Tentang Perempuan

Mayhem & Muse

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Ah, betapa sulitnya menjadi perempuan. Seperti kata Jean-Jacques Rousseau, seorang pemikir Perancis, manusia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara. Begitulah nasib perempuan. Ia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara.

Siapa yang memilih untuk menjadi perempuan? Ketika lahir, alat kelamin sudah ditentukan oleh alam. Namun, dengan perbedaan kelamin, perbedaan peran sosial pun lahir. “Perempuan” adalah peran sosial yang diciptakan oleh masyarakat, dan bukan oleh alam. Lanjutkan membaca Tentang Perempuan

Menari di atas Organisasi

lets_dance_with_surrealism_by_emo_ghoul_graphics-d53ae9uOleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman

Kita hidup di antara beragam bentuk organisasi. Keluarga pun juga dapat dilihat sebagai organisasi. Pada tingkat terluas, kita bisa melihat beragam bentuk organisasi internasional, seperti PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) dan WHO (World Health Organization), yang memiliki lingkup kerja seluas dunia itu sendiri. Kita hampir tak bisa membayangkan hidup, tanpa adanya organisasi.

Setiap bentuk organisasi selalu memiliki dua hal, yakni tata dan tujuan. Tata berarti pola yang tetap dalam bentuk aturan maupun kebiasaan. Tujuan berarti adanya hal yang ingin dicapai, yang saat ini belum ada. Dalam arti ini, organisasi bisa berarti sekelompok orang yang memiliki tata dan tujuan, maupun seorang pribadi yang menata dirinya untuk mencapai tujuan tertentu.

Organisasi Diri

Pada tingkatnya yang paling kecil, organisasi adalah pribadi. Hidup kita adalah sebentuk organisasi. Ia memiliki tata tertentu yang membuatnya tetap ada, misalnya kita makan dan istirahat, guna memperbaiki sel-sel tubuh kita yang rusak. Kita juga mempunyai tujuan tertentu, yakni cita-cita yang ingin kita capai di masa depan.

Seorang atlit basket akan mengorganisir dirinya dengan baik. Ia akan bangun pagi, berolah raga, dan makan makanan yang bergizi. Ia akan berlatih secara rutin, tanpa merusak kesehatannya. Inilah yang dimaksud organisasi diri.

Maka dari itu, kita setidaknya mengenal dua kata, yakni organisasi dalam arti kelompok, dan organisasi dalam arti organisasi diri. Di dalam perkembangan sejarah manusia, keduanya ada untuk mengabdi satu tujuan, yakni keberlangsungan hidup. Organisasi ada untuk menjamin, bahwa manusia tetap ada dan berkembang di dalam dunia ini. Ada dua hal yang kiranya perlu diperhatikan disini. Lanjutkan membaca Menari di atas Organisasi

Martabat, Citra Diri, Hegemoni,….

mater.org.au
mater.org.au

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala, Surabaya

Hampir 12 jam setiap harinya, Amin (bukan nama sebenarnya) bekerja sebagai buruh tambang di pedalaman Aljazair, Afrika Utara. Pekerjaannya selalu melibatkan kekuatan fisik yang ekstrem. Bersama teman-temannya, ia menggali dan menutup galian dengan aspal setiap harinya. Ia menerima upah, namun sayang, upah itu tidak semestinya.

Untuk pekerjaan yang sama, rekannya yang berasal dari Inggris mendapat upah yang lebih tinggi. Kemampuan mereka sama. Bahkan, untuk beberapa situasi, kemampuan Amin lebih tinggi dari koleganya tersebut. Yang membedakan mereka dalam hal ini hanya satu: ras.

Karena ditekan situasi, Amin tak punya pilihan. Ia merasa, martabatnya sebagai manusia direndahkan, hanya karena ia berasal dari Indonesia. Menurut dia, bangsa Indonesia tak punya martabat di hadapan bangsa-bangsa lainnya di dunia. “Jika bekerja di Malaysia”, demikian katanya,”banyak perempuan Indonesia hanya akan menjadi pelacur. Sebagai pekerja, kami juga sering mengalami diskriminasi dari petugas resmi Malaysia, hanya karena kami orang Indonesia.”

Sistem politik dan ekonomi dunia memang memuliakan martabat satu ras tertentu, dan secara bersamaan merendahkan martabat ras lainnya. Di dalam politik, tindakan agresi satu bangsa tertentu dianggap sebagai pembebasan. Sementara, tindakan agresi bangsa lainnya dianggap sebagai terorisme. Di dalam bidang ekonomi, seperti yang dialami Amin, orang Indonesia seringkali mendapatkan upah yang jauh lebih rendah untuk pekerjaan yang sama, dibandingkan dengan orang yang berasal dari bangsa-bangsa lainnnya (Eropa, Amerika, Australia?) Lanjutkan membaca Martabat, Citra Diri, Hegemoni,….

Penyakit “Asal Luar Negeri”

http://2.bp.blogspot.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Alkisah hiduplah seorang pemimpin fakultas di salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Selama ia menjalani masa pendidikan sampai level doktoral, ia tak pernah ke luar negeri. Ia menjalani pendidikannya di Indonesia. Ia pun merasa iri dengan teman-temannya yang berhasil menyelesaikan pendidikannya di luar negeri.

Setelah ia menjadi dekan, ia pun membuat kebijakan, agar semua dosen di bawah pimpinannya melanjutkan studi di luar negeri, di universitas apapun, asal di luar negeri. Pada hemat saya, ini adalah kebijakan yang amat salah kaprah. Ada dua alasan. Pertama, tidak semua institusi pendidikan di luar negeri itu bagus. Kita tidak boleh terjebak pada cara berpikir “asal luar negeri”.

Yang kedua, banyak paradigma penelitian di luar negeri dilakukan dalam konteks sosial mereka. Artinya, apa yang mereka temukan, dan cara berpikir di belakangnya, tidak selalu cocok untuk digunakan untuk memahami situasi Indonesia. Cara berpikir “asal luar negeri” ini mencampurkan kedua hal itu, tanpa berpikir sama sekali. Tak heran, banyak lulusan luar negeri di Indonesia tidak mampu menyumbangkan kontribusi nyata bagi perkembangan bangsa. Lanjutkan membaca Penyakit “Asal Luar Negeri”