Dua Sayap Pendidikan

faiiint.com
faiiint.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Di berbagai negara, kita menemukan banyak pejabat politik yang terjebak korupsi. Mereka memiliki gelar pendidikan tinggi. Mereka juga memiliki nama baik di lingkungan sosialnya. Namun, latar belakang pendidikan tinggi, pengetahuan agama, serta nama baik sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencuri dan merugikan orang lain.

Kecenderungan yang sama juga sering kita temukan di kalangan pemuka agama. Mereka adalah orang-orang yang dianggap bijak, karena memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Namun, kerap kali, mereka juga jatuh ke dalam sikap bejat yang sama. Korupsi, pemerkosaan, penipuan, serta beragam pelanggaran lainnya juga kerap mereka lakukan, karena kerakusan dan kekosongan batin yang mereka alami.

Kita juga sering mendengar berita tentang perilaku bejat para manajer dan direktur perusahaan-perusahaan besar. Mereka menggunakan segala cara, guna meraih keuntungan ekonomis. Mereka juga tak segan untuk merugikan orang lain, guna mencapai tujuan itu. Kekayaan dan kecerdasan justru bisa digunakan untuk tujuan-tujuan yang merusak.

Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa pengetahuan yang luas tidak menjamin orang bebas dari korupsi? Mengapa pengetahuan agama yang mendalam tidak mendorong orang menjadi lebih baik, melainkan justru menjadi lebih bejat dengan menggunakan pembenaran-pembenaran palsu dari pengetahuan agama yang dimilikinya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mesti kita jawab bersama.

Akar dari gejala ini adalah cacat di dalam paradigma pendidikan kita di Indonesia. Pendidikan kita tak punya sayap. Di dalam tradisi Filsafat Timur, pendidikan selalu dilihat sebagai kerja sama dari dua aspek yang tak terpisahkan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Ketika dua sayap ini ada, barulah pendidikan bisa mendorong orang tidak hanya untuk cerdas, tetapi juga terbang menuju kebijaksanaan.

Pengetahuan bisa diperoleh, ketika kita mendengar ajaran dari orang lain. Kita juga bisa memperoleh pengetahuan dari membaca buku. Dengan pengetahuan yang ada, kita bisa meningkatkan mutu hidup kita, sekaligus membantu orang lain. Namun, pengetahuan semata tidaklah cukup, karena kita masih menciptakan jarak antara diri kita dengan kenyataan melalui konsep-konsep yang kita rumuskan.

Yang lebih penting adalah pengalaman. Pengalaman disini adalah persentuhan langsung dengan kenyataan apa adanya, tanpa terlebih dahulu dihalangi oleh konsep. Pola semacam ini dapat diperoleh, jika orang melakukan refleksi, yakni melihat jauh ke dalam dirinya sendiri, guna memahami jati diri sejatinya sebagai manusia. Inilah kiranya yang kurang di dalam paradigma pendidikan di Indonesia.

Pemahaman akan jati diri sejati berarti orang bergerak melampaui segala bentuk pemahaman yang terkait dengan identitas sosial. Kita bukanlah identitas sosial kita. Itu hanya satu bagian kecil dari kemanusiaan kita. Pemahaman akan jati diri sejati, ditambah dengan pengetahuan yang luas, akan mendorong orang masuk ke dalam kebijaksanaan.

Ketika pendidikan tidak bersayap, ia justru akan menghasilkan manusia-manusia bodoh. Ketika pendidikan hanya memiliki satu sayap, ia akan rapuh dan akan menghasilkan manusia-manusia yang cacat. Ketika pendidikan hanya berfokus pada pengetahuan, ia akan menghasilkan manusia-manusia cerdas yang siap menipu dan korupsi, ketika ada kesempatan. Ketika pendidikan hanya berfokus pada pengalaman, ia akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak terampil, dan tidak memiliki arah.

Kita tidak perlu lagi orang pintar. Sudah banyak orang pintar di muka bumi ini. Yang kita butuhkan adalah orang yang hidup dalam dua sayap pendidikan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Buat apa gelar tinggi dan pengetahuan agama yang luas, jika itu hanya digunakan untuk membenarkan perilaku bejat di dalam kehidupan? Buat apa gelar tinggi dan tampilan memikat, namun hatinya kosong dan menderita, sehingga menciptakan penderitaan tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain?

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

7 tanggapan untuk “Dua Sayap Pendidikan”

  1. pendidikan, orientasinya bukan lagi pengetahuan dan pengalaman, tapi angka- angka. Murid dituntut memahami semua materi di buku, sementara guru sibuk mengurus sertifiasi dan mendatangi berbagai pelatihan. kalau murid gagal , guru manipulasi nilainya. Siswa harus lulus, lulus dengan nilai bagus. Kecurangan dimana- mana. dilegalkan pula oleh pendidiknya, padahal baru sekolah dasar. :/ miris.

    Suka

  2. Ya dari kebijakan pemerintahannya. Masa iya, kurikulum sekolah berbeda (ktsp dan k13) tapi UN nya sama. Itupun metodenya berbeda2 masing2 sekolah, cbt dan pbt. Kan ya lucu. Harusny kalau mau dibuat aturan skala nasional, ya dipastikan siap di semua daerah, bukannya dipaksakan separo2 yang ujungnya nyusahin murid sekaligus gurunya.
    Sy lihat un dr tahun ke tahun, sudah pelaksanaannya dipersulit tapi hasilnya tetap bukan nilai yang objektif, kecurangan ada dimana2. Lah daripada diselesaikan dg penambahan tipe soal (sampai pernah 20 tipe, sekelas) untuk menghindari hal itu… ya dicarilah sebabnya murid melakukan kecurangan dan itu yang diatasi.
    *Hehehe.. sy emosi kalau bahas mslh un ini. :1

    Suka

  3. menurut saya yang jadi masalah besar ya k13 dan un yang berpaket2 itu. jadi sebelumnya masalah sudah menumpuk. mungkin bapak AB membawa pebedaan, tapi kurang signifikan. ini pendapat saya sbg orang awam pak. saya kurang tau kondisi di sekolah pak, karena bukan guru sekolah. 😦

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.