Filsafat Bisnis

x4b.xanga.com

Compassionate Business sebagai Bisnis Masa Depan, Mungkinkah?

Sebuah Tinjauan Filsafat Bisnis menurut Chade-Meng Tan

Dipresentasikan dalam Pertemuan Life and Business Club

22 Mei 2011 di Surabaya.

(Diinspirasikan dan dikembangkan dari Kuliah Chade-Meng Tan di TED Talks http://www.ted.com)

Oleh Reza A.A Wattimena

             Secara etimologis (akar kata), filsafat terdiri dari philo dan sophia, yang berarti pencinta kebijaksanaan. Orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai kebijaksanaan, dan berusaha mencarinya di dalam kehidupan. Kebijaksanaan bukanlah suatu situasi yang sudah jadi, melainkan sebuah proses yang masih harus dicari. Seorang filsuf bukanlah orang yang bijaksana, tetapi orang yang berusaha sedikit demi sedikit untuk menjadi bijaksana dalam hidupnya.  

            Kebijaksanaan filsafat bukanlah kebijaksanaan yang ada di dalam agama. Agama mengandaikan iman dalam bentuk kepercayaan pada seperangkat ajaran tertentu. Sementara filsafat tidak mengandaikan apapun, kecuali kemampuan manusia untuk menggunakan akal budinya. Kebijaksanaan filsafat adalah kebijaksanaan rasional, yakni kebijaksanaan berdasarkan akal budi manusia semata.

            Filsafat bisnis adalah cabang filsafat yang hendak menerapkan kebijaksanaan filsafat di dalam bisnis. Tujuannya adalah supaya bisnis menjadi sarana orang untuk memperoleh hidup yang berkualitas. Berkualitas disini tidak hanya soal materi, tetapi juga soal karakter dan kebahagiaan manusia. Di dalamnya banyak analisis soal kepemimpinan, kreativitas, keterlibatan, pertumbuhan kesadaran, dan sebagainya.

Kebahagiaan dan Compassion

            Filsafat juga banyak berbicara soal kebahagiaan. Kebijaksanaan akan membawa orang pada kebahagiaan. Coba jawab pertanyaan kecil ini. Siapakah orang yang paling bahagia di dunia ini? Sulit untuk membuat alat pasti untuk mengukur hal itu.

            Namun ada satu cara, yakni dengan mengukur frekuensi otak di bagian kepala sebelah kanan. (Chade-Meng Tan, 2010) Semakin bahagia orang itu, semakin frekuensi aktivitas otaknya tinggi. Sampai sekarang ini menurut Chade-Meng Tan, orang yang memiliki aktivitas otak tertinggi adalah Matthieu Richard, seorang ahli saraf yang kini menjadi seorang biksu di Tibet. Ketika diukur, frekuensi aktivitas otaknya meledak ke atas, melampaui kriteria normal yang ada.

            Apa yang dipikirkan oleh Richard? Apakah ia berpikir jorok? Hahahaha…. Tentu tidak. Menurut penelitian Chade-Meng, Richard berpikir soal compassion, atau apa yang saya terjemahkan sebagai kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain. Ia menghayati compassion di dalam setiap detik pikirannya, sehingga ia bisa mencapai kebahagiaan yang sejati.

            Namun itu terjadi pada level personal. Menurut Chade-Meng jika semua orang seperti Richard, maka kita akan bisa menciptakan perdamaian dunia. Jika setiap orang menghayati compassion, maka semua orang akan merasa bahagia. Tidak ada alasan untuk perang. Tidak ada alasan untuk berkonflik satu sama lain.

            Compassion membawa pada kedamaian. Kedamaian membawa pada kebahagiaan. Compassion, kedamaian, dan kebahagiaan bisa mengubah orang menjadi pribadi yang lebih baik. Jika setiap orang menghayati ini, maka dunia akan menjadi tempat yang lebih baik untuk semua orang.

Menyenangkan dan Menguntungkan

            Namun banyak orang mengira, bahwa menjadi orang yang compassionate  tidaklah menyenangkan. Orang jadi capek karena ia harus terus menerus peduli dengan penderitaan orang lain yang ia sendiri tak bisa ubah. Karena tak menyenangkan maka orang tidak mau belajar untuk merasakan penderitaan orang lain. Orang menjadi apatis, alias tidak peduli.

            Banyak juga praktisi bisnis mengira, bahwa compassion itu tidak menguntungkan. Compassion itu biaya maka harus dihindari. Ini anggapan yang tidak tepat. Compassion itu baik untuk bisnis. Compassion itu menguntungkan dan membuat bisnis menjadi bertahan lama serta memiliki pengaruh yang luas. Compassion itu membantu bisnis membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

            Maka menurut Chade-Meng, kita harus memikirkan jawaban atas pertanyaan berikut, bagaimana membuat compassion menjadi seesuatu yang menyenangkan, sehingga banyak orang memeluknya, dan menguntungkan, sehingga banyak praktisi bisnis bisa mengadopsinya sebagai kebijakan bisnis? Bagaimana kita bisa membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik?

Google

            Chade-Meng memberi contoh perusahaan tempatnya bekerja, yakni Google. Pada hematnya Google adalah perusahaan yang lahir dan berkembang di dalam idealisme. Maka idealisme sudah otomatis menjadi bagian dari kultur perusahaan. Uang dan keuntungan datang dengan bekerja menjalankan serta mengembangkan idealisme.

            Misalnya ada dua pegawai Google yang menggalang dana untuk mendirikan rumah sakit di India. Mereka tidak minja ijin perusahaan. Mereka secara spontan melakukan apa yang mereka inginkan. Hal ini memberikan inspirasi bagi banyak pegawai Google lainnya, lalu dijadikan resmi oleh perusahaan, karena hampir semua karyawan memiliki dorongan dan keinginan yang serupa.

            Banyak juga pegawai Google yang menjadi pekerja sosial. Sekali lagi mereka tidak minta ijin perusahaan. Namun mereka hanya melakukannya. Banyak orang tergerak untuk membantu, dan perusahaan pun akhirnya meresmikan gerakan ini.

            Akibatnya kini di Google banyak sekali jabatan baru yang sebelumnya tak terpikirkan. Misalnya ada jabatan Jolly Good Fellow. Ada orang yang memegang jabatan tersebut. Ia membuat sendiri job description-nya.

            Kehadiran orang-orang kreatif di Google ini mempengaruhi atmosfer perusahaan. Kerja menjadi menyenangkan karena dilakukan bersama dengan orang-orang yang inspiratif. Maka compassion itu sebenarnya menyenangkan. Google membuktikan itu.

            Dengan bersikap solider terhadap masyarakat yang membutuhkan bantuan, Google justru menjadi tempat kerja yang menyenangkan. Pegawainya menjadi kreatif dan inovatif. Namun apakah dengan begitu, perusahaan bisa memperoleh untung? Apakah compassion juga bisa memberikan keuntungan yang nyata pada perusahaan?

Menguntungkan

Tanpa memberikan keuntungan –yang merupakan nyawa bisnis swasta-, kultur yang menyenangkan di dalam perusahaan tidak akan bertahan lama. Chade-Meng berpendapat bahwa compassion juga bisa memberikan keuntungan yang nyata untuk perusahaan. Contoh paling nyata adalah dalam soal kepemimpinan.

Menurut Chade-Meng orang yang memiliki compassion akan berkembang dalam tiga hal, yakni secara afektif (kemampuan merasakan penderitaan orang lain), kognitif (kemampuan untuk memahami secara tepat makna penderitaan orang lain), dan motivasional (kemampuan untuk menolong orang yang mengalami kesulitan). Orang seperti ini adalah sosok pemimpin yang amat dibutuhkan di dalam bisnis. (Chade-Meng, 2010)

Ia tidak lagi fokus memikirkan kejayaaan dan kepentingan dirinya semata, tetapi berpikir untuk menciptakan kebaikan yang lebih tinggi bagi orang sekitarnya. Ia akan bekerja dengan kompetensi yang tinggi, termasuk memiliki sikap rendah hati, memahami kesulitan bawahan, dan memiliki ambisi luhur, yakni menciptakan kebaikan bersama. Ia tidak perlu lagi memberi makan ego maupun arogansi pribadinya.

            Orang yang memiliki compassion akan memilih bekerja sama daripada berkompetisi. Ia akan memiliki inisiatif tinggi, sekaligus kreatif di dalam menjalankan tugasnya. Ia adalah sosok pemimpin bisnis masa depan yang sesungguhnya.

            Seorang pemimpin yang digerakan oleh compassion akan menciptakan kultur yang sehat bagi perusahaannya. Ia akan memberikan teladan tentang apa artinya menjadi seorang pemimpin yang peduli. Alhasil semua pegawai di perusahaan akan berusaha untuk melakukan hal yang baik untuk kepentingan bersama, dan bukan untuk menggemukan perut semata. Dalam perjalanan perusahaan akan dipercaya masyarakat. Keuntungan mengalir dan perusahaan tersebut akan ada di dalam hati masyarakat.

            “Jika kamu ingin orang lain bahagia,” demikian tulis Chade-Meng, “terapkan compassion. Jika kamu ingin bahagia, terapkan juga compassion.” Bagi Chade-Meng pernyataan ini benar untuk level personal maupun untuk perusahaan. Kembali pada pertanyaan yang diajukan pada judul diskusi ini, mungkinkah compassionate business menjadi paradigma bisnis masa depan?

            Di dalam tinjauan filsafat bisnis, bisnis tidak hanya soal untung, tetapi soal meningkatkan kualitas hidup manusia. Bisnis juga merupakan pembentukan karakter, baik karakter produsen, distributor, ataupun konsumen. Jika semua itu sudah dilakukan, maka keuntungan akan datang. Ingatlah bahwa keuntungan merupakan akibat sampingan dari produk yang bermakna untuk konsumen (melalui manajemen mansuia yang tepat), dan bukan tujuan tertinggi di dalam bisnis, apalagi tujuan satu-satunya.

            Semua ini bisa terjadi, jika dunia bisnis Indonesia mengadopsi paradigma compassionate business. Di dalam paradigma ini, bisnis akan sungguh membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi semua orang. Bisnis tidak lagi menjadi ajang pemuasan kerakusan semata, terutama kerakusan para pemilik modal raksasa. Bisnis bisa menjadi ujung tombak perubahan ke arah masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

            Saya rasa para praktisi bisnis di Indonesia perlu untuk memahami dan memeluk compassionate business ini. Ingat kata Chade-Meng, compassionate business tidak hanya menyenangkan dan membahagiakan semua pihak, tetapi membuat bisnis menjadi menguntungkan sekaligus bertahan lama. Bukankah ini yang menjadi cita-cita kita semua?***

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

6 tanggapan untuk “Filsafat Bisnis”

  1. Compassion… fokus pelayanan ke orang lain…. untuk keuntungan dan kontinuitas… Terimakasih artikelnya pak…

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.