
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Apa peran kaum intelektual bagi perkembangan politik Indonesia? Bisakah kaum intelektual diharapkan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa masa depan? Apakah seorang pemimpin –apapun bidang kepemimpinannya- harus memiliki kualitas-kualitas seorang intelektual? Mengapa?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang, pada hemat saya, amat relevan diajukan sekarang ini. Di berbagai aspek kehidupan, bangsa kita mengalami krisis kepemimpinan. Sulit menemukan sosok yang patut menjadi teladan, mampu mengarahkan visi organisasi secara tepat, dan menjalankan fungsi kontrol serta tata kelola sehari-hari dengan baik. Dan karena krisis kepemimpinan, banyak organisasi tidak menjalankan fungsinya secara memadai.
Kaum Intelektual
Harapan pun jatuh ke pundak kaum intelektual. Mereka adalah orang-orang yang membaktikan hidup mereka untuk pengembangan pola berpikir manusia. (Gutting, Intellectuals and Politics, 2011) Mereka membaktikan hidup mereka untuk mengetahui serta memahami dunia, dan apa artinya menjadi manusia. Mereka bukan pemikir-pemikir praktis yang siap dipesan untuk mengabdi kepentingan manapun. Walaupun sekarang di Indonesia, dan juga di seluruh dunia, para intelektual terancam oleh kepentingan pemodal maupun politisi yang “meracuni” pola berpikir mereka. (Wattimena, Penelitian Ilmiah dan Martabat Manusia, 2011)
Menurut Gutting kaum intelektual memberikan informasi pada masyarakat tentang hal-hal yang harus mereka pahami, mulai dari hakekat dan pola kerja masyarakat, apa yang terjadi di masa lalu kita, bagaimana cara berpikir analitis dan reflektif, serta bagaimana cara menikmati karya seni yang bermutu. Melalui kaum intelektual masyarakat luas bisa memperluas wawasan berpikir mereka, dan memiliki pilihan serta pertimbangan yang memadai untuk membuat keputusan-keputusan penting. Kaum intelektual berperan sebagai hati nurani sekaligus penunjuk arah kemana masyarakat akan bergerak.
Seorang filsuf Yunani Kuno, Plato, di dalam bukunya The Republic, menyatakan bahwa suatu masyarakat sebaiknya dipimpin oleh seorang intelektual (filsuf) yang memiliki pengetahuan teoritik mendalam, sekaligus kemampuan praktis untuk menerapkannya, guna menyelesaikan masalah-masalah sehari-hari. Mungkin pada masa lalu, hal ini masih mungkin terjadi, karena ilmu pengetahuan dan filsafat belum begitu beragam dan terspesialisasi, seperti sekarang ini. Hal semacam itu tidak mungkin dilakukan sekarang ini, karena tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat yang begitu cepat, sehingga orang tidak mungkin menguasai lebih dari satu bidang keilmuan.
Di sisi lain menurut Gutting, tidak ada hubungan langsung antara penguasaan teori ilmu pengetahuan di satu sisi, dan kemampuan untuk menerapkan teori-teori tersebut, guna menyelesaikan masalah-masalah praktis sehari-hari di sisi lain. Pada hemat saya ini terjadi karena dua hal. Pertama, teori-teori ilmiah sekarang ini sangat sempit dan mendalam, sehingga hampir tidak mungkin digunakan untuk menanggapi permasalahan sosial politik yang amat rumit. Kedua, para ilmuwan juga seringkali tidak mampu menarik nilai-nilai kehidupan dari teori ilmiah yang mereka pahami. Ini membuat pengetahuannya hanya menyentuh dimensi teknis semata, tanpa pernah menyentuh kedalaman maupun kerumitan hidup manusia.
Kaum Intelektual dan Kepemimpinan
Jadi haruskah seorang pemimpin adalah seorang intelektual? Saya rasa tidak. Namun yang pasti walaupun seorang pemimpin bukanlah seorang intelektual murni, ia tetap harus memiliki kehidupan intelektual yang kaya. Artinya mereka harus mampu berpikir kritis, analitis, teknis, sekaligus reflektif, walaupun bukan seorang ilmuwan ataupun intelektual murni. (Wattimena, Berpikir, 2011) Mereka harus cinta membaca, mendengar wacana ilmiah, dan berani mengajukan pendapat secara rasional dan seimbang di dalam menanggapi berbagai temuan ilmiah yang ada.
Sekarang ini banyak orang merasa tidak perlu berpikir teoritis. Bagi mereka teori dan praktek adalah dua hal yang berbeda. Yang penting adalah prakteknya bagaimana. Teori yang abstrak dan rumit tidak perlu untuk dipahami, karena hanya membuang waktu dan tenaga.
Namun bukankah masalah yang kita paham seringkali amat rumit, sehingga praktek yang tidak memperhatikan kerumitan tersebut justru akan memperparah masalah yang ada? Masalah yang sering kita alami dalam hidup sehari-hari tidak pernah terisolasi dari masalah-masalah lainnya yang lebih besar. Misalnya masalah kemalasan berpikir pekerja Indonesia terkait dengan sistem pendidikan dan sistem politik pemerintahan yang lebih besar. Di titik inilah kemampuan berpikir abstrak, teoritik, dan kompleks diperlukan.
Tanpa kemampuan berpikir abstrak, dan penguasaan teori-teori yang memadai, kita tidak akan dapat memahami akar dari masalah yang kita hadapi. Jika akar masalah tidak dipahami, maka tindakan yang kita lakukan (prakteknya) akan sia-sia, atau justru memperparah masalah. Saya tidak mau mengatakan, bahwa seorang pemimpin sekaligus adalah seorang ahli pendidikan, ekonomi, ataupun ahli politik. Namun seorang pemimpin harus mampu berdialog secara rasional dengan para ahli di bidang-bidang tersebut, supaya mampu memahami akar dari masalah yang ia hadapi, dan membuat keputusan yang tepat.
Dengan demikian kemampuan berkomunikasi dengan kaum intelektual adalah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Dalam bahasa Gutting kaum intelektual adalah “konsumen yang cerdas dari pendapat-pendapat para ahli.” Mereka tidak asal terima pendapat para ahli, namun menelaahnya dulu secara kritis, dan disesuaikan dengan konteks masalah yang terjadi. Mereka tidak terpesona dengan gelar dan reputasi para ahli, namun sungguh bisa memahami pendapat mereka, serta menyesuaikannya dengan konteks masalah yang tengah dihadapi.
Terimakasih atas artikelnya pak… sangat bermanfaat..
SukaSuka
Terima kasih. Salam hangat.
SukaSuka