Technorati Tags: api,Filsafat,filsafat politik,institusi,jiwa organisasi,masyarakat modern,organisasi,tujuan awal,visi organisasi

Oleh: REZA A.A WATTIMENA
Kita hidup dalam organisasi. Ini tidak dapat dihindari. Mulai dari keluarga sampai masyarakat, semuanya mengambil bentuk organisasi tertentu. Kita mencipta sekaligus diciptakan oleh organisasi tempat kita lahir dan bertumbuh.
Masalah muncul ketika organisasi itu tinggal struktur, dan tidak lagi memiliki jiwa. Tanpa jiwa organisasi bagaikan ikatan yang penuh dengan rasa terpaksa. Rutinitas diwarnai rasa jemu. Tujuan pun tak ada yang terwujud.
Rupanya rasa jemu semacam ini dirasakan dibanyak organisasi, mulai dari keluarga, kelompok pertemanan, institusi agama, institusi pendidikan, perusahaan, masyarakat, sampai negara. Seolah yang mengikat kita tinggal seperangkat aturan tanpa ikatan emosional. Seolah semuanya harus dijalani bukan karena rasa cinta, melainkan kewajiban semata. Apa yang perlu dilakukan, guna menanggapi fenomena universal semacam ini?
Mengingat
Yang diperlukan adalah tindak mengingat. Ketika krisis menghadang orang perlu kembali ke tujuan awal adanya sesuatu. Begitu pula ketika organisasi dihantam krisis visi dan jiwa, mereka perlu mengingat tujuan awal didirikan organisasi tersebut. Upaya mengingat ini menuntut peran pimpinan yang visioner. Jika berhasil perlahan namun pasti, api yang menjadi esensi dari organisasi bisa kembali berkobar.
Di Indonesia banyak organisasi mengalami stagnasi, akibat krisis visi. Sang pimpinan tidak mengambil insiatif, namun justru terhanyut dalam stagnasi. Ia tidak mengambil jarak dari situasi, namun terbenam di dalamnya. Akibatnya organisasi semakin kehilangan jiwa. Tinggal menunggu waktu hingga organisasi tersebut tamat riwayatnya.
Mengingat tujuan awal adalah bagian esensial dari kepemimpinan. Bahkan mengingat tujuan awal adalah kerangka yang membentuk daya kepemimpinan. Seorang pimpinan dalam bentuk manajer, direktur, rektor, dekan, ayah, bahkan presiden, perlu untuk menghayati gaya kepemimpinan semacam ini. Hanya dengan begitu organisasi bisa terhindar dari kehancuran diri.
Organisasi yang terjebak dalam krisis perlu untuk melihat gambaran besar dari peristiwa yang menimpa mereka. Organisasi itu tidak boleh hanyut pada pengalaman-pengalaman kecil, yang mungkin amat menyakitkan, dan kehilangan gambaran besar. Pengalaman-pengalaman kecil yang amat menyakitkan perlu dijadikan titik tolak untuk membenahi visi keseluruhan organisasi. Dalam kaca mata dialektika Hegelian, seorang filsuf Jerman, krisis harus dipandang sebagai momen pencarian dan pembentukan diri organisasi.
Dibutuhkan kemauan mengingat dan sikap reflektif untuk memahami gambaran besar visi organisasi. Kedua hal ini tidak hanya datang dari pimpinan, walaupun ia memiliki peran sangat besar, tetapi harus dihayati oleh seluruh bagian organisasi. Dalam arti ini berlaku diktum kuno metafisika, keseluruhan itu lebih daripada bagian-bagiannya. Artinya organisasi itu lebih daripada orang-orang yang membentuknya. Gambaran besar adalah milik bersama, dan bukan hanya milik pimpinan semata.
Di Indonesia organisasi –bahkan di level negara- hampir tidak mempunyai kemauan mengingat dan sikap reflektif. Situasi pendidikan nasional kita tidak mengkondisikan orang untuk menjadi pribadi yang rajin mengingat dan reflektif. Ketika mendengar kata reflektif, orang langsung mengingat pijat refleksi. Tak heran banyak organisasi tidak memiliki kualitas. Ketika krisis menghantam mereka akan lenyap ditelan kehancuran dan kejemuan rutinitas. Maka membangun sikap reflektif dan kemauan mengingat adalah sesuatu yang mendesak.
Memang organisasi adalah sebuah kelompok. Namun komponen utama organisasi tetaplah individu. Maka tepat juga dikatakan, perubahan organisasi tidak akan muncul, tanpa perubahan individu. Pembenahan organisasi haruslah dimulai dengan pembenahan individu-individu di dalamnya.
Pelatihan-pelatihan formal tidak akan banyak guna. Banyak pelatihan diberikan dengan mental birokratis, tanpa jiwa. Akibatnya hasilnya pun tak ada. Sumber daya terbuang percuma.
Jika mau memberikan pelatihan, atau terapi kelompok kecil, pilihlah orang-orang yang memiliki jiwa dan visi perubahan yang tegas dan praktis. Jangan memilih motivator yang penuh kedangkalan. Pelatihan tersebut haruslah berkelanjutan, dan bahkan mengambil bentuk pendidikan-pendidikan manusia yang melampaui sekedar kursus penuh kehampaan. Ini perlu menjadi perhatian serius, jika organisasi ingin selamat diterpa badai krisis, dan membangun kembali harapan yang terlupakan.
Melupakan
Selain mengingat organisasi juga perlu melupakan, supaya bisa selamat melalui krisis. Yang perlu dilupakan adalah friksi-friksi partikular yang membuat jiwa organisasi terkikis. Konflik memang harus dipahami dan dimaknai, tetapi tidak pernah boleh menghalangi visi keseluruhan. Maka konflik-konflik partikular perlu untuk dilampaui dan dilupakan.
Di Indonesia konflik partikular seringkali mengganggu kinerja keseluruhan. Tak ada pemisahan antara urusan privat dan urusan bersama yang signifikan. Akibatnya banyak keputusan organisasi dibuat tidak dengan prinsip yang masuk akal, melainkan dengan prinsip suka atau tidak suka. Friksi partikular merusak kepentingan universal, dan membuat organisasi kehilangan jiwa sejatinya.
Pimpinan harus mengajak anggota organisasi untuk melupakan yang partikular, dan mengingat yang universal. Inilah tegangan antara mengingat dan melupakan yang sangat penting untuk keberlanjutan perkembangan organisasi. Tanpa tegangan ini organisasi akan terseret pada arus penglupaan, dan kehilangan jati diri. Juga tanpa tegangan ini, organisasi akan terseret pada ingatan akan konflik partikular, dan kehilangan tujuan yang sejati.
Organisasi adalah roh dari masyarakat modern. Maka organisasi perlu memiliki kemampuan untuk mengingat peran luhur ini, memiliki sikap reflektif, mendidik individu-individu di dalamnya secara berkelanjutan, dan melupakan friksi serta kepentingan partikular yang merusak tujuan keseluruhan. Hanya dengan ini organisasi bisa mengembalikan “api” jiwanya, dan mempertahankannya di tengah rasa jemu dan tantangan jaman. “Api” yang perlu untuk dirawat, dan yang terpenting.. tetap dicintai. ***
Gambar dari Google images
Penulis adalah
Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
-7.281718
112.744631
Menyukai ini:
Suka Memuat...