Dulu, saya adalah vokalis band. Sayangnya, dengan berlalunya waktu, band kami sudah pecah. Semua sudah berkeluarga, kecuali saya. Hidup memisahkan kami.
Kami adalah band rock. Salah satu lagu yang sering kami bawakan adalah lagu-lagunya Ari Lasso, terutama yang berjudul “Arti Cinta”. Belakangan, lagu tersebut sering terngiang di kepala saya. Nostalgi pun mengunjungi hati. Lanjutkan membaca Arti Cinta yang Sesungguhnya…
Tentunya, kita ingin hidup yang otentik. Kita tidak ingin berpura-pura dalam hidup. Kita tidak ingin jatuh ke dalam kemunafikan. Tak ada orang yang ingin hidup dalam kepalsuan terus menerus.
Kita juga tak ingin hidup dengan rasa takut. Kita tidak ingin terus mengingkari nurani dan akal sehat yang kita punya. Untuk jangka pendek, kita mungkin rela ditindas. Namun, untuk jangka panjang, hasrat untuk merdeka akan menghujam keluar. Lanjutkan membaca Menjadi Merdeka
Refleksi terhadap Penelitian-penelitian Neurosains
Tentang Otak dan Kebebasan
Oleh Reza A.A Wattimena
Diterbitkan di
Diterbitkan di The Ary Suta Center Series on Strategic Management Juli 2021, VOlume 54
Tulisan ini hendak memahami kebebasan manusia dari sudut pandang neurosains dan filsafat. Beberapa pendekatan di dalam neurosains tentang kebebasan akan dijabarkan. Lalu, beberapa refleksi filosofis atas tema itu akan diberikan. Kebebasan, pada titik ini, dipahami sebagai kompleksitas yang melahirkan ketidakpastian dari tindakan manusia. Kebebasan dipandang sebagai ketaktertebakan dari tindakan manusia sebagai hasil dari kompleksitas sistem saraf dan otaknya. Tulisan ini mengacu pada kerangka penelitian yang dikembangkan oleh David Eagleman dan penelitian-penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh penulis (Reza A.A Wattimena).
Memahami kesadaran manusia, itulah yang mendorong saya masuk ke gerbang pintu penelitian tentang otak. Kesadaran tak bisa dilepaskan dari diri. Jati diri yang menentukan identitas manusia dalam hidupnya. Jati diri pula yang menentukan pola pembuatan keputusan, sekaligus perilakunya sehari-hari.
Panpsikisme, Jati Diri dan Otak
Dunia juga terkesima dengan panpsikisme. Inilah pandangan yang menyatakan dengan lugas, bahwa alam tak sepenuhnya materi. Yang material selalu berdampingan dengan yang spiritual. Ini mencakup seluruh alam semesta. Lanjutkan membaca Sekelumit Cerita Tentang Otak
Setiap orang pasti punya pengalaman jelek di masa lalunya. Bentuknya beragam, mulai dari hal-hal kecil, seperti bertengkar dengan teman, sampai dengan hal-hal yang amat menyakitkan, seperti menjadi korban kekerasan seksual. Peristiwa itu mungkin sudah lama berlalu. Namun, bekasnya tetap terasa menyakitkan di saat ini.
Hal ini juga diteliti di dalam European Journal of Psychotraumatology. Data yang terkumpul menunjukkan, bahwa lebih dari 1,5 milyar orang mengalami perang dan konflik besar dari 1989 sampai 2015. 350 juta orang diantaranya mengalami trauma dan depresi berat. Mayoritas diantaranya tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melampaui trauma dan depresi yang mereka alami. Lanjutkan membaca Trauma, Derita dan Kebebasan
Kita ingin menjadi manusia bebas. Kita ingin bisa membuat keputusan kita sendiri terkait dengan hidup yang kita jalani. Kita ingin bisa berpikir bebas. Kita ingin bisa bertindak bebas, seturut dengan pilihan yang kita buat.
Kita ingin bisa memilih hobi yang ingin kita tekuni. Kita ingin bisa memilih orang yang kita cintai. Kita juga ingin bisa memilih agama yang kita anut. Namun, kebebasan juga memiliki banyak tantangan. Lanjutkan membaca Kebebasan dan Empati
Pendiri Program “Sudut Pandang” (www.rumahfilsafat.com)
Mengapa saya menulis kata “manusia” dengan tanda kutip? Ini untuk menerangkan, bahwa “manusia” sebagai sebuah realitas tidaklah pernah ada. Ia dianggap ada sebagai bagian dari kesepakatan sosial untuk keperluan hidup sehari-hari, seperti misalnya berkomunikasi. Namun, sebagai sebuah kenyataan yang utuh dan kokoh, ia tidak pernah ada. Ia adalah ilusi, yakni seolah ada, namun sebenarnya tak ada.
“Manusia”
Di balik kata “manusia”, ada sebuah tradisi pemikiran yang telah berkembang lama, terutama di Eropa dan Timur Tengah. Manusia dilihat sebagai mahluk yang istimewa, lebih daripada mahluk hidup lainnya, sehingga punya hak untuk menguasai bumi. Tentu saja, yang merumuskan pandangan tersebut juga “manusia”. Ada konflik kepentingan di dalamnya yang harus terus ditanggapi secara kritis.[1]Lanjutkan membaca Melampaui “Manusia”
Kita tentu ingin bisa bebas berpendapat. Kita ingin menyuarakan pendapat kita, tanpa rasa takut. Kita pun berjuang untuk mewujudkan kebebasan berpendapat di masyarakat kita. Dalam hal ini, kita harus melawan kesempitan berpikir yang kerap melekat pada agama dan tradisi masyarakat kita.
Kebebasan berpendapat berpijak pada kebebasan berpikir. Kita ingin berpikir sesuai dengan kehendak dan kebutuhan kita. Kita tak ingin orang lain melarang kita untuk berpikir. Kebebasan berpikir dan berpendapat telah menjadi bagian dari perjuangan hak-hak sipil di berbagai negara.
Namun, seringkali, kita menggunakan kebebasan berpikir dan berpendapat untuk menghina orang lain. Kita merasa, bahwa kita punya hak dan kebebasan untuk menyakiti orang lain dengan pendapat kita. Kaum mayoritas merasa punya hak menghina yang minoritas. Mereka merasa, bahwa itu adalah bagian dari demokrasi.
Mengapa kebebasan berpikir dan berpendapat digunakan untuk saling menghina? Mengapa kebebasan seringkali dipelintir untuk tujuan-tujuan yang menyakiti orang lain? Ini terjadi, karena kebebasan kita masih dangkal. Kebebasan berpendapat dan berpikir, tanpa kesadaran akan kekosongan dari pikiran dan pendapat kita, hanya akan mendorong perpecahan dan penderitaan.
Pikiran
Untuk bisa sungguh bebas berpikir, kita perlu memahami hakekat dari pikiran kita. Apa itu pikiran? Pikiran adalah aktivitas mental manusia yang berpijak pada kesadarannya. Jadi, pikiran berbeda dengan kesadaran. Aktivitas mental ini terjadi, karena hubungan dengan dunia luar. Lanjutkan membaca Kebebasan Berpendapat, dan Kebebasan dari Pendapat
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman
Kita hidup di antara beragam bentuk organisasi. Keluarga pun juga dapat dilihat sebagai organisasi. Pada tingkat terluas, kita bisa melihat beragam bentuk organisasi internasional, seperti PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) dan WHO (World Health Organization), yang memiliki lingkup kerja seluas dunia itu sendiri. Kita hampir tak bisa membayangkan hidup, tanpa adanya organisasi.
Setiap bentuk organisasi selalu memiliki dua hal, yakni tata dan tujuan. Tata berarti pola yang tetap dalam bentuk aturan maupun kebiasaan. Tujuan berarti adanya hal yang ingin dicapai, yang saat ini belum ada. Dalam arti ini, organisasi bisa berarti sekelompok orang yang memiliki tata dan tujuan, maupun seorang pribadi yang menata dirinya untuk mencapai tujuan tertentu.
Organisasi Diri
Pada tingkatnya yang paling kecil, organisasi adalah pribadi. Hidup kita adalah sebentuk organisasi. Ia memiliki tata tertentu yang membuatnya tetap ada, misalnya kita makan dan istirahat, guna memperbaiki sel-sel tubuh kita yang rusak. Kita juga mempunyai tujuan tertentu, yakni cita-cita yang ingin kita capai di masa depan.
Seorang atlit basket akan mengorganisir dirinya dengan baik. Ia akan bangun pagi, berolah raga, dan makan makanan yang bergizi. Ia akan berlatih secara rutin, tanpa merusak kesehatannya. Inilah yang dimaksud organisasi diri.
Maka dari itu, kita setidaknya mengenal dua kata, yakni organisasi dalam arti kelompok, dan organisasi dalam arti organisasi diri. Di dalam perkembangan sejarah manusia, keduanya ada untuk mengabdi satu tujuan, yakni keberlangsungan hidup. Organisasi ada untuk menjamin, bahwa manusia tetap ada dan berkembang di dalam dunia ini. Ada dua hal yang kiranya perlu diperhatikan disini. Lanjutkan membaca Menari di atas Organisasi
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya
Mengapa kenaikan harga BBM selalu membuat cemas? Yang membuat cemas bukanlah kenaikan BBM itu sendiri, melainkan dampaknya, yakni kenaikan hampir semua harga barang. Ketidakpastian yang ditimbulkan kenaikan harga BBM mendorong beragam demonstrasi yang seringkali berakhir pada kekacauan. Harga susu untuk bayi sampai dengan harga celana dalam juga berubah naik, ketika harga BBM naik.
Segala hal di Indonesia mudah sekali berubah. Ceria kemenangan Jokowi-JK pada Pemilu 2014 lalu segera ditutup dengan terciptanya susunan kepemimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang jauh dari keinginan rakyat banyak. Segera pasar saham Jakarta bergolak bereaksi negatif atas perubahan ini. Bagaimana dengan harga barang kebutuhan sehari-hari? Anda sudah tahu jawabannya.
Kekebalan Sosial
Tugas utama dari berbagai institusi politik adalah menciptakan rasa aman bagi semua warga, tanpa kecuali. Ketika masyarakat hidup dalam rasa khawatir terus menerus, akibat dari berbagai ketidakpastian yang ada, ini satu tanda, bahwa kinerja sistem politik kita jauh dari harapan. Semua bidang kehidupan mudah sekali digoyang oleh satu peristiwa. Yang dibutuhkan sekarang ini adalah model politik yang mampu menciptakan kekebalan sosial. Lanjutkan membaca Kekebalan Sosial dan Pribadi
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman
Seringkali, kita sibuk untuk mengubah orang lain dan dunia di sekitar kita, supaya sesuai dengan keinginan kita. Namun, kerap kali pula, kita gagal. Lalu, kita pun kecewa, bersedih dan bahkan marah. Bagaimanapun diusahakan, dunia di luar kita, termasuk orang-orang di sekitar kita, tidak akan pernah sejalan dengan keinginan kita.
Inilah akar dari segala penderitaan di dunia, yakni ketika kita memaksa dunia luar sejalan dengan keinginan kita, lalu gagal. Jika seperti itu, kita patut mengajukan pertanyaan sederhana berikut. Apakah keinginan yang ada di dalam diri kita itu baik untuk diwujudkan? Jangan-jangan, keinginan kita itulah yang salah, sehingga ia tidak akan pernah menjadi kenyataan?
Mawas Diri
Dengan dua pertanyaan ini, kita lalu bisa melakukan refleksi diri. Dan refleksi diri adalah inti utama dari mawas diri. Mawas diri berarti kita mengawasi diri kita sendiri, terutama emosi dan pikiran-pikiran yang muncul di dalam diri. Ketika kita marah, sedih, cemas, ataupun gembira, kita lalu mengawasi perasaan-perasaan tersebut sebagai sesuatu yang sementara, bahkan ilusi. Lanjutkan membaca Membangun Budaya Mawas Diri
Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya, sedang penelitian di Jerman
Ketika Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesian 1945 yang lalu, ada dua hal yang ada di dalam pikiran mereka, yakni kebebasan dan kemakmuran. Keduanya menjadi mimpi besar, tidak hanya untuk mereka berdua, tetapi juga untuk para bapak bangsa lainnya, seperti Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, dan sebagainya. Dengan kebebasan di tangan, bangsa Indonesia lalu mulai bisa membangun dirinya ke arah keadilan dan kemakmuran bagi semua warganya. Kebebasan dianggap sebagai jembatan emas menuju masyarakat yang paripurna. (Latif, 2011)
Sebagai pribadi, kita tentu juga ingin bebas. Kita ingin bisa menentukan hidup kita sesuai dengan keinginan kita. Kita juga ingin hidup aman, bebas dari rasa takut dan cemas atas hal-hal di luar diri kita. Keinginan untuk bebas tertanam secara alamiah di dalam jiwa manusia.
Penelitian yang dilakukan Institut für Gesellschaftspolitik di Jerman menunjukkan satu hal, bahwa kebebasan (Freiheit) merupakan nilai tertinggi di dalam masyarakat Jerman sekarang ini. (Reder, et.al, 2014) Hidup tak ada artinya, jika tidak ada kebebasan. Seluruh sistem politik dan ekonomi Jerman memang dirancang untuk bisa menampung cita-cita kebebasan semacam ini. Tentu, tidak ada sistem yang sempurna yang tidak lagi membutuhkan refleksi ulang. Lanjutkan membaca Mencapai Kebebasan Batin
Nelson Mandela, almarhum, adalah Presiden Pertama Afrika Selatan yang terpilih secara demokratis. Sebelumnya, ia adalah tahanan politik selama 27 tahun, karena menentang sistem yang bersifat diskriminatif di Afrika Selatan, yang banyak juga dikenal sebagai Apartheid. Setelah menjadi presiden, ia tidak pernah terdorong untuk membalas dendam, namun justru mendorong proses perdamaian dan pengampunan, guna membangun masyarakat Afrika Selatan yang baru. Mengapa ia bisa melakukan itu?
Yesus, tokoh terpenting di dalam Agama Kristiani (bahkan mereka meyakininya sebagai Tuhan), dihukum mati dengan penyaliban. Ini adalah hukuman yang amat sadis dan menghina. Sebelum kematiannya, konon ia berkata, “Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu, apa yang mereka lakukan.” Bagaimana mungkin? Mengapa ia mau mengampuni para pembunuhnya?
Ada semacam kekuatan batin yang mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak mungkin. Pengampunan setelah pengalaman ketidakadilan adalah tindakan yang luar biasa mulia, namun amat sulit untuk dilakukan. Orang harus memiliki kekuatan batin dan kedamaian hati yang mendalam, supaya bisa melakukan itu. Untuk menerangkan ini, saya rasa, kita perlu untuk belajar dari Boethius, filsuf Eropa yang hidup pada masa kekaisaran Romawi. Lanjutkan membaca Boethius: Antara Kebahagiaan, Kedamaian dan Kebebasan
Hidup adalah perjalanan yang penuh dengan bunga dan duri. Ini tidak dapat disangkal. Setiap orang mengalami masa-masa gelap dalam hidupnya. Namun, disela-sela masa-masa itu, mereka pun menemukan kebahagiaan.
Banyak orang yang lelah dengan perjalanan ini. Bagaimana mungkin saya bisa merasa bahagia, ketika saya tahu, ini semua hanya sementara, dan besok atau mungkin nanti sore, musibah lain akan datang menimpa saya? Orang-orang seperti ini lalu mencari cara untuk melampaui jatuh bangunnya kehidupan. Ada beragam cara, mulai dari menggunakan narkoba (ganja, heroin, ampfetamin), belanja gila-gilaan (konsumtivisme?), menjadi pengguna jasa pelacuran tetap (sex sampai mati untuk menutupi kesedihan?), menumpuk kekayaan (kalau perlu dengan korupsi?), pencarian segala bentuk kenikmatan lainnya (pesta setiap malam atau makan tanpa henti?), sampai dengan bunuh diri.
Pertanyaan penting disini adalah, apakah harus seperti itu? Apakah hidup itu harus selalu jatuh bangun dan naik turun? Apakah ada cara hidup yang lain? Untuk menjawab ini, kita perlu untuk menengok pemikiran Seneca. Lanjutkan membaca Seneca dan Kebebasan Batin
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Ketika mengajar di Indonesia, saya sering mendengar curhat-curhat mahasiswa. Mereka terjebak di dalam program studi yang tidak sejalan dengan hati mereka. Misalnya, mereka ingin jadi penari. Namun, mereka takut gagal, dan kemudian hidup miskin. Mereka ambil jalan pintas saja, yakni belajar manajemen ekonomi, supaya gampang dapat kerja.
Namun, di kelas, mereka tidak tertarik untuk belajar. Mereka hanya mengejar nilai. Mereka tidak mendapatkan ilmu. Mereka hidup dalam kesedihan, depresi, dan ketakutan setiap harinya. Mereka pun lulus dengan nilai pas-pasan, dan bekerja seadanya, sekedar untuk hidup, tetapi menderita setiap harinya.
Uang yang mereka peroleh digunakan untuk membayar tagihan obat dan konsultasi psikiatri. Mereka hidup dalam kekecewaan dan penyesalan. Ketika mereka berkeluarga, hidupnya pun juga sulit, bukan karena tidak ada uang, tetapi karena tidak ada cinta. Perceraian terjadi, dan korban terbesar adalah si anak. Lanjutkan membaca Tentang Hidup Kita
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman
Seorang pemuda Indonesia belajar di Jerman. Di lingkungannya, ia dianggap berbakat, karena masih muda, cerdas, dan memiliki karakter baik. Ia pun mendapatkan beasiswa penuh untuk belajar lagi. Harapan banyak orang bertumpu pada pundaknya.
Sesampainya di Jerman, ia kaget. Iklim individualisme dan otonomi individu yang begitu tinggi membuatnya sulit untuk membangun hubungan dengan orang lain. Beberapa kali, ia mencoba menjalin relasi, namun gagal. Ia pun berhenti mencoba.
Di Jerman, ia berjumpa dengan satu kelompok yang memiliki latar belakang agama sama dengannya. Daripada membangun relasi yang lebih luas, ia merasa lebih nyaman bergaul dengan mereka. Maka, aktivitasnya pun hanya dilakukan dalam konteks hubungan dengan kelompok agama tersebut. Semakin hari, ia semakin menutup diri, dan membenci orang-orang yang berasal dari latar belakang lain.
Ini kisah nyata, dan banyak terjadi pada orang-orang yang sedang merantau ke negeri asing, entah untuk bekerja, atau belajar. Justru karena merantau ke negeri asing, orang malah semakin menjadi tertutup dan fanatik dengan identitas kelompoknya sendiri. Di tengah masyarakat asing yang terdiri dari beragam kultur, orang justru membentuk kelompok-kelompok kecil yang serupa dengannya, dan menutup diri dari hubungan yang lebih luas dengan kelompok lain. Apa yang sebenarnya terjadi? Lanjutkan membaca Akar-akar Fanatisme
Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya, Kini Sedang Belajar di Bonn, Jerman
Biasanya, ketika berbicara tentang jiwa, orang berbicara tentang sesuatu yang abstrak. Jiwa itu tak kelihatan, maka orang mengangapnya terlalu rumit. Bahkan, beberapa ilmuwan menyatakan, bahwa jiwa adalah konsep tua yang tak lagi layak dipakai. Mereka lebih suka menggunakan konsep pikiran, daripada jiwa.
Pada hemat saya, untuk kepentingan praktis, kita tak perlu membuat pembedaan yang berlebihan. Kita bisa memikirkan jiwa sebagai suatu bentuk “pikiran”. Memang, jiwa memiliki kesan mentafisis yang tinggi. Sementara, konsep pikiran lebih terkait dengan aspek biologis manusia, yakni organ tubuhnya. Namun, kedua sama dalam hal yang mendasar, yakni keduanya berbeda dengan tubuh, dan dianggap sebagai penggerak utama dari hidup manusia, termasuk dari tubuh itu sendiri.
Kecemasan Hidup
Di dalam hidupnya, jiwa manusia seringkali mengalami kecemasan. Ketakutan dan kekhawatiran menjadi makanan sehari-hari dari jiwa. Tuntutan pekerjaan, ketakutan akan pemecatan, kekhawatiran akan masa depan, semuanya siap untuk merusak ketenangan jiwa. Ketika jiwa tersiksa, maka orang tidak akan dapat hidup maksimal. Ia tidak akan bisa menjadi pelayan sejati, yakni manusia untuk manusia lainnya (men for others). Lanjutkan membaca Filsafat untuk Mengolah Jiwa
Di dalam berbagai analisis maupun teori tentang demokrasi, pemerintahan demokratis di masa Yunani Kuno selalu menjadi bahan kajian yang menarik.[1] Salah satu teks filsafat yang paling menarik tentang demokrasi di masa Yunani Kuno adalah karya Aristoteles yang disebut sebagai Politeia, atau Politics. Buku tersebut juga amat menantang untuk dibaca. Di satu sisi, buku tersebut berbicara soal prinsip-prinsip teoritis bagi tata politik negara ataupun pemerintahan. Di sisi lain, buku tersebut juga banyak berbicara soal situasi aktual masyarakat Yunani Kuno yang memang menggunakan sistem demokrasi dalam pemerintahannya. Percampuran antara “yang teoritis” dan “yang praktis” terkait dengan ilmu politik amat kental di dalam buku tersebut.
Aristoteles memulai dengan pengandaian dasar tentang apa itu negara, dan siapa itu manusia. Baginya, adanya negara adalah sesuatu yang alamiah, karena manusia, pada hakekatnya, adalah mahluk politis. Dengan kata lain, karena manusia, secara alamiah, adalah mahluk politis, maka negara, sebagai komunitas politis, pun juga adalah sesuatu yang ada secara alamiah. “Dengan demikian,” tulis Aristoteles, “adalah jelas bahwa negara adalah ciptaan dari alam, dan manusia secara alamiah adalah binatang yang politis.”[2] Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang tak punya negara, atau yang tak tergabung dengan komunitas politis tersebut? Aristoteles secara jelas membedakan antara orang-orang yang tak memiliki negara secara sengaja di satu sisi, dan orang-orang yang terpaksa tidak memiliki negara. Orang-orang yang memilih untuk tak bernegara, bagi Aristoteles, adalah orang-orang yang jahat, yang sekaligus tidak mengenal hukum, pecinta perang dan kekacauan, serta kejam.
Benarkah manusia adalah mahluk politis, dalam arti mahluk yang membentuk polis, atau kota, atau komunitas politis? Benarkah bahwa dia, secara alamiah, terdorong untuk hidup bersama manusia-manusia lainnya dalam satu komunitas? Ini jelas merupakan pengandaian antropologis dari filsafat politik Aristoteles. Dan, menurut saya, ini bukan hanya konsep teoritis, melainkan juga selalu berpijak pada pengalaman nyata manusia-manusia konkret di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang hidup tanpa komunitas. Identitasnya sebagai manusia, termasuk kediriannya, pun diberikan oleh komunitas tempat ia hidup dan berkembang. Ada hubungan timbal balik antara manusia dan komunitasnya. Di satu sisi, manusia menciptakan komunitasnya. Di sisi lain, ia pun diciptakan oleh komunitasnya. Dalam arti ini, saya sepakat dengan Aristoteles, bahwa dorongan untuk menciptakan tata politik, yakni sebagai manusia manusia politis, adalah kodrat alamiah manusia. Lanjutkan membaca Demokrasi Menurut Aristoteles (Bagian 1)
Sebagaimana dinyatakan oleh Dan Satriana dari Lembaga Advokasi Pendidikan dalam diskusi di ITB, Bandung pada 2011 lalu, pendidikan Indonesia dipenuhi oleh masalah pada tiga level.[2] Level pertama adalah minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Level kedua adalah pendidikan yang tidak bisa secara universal diakses oleh setiap warga negara Indonesia. Dan level ketiga adalah kurikulum pendidikan yang tidak menggunakan paradigma pendidikan yang tepat. “Liberalisasi pendidikan di Indonesia”, demikian katanya dalam diskusi tersebut, “jauh melebihi negara-negara yang mengaku menganut sistem liberal sekalipun. Liberalisasi ini akan membuat Anda dicetak sebagai pekerja tanpa peduli apa potensi Anda sebenarnya.”[3] Di dalam proses itu, soal-soal yang amat penting, seperti pendidikan karakter dan pendidikan nilai, justru sama sekali diabaikan.
Di sisi lain, dalam diskusi yang sama, Ramadhani Pratama Guna dari Majalah Ganesha- Kelompok Studi Sejarah, Ekonomi, dan Politik punya pendapat yang berbeda.[4] Baginya beragam masalah pendidikan muncul, karena kesalahan kebijakan yang dibuat pemerintah di bidang pendidikan nasional itu sendiri, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Kesalahan kebijakan itu berbuah pada krisis di tiga level pendidikan, sebagaimana dituliskan sebelumnya, yakni minimnya sarana dan prasarana pendidikan di berbagai tempat di Indonesia, sulitnya akses pendidikan, dan kesalahan paradigma pendidikan di dalam membuat kurikulum pendidikan nasional, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Lanjutkan membaca Pendidikan Manusia-manusia Demokratis
Dosen Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala Surabaya
Apakah kita ini bebas? Apakah kebebasan kita hanya sekedar ilusi? Para filsuf telah lama berdebat soal ini. Penelitian terbaru di bidang neurosains (neuroscience) membuktikan, seperti diyakini oleh beberapa ilmuwan besar abad ini, bahwa kehendak bebas adalah suatu ilusi. (Nahmias, Is Neuroscience the Death of Free Will?, 2011)
Duduk Permasalahan
Pada 2002 lalu seperti dikutip oleh Nahmias, Daniel Wegner, seorang psikolog, menyatakan begini, “Seolah bahwa kita ini adalah agen. Tampaknya kita menyebabkan hal-hal yang kita lakukan… namun cukup menyadarkan kita dan amatlah akurat untuk menyebut ini semua sebagai ilusi.” Di tempat lain seorang ahli neurosains terkemuka, Patrick Haggard, menyatakan, “Kita jelas tidak memiliki kehendak bebas. Tidak dalam arti yang kita pikir.” Di bidang yang sama, Sam Harris bilang begini, “Tampaknya anda memang adalah seorang agen yang bertindak sesuai dengan kehendak bebas anda. Masalahnya adalah bahwa sudut pandang ini tidak dapat berjalan bareng tentang apa yang kami ketahui soal otak manusia.” Lanjutkan membaca Otak, Pikiran, dan Kebebasan Kita