Keluar dari Dunia Para Tikus

paul-jackson-dissection-art-20Oleh Reza A.A Wattimena

Percakapan dengan teman berakhir dengan kegelisahan. Ia merasa, hidupnya berhenti. Ia sudah bekerja keras. Namun, karirnya tidak berkembang.

Ia pun berpikir untuk berpindah kerja. Tujuannya supaya bisa menaiki tangga karir. Ia ingin punya posisi lebih tinggi dengan pendapatan lebih besar. Kerakusan menyiksa hati dan pikirannya. Lanjutkan membaca Keluar dari Dunia Para Tikus

Indonesia dalam Terkaman Kapitalisme Turbo

Image result for greed surrealism"
Lawrence Paul Yuxweluptun

Oleh Reza A.A Wattimena

Tema percakapan kami terus berulang. Sudah beberapa kali saya dan beberapa sahabat cemas dengan perkembangan yang terjadi di Indonesia. Dengan mudah, di kota-kota besar, ketimpangan sosial antara yang kaya dan yang miskin bisa dilihat. Anda cukup mengendarai kereta api di ibu kota, dan seluruh ketimpangan sosial akan segera tampak di depan mata.

Tak jauh dari ibu kota, tepatnya di Jawa Barat, begitu banyak desa tertinggal dalam kekumuhan. Sarana air bersih dan pengolahan sampah sangat lemah, bahkan nyaris tak ada. Di abad 21 yang serba canggih dan kompleks, masih banyak orang yang buang air besar di kali tempatnya mencuci piring. Tak peduli siapa presiden ataupun partainya, hal ini tak berubah dari tahun ke tahun. Lanjutkan membaca Indonesia dalam Terkaman Kapitalisme Turbo

Pengakuan Seorang Marxis-Zennist

Ricardo Levins Morales

Oleh Reza A.A Wattimena

Di dalam filsafat, Marxisme adalah cinta pertama saya. Saya masih ingat buku tulisan Franz Magnis-Suseno yang berjudul Pemikiran Karl Marx. Seingat saya, buku itu terbit pada 1999. Itu merupakan salah satu buku filsafat pertama yang saya baca sampai selesai.

Sewaktu itu, saya masih di bangku SMA. Saya masih ingat perasaan saya waktu itu. Pikiran begitu tercerahkan. Dada begitu berkobar oleh semangat untuk membuat perubahan. Sejak itu, saya menjadi seorang Marxis. Lanjutkan membaca Pengakuan Seorang Marxis-Zennist

Merasa “Tak Berguna”?

Nikolina Petolas

Oleh Reza A.A Wattimena

Seorang teman selalu mengeluh. Dia bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 9 malem, bahkan di hari Sabtu. Untuk bisa sampai di kantor jam 8, ia harus berangkat jam 6 pagi. Memang, pendapatannya besar. Asuransi dan tunjangannya juga tinggi.

Namun, ia merasa lelah. Ia tak punya waktu untuk keluarga dan teman. Di hari libur, ia hanya bisa tidur, karena sudah amat lelah. Ia merasa tak berguna, karena hidup hanya menjadi budak korporat. Lanjutkan membaca Merasa “Tak Berguna”?

Dekonstruksi Kesuksesan

Abduzeedo

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Semua orang tentu ingin mencapai sukses dalam hidupnya. Di awal abad 21 ini, kata sukses dikaitkan dengan harta dan nama besar. Pandangan ini tentu tidak datang dari ruang hampa. Semangat jaman (Zeigeist) dari kapitalisme dan materialisme ekonomi amat kuat mempengaruhi pemahaman kita tentang kesuksesan.

Kapitalisme adalah paham yang menekankan penumpukan modal sebagai tujuan utama ekonomi. Modal pun dipahami secara sempit sebagai harta benda, terutama uang dan turunannya. Awalnya, kapitalisme adalah tata kelola ekonomi semata. Namun, kini kapitalisme menjadi pandangan yang menyentuh semua sisi kehidupan manusia. Lanjutkan membaca Dekonstruksi Kesuksesan

Kapitalisme sebagai Revolusi

gifteconomy.org
gifteconomy.org

Oleh Reza A.A Wattimena,

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya

Dunia memang semakin kacau. Ini terjadi, karena kesenjangan sosial yang begitu besar antara si kaya dan si miskin. Orang yang kaya semakin kaya, karena memiliki kemampuan dan kesempatan untuk memutar uangnya, guna menghasilkan keuntungan yang lebih besar lagi dan lagi. Sementara, orang yang miskin semakin sulit hidupnya, karena harga barang makin tinggi, sementara daya beli entah tetap, atau justru semakin menurun.

Kesenjangan sosial lalu menghasilkan kemiskinan. Seperti di Jakarta, mobil BMW seri terbaru berseliweran, dibarengi dengan pengemis yang belum menemukan rejeki untuk makan pagi ini. Pemandangan yang kontras semacam ini juga banyak ditemukan di berbagai kota-kota besar dunia. Kemiskinan tidak hanya membuat perut kosong, tetapi juga menghancurkan harga diri seorang manusia.

Dari kemiskinan muncul lalu beragam masalah lainnya. Pemukinan kumuh bertambah jumlahnya di samping pemukiman mewah. Masalah kebersihan dan kesehatan kota lalu muncul, karena akses terhadap air bersih dan lingkungan layak semakin berkurang. Angka kriminalitas juga meningkat, karena orang tidak memiliki pilihan lain, selain menjadi maling dan perampok. Hidup bersama lalu menjadi tidak nyaman, karena selalu dibayangi oleh ketakutan dan kekumuhan. Akarnya sama: kesenjangan sosial. Lanjutkan membaca Kapitalisme sebagai Revolusi

Apa yang Sesungguhnya Terjadi?

blogspot.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman

Sekitar dua ratus tahun yang lalu, dunia berada di bawah telapak kaki Eropa Barat. Hampir semua bangsa masuk ke dalam genggaman kolonialisme, atau penjajahan, bangsa-bangsa Eropa Barat. Kekayaan alam dikeruk habis, dibeli dengan harga murah, bahkan dirampas, lalu di bawa ke negara-negara Eropa Barat. Di dalam proses itu, bangsa yang menjadi korban kolonialisme tenggelam dalam kemiskinan, perang saudara, dan penderitaan yang panjang serta dalam.

Kerajaan Inggris pada masa itu memiliki jajahan di lima benua. Di belakangnya menyusul Prancis, Spanyol, Portugal, Belanda, dan Jerman. Apa yang baik dan beradab dibuat berdasarkan nilai-nilai mereka. Segala hal yang bertentangan dengan nilai-nilai mereka dianggap barbar, tidak beradab, maka perlu untuk ditaklukkan. Semboyan yang berkibar kencang pada masa itu adalah gold (emas), gospel (Injil Kristiani), dan glory (kejayaan).

Kolonialisme, yakni proses untuk menjadikan bangsa lain sebagai “budak” ekonomi, politik, dan kultural dari bangsa lain yang merasa diri lebih perkasa, rontok pada awal abad 20. Dua perang dunia menghantam Eropa, melenyapkan ratusan juta nyawa, dan memberi kesempatan bagi bangsa-bangsa terjajah untuk bangkit merdeka. Indonesia adalah salah satunya. Lanjutkan membaca Apa yang Sesungguhnya Terjadi?

Pendidikan Manusia-manusia Demokratis

 

http://content.artofmanliness.com

Filsafat Pendidikan Noam Chomsky,

Relevansi serta Keterbatasannya pada Konteks Indonesia

Oleh Reza A.A Wattimena[1]

            Sebagaimana dinyatakan oleh Dan Satriana dari Lembaga Advokasi Pendidikan dalam diskusi di ITB, Bandung pada 2011 lalu, pendidikan Indonesia dipenuhi oleh masalah pada tiga level.[2] Level pertama adalah minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Level kedua adalah pendidikan yang tidak bisa secara universal diakses oleh setiap warga negara Indonesia. Dan level ketiga adalah kurikulum pendidikan yang tidak menggunakan paradigma pendidikan yang tepat. “Liberalisasi pendidikan di Indonesia”, demikian katanya dalam diskusi tersebut, “jauh melebihi negara-negara yang mengaku menganut sistem liberal sekalipun. Liberalisasi ini akan membuat Anda dicetak sebagai pekerja tanpa peduli apa potensi Anda sebenarnya.”[3] Di dalam proses itu, soal-soal yang amat penting, seperti pendidikan karakter dan pendidikan nilai, justru sama sekali diabaikan.

            Di sisi lain, dalam diskusi yang sama, Ramadhani Pratama Guna dari Majalah Ganesha- Kelompok Studi Sejarah, Ekonomi, dan Politik punya pendapat yang berbeda.[4] Baginya beragam masalah pendidikan muncul, karena kesalahan kebijakan yang dibuat pemerintah di bidang pendidikan nasional itu sendiri, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Kesalahan kebijakan itu berbuah pada krisis di tiga level pendidikan, sebagaimana dituliskan sebelumnya, yakni minimnya sarana dan prasarana pendidikan di berbagai tempat di Indonesia, sulitnya akses pendidikan, dan kesalahan paradigma pendidikan di dalam membuat kurikulum pendidikan nasional, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Lanjutkan membaca Pendidikan Manusia-manusia Demokratis

Marx, Kapitalisme, dan Masalah Kepemimpinan

wordpress.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Sekitar dua abad yang lalu, Karl Marx, seorang filsuf asal Jerman di abad 19, sudah meramalkan, bahwa kapitalisme akan mengalami masalah besar. Beberapa ramalannya tidak terjadi. Namun beberapa telah terjadi. Di dalam tulisannya Umar Haque (2011) memberikan beberapa catatan.

Ramalan Marx

Yang pertama Marx menyatakan, bahwa kapitalisme akan memiskinkan kaum buruh. Kaum buruh akan diperlakukan semata sebagai alat, dan akan diekspoitasi habis-habisan oleh para pemilik modal. Gaji akan tetap sementara harga barang-barang kebutuhan akan terus meningkat, dan situasi kerja akan semakin tidak manusiawi. Lanjutkan membaca Marx, Kapitalisme, dan Masalah Kepemimpinan

Tuhan dan Uang Part. 2

flickr.com

Etos Protestanisme dan Semangat Kapitalisme

Oleh Reza A.A Wattimena

            Menurut Allen buku Weber yang menjadi kajian utama tulisan ini, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, adalah karya terbaiknya.[1] Pertanyaan mendasar yang ingin dijawab di dalam buku ini adalah, mengapa kapitalisme lahir di Eropa, dan bukan di Asia, atau belahan dunia lainnya? Jawaban Weber cukup jelas, karena adanya agama yang khas Eropa, tepatnya agama Kristen Protestan. Seperti ditegaskan oleh Allen, dengan bukunya tersebut, Max Weber mengubah fokus analisis teori-teori sosial dari pendekatan evolusionis (melihat tingkat perkembangan masyarakat yang bersifat universal dengan Eropa sebagai acuannya) menuju pendekatan perbandingan (comparative approach).[2] Lanjutkan membaca Tuhan dan Uang Part. 2

Tuhan dan Uang (Part 1)

wordpress.com

Membaca Ulang Pemikiran Max Weber tentang

Etos Protestantisme dan Semangat Kapitalisme

serta Relevansinya untuk Indonesia Abad ke-21

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

(Diajukan sebagai Materi Extension Course Filsafat Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya dengan tema “TUHAN DAN UANG: MEMIKIRKAN ULANG HUBUNGAN ANTARA TUHAN DAN UANG” Agustus-Desember 2011.)

            Di dalam tulisan ini, saya akan mengajak anda memikirkan ulang hubungan antara semangat kapitalisme, yang berupa penumpukan modal tanpa batas, dan etos kerja agama Kristen Protestan, sebagaimana dianalisis oleh Max Weber, serta menarik relevansinya untuk memahami situasi Indonesia di abad ke 21. Untuk itu saya akan membagi tulisan ini ke dalam lima bagian. Lanjutkan membaca Tuhan dan Uang (Part 1)