
Oleh Reza A.A Wattimena
Nelson Mandela, almarhum, adalah Presiden Pertama Afrika Selatan yang terpilih secara demokratis. Sebelumnya, ia adalah tahanan politik selama 27 tahun, karena menentang sistem yang bersifat diskriminatif di Afrika Selatan, yang banyak juga dikenal sebagai Apartheid. Setelah menjadi presiden, ia tidak pernah terdorong untuk membalas dendam, namun justru mendorong proses perdamaian dan pengampunan, guna membangun masyarakat Afrika Selatan yang baru. Mengapa ia bisa melakukan itu?
Yesus, tokoh terpenting di dalam Agama Kristiani (bahkan mereka meyakininya sebagai Tuhan), dihukum mati dengan penyaliban. Ini adalah hukuman yang amat sadis dan menghina. Sebelum kematiannya, konon ia berkata, “Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu, apa yang mereka lakukan.” Bagaimana mungkin? Mengapa ia mau mengampuni para pembunuhnya?
Ada semacam kekuatan batin yang mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak mungkin. Pengampunan setelah pengalaman ketidakadilan adalah tindakan yang luar biasa mulia, namun amat sulit untuk dilakukan. Orang harus memiliki kekuatan batin dan kedamaian hati yang mendalam, supaya bisa melakukan itu. Untuk menerangkan ini, saya rasa, kita perlu untuk belajar dari Boethius, filsuf Eropa yang hidup pada masa kekaisaran Romawi.
Boethius hidup pada 480 sampai dengan 526.1 Buku “Hiburan dari Filsafat” ditulisnya pada akhir hidupnya, yakni 526. Ia hidup pada masa peralihan dari Yunani Kuno menuju Abad Pertengahan, sesuai dengan pembagian jaman yang dibuat para ahli tentang sejarah Filsafat Barat. Boethius adalah penerjemah karya-karya Plato dan Aristoteles. Pengaruh keduanya amat kuat bagi perkembangan pemikiran Boethius, yang juga mengakar dalam di dalam tradisi Kristiani.
Buku “Hiburan dari Filsafat”, menurut saya, adalah buku yang amat memikat. Boethius menulisnya dengan menggunakan kata “saya”, jadi terkesan sangat dekat dan pribadi. Jumlahnya sekitar 130 halaman. Sewaktu menulis buku ini, ia sedang berada dalam penjara, dan menanti hukuman mati yang dijatuhkan padanya. Ia juga seringkali menulis dengan gaya puitis untuk menyampaikan pemikirannya.
Ia membayangkan, ada seorang perempuan yang berbicara padanya. Perempuan ini adalah sosok dari filsafat itu sendiri. Ia memberikan penghiburan pada Boethius di dalam masa-masa gelapnya. Buku ini dimulai dengan renungannya tentang betapa rapuhnya kebahagiaan yang bisa dirasakan manusia. Ia begitu mudah datang dan kemudian pergi meninggalkan manusia. Ia tidak dapat dipercaya, kata Boethius.
Boethius juga membayangkan berdiskusi dengan Fortuna, sang Dewi Kebahagiaan dan Keberuntungan. Ia pun bertanya, mengapa kebahagiaan begitu rapuh, dan begitu cepat meninggalkan manusia? Sang Dewi lalu menjawab, bahwa tugasnya sebagai Dewi hanyalah mendorong roda kebahagiaan, yang juga merupakan roda takdir itu sendiri.
Terkadang, manusia berada di atas, dan dia merasa bahagia. Namun, terkadang, ia berada di bawah, dan merasakan penderitaan. Maka dari itu, manusia tidak perlu untuk mengeluh atas keadaannya. Ketika ia menderita, ia harus ingat, bahwa roda terus bergerak, dan ia akan segera mengalami kebahagiaan. Sebaliknya juga benar, bahwa ketika ia bahagia, ia harus bersiap akan penderitaan yang menanti di depan matanya. Itulah roda kebahagiaan dan roda takdir bagi setiap manusia, kata sang Dewi.
Untuk bisa menjalani itu semua, manusia haruslah bersyukur atas apa yang telah ia punya. Ia harus belajar melihat ke belakang dan kemudian menyadari, bahwa banyak pula kebahagiaan yang telah ia dapatkan, di samping penderitaan yang ia alami. Lagi pula, kata Boethius, jika kita berpikir lebih dalam, yang rapuh sebenarnya bukanlah kebahagiaan itu sendiri, tetapi apa yang kita kira sebagai pembawa kebahagiaan, yakni harta, kehormatan, kenikmatan dan kekuasaan. Semua itu akan berlalu, dan hanya akan membawa kepalsuan bagi hidup manusia.
Kebahagiaan yang sesungguhnya itu tidak berada di luar manusia, misalnya di benda-benda atau uang atau kekuasaan, tetapi justru berada di dalam diri pribadi kita sebagai manusia. Hanya kita yang dapat menemukan dan merengkuhnya. Tidak ada orang lain yang bisa mengambil kebahagiaan tersebut. Tidak ada peristiwa yang bisa menghancurkan kebahagiaan itu.
Berbagai musibah dan penderitaan boleh datang. Namun, itu semua tidak akan menghancurkan kebahagiaan sejati di dalam hati kita tersebut. Sebaliknya, semua musibah dan penderitaan itu justru bisa mendorong kita menjauhi kenikmatan semata, dan mulai mencari kebahagiaan yang sesungguhnya di dalam hati kita. Hal-hal jelek dalam hidup kita justru mendorong kita untuk mencari apa yang paling penting dari hidup ini.
Pemikiran Boethius dapat dilihat sebagai gabungan antara pemikiran Filsafat Yunani Kuno, terutama kaum Stoa, dan ajaran Kristiani yang berkembang pesat di abad pertengahan Eropa. Berpijak pada titik ini, ia lalu berpendapat, bahwa kebahagiaan yang sejati, yang abadi dan tidak dapat direbut oleh siapapun, adalah kebahagiaan yang terikat dengan “Yang Baik” itu sendiri, yakni Tuhan. Tuhan berada di dalam hati manusia, dan hanya manusia yang bisa mencapainya di dalam hatinya. Ketika manusia menemukan Tuhan di dalam hatinya, ia tidak takut akan apapun lagi, termasuk akan penderitaan dan kematian.
Berikutnya, Boethius lalu mengajukan pertanyaan, jika Tuhan itu sumber dari kebahagiaan sejati manusia, dan Tuhan berada di dalam hati manusia, mengapa lalu manusia bisa bertindak jahat, bahkan terhadap keluarganya sendiri? Mengapa manusia membunuh dan menyiksa manusia lainnya? Mengapa Tuhan tidak mencegahnya sejak awal, sehingga tidak perlu ada penderitaan dan kejahatan di dunia ini?
Jawaban yang diajukan Boethius sangat sederhana, karena manusia memiliki kebebasan. Dengan kebebasan ini, manusia memilih, apakah ia ingin bertindak baik, atau jahat. Dengan kebebasan ini, manusia juga memilih, apakah ia akan mengambil keputusan yang tepat, atau tidak. Kebebasan bisa menjadi sumber kebaikan dan kemuliaan manusia, sekaligus bisa juga menjadi sumber kejahatan dan penderitaan yang amat besar.
Yang harus diingat adalah, menurut Boethius, bahwa kejahatan itu bukanlah sesuatu yang mandiri. Ia adalah suatu keadaan, dimana kebaikan itu berkurang. Dimana cinta menjadi raja, disana kejahatan tidak menemukan rumahnya. Ketika cinta berkurang, ada ruang hampa yang tersisa. Itulah rumah bagi kejahatan, kata Boethius.
Ada tiga hal yang kiranya bisa kita pelajari dari Boethius. Pertama, kita diajak untuk menemukan kebahagiaan dan kedamaian di dalam hati kita masing-masing. Kebahagiaan dan kedamaian tidak ada di luar diri kita, misalnya di uang, nama besar, atau kenikmatan seksual. Ia sudah selalu tertanam di dalam diri kita. Tugas kitalah menemukan dan memeluknya.
Dua, Boethius juga mengajak kita menyadari, bahwa Tuhan selalu ada di hati kita. Tuhanlah sumber kebahagiaan dan kedamaian yang sejati. Tidak ada orang ataupun keadaan yang akan merusaknya. Kita hanya perlu untuk melihat ke dalam diri kita sendiri, supaya bisa menemukan Tuhan dan kemudian memperoleh kebahagiaan.
Tiga, sebagai manusia, kita memiliki kebebasan. Dengan kebebasan itu, kita lalu bisa membantu orang dan melakukan hal-hal baik lainnya, atau justru berbuat jahat dan menciptakan penderitaan. Ketika kebaikan itu berkurang, maka kejahatan dan penderitaan lahir. Tuhan, menurut Boethius, tidak menciptakan kejahatan. Kitalah, manusia, yang melakukan kejahatan, karena kurangnya kebaikan dalam hidup kita.
Dengan kebebasan dan kedamaian ilahi yang ada di dalam hati kita, kita pun, sama seperti Yesus dan Mandela, bisa belajar untuk mengampuni semua kejahatan dan ketidakadilan yang ditimpakan kepada kita.
1 Saya mengikuti uraian König, Siegfried, Hauptwerke der Philosophie: Von der Antike bis 20. Jahrhundert, 2013 bab dengan judul Boethius: Der Trost der Philosophie (526) dan juga Boethius, The Consolation of Philosophy, diterjemahkan oleh David R. Slavitt, Harvard University Press, Cambridge, 2008. Saya mengacu bagian Introduction yang ditulis oleh Seth Lerer, hal. xi-xv.
Kami terkesan dengan kata-kata ini…
“yang rapuh sebenarnya bukanlah kebahagiaan itu sendiri, tetapi apa yang kita kira sebagai pembawa kebahagiaan, yakni harta, kehormatan, kenikmatan dan kekuasaan. Semua itu akan berlalu, dan hanya akan membawa kepalsuan bagi hidup manusia.”
Itu memang benar, kenikmatan dan kemuliaan duniawi hanyalah sementara saja sedangkan kebenaran yang sejati (kasih kepada Tuhan dan sesama) bisa kita lakukan kapanpun dan dimanapun berada.
Salam…
SukaSuka
salam. terima kasih…
SukaSuka