya akan menjadi gila.”

Suara Rumi bergema keras di jaman kita. Jaman dimana orang hidup mencari kenyamanan di segala hal, bahkan sampai kenyamanan di kehidupan setelah kematian. Jaman dimana orang menjilat kiri kanan untuk menjaga dan meningkatkan reputasinya. Jaman dimana orang cari aman, hidup sebagai pengecut dan tunduk pada penindasan akal sehat. Lanjutkan membaca Kebijaksanaan dari “Kegilaan”, Belajar dari Rumi  

Kebijaksanaan di Atas Dua Roda

Biker Heaven | Sunset painting, Digital painting, Painting
Danielle Petrosino

Oleh Reza A.A Wattimena

Sejak kecil, saya suka sekali bersepeda. Banyak petualangan menarik di atas dua roda.

Tanjakan di gang seolah menjadi gunung tinggi yang terjal. Rumput di taman seolah menjadi hutan belantara yang berbahaya.

Bersepeda merangsang imajinasi. Ini membuat hidup jadi berwarna.

Penggemar sepeda juga tampak meningkat sekarang ini. Di Sabtu dan Minggu, Jakarta dipenuhi dengan pengendara sepeda di berbagai penjuru. Lanjutkan membaca Kebijaksanaan di Atas Dua Roda

Membangun Nalar Kebijaksanaan: Filsafat, Media dan Demokrasi

palace-of-wisdom

Oleh Reza A.A Wattimena

            Banyak orang cerdas di jaman ini. Mereka penuh dengan informasi dan pengetahuan. Namun, kebijaksanaan tak mereka miliki. Akibatnya, kecerdasan tersebut digunakan untuk menipu, korupsi dan merusak kebaikan bersama.[1]

Yang dibutuhan kemudian adalah nalar kebijaksanaan (Vernunft-Weisheit). Nalar kebijaksanaan lebih dari sekedar nalar keilmuan. Di jaman sekarang ini, nalar kebijaksaanaan menjadi panduan utama, supaya kecerdasan bisa mengabdi pada kebaikan bersama. Ini juga menjadi amat penting di tengah tantangan radikalisme dalam segala bentuknya, dan banjir informasi palsu yang melanda kehidupan kita. Sebagai ibu dari semua ilmu, filsafat adalah ujung tombak untuk membangun nalar kebijaksanaan. Lanjutkan membaca Membangun Nalar Kebijaksanaan: Filsafat, Media dan Demokrasi

Informasi, Pengetahuan dan Kebijaksanaan di Masa Revolusi Industri Keempat

Pinterest | Bonito

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Kita hidup di abad informasi. Setiap detiknya, jutaan informasi baru timbul mengisi keseharian kita. Informasi begitu mudah didapat. Semua ini menjadi mungkin, karena perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang amat cepat.

Revolusi Industri Keempat

Kita juga hidup di jaman revolusi industri yang keempat. Sekedar informasi, revolusi industri pertama dipicu dengan penemuan mesin uap dan air untuk menggerakkan mesin produksi. Revolusi industri kedua dimulai dengan penggunaan energi listrik untuk mendorong mesin produksi. Revolusi industri ketiga didorong oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di dalam proses produksi. Lanjutkan membaca Informasi, Pengetahuan dan Kebijaksanaan di Masa Revolusi Industri Keempat

Memahami Hukum-hukum Kehidupan

9b8b883b951611d659a263c66e1dd7b8
pinterest

Oleh Reza A.A Wattimena

Siapa yang tidak kesal, ketika menyaksikan pengendara yang begitu ceroboh di jalan raya, dan sama sekali tidak peduli pada peraturan lalu lintas? Siapa yang tidak marah, ketika menyaksikan para penegak hukum di Indonesia justru menjadi pelaku pelanggaran hukum, dan tidak ada seorang pun yang berani menindaknya?

Padahal, banyak peraturan dibuat untuk menata hidup manusia, supaya damai dan aman. Ketika peraturan tersebut dilanggar, yang menderita bukan hanya si pelanggar, tetapi juga orang-orang di sekitarnya.

Kegagalan untuk mematuhi prinsip-prinsip hidup bersama berakar pada ketidaktahuan, atau tiadanya perspektif. Ketika orang gagal menjalankan prinsip-prinsip hidup bersama, maka konflik akan menjadi buahnya.

Pentingnya Perspektif

Pemahaman akan perspektif melibatkan tiga hal. Pertama, orang memahami hukum sebab akibat yang bekerja di dalam kenyataan. Lanjutkan membaca Memahami Hukum-hukum Kehidupan

Menjadi Manusia Reflektif

htb1dmcwjxxxxxa8xfxxq6xxfxxxw
aliexpress.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Pendiri Program “Sudut Pandang” (www.rumahfilsafat.com)

Kutipan ini kiranya perlu untuk kita resapi bersama: „Hidup yang tidak direfleksikan (diperiksa) tidaklah layak dijalani.“ Begitu kata Sokrates, pemikir asal Yunani, lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Hidup yang tidak direfleksikan berarti hidup seperti robot yang otomatis dan tanpa makna.

Di Indonesia, ketika mendengar kata “refleksi”, orang langsung berpikir tentang pijat refleksi. Ini berarti memijat titik-titik tertentu di telapak kaki, supaya orang bisa merasa lebih segar. Bukan refleksi semacam itu yang dimaksud disini. Refleksi, dalam arti sesungguhnya, adalah belajar dari apa yang sudah dilalui sebelumnya. Lanjutkan membaca Menjadi Manusia Reflektif

Sintesis

4
themovingarts.com

Kaitan antara Politik, Organisasi, Ilmu Pengetahuan dan Kebijaksanaan Hidup

Oleh Reza A.A Wattimena

Penulis dan Peneliti di bidang Filsafat Sosial-Politik, Pengembangan Organisasi dan Kepemimpinan, Filsafat Ilmu Pengetahuan serta Filsafat Timur, Doktor Filsafat dari Universitas Filsafat Muenchen, Jerman

Empat tema ini (Politik, Organisasi, Ilmu Pengetahuan dan Kebijaksanaan Hidup) merupakan tema-tema hidup saya. Selama 14 tahun ini (2002-2016), saya melakukan penelitian, berdiskusi, refleksi dan menulis untuk memahami keempat tema ini, serta keterkaitannya satu sama lain. Penelitian ilmiah yang saya lakukan juga dibarengi dengan pengalaman bekerja sekaligus memimpin di beberapa organisasi. Secuil refleksi ini kiranya bisa memberikan sedikit penjelasan.

Keempat tema ini, yakni politik, organisasi, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, adalah tema universal di dalam hidup manusia. Semua unsur kehidupan memilikinya, mulai dari hubungan dengan kekasih sampai dengan hubungan antar negara ataupun organisasi internasional. Dengan kata lain, tidak ada satupun dimensi kehidupan manusia yang luput dari politik, organisasi, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Maka, pemahaman atasnya mutlak diperlukan. Lanjutkan membaca Sintesis

Mendidik Dendam

zbeksinsk10
wordpress..com

Oleh Reza A.A Wattimena

Semua konflik di dunia ini terjadi, karena orang mengira, bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan. Mereka mengira, bahwa ini adalah jalan keluar satu-satunya. Jika kekerasan tak dibalas dengan kekerasan, ada perasaan tidak puas di dalam diri. Bahkan, pola semacam ini sudah menjadi begitu otomatis, sehingga orang tidak lagi menyadarinya.

Bom harus dibalas dengan bom. Pukulan harus dibalas dengan pukulan. Mata ganti mata. Gigi ganti gigi. Nyawa ganti nyawa. Lanjutkan membaca Mendidik Dendam

Dua Sayap Pendidikan

faiiint.com
faiiint.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Di berbagai negara, kita menemukan banyak pejabat politik yang terjebak korupsi. Mereka memiliki gelar pendidikan tinggi. Mereka juga memiliki nama baik di lingkungan sosialnya. Namun, latar belakang pendidikan tinggi, pengetahuan agama, serta nama baik sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencuri dan merugikan orang lain.

Kecenderungan yang sama juga sering kita temukan di kalangan pemuka agama. Mereka adalah orang-orang yang dianggap bijak, karena memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Namun, kerap kali, mereka juga jatuh ke dalam sikap bejat yang sama. Korupsi, pemerkosaan, penipuan, serta beragam pelanggaran lainnya juga kerap mereka lakukan, karena kerakusan dan kekosongan batin yang mereka alami. Lanjutkan membaca Dua Sayap Pendidikan

Apa yang Kita Cari dalam Hidup?

personal.psu.edu
personal.psu.edu

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman

Grup band Dream Theater terkenal dengan salah satu lagunya yang berjudul Spirit Carries On. Kalimat-kalimat pertama di dalam lagu itu amatlah menyentuh. Bunyinya begini: darimana kita berasal? Mengapa kita ada disini? Kemana kita pergi, setelah kita mati?

Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang dimiliki setiap orang. Agama berusaha menjawabnya. Terkadang, jawaban itu tidak cukup, karena manusia berubah, dan ia membutuhkan jawaban baru atas situasi hidupnya. Pertanyaan-pertanyaan ini, menurut saya, bisa dikerucutkan ke dalam dua pertanyaan dasar, yakni apa yang kita cari dalam hidup kita, dan bagaimana kita berusaha mendapatkannya?

Di dalam bukunya yang berjudul Symposion, atau perjamuan, Plato berusaha menjawab pertanyaan ini secara tidak langsung. Ia berbicara soal Eros, dewa cinta di dalam tradisi Yunani Kuno.1 Buku ini terdiri dari sekitar 80 halaman, dan terdiri dari dialog-dialog indah dan terkesan ironis. Latar belakang dari isi buku ini adalah pesta dari Agathon, seorang penyair, yang berhasil memenangkan perlombaan. Lanjutkan membaca Apa yang Kita Cari dalam Hidup?

Keseimbangan yang Hidup

http://1.bp.blogspot.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya

Setiap orang selalu teraspirasi pada kesempurnaan. Mereka menghargai karya yang sempurna, dan tergerak hatinya oleh kesempurnaan yang tampak di dalam keindahan, di manapun ia berada, mulai dari karya seni, atau sekedar tanaman yang berwarna-warni nan menggoda hati. Berbicara soal kehidupan, orang juga selalu mencari kesempurnaan. Dan berbicara tentang kesempurnaan, ada satu ide terselip di dalamnya, yakni keseimbangan.

Yang sempurna itu seimbang. Ia seimbang dalam kesederhanaannya, sekaligus kerumitannya. Ia sempurna dalam kelembutan, sekaligus kekuatannya. Kesempurnaan hidup manusia pun identik dengan keseimbangannya untuk mengatur berbagai ekstrem, tanpa pernah jatuh ke salah satunya. Kesempurnaan puas untuk ada dalam tegangan, dan justru merayakan tegangan ketidakpastian di antara berbagai pilihan hidup yang senantiasa menuntut kepastian.

Namun, keseimbangan hidup bukanlah keseimbangan matematis. Ia bukanlah suatu titik yang diam, seperti angka yang tak bernyawa, melainkan suatu gerak yang terus berubah, menari di dalam beragam ekstrem-ekstrem pilihan kehidupan. Keseimbangan di dalam hidup adalah keseimbangan yang terus berubah, mengikuti alur kehidupan yang juga senantiasa berubah. Ia mengalir gemulai di antara kepastian dan ketidakpastian, tanpa kehilangan sumbunya yang membuat ia teguh, sekaligus lentur.

Saya menyebutnya sebagai keseimbangan yang hidup, yang jelas berbeda dengan keseimbangan tak bernyawa yang dengan mudah ditemukan di dalam rumus matematika dalam bentuk ekuilibrium, ataupun hitung-hitungan ekonomi belaka. Keseimbangan yang hidup ini perlu untuk menyerap ke dalam sendi-sendi kehidupan kita sebagai manusia. Ia perlu untuk menjadi prinsip yang mengikat, sekaligus penggerak yang mengubah. Lanjutkan membaca Keseimbangan yang Hidup

Filsafat Bisnis

x4b.xanga.com

Compassionate Business sebagai Bisnis Masa Depan, Mungkinkah?

Sebuah Tinjauan Filsafat Bisnis menurut Chade-Meng Tan

Dipresentasikan dalam Pertemuan Life and Business Club

22 Mei 2011 di Surabaya.

(Diinspirasikan dan dikembangkan dari Kuliah Chade-Meng Tan di TED Talks http://www.ted.com)

Oleh Reza A.A Wattimena

             Secara etimologis (akar kata), filsafat terdiri dari philo dan sophia, yang berarti pencinta kebijaksanaan. Orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai kebijaksanaan, dan berusaha mencarinya di dalam kehidupan. Kebijaksanaan bukanlah suatu situasi yang sudah jadi, melainkan sebuah proses yang masih harus dicari. Seorang filsuf bukanlah orang yang bijaksana, tetapi orang yang berusaha sedikit demi sedikit untuk menjadi bijaksana dalam hidupnya.   Lanjutkan membaca Filsafat Bisnis

Nilai-nilai Kehidupan Soetikno Tanoko (Avia Avian Paints)

http://www.kazuya-akimoto.com

Antara Bisnis dan Keluarga

Oleh: Reza A.A Wattimena

Wajahnya masih segar dan bercahaya. Walaupun usianya sudah menginjak 81 tahun. Ingatannya masih amat tajam. Beragam tanggal dari peristiwa penting dalam hidupnya tetap diingat. Suaranya masih tegas dan keras, mencerminkan wibawa seorang pemimpin yang tak lenyap ditelan waktu dan usia.

Ketika berbicara matanya selalu menatap lawan bicaranya. Cahaya jernih memancar dari kejernihan matanya. Biasanya itu merupakan tanda banyaknya pengalaman yang telah ia tempuh dalam hidupnya. Pengalaman itu membuat pribadinya matang, sekaligus bijaksana.

Kerut di wajahnya menandakan satu hal; pengalaman hidup yang panjang dan bermakna. Dari gerak geriknya kita bisa tahu, betapa ia adalah pribadi yang sigap dan rajin dalam bekerja. Beberapa kali ia berjumpa dengan karyawan yang telah lama bekerja padanya. Tepukan di pundak kepada mereka menjadi tanda, betapa ia menyayangi mereka sebagai seorang sahabat dan keluarga.

Itulah sosok Soetikno Tanoko pada usianya yang ke 81 (Usia China: 83). Senyumnya hangat. Kesan sebagai seorang ayah yang mengayomi keluarga amat kuat terasa, ketika kita berjumpa dengannya. Tak berlebihan jika saya mengatakan, kehadirannya membawa kehangatan tersendiri bagi orang sekitarnya.

Dengan sentuhan tangannya langsung, ia membesarkan Toko Cat 73 di Malang, bersama saudaranya, Suwandi Tanoko. Pada era 1960-1970an, juga bersama saudaranya, ia membawa toko itu menjadi Toko Cat nomor satu di Malang. Juga dengan sentuhan tangannya, ia mendorong Pabrik Cat Avia Avian menuju masa jaya, setelah sebelumnya hampir bangkrut. Juga bersama istrinya ia menciptakan keluarga yang bahagia.

Ia menyentuh dan mengubah hidup banyak orang. Lanjutkan membaca Nilai-nilai Kehidupan Soetikno Tanoko (Avia Avian Paints)

Esensi Pendidikan

Technorati Tags: pendidikan,filsafat,pendidikan karakter,pendidikan moral,otonomi moral,kebijaksanaan

education-cartoonAnalisis terhadap Gangguan-gangguan serta Taktik Strategis dalam UpayaMenciptakan Pendidikan yang Sejati di Indonesia[1]

Reza A.AWattimena,[2]

Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Abstrak

Wacana tentang pendidikan karakter sebenarnya bukanlah wacana baru, karena pada esensinya, pendidikan adalah suatu proses pembentukan karakter di satu sisi, dan pembentukan kerangka berpikir di dalam melihat dunia di sisi lain. Inilah esensi pendidikan yang sejati, atau apa yang saya sebut sebagai, meminjam konsep Paulo Freire, pendidikan yang membebaskan. Yang kita perlukan sekarang ini adalah pengetahuan mendalam soal apa esensi pendidikan sejati itu sebenarnya, sambil secara bertahap memahami dan mengurangi faktor-faktor yang menghambat terciptanya pendidikan yang sejati tersebut. Berpijak pada itu maka tulisan ini ingin menjawab tiga pertanyaan berikut, (1) apakah esensi pendidikan itu sebenarnya, terutama dalam konteks wacana pendidikan karakter?(2) Faktor-faktor apa yang menghambat terciptanya pendidikan semacam itu? Dan (3) apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi faktor-faktor penghambat tersebut, sambil menyadari kembali arti pendidikan yang sesungguhnya, serta menerapkannya di dalam praksis? Di dalam tulisan ini, saya akan mengajukan argumen, bahwa pendidikan pada esensinya adalah soal pembentukan karakter dan kerangka berpikir di dalam melihat dunia. Kesadaran semacam ini menghilang, karena pendidikan telah bercampur dengan kepentingan-kepentingan eksternal di luar pendidikan tersebut, seperti kepentingan politik dan ekonomi-bisnis, yang tidak selalu sejalan dengan visi pendidikan yang sejati. Oleh karena itu kita memerlukan pemahaman filosofis serta taktik strategis, guna mengembalikan pendidikan ke esensinya yang sejati tersebut. Dalam konteks inilah tulisan ini diajukan.

Kata Kunci: Pendidikan yang sejati, Filsafat, reifikasi, hegemoni, kepentingan politik, kepentingan ekonomi.

Pendahuluan

Indonesia secara khusus dan dunia secara umum sedang mengalami kelupaan tentang arti pendidikan yang sejati. Berbagai kepentingan ideologis politik, ekonomi, bisnis, dan militer kini campur tangan menentukan arah dan isi pendidikan, dan sambil itu, dunia pendidikan pun seolah terkapar tanpa daya. Para praktisi pendidikan dan masyarakat umum lupa, bahwa pendidikan tidak hanya ada untuk mengabdi pada kepentingan ideologis politik, ekonomi, bisnis, ataupun militer semata, tetapi juga untuk membuat manusia semakin utuh dan bermartabat. Keutuhan dan martabat tersebut tampak dalam kemampuannya untuk memahami dunia dengan kerangka berpikir yang rasional, bermoral, terbuka, kritis, dan sistematis. Namun ini semua tinggal kenangan, digantikan oleh pendidikan yang melulu menjadi pelayan kepentingan-kepentingan eksternal yang seringkali justru bisa merendahkan martabat manusia itu sendiri.

Tulisan ini lahir dari kegelisahan pribadi saya, ketika melihat begitu banyaknya praktisi pendidikan yang tidak memahami esensi pendidikan yang sebenarnya, dan membiarkan anak didik kita tercinta ditawan oleh kepentingan politik, bisnis, atau militer yang tidak jarang justru menindas martabat mereka. Kreativitas dibungkam atas nama koherensi ideologi politik ataupun agama. Eksplorasi ide dibungkam atas nama aturan baku dan standar ilmiah yang mencekik. Inovasi dibungkam atas nama kepatuhan pada atasan manajerial di dalam bisnis. Tidak bisa dipungkiri lagi, dunia pendidikan kita kehilangan arah, dan semakin jauh dari visi misinya untuk mengembangkan martabat manusia.

Apa akibat dari kelupaan akan esensi pendidikan ini? Pertama, manusia yang keluar dari sistem pendidikan yang lupa akan dirinya sendiri ini jelaslah bukan manusia yang bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik di masyarakat. Bahkan dapat dikatakan dengan lugas, lemahnya moral bangsa ini jelas merupakan kegagalan sistem pendidikan yang selama ini ada, yakni pendidikan yang kehilangan esensinya sendiri. Dua, pendidikan yang kehilangan esensinya, dan semata memfokuskan dirinya untuk mengabdi pada kepentingan-kepentingan eksternal, yang seringkali tidak sesuai dengan visi pendidikan itu sendiri, akan membuat pendidikan menjadi penyiksaan. Pendidikan menjadi keterpaksaan yang dijalani oleh para siswa dengan murung dan gelisah.

Di dalam tulisan ini, seperti yang sudah saya ajukan pada abstrak, pendidikan perlu untuk kembali menyadari esensinya sendiri, lalu melenyapkan ganguan-gangguan yang membuat pendidikan tersebut kehilangan esensinya sejak awal. Hanya dengan begitu bangsa Indonesia bisa mulai mengarah ke arah peningkatan sumber daya manusia secara seimbang. Untuk menjelaskan argumen itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam empat bagian. Awalnya saya akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan esensi pendidikan dengan berpijak pada argumentasi para pemikir besar di dalam sejarah (1). Lalu saya akan menjabarkan dua musuh utama bagi terciptanya pendidikan yang sesuai dengan esensinya tersebut, yakni fundamentalisme ekonomi-bisnis dan fundamentalisme religius (2). Pada bagian berikutnya saya akan mencoba mengajukan beberapa prinsip dan taktik strategis, guna menanggulangi musuh-musuh pendidikan tersebut (3). Tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan dan problematik lebih jauh (4).

1.Esensi Pendidikan[3]

Pada hemat saya kita tidak lagi memerlukan teori baru tentang pendidikan. Yang kita perlukan adalah mengingat apa arti sesungguhnya dari pendidikan. Inilah yang kita lupa, sehingga pendidikan menjadi semata alat untuk kepentingan bisnis, politik, ataupun religius sektarian tertentu. Sudah lebih dari dua ribu tahun yang lalu, Buddha mengajukan sebuah konsepsi sederhana tentang apa itu pendidikan. Pendidikan demikian katanya adalah perkembangan manusia, sehingga ia bisa mengaktualisasikan dirinya dalam hidup. Untuk itu setiap orang perlu mengikuti dan menghayati delapan jalan agung dalam hidup. [Wren, 2008]

Delapan Jalan Agung [Diolah dari Wren, 2008]:

  1. Cara pandang yang tepat (Semua penderitaan lahir dari keinginan, maka keinginan haruslah dilampaui, dan bukan dipuaskan.)
  2. Nilai-nilai yang tepat (Orang harus hidup dan bertumbuh secara sabar dan perlahan – moderation).
  3. Berbicara secara tepat (Orang perlu berkata –dan juga isi perkataannya- dengan cara yang lembut dan tidak menyakitkan)
  4. Tindakan yang tepat (Orang tidak pernah boleh menyakiti orang lain)
  5. Hidup yang tepat (Bekerja dengan tidak menyakiti diri sendiri atau orang lain, baik secara langsung ataupun tidak)
  6. Usaha yang tepat (Selalu berusaha untuk mengembangkan diri)
  7. Berpikir secara tepat (Melihat segala sesuatu secara tepat dengan kesadaran yang jernih)
  8. Meditasi yang tepat (Mencapai pencerahan dengan melenyapkan ego)

Buddhisme menolak segala ide tentang diri manusia. Manusia itu tidak memiliki diri. Hanya dengan menyadari ini, ia bisa membebaskan diri dari keinginan yang membelenggu. Manusia bisa mencapai pencerahan dengan melepaskan ide, bahwa ia memiliki diri yang utuh dan berkehendak. [Wattimena, 2010] Inilah pola pendidikan yang diterapkan oleh Buddhisme selama berabad-abad. Delapan jalan inilah yang merupakan esensi dari pendidikan yang sejati.

Ajaran Buddhisme tersebut kiranya dapat dilengkapi oleh pemikiran Aristoteles soal karakter dan pendidikan. Ia adalah filsuf Yunani Kuno yang hidup lebih dari 2000 tahun yang lalu. Baginya setiap orang hidup selalu mengarah pada satu tujuan tertentu. Di dalam proses mencapai tujuan itu, orang perlu menggunakan dan mengembangkan akal budinya. Akal budi diperlukan supaya orang tidak hanya hidup menyesuaikan diri secara buta dengan norma-norma sosial yang ada, tetapi memikirkan sendiri apa yang sungguh baik dan patut untuk dilakukannya. Maka ada perbedaan yang cukup fundamental antara konformisme moral dengan masyarakat luas di satu sisi, dan penggunaan akal budi untuk menemukan apa yang baik, dan kemudian bertindak berdasarkan pengetahuan tersebut di sisi lain. [Wren, 2008]

Aristoteles juga berpendapat bahwa esensi dari setiap bentuk pendidikan adalah pendidikan karakter. Dalam arti ini karakter dapat dibentuk melalui proses habituasi, atau pembiasaan. Orang bisa bertindak jujur, karena ia terbiasa bertindak jujur, dan bukan karena ia tahu, apa yang dimaksud dengan jujur. Dua konsep ini yakni akal budi sebagai pengarah tindakan moral dan proses habituasi sebagai pola pendidikan karakter yang tepat adalah inti dari teori Aristoteles soal pendidikan. [Aristotle, 2004]

Pada hemat saya ajaran Buddhisme dan Aristoteles soal hidup dan pendidikan menggambarkan esensi sejati dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan tidak hanya soal ketrampilan teknis untuk bekerja mencari makan (“pragmatisme” pendidikan), tetapi juga membawa manusia menuju kebahagiaan sejati dengan menempuh langkah-langkah hidup yang tepat (jalan Buddhisme), dan membantu manusia mengasah akal budi, sehingga orang bisa bersikap rasional dan bebas di hadapan nilai-nilai masyarakatnya, serta tidak jatuh pada sikap konformisme buta (Aristoteles). Aristoteles juga menegaskan bahwa keutamaan moral yang sejati hanya bisa diperoleh, jika keutamaan moral itu dikondisikan serta dibiasakan di dalam hidup sehari-hari, dan bukan hanya diajarkan secara intelektual semata melalui sekolah atau kuliah.

2. Tantangan Pendidikan

Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat, bagaimana dua filsuf besar, Buddha (Timur) dan Aristoteles (Barat-Yunani Kuno) merumuskan apa itu esensi pendidikan. Dua model pendidikan yang mereka tawarkan kini ditantang oleh berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Dua kepentingan yang saya lihat sangat berpengaruh besar adalah fundamentalisme pasar, yang menjadikan kepentingan bisnis sebagai dimensi utamanya, dan fundamentalisme religius, yang menjadikan kepentingan agama tertentu sebagai acuan utamanya.

Perkembangan bisnis, sains, dan teknologi membuat pendidikan pun tidak bisa lepas dari ketiganya. Mata kuliah dan mata pelajaran sains dan bisnis menjadi dominan di berbagai institusi pendidikan. Tujuannya satu yakni memenuhi permintaan tenaga kerja yang melek sains dan teknologi. Pada titik ini ada dua persoalan yang timbul. Yang pertama adalah lenyapnya dimensi humaniora dari pendidikan.[4]

Jean-Francis Lyotard telah melihat perubahan tolok ukur status ilmu ini. Menurut Lyotard efisiensi dan efektivitas telah menjadiroh bagi masyarakat yang berteknologi maju. Dalam masyarakat post industri, kriteria untuk menilai keberhasilan sebuah lembaga adalah kinerjanya. Kinerja berarti maksimilisasi masukan dari pengeluaran. Pendidikan pun mau tak mau terpengaruh dengan perubahan cara pandang ini. Pendidikan dengan demikian didesak untuk memenuhi kebutuhan akan individu-individu yangmenomorsatukan efektivitas dan efisiensidiatas segalanya. Jika kinerja pendidikan dinilai dengan tolok ukur seperti itu, yakni sekedar mempersiapkan tenaga kerja untuk memuaskan dahaga kepentingan pasar, makadegradasi kemanusiaanlah yang akan kita tuai.

Ada ketegangan antara pendidikan yang memusatkan diri pada humaniora, dan pelatihan untuk memuaskan ekonomi pasar. Ada ketimpangan antara hasil lulusan dari sekolah atau perguruan tinggi dengan tuntutan ekonomi pasar. Dunia kerja membutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan teknis, supaya roda industri mereka tetap berjalan. Dunia industri, perusahaan jasa, dan lain-lain akan macet, jika tidak ada tenaga-tenaga profesional ditengah mereka. Lalu dari mana mereka memperoleh tenaga kerja profesional ini? Tidak lain tidak bukan adalah dari lembaga pendidikan yang ada. Karena itu dunia kerja, dalam arti ini, baik industri maupun jasa, harus memiliki kaitan erat dengan lembaga pendidikan, jika mau tetap eksis. Dunia industri memperoleh teknisi-teknisi handal dari lembaga pendidikan. Karena itu sekali lagi, hubungan antara dunia industri dengan dunia pendidikan adalah mutlak.

Sebaliknya kita perlu bertanya, apakah tujuan pendidikan hanyalah demi memuaskan keinginan pasar? Dalam kerangka tertentu dunia pendidikan memiliki tujuan yang lebih luas dari sekedar memuaskan keinginan pasar. Seperti yang ditegaskan Sidharta Gautama (Buddha) dan Aristoteles, pendidikan hendak membentuk keutamaan melalui pembiasaan, menciptakan kemandirian individu, dan membentuk hidup sempurna yang bahagia. Di sisi lain keinginan mencari ilmu adalah tanda kesempurnaan dan keluhuran manusia. Kesempurnaan dan keluhuran itu adalah realisasi dari akal budi manusia. Rupanya pemahaman inilah yang hilang dari mata kita dewasa ini, karena tuntutan bisnis dan industri yang tidak selalu sejalan dengan visi pendidikan yang sejati. [Koesoma, 2004]

Kepentingan yang cukup kuat mempengaruhi dunia pendidikan di Indonesia adalah kepentingan religius. Pendidikan diubah semata-mata menjadi pendidikan agama tertentu. Moralitas yang seharusnya memberi peluang untuk diskusi kritis nilai-nilai moral diubah menjadi indoktrinasi moral agama tertentu yang tidak boleh pertanyakan, apalagi diperdebatkan. Alih-alih memberikan kerangka berpikir yang tepat untuk menyingkapi kehidupan yang semakin majemuk dan rumit ini, anak didik diberikan kerangka kaca mata kuda yang melihat realitas melulu dengan satu sudut pandang, yakni sudut pandang agamanya.

Dalam arti ini pendidikan menjadi selubung bagi propaganda dan indoktrinasi agama. Pendidikan tidak hadir untuk melahirkan kebahagiaan yang sejati, tetapi kepatuhan buta pada seperangkat aturan yang diklaim sebagai kebenaran universal. Akibatnya peserta didik menjadi tertekan, karena mereka tidak lagi bisa mengekspresikan diri mereka secara otentik. Pendidikan juga tidak hadir untuk membangun moralitas yang otonom, melainkan moralitas yang heteronom, yang tertanam di dalam agama tertentu, di mana orang melulu menyandarkan dirinya pada moralitas kelompok. Akibatnya banyak peserta didik menjadi manusia yang konformistik, yakni suka ikut-ikutan dalam melakukan sesuatu, tanpa memiliki pertimbangan yang mandiri. Peserta didik menjadi manusia-manusia yang tidak toleran terhadap perbedaan pandangan hidup, karena mereka hanya dididik dengan satu sistem nilai yang mengklaim kebenaran mutlak.

Apakah pendidikan bertujuan semata untuk mengajarkan nilai-nilai moral agama tertentu? Apakah tepat jika pendidikan menjadi hanya menjadi sarana propaganda dan indoktrinasi ajaran agama tertentu? Jawabannya jelas tidak. Pendidikan membuat manusia bahagia dengan menempuh jalan-jalan yang didasarkan pada pola berpikir tertentu. Pendidikan juga bertujuan untuk membangun kemandirian moral, sehingga orang bisa secara rasional berpikir dan mempertimbangkan, apa yang baik dan tidak baik untuk dilakukan. Inilah esensi pendidikan yang sudah selalu sejalan dengan pendidikan karakter. Artinya seperti sudah ditegaskan di atas, pada hakekatnya, pendidikan sudah selalu merupakan pendidikan karakter. Dan itu hanya dapat dijalankan melalui proses habituasi, atau pembiasaaan di dalam hidup sehari-hari.[5]

3. Taktik Strategis

Jelaslah dunia pendidikan di Indonesia setidaknya memiliki dua tantangan dasar, yakni fundamentalisme pasar dalam bentuk dominasi pendidikan bisnis dan sains di dalam pendidikan, dan fundamentalisme religius dalam bentuk dominasi ajaran-ajaran agama tertentu di dalam proses pendidikan, sehingga mengabaikan sistem nilai lainnya yang juga ada di masyarakat. Dua situasi ini mengancam dunia pendidikan Indonesia, dan menjauhkannya dari esensi pendidikan sejati yang sebenarnya. Bagaimana cara menyingkapi fenomena krisis pendidikan ini?

Saya melihat setidaknya ada empat langkah strategis yang bisa diambil. Pertama, para praktisi pendidikan, sekaligus para pejabat pendidikan nasional, perlu untuk memahami dan menyadari esensi pendidikan yang sejati, sebagaimana telah saya ajukan dengan berbekal pemikiran Buddhisme dan Aristoteles. Esensi pendidikan itu adalah kemampuan untuk mencapai kebahagiaan dengan jalan-jalan yang tepat, dan hidup berpijak pada otonomi moral, yakni kemampuan untuk secara mandiri menentukan apa yang baik untuk dilakukan, serta membentuk keutamaan moral tersebut melalui pembiasaan yang intensif. Pemahaman inilah yang harus dipegang erat-erat, dan disebarluaskan ke masyarakat Indonesia.

Dua, pemahaman akan esensi pendidikan yang sejati itu haruslah disebarluaskan ke seluruh Indonesia. Iklan layanan masyarakat dibuat. Buku-buku dengan pesan yang sama diterbitkan lalu diluncurkan di dalam ruang publik. Acara TV, diskusi publik, sampai dengan propaganda partai politik haruslah mengambil bentuk sosialisasi agresif ide-ide tentang esensi pendidikan yang sejati tersebut. Diperlukan kekuatan lobi yang sangat besar dari pihak-pihak yang merasa perlu untuk keluar dari situasi krisis pendidikan Indonesia dewasa ini.

Tiga, para praktisi dan pejabat pendidikan di level nasional perlu merombak kurikulum pendidikan nasional secara radikal. Kurikulum pendidikan tersebut perlu untuk menyesuaikan dengan paradigma esensi pendidikan yang telah dijabarkan sebelumnya. Pendidikan ketrampilan industri dan agama tertentu perlu tetap ada, namun dalam jumlah proporsional di samping pendidikan sejati yang berbasis pada pengembangan karakter yang otonom dan berfokus pada kebijaksanaan. Jika diprosentase pada hemat saya, yang muncul adalah 60 % pendidikan yang berpijak pada paradigma yang saya tawarkan di atas, 20 % pendidikan yang bertujuan untuk mengabdi pada dunia bisnis maupun industri, dan 20 % pendidikan yang terkait dengan ajaran agama tertentu.[6]

Empat, sebelum semua itu terwujud, maka para pejabat pendidikan di level nasional dan regional haruslah ditempati oleh orang-orang yang memiliki perspektif pendidikan yang sejati, dan bukan sembarangan birokrat yang hanya bisa berpikir teknis, seperti layaknya tukang. Para pejabat institusi pendidikan adalah orang-orang yang sungguh memahami filsafat pendidikan, walaupun displin ilmu mereka beragam. Maka dari itu perlu dilakukan sosialisasi makna pendidikan sejati yang berpijak pada dimensi filosofis yang mendalam ke seluruh pejabat pendidikan di Indonesia. Pemerintah perlu mendorong gerak perubahan ini, jika ingin membenahi dunia pendidikan karakter Indonesia yang kini kian terpuruk.

4. Kesimpulan

Pada esensinya setiap pendidikan adalah pendidikan karakter. Berbekal pemahaman Buddhisme klasik, pendidikan adalah upaya untuk membentuk manusia yang bahagia dan bijaksana seturut dengan prinsip-prinsip yang tepat. Dan berbekal pada ajaran Aristoteles, dasar dari karakter adalah kemampuan diri orang untuk secara mandiri dan rasional menentukan apa yang baik dan benar untuk dilakukan, dan bukan sekedar menyesuaikan diri dengan apa kata kelompok secara buta. Pemahaman pendidikan semacam ini kini lenyap digantikan oleh pendidikan yang mengabdi pada kepentingan bisnis dan industri, dan kepentingan agama tertentu yang diselubungkan dengan pendidikan moral. Melalui tulisan ini saya mengajak kita semua untuk melakukan gerak balik ke esensi pendidikan yang sejati, yakni pendidikan karakter itu sendiri, dan mencoba menjaga jarak dari pendidikan berparadigma bisnis-industri serta moralitas agama tertentu. Diperlukan kehendak politik yang kuat sekaligus taktik infiltrasi yang jitu ke lembaga-lembaga pendidikan tingkat nasional maupun regional untuk mewujudkan cita-cita tersebut menjadi kenyataan.

Daftar Pustaka

Aristotle, Nicomachean Ethics, Cambridge University Press, Cambridge, 2004.

Lyotard, Jean-Francis, The Post-Modern Condition: A Report on Knowledge, University of

Minnesota Press, Minneapolis, 1979.

Koesoma, Doni, “Pendidikan Manusia versus Kebutuhan Pasar”,dalamPendidikan

Manusia Indonesia, Kompas, Jakarta, 2004.

Wattimena, Reza A.A., Meratapi Matinya Pendidikan,http://www.dapunta.com/meratapi-matinya-pendidikan.html diunduh pada Kamis 11 November 2011, Pk. 13.50.

——————————, Membongkar Rahasia Manusia, Telaah Lintas Peradaban

Filsafat Timur dan Filsafat Barat, Kanisius, Yogyakarta, 2010.

Wren, Thomas, “Philosophical Moorings”, dalam Handbook of Moral and Character

Education, Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez (eds), Routledge, New York, 2008

hal. 11-29


[1] Diajukan sebagai makalah National Seminar on Soft Skil and Character Building di Universitas Muhammadiyah Surabaya, 19 Januari 2011.

[2] Reza Alexander Antonius Wattimena lahir 22 Juli 1983 adalah alumnus program Sarjana dan Magister Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Kini bekerja menjadi dosen dan Sekretaris Fakultas di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya.

[3] Pada bagian ini saya mengacu pada Wren, Thomas, “Philosophical Moorings”, dalam Handbook of Moral and Character Education, Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez (eds), hal. 11-29.

[4] Pada bagian ini saya mengacu pada Koesoma, Doni, “Pendidikan Manusia versus Kebutuhan Pasar”,dalamPendidikan Manusia Indonesia, Kompas, 2004

[5] Lihat Wattimena, Reza A.A., Meratapi Matinya Pendidikan,http://www.dapunta.com/meratapi-matinya-pendidikan.html diunduh pada Kamis 11 November 2011, Pk. 13.50.

[6] Prosentase ini didasarkan pada argumen berikut, bahwa karakter menentukan segalanya di dalam pekerjaan. Ketrampilan teknis yang dibutuhkan industri dapat diperoleh dengan mudah dengan memberikan pelatihan, jika karakter yang positif telah terlebih dahulu terbentuk.

Gambar diambil darihttp://educationfourall.files.wordpress.com/2011/01/education-cartoon.jpg

Filsafat Sebagai Jalan Hidup

Technorati Tags: ,,

buskers2
Google Images

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Indonesia adalah bangsa yang penuh dengan masalah. Masalah sosial mulai dari korupsi, kedangkalan ruang publik, sampai ketidakpatuhan hukum merajalela. Warga negaranya juga ditimbun dengan masalah pribadi, mulai dari krisis ekonomi sampai krisis identitas. Segala upaya dicoba tanpa terasa hasilnya.

Ada yang lenyap dari semua analisis masalah, yakni cara memaknai kehidupan. Problematik bangsa terlalu rumit untuk diselesaikan dengan pendekatan satu dimensi. Akar masalahnya bukan ketiadaan uang. Bangsa kita punya banyak sekali harta yang bisa dimanfaatkan.

Akar masalahnya adalah cara berpikir, dan cara memaknai hidup. Masalah material di Indonesia, mulai dari kemiskinan sampai korupsi, bisa lenyap dengan mengubah persepsi warganya tentang hidup. Filsafat bisa memberikan sumbangan besar dalam hal ini.

Klarifikasi

Filsafat bukanlah sesuatu yang abstrak. Ini adalah pendapat yang salah. Filsafat berangkat dari pergulatan hidup manusia di dunia. Maka refleksinya terkait erat dengan darah dan usaha manusia nyata.

Filsafat juga bukan soal ateisme. Filsafat mengajak orang beriman untuk memahami imannya secara tepat dan mendalam. Untuk itu kedangkalan hidup beriman harus dibongkar. Filsafat bisa menjadi palu yang efektif untuk tujuan itu.

Dengan filsafat orang beriman bisa menjalankan imannya secara otentik. Dengan filsafat orang beragama akan menjadi terbuka dan bijaksana. Dengan filsafat orang beriman bisa menemukan Tuhannya sebagai simbol kasih dan persaudaraan. Dengan filsafat agama menjadi hidup dan relevan untuk memaknai kehidupan.

Filsafat tidak hadir untuk menyesatkan. Filsafat mengajak orang untuk berpikir secara mendalam tentang hidup mereka. Hasil dari filsafat adalah cara berpikir yang mendalam dan tepat tentang kehidupan. Filsafat mencerahkan orang melalui pikiran dan tindakan, apapun profesi yang digelutinya.

Filsafat juga bukan hanya milik orang Eropa. Filsafat adalah dorongan dasar manusia untuk memahami dunia secara rasional dan sistematik. Filsafat hadir di sanubari setiap orang tanpa kecuali. Filsafat membuat hidup menjadi menggairahkan, bagaikan petualangan intelektual yang membahagiakan.

Jalan Hidup

Filsafat tidak melulu soal bergelut dengan buku-buku sulit. Filsafat bisa menjadi jalan kehidupan yang membahagiakan. Filsafat dimulai dengan pertanyaan yang mendasar tentang kehidupan, lalu dilanjutkan dengan penggalian yang seru dan menegangkan. Jalan hidup filsafat adalah jalan hidup yang penuh dengan petualangan.

Dimulai dengan pertanyaan, dilanjutkan dengan penggalian, itulah kiranya cara hidup orang yang berfilsafat, apapun profesi resminya, bisa tukang sayur, tukang buah, manajer, direktur, guru, akuntan, dosen, atau apapun. Orang yang berfilsafat akan berpikir rasional. Ia tidak mudah percaya mistik, ataupun pendapat-pendapat umum yang menyesatkan dan menggelisahkan. Ia tidak terjebak pada gosip ataupun rumor yang berkeliaran.

Orang yang berfilsafat menyampaikan pemikirannya secara sistematis. Tulisan dan pembicaraannya mudah untuk dimengerti. Ia runtut dalam berpikir. Ia runtut di dalam membuat keputusan. Ia akan menjadi orang yang komunikatif dan terbuka. Ia akan menjadi pemimpin yang bijaksana.

Orang yang berfilsafat tidak pernah puas pada kedangkalan. Ia selalu mencari yang lebih dalam di balik segala sesuatu, apapun profesi hidupnya, entah itu manajer, akuntan, guru, tukang sayur, dan sebagainya. Ia akan menjadi seorang wirausahawan yang cemerlang. Ia akan menjadi manusia yang berkualitas.

Orang yang berfilsafat percaya akan proses. Mereka bertekun dalam hening dan kesulitan untuk mencapai hidup yang dewasa, apapun profesinya. Orang yang berfilsafat percaya, bahwa kebaikan adalah suatu proses yang lambat dan berliku. Di dalam proses tersebut, ia akan bahagia.

Beragam masalah di Indonesia tidak akan bisa selesai dengan pendekatan-pendekatan teknis, seperti pendekatan ekonomi teknis, pendekatan politik teknis, pendekatan teknologi teknis, ataupun pendekatan budaya teknis. Beragam masalah tersebut bisa selesai dengan sendirinya, jika setiap orang Indonesia mau berfilsafat, yakni menjadikan filsafat sebagai jalan hidup, apapun profesi sehari-hari mereka. Jalan hidup filsafat menawarkan pencerahan yang menggairahkan.

Apakah anda siap merengkuhnya? ***

Gambar dari http://moreintelligentlife.com/files/buskers2.jpg

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala, Surabaya