Setiap pagi, tukang sayur itu datang. Kali ini, ia menunggu agak lama. Tak ada yang datang membeli. Biasanya, ia sudah didatangi banyak orang untuk membeli sayur.
Dulu, saya adalah vokalis band. Sayangnya, dengan berlalunya waktu, band kami sudah pecah. Semua sudah berkeluarga, kecuali saya. Hidup memisahkan kami.
Kami adalah band rock. Salah satu lagu yang sering kami bawakan adalah lagu-lagunya Ari Lasso, terutama yang berjudul “Arti Cinta”. Belakangan, lagu tersebut sering terngiang di kepala saya. Nostalgi pun mengunjungi hati. Lanjutkan membaca Arti Cinta yang Sesungguhnya…
Mungkinkah manusia mencintai dengan sempurna? Pengalaman seringkali berbicara berbeda. Orang mencintai dengan ego dan kelekatan. Orang mencintai dengan kepentingan diri tersembunyi.
Lebih dari 13 tahun, saya mengajar filsafat di berbagai perguruan tinggi. Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu secara kritis, sampai ke akarnya. Tema seks pun kerap kali muncul, terutama dalam kuliah terkait manusia. Lucunya, setiap kali berbicara soal seks, banyak mahasiswa malu tersipu-sipu, atau merasa cemas.
Mengapa? Karena di masyarakat kita, seks adalah barang tabu untuk dibicarakan. Hampir semua agama berbicara soal melarang atau membatasi seks. Hukumannya pun kejam, yakni api neraka bagi yang melanggar. Karena mutu pendidikan kita yang rendah, sehingga pikiran kritis dan rasional itu dianggap berbahaya, maka orang pun patuh buta pada ajaran terbelakang semacam itu. Lanjutkan membaca Seks dan Zen
Jika kamu mencintai aku, jangan ciptakan “aku”. Begitulah kata Ajahn Amaro, seorang Bikkhu Buddhis, ketika diminta berbicara soal cinta. Saya langsung menampilkan kutipan itu di beberapa media sosial pribadi. Beberapa teman langsung bertanya, apa artinya? Saya tergelitik untuk memberikan jawaban.
Ini adalah soal cinta. Tema abadi dalam hidup manusia yang menjadi inspirasi untuk sejuta lagu, film, buku maupun puisi. Siapa yang tak suka, ketika cinta datang berkunjung? Hati berbunga, dan hari terasa seperti bernyanyi, tanpa ujung. Lanjutkan membaca Jika Kamu Mencintai Aku, Jangan Ciptakan “Aku”
Ah, jatuh cinta memang berjuta rasanya. Tanya saja kepada mereka yang pernah, atau sedang, jatuh cinta. Setiap detik, hanya si dia yang muncul di kepala. Rasa rindu terus menusuk di dada, sampai waktunya tiba untuk berjumpa dengan si dia.
Di Jakarta, cinta datang tanpa diduga. Ia menyelinap masuk, ketika hati ditikam kesepian yang membara. Pasangan berganti begitu cepat, bagaikan cuaca yang tak pernah bisa tertebak. Ketika peluang untuk mendapatkan cinta menjadi begitu besar, ironisnya, kemungkinan untuk terlepas dari cinta pun juga meningkat. Lanjutkan membaca Selalu Jatuh Cinta
Mempunyai hubungan dengan orang lain adalah dorongan alami setiap manusia. Bagaimana pun, kita adalah mahluk sosial. Kita butuh orang lain tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga kebutuhan batin kita akan afeksi. Kerinduan untuk merasa dekat dengan orang lain merupakan salah satu dorongan paling alami sekaligus paling kuat di dalam diri manusia.
Pernikahan merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Di dalam sejarah, pernikahan dilihat sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan keadaan ekonomi sebuah keluarga. Pernikahan juga bisa dilihat sebagai upaya untuk naik status di mata masyarakat, terutama pernikahan dengan keluarga bangsawan atau kaya raya. Pola pikir semacam ini masih banyak tersebar di masyarakat kita. Lanjutkan membaca Membina Hubungan di Era Sosial Media
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Grup band Dream Theater terkenal dengan salah satu lagunya yang berjudul Spirit Carries On. Kalimat-kalimat pertama di dalam lagu itu amatlah menyentuh. Bunyinya begini: darimana kita berasal? Mengapa kita ada disini? Kemana kita pergi, setelah kita mati?
Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang dimiliki setiap orang. Agama berusaha menjawabnya. Terkadang, jawaban itu tidak cukup, karena manusia berubah, dan ia membutuhkan jawaban baru atas situasi hidupnya. Pertanyaan-pertanyaan ini, menurut saya, bisa dikerucutkan ke dalam dua pertanyaan dasar, yakni apa yang kita cari dalam hidup kita, dan bagaimana kita berusaha mendapatkannya?
Di dalam bukunya yang berjudul Symposion, atau perjamuan, Plato berusaha menjawab pertanyaan ini secara tidak langsung. Ia berbicara soal Eros, dewa cinta di dalam tradisi Yunani Kuno.1 Buku ini terdiri dari sekitar 80 halaman, dan terdiri dari dialog-dialog indah dan terkesan ironis. Latar belakang dari isi buku ini adalah pesta dari Agathon, seorang penyair, yang berhasil memenangkan perlombaan. Lanjutkan membaca Apa yang Kita Cari dalam Hidup?
Suatu Upaya Penafsiran Pemikiran Slavoj Žižek Tentang Cinta
Oleh Reza A.A Wattimena
Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya
Apa yang anda lakukan, ketika anda berbeda pendapat dengan sahabat anda? Apa yang anda lakukan, ketika anda berkonflik tajam dengan kolega anda? Apa yang anda lakukan, ketika anda memiliki visi hidup dan keinginan yang berbeda ekstrem dengan kekasih anda? Biasanya orang akan mengambil satu pilihan, yakni pergi; cari pacar lagi, cari teman lagi, cari tempat kerja lain yang lebih cocok, atau cari kolega lain yang mengerti jalan pikiran kita.
Di dalam tulisan ini, dengan berbekal pemaparan yang amat menarik dari O’Dwyer, saya akan mencoba menjelaskan pandangan Žižek tentang cinta. Seperti biasa, pandangannya amat dipengaruhi oleh aliran filsafat sekaligus psikoanalisis yang ia dalami selama ini. Sebagai upaya pengembangan, saya juga akan mencoba menarik konsekuensi logis pandangan Žižek khusus untuk konteks pernikahan. Bagi Žižek, cinta adalah suatu untuk mencintai yang seolah “tak dapat dicintai”. Cinta lahir dari kebebasan, dan tidak pernah dapat diperintahkan, apalagi dipaksakan. Saya akan jelaskan lebih jauh.
Slavoj Žižek dikenal sebagai seorang filsuf psikoanalis ternama di dunia.[1] Ia memiliki gaya yang unik dalam menyampaikan pemikirannya. Seringkali ia tidak menolak kontradiksi (bersatunya hal-hal yang berbeda, seperti jahat sekaligus baik, hitam sekaligus putih), melainkan melihatnya sebagai suatu gerak realitas yang alamiah.
Salah satu argumennya yang paling banyak tampil di berbagai forum adalah, bahwa budaya massa sekarang ini, mulai dari film sampai dengan berbagai bentuk gaya hidup, adalah suatu bentuk mitos ataupun tipuan yang menutupi realitas ganjil yang tersembunyi di baliknya. “Dia”, demikian tulis O’Dwyer, “bukan filsuf biasa, karena ia berpikir dan menulis dengan gaya yang ceroboh sekaligus menyenangkan, ia terus membuat filsafat dengan penuh resiko menjadi menyenangkan.” (O’Dwyer, 2012)
Titik tolak Žižek adalah salah satu ajaran Kristiani tentang cinta, yakni cintailah tetanggamu. Dalam arti ini, menurut saya, kata tetangga bisa diartikan sebagai orang lain, “yang lain” dari saya. Pertanyaan berikutnya adalah, siapa itu orang lain, siapa itu “yang lain” dari saya? Untuk menjawab pertanyaan ini, Žižek mengutip pendapat Lacan, orang lain, termasuk tetanggamu, adalah the real itu sendiri. The real adalah yang tak terduga, yang memecah kita dari rutinitas keseharian. “The real”, demikian tulis O’Dwyer tentang Žižek, “adalah orang lain dengan segala kelemahan, kerapuhan, keanehan, dan kesalahan yang sifatnya traumatik.” (O’Dwyer, 2012) Lanjutkan membaca Mencintai “Yang Tak Dapat Dicintai”
Pada tulisan saya sebelumnya, saya menyatakan argumen, bahwa cinta itu harus dihidupi dengan enam komponen, yakni komponen hasrat (1), kehadiran (2), kemampuan memberi ruang untuk berkembang (3), komitmen (4), harus pakai akal budi (5), dan dijalankan dengan penuh kesadaran akan paradoks hidup (6). Yang juga menarik, keenam hal ini juga merupakan enam hal yang diperlukan oleh pemimpin yang baik. Apa kaitan antara kepemimpinan dan cinta? Kok, kelihatannya ga nyambung gitu?
Seorang pemimpin harus punya hasrat. Jelas donk, kalau tidak ada hasrat, tidak ada keinginan, tidak ada api, bagaimana ia bisa memberikan inspirasi pada orang-orang yang dipimpinnya? Bagaimana ia bisa berkomunikasi secara tegas dan jelas tentang visi pribadinya untuk organisasi? Tanpa hasrat, pemimpin adalah orang yang lemas dan membosankan. Capek deh, ya ga?
Saya punya seorang teman yang adalah pemilik pabrik besar di Jawa Timur. Kalau berbicara, suaranya keras. Matanya menatap tajam. Ide-ide yang keluar dari mulutnya juga tertata dengan baik. Tak heran, para pekerjanya amat menghormatinya. Pabrik yang dipimpinnya pun dipercaya konsumen, dan kini sukses besar. Lanjutkan membaca Cinta dan Kepemimpinan
Setiap orang pasti pernah pacaran, setidaknya sekali dalam hidupnya. Setiap suami pasti pacaran dulu dengan calon istrinya. Setelah mantap, baru mereka menikah. Kalo tidak mantap, yah putus, dan cari pacar lagi. Saya juga yakin, anda pasti pernah pacaran sebelumnya. Ya kan?
Setiap orang juga tahu, bahwa komponen terpenting dari pacaran adalah cinta. Ya, cinta! Namun, banyak orang kesulitan, ketika diminta menjelaskan, apa itu cinta? Ratusan pemikir dan ilmuwan mencoba mendefinisikan arti kata itu. Namun, tak ada yang sungguh bisa menjelaskannya. Atau, jangan-jangan cinta itu hanya bisa dirasa, tapi tak bisa dijelaskan dengan kata-kata? Bagaimana menurut anda? Lanjutkan membaca Filsafat Cinta
Namanya Alex Sanjaya. Ia adalah saudara sepupu dari Soetikno Tanoko (Pak Tik). Kini ia tinggal di Malang bersama istrinya. Matanya bercahaya. Wajahnya tampak sehat. Kulitnya segar. Tutur katanya jelas. Alur pikirannya juga jernih.
“….untuk mencintai berarti untuk membenci musuh yang sama…”
Oleh: Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik,
Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya
Tampaknya, roda masyarakat kita digerakkan oleh kebencian. Bagaimana tidak, setiap hari di jalan raya (Jakarta), saya melihat orang bertengkar hanya karena alasan sepele. Di dalam pertengkaran itu, mereka saling mengutuk, mencerca, menyumpahi, dan bahkan bisa saling membunuh! Saya sering menyaksikan berita pembunuhan di televisi. Seorang ayah tega membunuh anaknya sendiri demi mendapatkan uang asuransi yang dipunyai anaknya. Seorang pencopet dipukuli di tempat sampai meninggal, dan tidak ada seorang pun yang mau bertanggungjawab. Bagaimana tidak?
Perang, pembunuhan, dan sikap negatif yang didasari kebencian adalah tontonan sehari-hari yang bisa kita lihat langsung, ataupun tidak langsung melalui media. Kebohongan, prasangka, ketidaktulusan tampak mewarnai relasi manusia sehari-hari. Praktek suap menyuap dan diskriminasi mewarnai dunia hukum kita. Praktek monopoli dan kerakusan mewarnai dunia ekonomi kita. Praktek kekerasan pun mewabah di dalam dunia pendidikan kita, seperti baru-baru ini tampak dalam kasus pembunuhan di IPDN.
Di sisi lain, kalau kita mau jeli sedikit, tindak pengorbanan dan cinta sebenarnya kerap terjadi di sekitar kita. Pengorbanan seorang ibu yang harus bangun pagi2 mempersiapkan semuanya untuk anak-anak dan suaminya. Pengorbanan seorang suami yang harus banting tulang bekerja secara tulus untuk menghidupi keluarganya. Masih banyak hal positif lainnya yang sebenarnya mewarnai relasi antar manusia. Dan itu tidak bisa diabaikan begitu saja.
Memang, relasi antar manusia adalah sesuatu yang rumit untuk direfleksikan. Beragam variabel bisa dijejer, dan refleksi juga bisa dilakukan dari berbagai sudut pandang. Kerumitan hakekat relasi antar manusia adalah suatu undangan bagi kita untuk merefleksikan lebih jauh apa sebenarnya yang mendasari relasi antar manusia. Apakah kebencian, seperti yang dengan mudah kita saksikan, atau cinta yang sebenarnya juga terselip di tengah aktivitas kehidupan kita yang serba rutin dan monoton? Ataukah keduanya? Di dalam tulisan ini, dengan melakukan refleksi fenomenologi eksistensial, saya akan berargumen bahwa hakekat dari relasi antar manusia adalah sekaligus kebencian dan cinta.
Kebencian dan cinta ini bukanlah dalam arti emosionil, tetapi dalam arti fenomenologis. Artinya, kebencian dan cinta dilihat pada dirinya sendiri, dan bukan pada gejolak emosi maupun perasaan yang datang dan pergi. Kebencian dan cinta dipandang sebagai dorongan primordial yang menggerakan manusia untuk berelasi dengan manusia lainnya. Dorongan primordial ini adalah suatu dorongan metafisis yang menggerakan relasi antar manusia sekaligus menggerakkan peradaban itu sendiri. Untuk menjabarkan argumen itu, saya akan menjabarkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pendekatan fenomenologi eksistensial (1). Lalu, saya akan memaparkan hakekat kebencian dari sudut pandang fenomenologi eksistensial, terutama dari konsep tatapan yang dirumuskan oleh Sartre (2). Setelah itu, saya akan menjabarkan hakekat dari cinta sebagai modus mendasar relasi manusia (3). Tulisan ini akan ditutup dengan sebuah kesimpulan (4).