Kajian Strategis atas Konflik Sumber Daya di Timur Tengah
Oleh Reza A.A Wattimena
Abstrak
Tulisan ini merupakan upaya untuk mengurai konflik di Timur Tengah. Yang menjadi sorotan adalah konsep kutukan sumber daya. Akibat kekayaan alam yang melimpah, namun tidak dibarengi tata kelola sosial politik yang memadai, konflik berkepanjangan justru tercipta. Ini ditambah dengan konflik identitas agama yang banyak terjadi di Timur Tengah. Benang kusut konflik bisa diurai dengan menggunakan pendekatan multidimensional, mulai dari pengembangan tafsiran rasional atas agama, sampai dengan kerja sama teknologi pengelolaan air di tingkat internasional. Lanjutkan membaca Jurnal Terbaru: Kapankah Perdamaian Muncul di Tanah Para Nabi?
Bodohnya saya. Jam 2 pagi terjebak di jalan raya Jakarta. Jalanan kosong. Bensin motor habis. Saya boncengan bersama seorang teman. Motor mogok.
Ini terjadi untuk kedua kalinya. Di kedua kesempatan tersebut, saya meminjam motor teman. Keduanya tak ada sensor bensin. Akibatnya, bensin menipis, tanpa sepengetahuan saya. Lanjutkan membaca Mahluk Apakah Kita Sesungguhnya?
PUBLISHED IN ARY SUTA CENTER SERIES ON STRATEGIC MANAGEMENT JANUARY 2020 VOLUME 48
Abstrak
Tulisan ini merupakan analisis terhadap kaitan antara keberadaan sumber daya alam, konflik dan perdamaian. Di satu sisi, sumber daya alam adalah berkah alam untuk manusia, supaya ia bisa mempertahankan keberadaannya, dan mengembangkan kebudayaannya. Sumber daya alam yang diolah dengan baik bisa membantu terciptanya kemakmuran dan perdamaian yang lestari di suatu masyarakat. Di sisi lain, terutama sejak akhir abad 20, sumber daya alam justru menjadi sumber konflik bersenjata yang melahirkan korban jiwa maupun harta benda yang besar di berbagai belahan dunia. Beberapa unsur yang memicu konflik, sekaligus mendorong perdamaian, terkait dengan sumber daya alam yang ada, akan dibahas di dalam tulisan ini. Tulisan ini mengacu pada penelitian yang dibuat oleh Michael Beevers, sekaligus penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh penulis.
Diterbitkan di ARY SUTA CENTER SERIES ON STRATEGIC MANAGEMENT OKTOBER 2019 VOLUME 47
Oleh Reza A.A Wattimena
Malaikat kematian atau ratu perdamaian? Dua kata ini memang terhubung dengan agama di abad 21 ini. Di satu sisi, ajaran agama dianggap sebagai sumber diskriminasi dan kekerasan. Begitu banyak terorisme dan kekerasan yang berpijak pada ajaran agama terjadi dewasa ini. Indonesia pun sudah kenyang dengan pengalaman semacam ini.
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang
Pepatah hukum klasik mengatakan, Pacta sunt servanda: Perjanjian dimaksudkan untuk dijalankan. Ketika kita menyetujui sesuatu, kita terikat untuk menjalankannya.
Awal 2017 ini, Donald Trump, presiden Amerika Serikat, menolak mematuhi perjanjian dengan Australia. Ia tidak mau menerima pengungsi yang terdampar di salah satu pulau dekat Australia, sebagai bagian dari perjanjian AS dengan Australia, sewaktu Obama masih menjadi presiden.
Trump melanggar janji. Tindakannya membuat hubungan AS dan Australia retak.
Di tingkat nasional, pelanggaran janji juga merupakan sesuatu yang biasa terjadi. Para politisi mengabaikan janjinya kepada rakyat, ketika mereka sudah terpilih menduduki jabatan tertentu. Lanjutkan membaca Janji-janji Palsu
Memasuki tahun baru, saya teringat salah satu cita-cita tertua dan terluhur manusia, yakni perdamaian dunia. Hidup di kota yang diancam bom pada saat malam pergantian tahun membuat saya kembali merenungkan hal tersebut. Mungkinkah ia terwujud? Apa harga yang harus dibayar untuk mencapainya?
Pertanyaan tersebut menjadi bahan renungan sekaligus penelitian para filsuf politik sepanjang sejarah. Mereka mencoba memahami akar masalah, dan mengajukan jalan keluar. Kita pun tergerak untuk merumuskan pandangan kita sendiri tentang perdamaian dunia, serta cara-cara untuk mencapainya. Ini tentu tak selalu mudah, namun niat untuk melakukannya sudah terhitung sebagai sebuah tindakan luhur. Lanjutkan membaca Paradoks Perdamaian
Semua konflik di dunia ini terjadi, karena orang mengira, bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan. Mereka mengira, bahwa ini adalah jalan keluar satu-satunya. Jika kekerasan tak dibalas dengan kekerasan, ada perasaan tidak puas di dalam diri. Bahkan, pola semacam ini sudah menjadi begitu otomatis, sehingga orang tidak lagi menyadarinya.
Bom harus dibalas dengan bom. Pukulan harus dibalas dengan pukulan. Mata ganti mata. Gigi ganti gigi. Nyawa ganti nyawa. Lanjutkan membaca Mendidik Dendam
Dasar utama dari demokrasi adalah pemahaman dasar, bahwa manusia adalah mahluk politis. Artinya, manusia adalah mahluk yang secara alamiah terdorong untuk membentuk suatu komunitas hidup bersama, yakni komunitas politis. Ini penting untuk menjamin keberadaan manusia itu sendiri, sekaligus untuk mengembangkan kebudayaannya. Ini semua tidak akan mungkin terwujud, jika manusia hidup terputus dari manusia-manusia lainnya.
Demokrasi juga memiliki kaitan erat dengan perdamaian. Di satu sisi, untuk mewujudkan masyarakat demokratis yang menciptakan keadilan dan kemakmuran, kita membutuhkan perdamaian. Di sisi lain, perdamaian yang sesungguhnya hanya mungkin, jika masyarakat menerapkan tata politik demokratis secara konsisten. Oleh karena itu, tata politik demokratis dan perdamaian harus dilakukan secara berbarengan. Keduanya adalah sekaligus alat dan tujuan untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali. Lanjutkan membaca Demokrasi, Sebuah Refleksi
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman
Perang mencabik Syria. Ratusan ribu orang mati, karena letupan bom. Jutaan peluru beterbangan menerkam jiwa manusia. Sisak tangis sanak saudara mewarnai hari-hari keluarga yang ditinggalkan.
Media internasional meliput berita yang seringkali berat sebelah. Negara-negara kuat di dunia saling berwacana, apa yang akan terjadi dengan Syria, dan apa yang akan mereka lakukan dengan negara yang sedang tercabik perang tersebut. Sampai sekarang, belum muncul sosok-sosok manusia perdamaian, yakni manusia yang siap menjembatani konflik, dan mengakhiri kekerasan. Padahal, itulah yang kita butuhkan sekarang ini, tidak hanya di Suriah, tetapi juga di seluruh dunia.
Konflik
Konflik dan perang memang tak bisa dipisahkan dari hidup manusia. Seluruh tata dunia sekarang ini juga lahir dari perang dan konflik berdarah antar manusia. Karena perang, negara lahir. Karena perang, perjanjian dibuat, dan tata dunia pun terbentuk.
Pada level yang lebih kecil, hubungan antar manusia pun juga selalu diwarnai pertengkaran. Sahabat yang dekat juga seringkali terbentuk, karena mereka pernah bertengkar sebelumnya. Sepasang kekasih menjadi kekasih, karena mereka juga ditempa oleh konflik dan pertengkaran. Perang dan konflik memang merusak, tetapi juga mampu mencipta. Lanjutkan membaca Manusia Perdamaian
Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Saya perlu menjelaskan sesuatu. Saya beragama Katolik Roma, dan seorang peminat filsafat politik.
Saya mendalami pemikiran-pemikiran filsafat politik yang berkembang di dalam sejarah manusia. Sampai saat ini saya berusaha mencari titik hubung antara keimanan saya dan pemikiran saya. Jalan yang sulit dan panjang.
Namun semuanya itu terjawab, setelah saya mencoba mendalami Ajaran Sosial Gereja Katolik Roma (selanjutnya saya singkat menjadi ASG). Apa yang geluti dan dalami di dalam filsafat politik tercakup dengan amat indah di dalam ASG. Lanjutkan membaca Agama dan Filsafat di Dunia yang Terus Berubah