Dulu, saya terkesan dengan Steve Jobs, pendiri dan CEO Apple. Saya membaca banyak biografinya. Saya juga banyak menonton videonya. Steve Jobs hanya punya satu tujuan, yakni mengubah dunia.
Dulu, pandangannya sangat menginspirasi saya. Saya pun ingin mengubah dunia, seperti Steve Jobs. Yang tercipta kemudian ambisi yang keras. Saya ingin memaksakan ide saya kepada dunia. Lanjutkan membaca (Jangan) Belajar dari Steve Jobs
Ingatan Kolektif dibalik Konflik Rusia dan Ukraina 2022
Teori Ingatan Sosial Christopher Wickham dan James Fentress dalam Konteks Perang Rusia-Ukraina 2022
Oleh Reza A.A Wattimena
Diterbitkan di The Ary Suta Center Series on Strategic Management April 2022 Vol 57
Abstrak
Tulisan ini bertujuan memahami akar konflik Rusia dan Ukraina dari sudut pandang teori ingatan kolektif, sebagaimana dirumuskan oleh Christopher Wickham dan James Fentress. Awalnya akan dijabarkan terlebih dahulu secara singkat konflik Rusia dan Ukraina pada akhir Februari 2022 lalu. Lalu akan dijabarkan teori ingatan kolektif dengan berpijak pada pemikiran Wickham dan Fentress. Beberapa refleksi akan diberikan dengan mengacu pada keputusan-keputusan yang dibuat Putin di dalam memimpin Rusia. Putin menggunakan ingatan kolektif Rusia sebagai pembenaran untuk menyerang Ukraina. Ingatan kolektif yang ia pegang bersifat mutlak, yakni tentang kejayaan Uni Soviet, perluasan NATO dan penindasan terhadap warga Rusia di Ukraina. Ingatan kolektif tersebut haruslah dibaca ulang dengan kerangka yang lebih kritis, sehingga perang bisa dihentikan, dan perdamaian bisa mulai dibangun.
Kata-kata Kunci: Ingatan, Ingatan Kolektif, Rusia, Ukraina, Perangnya Putin
Dunia terbelah oleh dua keutamaan sekarang ini. Di satu sisi, keutamaan petarung lahir dan berkembang. Di sisi lain, keutamaan penyatu juga tersebar di berbagai tempat. Di dalam kolomnya di New York Times, David Brooks menyebut kedua keutamaan ini sebagai keutamaan Athena (petarung) dan keutamaan Jerusalem (penyatu). (Brooks, 2018)
Keutamaan petarung adalah keutamaan kekuatan dan kekuasaan. Keberanian menjadi unsur utama di dalam keutamaan ini. Keberanian juga harus dibalut dengan kekuatan maupun kekuasaan yang besar. Tujuan utamanya adalah untuk mengalahkan musuh-musuh yang dianggap menganggu. Lanjutkan membaca Antara Petarung dan Penyatu
Apa yang membuat manusia menjadi mahluk “terkuat” di bumi sekarang ini? Secara otot, ia jauh lebih lemah daripada singa, serigala bahkan anjing. Fisik manusia lemah, jika dibandingkan banyak mahluk hidup lainnya. Setiap manusia memerlukan waktu hampir 20 tahun, supaya ia bisa bertahan hidup secara mandiri sebagai manusia dewasa.
Yang membuat manusia menjadi mahluk unggul di bumi adalah kemampuannya untuk bekerja sama dengan manusia lainnya. Pendek kata, manusia mampu berorganisasi. Dengan kemampuan ini, manusia menciptakan berbagai alat yang membantu pelestarian diri sekaligus perkembangan dirinya. Kerja sama di dalam sebuah organisasi mampu mendorong manusia melakukan hal-hal yang tak mungkin dilakukan, jika ia bekerja sendiri. Lanjutkan membaca Penjilat, Pengecut dan Pejuang
Kita memang hidup di dunia yang menarik. Banyak hal justru semakin diminati, karena ia kehilangan isi utamanya. Misalnya; bir tanpa alkohol, kopi tanpa kafein, sekolah tanpa pendidikan, hubungan percintaan tanpa komitmen, dan, yang paling menarik, pemimpin tanpa kepemimpinan. Semuanya adalah kerangka tanpa isi, namun justru menjadi gejala umum yang banyak terjadi di masyarakat kita. Tentu saja, dampaknya juga beragam.
Pemimpin adalah jabatan formal. Biasanya, orang menyebutnya sebagai manajer, bos atau direktur. Kepemimpinan adalah isi utama dari seorang pemimpin, termasuk nilai-nilai yang ia miliki di dalam membuat keputusan. Pemimpin tanpa kepemimpinan sama seperti sekolah tanpa pendidikan, itu tak berguna, dan justru menghambat perkembangan. Lanjutkan membaca Pemimpin Tanpa Kepemimpinan
Caucasian mid adult professional business woman holding up blank dry erase board in front of her face.
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang, dan Peneliti di President Center for International Studies (PRECIS)
Air adalah unsur terkuat di bumi. Ia mampu memadamkan apapun. Dalam jumlah yang cukup, panas bumi pun bisa dipadamkannya. Ia bersifat lembut, lentur namun amat perkasa.
Ini sejalan dengan kebijaksanaan Timur kuno. Kekuatan tertinggi tidak datang dari sikap garang, atau marah, melainkan dari kelembutan, seperti air. Sikap lembut berarti menerima apapun yang terjadi, tanpa memilih. Dari keterbukaan total semacam itu, lahirlah rasa welas asih dan kebijaksanaan. Lanjutkan membaca Belajarlah Kepemimpinan dari… Air
Kaitan antara Politik, Organisasi, Ilmu Pengetahuan dan Kebijaksanaan Hidup
Oleh Reza A.A Wattimena
Penulis dan Peneliti di bidang Filsafat Sosial-Politik, Pengembangan Organisasi dan Kepemimpinan, Filsafat Ilmu Pengetahuan serta Filsafat Timur, Doktor Filsafat dari Universitas Filsafat Muenchen, Jerman
Empat tema ini (Politik, Organisasi, Ilmu Pengetahuan dan Kebijaksanaan Hidup) merupakan tema-tema hidup saya. Selama 14 tahun ini (2002-2016), saya melakukan penelitian, berdiskusi, refleksi dan menulis untuk memahami keempat tema ini, serta keterkaitannya satu sama lain. Penelitian ilmiah yang saya lakukan juga dibarengi dengan pengalaman bekerja sekaligus memimpin di beberapa organisasi. Secuil refleksi ini kiranya bisa memberikan sedikit penjelasan.
Keempat tema ini, yakni politik, organisasi, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, adalah tema universal di dalam hidup manusia. Semua unsur kehidupan memilikinya, mulai dari hubungan dengan kekasih sampai dengan hubungan antar negara ataupun organisasi internasional. Dengan kata lain, tidak ada satupun dimensi kehidupan manusia yang luput dari politik, organisasi, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Maka, pemahaman atasnya mutlak diperlukan. Lanjutkan membaca Sintesis
Musim gempita membandingkan dua calon presiden/wakil-presiden hampir usai. Negeri ini akan segera memasuki pucuk waktu. Kita hendak berdiri beberapa menit di bilik pemungutan suara untuk menerobos momen genting yang akan memberi nama hari esok Indonesia.
Apa yang berubah sesudah kedua kubu menjajakan rumusan visi dan misi, program, dan mematut-matut diri dalam debat di televisi? Tidak banyak, kecuali emosi politik yang terbelah ke dalam pertarungan abadi antara “memilih dari keputusasaan” dan “memilih bagi harapan”. Setelah berbagai timbangan nalar dikerahkan, yang tersisa adalah tindakan memilih yang digerakkan dua daya itu. Mungkin kita bahkan tidak menyadarinya.
Namun dengan itu dua kubu juga kian membatu. Masih tersisa beberapa hari bagi kita untuk menimbang pilihan dengan akal-sehat. Barangkali tiga pokok berikut dapat dipakai menambah aneka kriteria yang telah banyak diajukan. Lanjutkan membaca Paradoks Kepemimpinan dan Pemilu Kita di 2014
Dosen Filsafat Politik Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman
Di dalam bahasa Jerman, kepemimpinan diterjemahkan sebagai Führungspersönlichkeit. Secara harafiah, arti kata ini adalah kepribadian yang memimpin. Bisa ditafsirkan, bahwa kepemimpinan bukan hanya teknik atau tips, tetapi sebuah bentuk kepribadian. Di dalam tulisan ini, saya mengajukan satu argumen, bahwa kepemimpinan perlu untuk menjadi revolusioner. Apa arti revolusioner?
Revolusioner berakar pada kata Latin, revolutio, yang berarti berputar balik. Kata ini lalu berkembang artinya menjadi perubahan politik dalam waktu singkat dan drastis. Tujuannya membangun tata kelola politik dan ekonomi yang baru. Di dalam tulisan ini, saya ingin menafsirkan ulang makna revolusi secara baru, yakni sebagai suatu gaya kepemimpinan. Saya menyebutnya kepemimpinan revolusioner.
Ide tentang kepemimpinan revolusioner sudah selalu tertanam di dalam sejarah filsafat Barat yang usianya sudah lebih dari 2300 tahun. Di dalam tulisan ini, saya ingin mengangkat ide-ide tersebut dalam kerangka teori tentang kepemimpinan revolusioner. Lalu, saya akan coba mengaitkan ide tersebut dengan situasi di Indonesia sekarang ini. Ide tentang kepemimpinan revolusioner bisa membantu kita untuk memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, terutama setelah Pemilu 2014 nanti. Lanjutkan membaca Kepemimpinan Revolusioner
Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman
Kita sering mendengar, bagaimana Gubernur Jakarta sekarang, Joko Widodo, sering berkunjung ke masyarakat untuk memahami masalah-masalah masyarakat. Media memberi nama untuk gaya memimpin semacam ini, yakni “blusukan”. Hampir setiap hari, ia berkeliling kota, mengunjungi berbagai tempat, dan berbicara dengan warganya. Dari tatap muka langsung ini, ia bisa mendapatkan gambaran nyata tentang akar masalah sosial masyarakatnya, lalu mulai membuat langkah nyata untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
“Blusukan” dan Demokrasi
Gaya semacam ini tentu memiliki kelebihannya sendiri. Setiap kebijakan politik yang bermutu lahir dari data-data yang akurat. Namun, data-data yang diberikan kepada para pemimpin politik seringkali tidak akurat, sehingga kebijakan yang dibuat pun akhirnya tidak menyelesaikan masalah yang ada, justru memperbesarnya. Jarak antara data, yang biasanya berupa statistik, dengan kenyataan di lapangan inilah yang bisa diperkecil dengan gaya politik blusukan.
Apa yang ditangkap statistik seringkali berbeda, dan bahkan bertentangan, dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat luas. Inilah salah satu masalah politik di Indonesia, dan juga di berbagai belahan dunia lainnya, yang seringkali diabaikan, karena kemalasan berpikir kritis. Dapat juga dikatakan, politik “blusukan” ini adalah politik kritis yang menolak untuk tunduk patuh pada data statistik ciptaan para birokrat, dan berusaha sendiri mencari apa yang nyata terjadi. Lanjutkan membaca Kepemimpinan “Blusukan”
Buku ini lahir dari pemikiran saya terkait dengan tema kepemimpinan secara luas. Tulisan-tulisan di buku ini sebelumnya telah dipublikasikan di berbagai media massa, seperti koran, website, dan majalah dalam jangka waktu 2011-2012. Saya menggunakan kerangka berpikir lintas ilmu, mulai dari sosiologi, pendidikan, psikologi, antropologi, bisnis, dan terutama filsafat untuk merefleksikan berbagai tema terkait dengan kepemimpinan. Sejauh saya pahami, ini adalah buku pertama yang secara spesifik memikirkan tema kepemimpinan dengan menggunakan kerangka berpikir lintas ilmu.
Maka kehadiran buku ini amatlah sesuai dengan kebutuhan bangsa kita, maupun masyarakat internasional. Buku ini juga saya tujukan bagi para calon pemimpin di masa depan, dan kepada semua orang yang prihatin dengan krisis kepemimpinan yang terjadi di negara kita. Harapan saya sederhana, supaya muncul para pemimpin yang visioner dan bermutu di berbagai organisasi, mulai dari organisasi tingkat lokal, nasional, sampai internasional. Buku ini ingin mengabdi pada tujuan itu. Saya menulis buku ini dengan gaya personal dan populer. Anda akan menemukan banyak cerita pribadi dengan gaya bahasa yang populer, sekaligus dibalut dengan refleksi ilmiah dan filosofis.
Kita hidup dalam dunia yang telah disempitkan. Hal-hal yang kaya dan rumit disempitkan menjadi hal-hal sederhana yang justru membunuh arti pentingnya. Gejala ini dapat dilihat di semua bidang kehidupan, mulai dari pendidikan, politik, sampai dengan seni. Penyempitan dunia kehidupan ini perlu untuk kita refleksikan, lalu kita kurangi sisi merusaknya.
Politik
Dunia politik disempitkan menjadi pengejaran kekuasaan. Aliansi antar partai politik dibangun bukan untuk meningkatkan kinerja politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, melainkan untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Negosiasi dibangun bukan untuk menciptakan kebijakan yang efektif dan efisien untuk menunjang kinerja mesin politik, melainkan untuk membuat proyek-proyek baru yang penuh dengan lubang untuk dikorupsi.
Dunia politik juga disempitkan menjadi kesempatan untuk menumpuk uang. Orang berlomba-lomba menjadi anggota DPR dan DPRD bukan untuk melaksanakan pengabdian, melainkan untuk mencari celah, guna mengembangkan modal keuangan mereka. Ketika menjabat sebagai kepala daerah, orang berlomba-lomba untuk mendapatkan proyek dan tender, guna mendapatkan uang lebih banyak lagi, setidaknya untuk menutupi ongkos kampanye politik sebelumnya.
Padahal sejatinya, politik adalah soal pengabdian pada kepentingan rakyat untuk mewujudkan terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali. Ketika ini disempitkan semata menjadi pengejaran kekuasaan dan kesempatan untuk menumpuk uang, masalah besar muncul. Politik adalah soal tata kelola masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip yang bisa dipertanggungjawabkan bersama. Ketika politik tidak berjalan, tata kelola masyarakat pun tidak berjalan, dan semua urusan akan berantakan. Lanjutkan membaca Indonesia dan Kesempitan Berpikir Kita
Sekarang ini di Indonesia, segala sesuatu harus dikelola secara demokratis. Artinya segala sesuatu sungguh harus dibicarakan bersama, lalu keluar keputusan dari proses pembicaraan tersebut. Keputusan tersebut akan mengikat semua pihak yang sebelumnya bersama-sama berdiskui untuk membuatnya. Inilah mekanisme standar demokrasi yang kini menjadi paradigma dunia.
Kegagalan menciptakan tata kelola demokratis akan menciptakan ketidakpatuhan sah (legitimate disobedience). Artinya ketidakpatuhan pada suatu keputusan ataupun kebijakan, atas dasar rasionalitas yang bisa diterima dengan akal sehat. Ketidakpatuhan muncul, karena orang tidak diajak ambil bagian dalam keputusan yang telah dibuat.
Sekarang ini Jakarta sebagai ibu kota Indonesia sedang mencari pemimpin yang baru. Jelas pemimpin yang baru ini harus terbiasa dengan tata kelola demokratis, sebagaimana saya jabarkan sebelumnya. Ia harus mampu mengajak berbagai pihak di Jakarta untuk bekerja sama menghadapi permasalahan-permasalah kota yang memang amat rumit. Jakarta yang baru, yang lebih baik, harus dikelola secara demokratis dengan melibatkan berbagai pihak yang ada di dalamnya. Lanjutkan membaca Filsafat Tata Kota
Guru yang baik adalah seorang pemimpin yang baik. Dengan kata lain, untuk menjadi pemimpin yang baik, orang perlu belajar untuk menjadi guru yang baik. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara menjadi guru yang baik? Menurut Richard Leblanc, pengajar di York University, Ontario, Kanada, ada 10 hal yang mesti diperhatikan, supaya kita bisa menjadi guru yang baik. (Leblanc, 1998) Artinya, ada 10 hal juga yang mesti ada, supaya kita bisa menjadi pemimpin yang baik. Mau tahu? Saya akan jelaskan lebih jauh.
Cinta
Leblanc berpendapat, bahwa inti dari pengajaran dan pendidikan adalah cinta. Dalam hal ini, bisa juga dikatakan, bahwa cinta, dalam soal pendidikan, itu lebih penting daripada penalaran rasional semata. Di dalam cinta, ada niat untuk mendorong orang untuk belajar, untuk membantu mereka menemukan sendiri pola belajar yang pas, untuk menemukan diri mereka sendiri. Setuju? Lanjutkan membaca Guru dan Kepemimpinan
Grüße dich. Mein Name ist Reza Alexander Antonius Wattimena. Ich wohne in Keputih, Surabaya, Indonesien. Ich komme aus Duren Sawit, Jakarta, Indonesien. Ich bin Philosophie Lehrer / Professor. Ich bin achtundzwanzig Jahre alt. Ich liebe Lesebuch, lehre, Musik hören, folgende Diskussion, und Basketball spielen. Ich möchte weiterhin dem Studium der Philosophie in Deutschland. Sie verstehen mich? Ich hoffe so (Banyak salah grammatiknya, biarin aja, masih belajar soalnya)
Sudah seminggu ini, saya belajar bahasa Jerman. Setiap hari Senin sampai Jumat, pukul 7.30 sampai jam 12.00 siang, saya berkutat dengan kata-kata asing, dan aturan-aturan bahasa yang tak pernah saya tahu sebelumnya. Memusingkan, tetapi juga menyenangkan. Apakah anda juga pernah belajar bahasa baru sebelumnya? Bagaimana perasaan anda? Lanjutkan membaca Belajar Bahasa itu sama Seperti Memimpin. Kok Bisa?
Pada tulisan saya sebelumnya, saya menyatakan argumen, bahwa cinta itu harus dihidupi dengan enam komponen, yakni komponen hasrat (1), kehadiran (2), kemampuan memberi ruang untuk berkembang (3), komitmen (4), harus pakai akal budi (5), dan dijalankan dengan penuh kesadaran akan paradoks hidup (6). Yang juga menarik, keenam hal ini juga merupakan enam hal yang diperlukan oleh pemimpin yang baik. Apa kaitan antara kepemimpinan dan cinta? Kok, kelihatannya ga nyambung gitu?
Seorang pemimpin harus punya hasrat. Jelas donk, kalau tidak ada hasrat, tidak ada keinginan, tidak ada api, bagaimana ia bisa memberikan inspirasi pada orang-orang yang dipimpinnya? Bagaimana ia bisa berkomunikasi secara tegas dan jelas tentang visi pribadinya untuk organisasi? Tanpa hasrat, pemimpin adalah orang yang lemas dan membosankan. Capek deh, ya ga?
Saya punya seorang teman yang adalah pemilik pabrik besar di Jawa Timur. Kalau berbicara, suaranya keras. Matanya menatap tajam. Ide-ide yang keluar dari mulutnya juga tertata dengan baik. Tak heran, para pekerjanya amat menghormatinya. Pabrik yang dipimpinnya pun dipercaya konsumen, dan kini sukses besar. Lanjutkan membaca Cinta dan Kepemimpinan
Lepas dari data-data bagus yang diterbitkan di koran-koran nasional, situasi ekonomi Indonesia tetap memprihatinkan. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin besar. Putaran uang hanya terfokus di kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Sementara mayoritas penduduk tidak mendapatkan akses terhadap putaran uang raksasa tersebut.
Para pengusaha kecil kesulitan bersaing dengan para pemilik modal besar. Mereka juga kesulitan bersaing dengan produk-produk asing yang membanjiri pasar Indonesia. Lulusan perguruan tinggi diminta untuk berwiraswasta di dalam situasi yang mencekik mereka. Padahal slogan pendidikan kewirausahaan seringkali hanya menjadi topeng untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah memberikan lapangan kerja yang memadai untuk rakyatnya. Lanjutkan membaca Kepemimpinan, Kebahagiaan, dan Keberlanjutan Organisasi
Dosen Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Apa peran kaum intelektual bagi perkembangan politik Indonesia? Bisakah kaum intelektual diharapkan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa masa depan? Apakah seorang pemimpin –apapun bidang kepemimpinannya- harus memiliki kualitas-kualitas seorang intelektual? Mengapa?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang, pada hemat saya, amat relevan diajukan sekarang ini. Di berbagai aspek kehidupan, bangsa kita mengalami krisis kepemimpinan. Sulit menemukan sosok yang patut menjadi teladan, mampu mengarahkan visi organisasi secara tepat, dan menjalankan fungsi kontrol serta tata kelola sehari-hari dengan baik. Dan karena krisis kepemimpinan, banyak organisasi tidak menjalankan fungsinya secara memadai. Lanjutkan membaca Kaum Intelektual dan Kepemimpinan
Dosen Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Dari kecil kita selalu diajar untuk berkompetisi. Ada beragam kompetisi mulai lomba baca, berenang, olah raga, sampai lomba menari. Di dalam berkompetisi kita pun diajarkan untuk menjadi yang terbaik di antara semua pesaing yang ada. Namun ada satu pengandaian yang sesat, yang ada di balik semua cara berpikir ini. Lanjutkan membaca Kepemimpinan, Ilusi Kompetisi, dan Paradoks Berdiam Diri
Globalisasi mengubah banyak hal secara mendasar. Di dalam konstelasi baru ini ’bangsa’ mulai kehilangan khasiatnya sebagai perekat kebinekaan.
Rezim-rezim reformasi berhenti bercerita tentang bangsa. Penguatan identitas etnis di daerah-daerah mengancam integrasi sosial. Agama pun dipakai sebagai kode pemerasan dan bisnis teror. Politik suap bersanding dengan apa yang disebut demokrasi mewabah di berbagai sektor. Inovasi-inovasi kultural dan wilayah perbatasan diklaim negara tetangga. Para peneliti kita pun diincar pihak asing. Semua ini terjadi nyaris tanpa sentimen kebangsaan untuk menangkalnya segera.
Jika organisme politis menjadi begitu kompleks, para pemimpin di sana menjadi peragu dan lamban bertindak terhadap ancaman-ancaman ketahanan nasional. Hilang martabatnya, orang kita pun rentan menjadi korban trafficking atau diperdagangkan sebagai pembantu di luar negeri. Semua ini membuat kita bertanya-tanya, benarkah kita suatu bangsa? Lanjutkan membaca Pemimpin dan Solidaritas Bangsa