
Filsafat Trauma Sosial
Sebuah kemungkinan
pemikiran bagi konsep Trauma Sosial
Reza A. A Wattimena
Untuk memahami trauma, menurut Mehta, kita perlu pertama-tama menggunakan pendekatan epistemologis (Mehta, 2006). Di dalam filsafat, epistemologi adalah cabang dari filsafat yang hendak merefleksikan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan manusia. Pertanyaan-pertanyaan dasar, seperti bagaimana kita bisa sampai pada pengetahuan, apa batas-batas pengetahuan manusia, dan apa perbedaan antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan yang tidak ilmiah, adalah pertanyaan-pertanyaan yang menjadi bahan refleksi epistemologi. Dengan demikian, epistemologi dapat juga disebut sebagai teori tentang pengetahuan (theory of knowledge). (Wattimena, 2008)
Konsep trauma juga dapat direfleksikan dengan pendekatan epistemologis. Dengan pendekatan ini, menurut Mehta, kita bisa sampai pada pengertian yang cukup spesifik tentang trauma, dan perbedaannya jika dibandingkan dengan kesedihan, ataupun shock. Kita hendak mencari definisi yang cukup rigid tentang trauma. Dengan rigid, Mehta mengartikannya sebagai berikut; jika ada sesuatu yang memiliki kondisi-kondisi yang diperlukan untuk terjadinya trauma, maka itu pastilah dapat dikategorikan sebagai trauma, dan bukan kesedihan, shock, ataupun depresi. Kita akan memulai refleksi tentang trauma dengan terlebih dahulu memahami kondisi-kondisi kemungkinan (condition of possibilities) bagi terciptanya trauma.
Pertama-tama, trauma bukanlah sesuatu yang muncul dari kekosongan, melainkan memiliki sebab yang jelas. Trauma adalah akibat yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Tanpa faktor-faktor tersebut, trauma tidak akan pernah tercipta. Artinya, penyebab dari trauma adalah sesuatu ‘yang lain’ dari trauma itu sendiri.Kedua, trauma memiliki kecenderungan untuk mengalami peningkatan intensitas. Selama sebab dari trauma itu masih ada, selama itu pula intensitas trauma akan terus meningkat. Ketiga, trauma akan terus ada, walaupun sebabnya sudah tidak ada. Jadi, walaupun sebabnya sudah tidak ada, trauma akan terus ada. Trauma tidak langsung lenyap, ketika sebabnya sudah tidak ada. “Selama korban dan keturunannya masih hidup”, demikian tulis Mehta, “trauma tidak akan hilang, tetapi menyelinap secara tidak kelihatan ke dalam waktu dan ketidaksadaran.” (ibid) Dan keempat, trauma akan berlangsung selama-lamanya. Bahkan jika orang yang mengalami dan keturunannya sudah tidak ada, trauma terus ada, dan berubah menjadi semacam legenda tragis dari masa lalu, serta terus menghantui peradaban selanjutnya. Jadi, trauma memiliki karaker ‘keabadian’. Dengan karakter ini, kita bisa dengan mudah membedakan trauma dari shock, kesedihan, ataupun stress, yang walaupun membuat korban mengalami penderitaan, tetapi penderitaan tersebut tidak berlangsung ‘abadi’.
Trauma, selain mempunyai sebab, juga membutuhkan korban. Tanpa korban, trauma tidak akan pernah tercipta. Korban dari trauma juga bukanlah sembarang korban, melainkan korban manusia (human victim). Secara psikologis, trauma adalah penghayatan subyektif-negatif atas suatu peristiwa obyektif. Dan hanya manusialah yang memiliki ‘privilese’ untuk mengalami itu. Walaupun korbannya adalah manusia, trauma tidak harus dialami oleh satu orang saja. Trauma bisa dialami oleh sebuah desa, sebuah suku, sebuah bangsa, dan bahkan di alami oleh ‘kemanusiaan’ sebagai keseluruhan.
Pada titik ini, anda seharusnya bisa meraba, bahwa definisi trauma bukanlah suatu definisi yang spesifik dan bisa dirampatkan ke dalam satu kalimat, melainkan definisi yang melibatkan beberapa parameter. Saya ingin menambahkan satu parameter lagi. Trauma itu adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata inderawi. Trauma bukanlah suatu entitas fisik, maka trauma tidak pernah dapat dilihat, diraba, atau dihancurkan oleh kekuatan fisik. Sebab dari trauma mungkin bisa merupakan sebab material, seperti akibat ledakan bom atom, tetapi trauma itu sendiri tidaklah material. Trauma lebih tepat digambarkan sebagai sebuah perasaan. Trauma mempengaruhi emosi dan pikiran manusia. Pengaruh yang terutama sekali adalah pengaruh yang membawa pikiran dan emosi manusia pada kondisi-kondisi negatif, seperti kecemasan, ketidakberdayaan, dan dendam.
Ambillah contoh tentang teror. Apapun sebabnya, suatu peristiwa yang bersifat teroristik selalu mengakibatkan hadirnya perasaan takut dan sedih di dalam diri korban. Perasaan takut dan sedih tersebut seolah menyiksa korban untuk jangka waktu yang lama, dan bahkan seumur hidupnya. Bahkan ribuan tahun setelah Kekaisaran Roma menghancurkan Peradaban Yunani Kuno, reruntuhan akibat peristiwa kehancuran tersebut tetap menjadi saksi mata dari kesedihan dan penderitaan yang tidak lenyap dimakan oleh waktu. Reruntuhan seolah bersaksi tentang penderitaan yang mereka rasakan. Trauma yang diakibatkan oleh hancurnya suatu peradaban tidaklah terlihat oleh mata, namun menghantui kemanusiaan selama-lamanya.
Lalu, bagaimana dengan trauma individual? Bagaimana dengan trauma, seperti yang dicontohkan oleh Mehta, yagn dialami oleh seorang ibu yang harus memilih satu di antara dua anaknya yang lahir cacat? Di titik ini, trauma hanya dialami oleh sekelompok orang tertentu. Akan tetapi, karakternya tetap, trauma yang dirasakan oleh ibu tersebut tidak terlihat oleh mata, tetapi sebabnya terlihat. Trauma tersebut juga terasa oleh ibu itu seumur hidupnya.
Ada seorang ibu yang terpaksa harus membunuh anaknya sendiri untuk menyelamatkan anak tersebut dari perbudakan. Trauma yang dialami ibu itu memang bersifat individual, tetapi gaung dari trauma tersebut berbunyi melewati ruang dan waktu, serta kemudian bermukim di hati semua orang tertindas di muka bumi ini, yang sampai sekarang masih berjuang untuk meraih kebebasan untuk diri maupun anak-anak mereka. Cerita sedih ini bermukim di hati sanubari perasaan kemanusiaan kita. Dilihat secara parsial, peristiwa ini tidaklah signifikan untuk dunia. Akan tetapi, dilihat secara kolosal, trauma yang dirasakan ibu tersebut mempengaruhi seluruh kemanusiaan kita selamanya. Korban pengejaran dan penahaman orang-orang yang dituduh PKI pada 1965 dan tahun-tahun berikutnya mengalami trauma, karena menyaksikan secara langsung bagaiman kemanusiaan diinjak-injak oleh kekuasaan. Mereka menyaksikan bagaimana orang ditembak, dan mayatnya dibuang begitu saja. Kejadian tersebut berlangsung selama beberapa tahun, tetapi traumanya dirasakan terus oleh bangsa Indonesia sampai sekarang, dan bahkan sampai selama-lamanya. Jenis trauma ini adalah trauma sosial yang berskala massal, dan bekasnya terus terngiang di dalam rasa kemanusiaan kita. (Wattimena, 2006)
Dengan demikian, segala sesuatu yang memiliki sebab, membuat manusia menderita untuk jangka waktu yang lama, membuat manusia merasa sedih, cemas, dan takut, serta menghantui generasi mendatang, dapatlah disebut sebagai trauma. Trauma mencakup pula semua bentuk penyiksaan, seperti penyiksaan pada anak, perbudakan, kemiskinan, perang, pembersihan etnis, dan penciptaan kamp-kamp konsentrasi. Trauma itu, pada hakekatnya, adalah bersifat sosial. Semua bentuk trauma personal memang dialami secara konkret oleh individu singular, tetapi akibat dan gaung dari trauma tersebut terasa di dalam resonansi rasa kemanusiaan kita. Trauma personal, pada hakekatnya, mungkin adalah trauma sosial.
Daftar Acuan:
http://chir.ag/papers/philosophy-trauma.shtml
Menyukai ini:
Suka Memuat...