
Oleh Reza A.A Wattimena
Setiap pagi, tukang sayur itu datang. Kali ini, ia menunggu agak lama. Tak ada yang datang membeli. Biasanya, ia sudah didatangi banyak orang untuk membeli sayur.
Pagi itu, mungkin karena bulan puasa, ia sepi pembeli. Saya datang kepadanya, membeli timun dan pisang. Saya lebihkan uang, sambil berkata, “Ini untuk ongkos mudik.” Sang penjual sayur itu agak kaget, lalu tersenyum, dan mengucapkan terima kasih.
Saya kembali ke rumah. Entah mengapa, hati saya begitu gembira. Ada ketenangan yang dibalut kegembiraan muncul di hati. Hati saya seperti meluas, menyentuh segala yang ada, tanpa batas.
Berikutnya, saya melakukan hal serupa lebih sering ke berbagai pedagang yang lewat depan rumah. Membantu orang itu menyehatkan, itu yang muncul di kepala saya. Ada hubungan erat antara “hati yang ingin membantu” dan “perasaan seluas semesta”. Tema serupa dibahas cukup banyak di dalam filsafat Asia.
Sahabat dan guru saya (I Gede Agustapa) juga berulang kali berkata. Inti dari dari Dharma adalah pertautan antara kekosongan (emptiness) dan welas asih (compassion). Keduanya tak terpisahkan, dan saling mengisi satu sama lain. Pemahaman tentang hakekat terdalam/mutlak dari seluruh kenyataan, yakni kekosongan, adalah sumber dari rasa welas asih tertinggi.
Tiga Bentuk Welas Asih
Welas asih, di dalam tradisi Tibetan, adalah “pikiran yang baik, yang mendorongmu untuk menolong mahluk hidup lainnya. Welas asih muncul, ketika kamu melihat rasa sakit dan penderitaan mereka, dan kamu merasakan di hatimu yang terdalam, bahwa kamu ingin melenyapkan penderitaan itu.” (Khenpo Rinpoche, 2017)
Khenpo Rinpoche membagi tiga bentuk sikap welas asih. Yang pertama adalah welas asih kepada semua mahluk hidup. Maknanya cukup sederhana. Kita melihat penderitaan mahluk hidup lain, dan merasakan welas asih yang mendalam. Kita pun berbuat sesuatu untuk melenyapkan penderitaannya.
Yang kedua adalah welas asih kepada ketidaktahuan (ignorance) dari mahluk hidup lainnya tentang hakekat terdalam dari kenyataan. Begitu banyak mahluk hidup, terutama manusia, yang mengira, bahwa kenyataan itu tetap dan abadi. Mereka lalu mengejarnya, melekat padanya, atau justru membencinya. Ketika perubahan terjadi, mereka kaget, dan menderita.
Kita lalu terdorong untuk berbagi pengetahuan. Kita menjelaskan tentang pengetahuan yang tepat, yakni pengetahuan tentang dunia sebagaimana adanya. Kenyataan dan kehidupan itu tidak memiliki inti yang abadi. Segalanya itu kosong. Ia ada, sekaligus tidak ada, seperti mimpi, atau seperti kabut.
Kita juga menjelaskan beberapa laku yang bisa dilakukan untuk menghayati pengetahuan itu, seperti meditasi atau yoga. Harapannya, semua mahluk hidup bisa bebas dari penderitaan dengan melepas cengkraman mereka terhadap kehidupan yang terus berubah. Mereka memahami dunia secara tepat.
Yang ketiga adalah welas asih tanpa obyek (objectless compassion). Di dalam dua bentuk sebelumnya, welas asih masih memiliki obyek. Yang pertama adalah mahluk hidup lain. Yang kedua adalah ketidaktahuan sebagai obyek yang menciptakan penderitaan.
Bentuk welas asih yang ketiga tidak memiliki fokus. Ini adalah tingkat tertinggi dari welas asih. Pada titik ini, tidak ada lagi perbedaan antara aku dan semua mahluk. Yang ada adalah kesadaran non dual, dimana segala yang ada melebur ke dalam kesatuan yang melampaui kata.
Welas asih pun menjadi universal, tanpa batas. Tidak ada lagi teman atau musuh. Tidak ada lagi dualisme aku dan kamu, atau aku dan dia. Semua melebur di dalam kekosongan.
Yang perlu dilakukan hanya berada di dalam keadaan alamiah batin manusia (natural state of the mind). Tidak ada konsep. Tidak ada teori. Tidak ada ide ataupun penilaian.
Tidak ada keinginan apapun. Tidak ada dualisme. Pola ini terkesan amat sulit. Namun, sebenarnya, ia sungguh amat mudah, bahkan terlalu mudah, sehingga justru sangat sulit untuk orang yang terbiasa berpikir, dan mengira pikirannya sebagai kenyataan.
Samadhi
Welas asih yang ketiga adalah samadhi, yakni ketika orang menyadari kekosongan sebagai hakekat terdalam dari kenyataan. Ada perasaan seluas semesta yang muncul. Kekosongan ini juga merupakan hakekat terdalam dari batin manusia, termasuk pikiran maupun emosinya. Ini bisa dicapai, ketika orang juga terus menerapkan dua bentuk welas asih sebelumnya.
Pada tingkat relatif, kita perlu membantu semua mahluk dengan meringankan penderitaannya. Kita juga perlu menjelaskan kepada yang membutuhkan tentang hakekat terdalam dari kenyataan, sehingga mereka tidak memaksa dunia untuk sesuai dengan maunya. Dua hal ini akan membantu kita menyentuh tingkat yang absolut, yakni tingkat kesadaran akan kekosongan dari segala yang ada. Kekosongan (emptiness/tingkat absolut) tidak pernah bisa dipisahkan dari welas asih (compassion/tingkat relatif).
Tingkat relatif dan tingkat absolut, sesungguhnya, bukanlah sesuatu yang berbeda. Mereka selalu berada bersama. Ini seperti api dan panas, atau matahari dengan cahayanya. Kekosongan dan welas asih adalah dua sisi dari satu koin yang sama.
Dunia ini tak sungguh ada. Ia ada, namun terus mengalir dalam perubahan. Dunia ini seperti mimpi, seperti kabut. Ia terlihat nyata, namun lenyap, ketika kita mengejarnya.
Menyadari ini adalah kebijaksanaan tertinggi. Kita berhenti mengejar dunia, dan terbebas dari penderitaan yang menyiksa jiwa. Yang tersisa adalah perasaan welas asih kepada seluruh semesta.
Di tingkat absolut, tukang sayur itu adalah saya. Tidak ada perbedaan di antara kita, maupun di antara semua mahluk. Tidak ada saya yang membantu dia, dan tidak ada dia yang menerima bantuan saya. Duduk diam, terserap ke dalam kekosongan. Semua sudah sempurna, sebagaimana adanya.
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/