Mulai saat ini, semua pemesanan buku karya saya bisa diarahkan ke Rumah Filsafat – Incito Network.
No hp dan wa untuk informasi dan pembelian: 08111099213
Email: incitorumahfilsafat26@gmail.com
Instagram: @rumahfilsafatincito
Reza A.A Wattimena
Oleh Reza A.A Wattimena
Sejak kecil, saya suka sekali belajar. Saya suka menemukan hal-hal baru. Saya suka mengetahui segala hal tentang kehidupan, termasuk sejarah dan kompleksitasnya. Belajar menjadi semacam petualangan yang membahagiakan untuk hidup saya.
Secara umum, belajar berarti mengumpulkan informasi. Kita membaca atau mendengar hal-hal baru yang menambah pengetahuan di dalam diri kita. Belajar ilmu pengetahuan terjadi dengan proses ini. Sekolah formal, mulai dari SD sampai perguruan tinggi, juga terjadi melalui proses yang sama. Lanjutkan membaca Paradoks Zen
Wawancara dengan Pers Mahasiswa IDEA Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, Januari, 2018 dengan Reza A.A Wattimena. Dimuat di Terbitan IDEA Edisi 41, Mei 2018
Internet, media sosial dan alat-alat digital kini menjadi kebutuhan primer masyarakat modern. Digital bukan lagi sekedar era, tapi sudah menyatu dengan kehidupan sosial masyarakat. Saking larutnya dalam dunia internet, muncul statement usil menyebut “harta-tahta-kuota” sebagai kebutuhan dasar hidup masyarakat saat ini.
Dengan membuka smartphone atau perangkat gawai yang tersambung dengan koneksi internet, masyarakat disuguhi berbagai bentuk informasi dari mulai teks, gambar, suara, bahkan vidio.
Terkait hal tersebut, bagaimana Anda memaknai literasi di zaman sekarang?
(Reza A.A Wattimena) Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini menciptakan banjir informasi. Orang tak lagi mempunyai waktu, tenaga dan kehendak untuk mengolah informasi yang ada menjadi sebentuk pengetahuan yang berguna bagi kehidupan. Informasi justru menjauhkan orang dari pengetahuan dan kebijaksanaan. Informasi terlalu banyak, dan banyak di antaranya cenderung tak berguna, bahkan merusak. Inilah paradoks perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini. Lanjutkan membaca Internet, Sosial Media dan Gejolak Budaya: Sebuah Wawancara
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Kita hidup di abad informasi. Setiap detiknya, jutaan informasi baru timbul mengisi keseharian kita. Informasi begitu mudah didapat. Semua ini menjadi mungkin, karena perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang amat cepat.
Revolusi Industri Keempat
Kita juga hidup di jaman revolusi industri yang keempat. Sekedar informasi, revolusi industri pertama dipicu dengan penemuan mesin uap dan air untuk menggerakkan mesin produksi. Revolusi industri kedua dimulai dengan penggunaan energi listrik untuk mendorong mesin produksi. Revolusi industri ketiga didorong oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di dalam proses produksi. Lanjutkan membaca Informasi, Pengetahuan dan Kebijaksanaan di Masa Revolusi Industri Keempat
Menyoroti Pengaruh Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada Kualitas Pembelajaran Perguruan Tinggi di Indonesia (Edisi Revisi)
Reza A.A Wattimena
Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Peran Pendidikan Sains dan Teknologi sebagai Wahana Penguatan Modal Sosial di Era Global 14 Juli 2010 Institut Teknologi Surabaya, Surabaya
Abstrak
Seperti semua hal di muka bumi ini, kehadiran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di dalam dunia pendidikan mengundang pro dan kontra dari berbagai perspektif. Beberapa dampak positifnya adalah TIK dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang efektif dan efisien, TIK sebagai pemberdaya dosen dan siswa, dan TIK sebagai pengembang metode serta diseminasi hasil penelitian. Dampak positif tersebut rupanya tidak tanpa kritik. Beberapa kritik yang diajukan adalah semakin dangkalnya pemikiran dosen dan mahasiswa, akibat kemudahan akses yang mematahkan kerja keras dan ketekunan, beredarnya informasi berkualitas rendah yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas penelitian maupun produksi pengetahuan yang ada, dan kecenderungan guru dan siswa untuk menjadi konsumen informasi semata, tanpa ada keinginan ataupun kemampuan untuk mulai menjadi produsen informasi yang bermutu. Bagaimana pro dan kontra tersebut dapat disingkapi secara bijaksana? Di dalam tulisan ini, saya ingin menyoroti secara mendalam berbagai perdebatan yang ada, serta mencoba mengajukan pandangan saya sendiri, bahwa teknologi informasi dan komunikasi, maupun semua bentuk teknologi lainnya, harus menempatkan manusia sebagai subyek. Hanya dengan begitu teknologi bisa membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, dan tidak menjadikan manusia sebagai obyek eksploitasi, seperti yang banyak terjadi sekarang ini. Untuk memberi pendasaran pada argumen itu, saya mengacu pada penelitian R. Eko Indrajit, Andrew Feenberg, dan Herbert Marcuse.
Kata Kunci: Teknologi Informasi dan Komunikasi, Pendidikan, Subyektivitas, Emansipasi.
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (selanjutnya TIK) adalah sesuatu yang menggembirakan. Namun perkembangan ini rupanya tidak lepas dari cacat yang melekat pada manusia, dan pada segala sesuatu yang keluar dari buah tangannya, terutama dalam soal pendidikan di perguruan tinggi. Cacat tersebut membuat saya tertarik untuk merefleksikan dampak multidimensional dari penggunaan TIK yang canggih di dalam proses pembelajaran maupun penelitian di perguruan tinggi. Pertanyaan yang akan coba dijawab di dalam makalah singkat ini adalah, bagaimana bentuk teknologi, dalam hal ini TIK, yang baik, yang mampu membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan kemiskinan, serta sungguh efektif memberdayakan bangsa di dalam proses pendidikan, terutama pendidikan di perguruan tinggi?
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian. Awalnya saya akan menyoroti berbagai dampak yang muncul di dalam penerapan TIK di dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Uraian pada bagian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh R. Eko Indrajit (1). Berikutnya saya akan coba mengajukan cara pandang yang berbeda terhadap esensi dari TIK, dan teknologi pada umumnya, yakni teknologi yang membebaskan manusia, atau teknologi yang menempatkan manusia sebagai subyek. Uraian di dalam bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap pemikiran Andrew Feenberg dan Herbert Marcuse (2). Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan, refleksi kritis, dan upaya untuk membuka beberapa tema persoalan yang masih harus dipikirkan lebih jauh (3).