Tag: berpikir
Wabah Kesempitan Berpikir

Oleh Reza A.A Wattimena
Masalah terbesar di dunia kita sekarang ini bukanlah pandemik. Juga bukan korupsi, atau kesenjangan sosial global, ataupun kerusakan lingkungan. Yang menjadi akar dari semua masalah tersebut adalah kesempitan berpikir. Semua masalah lainnya berakar ke satu masalah tersebut.
Pandemik tercipta dan menyebar, karena kesempitan berpikir sekelompok orang di Cina. Korupsi dan kesenjangan sosial global terjadi, karena kesempitan berpikir sekelompok orang yang rakus dan tak beradab. Diskriminasi, radikalisme dan terorisme terjadi, juga karena kesempitan berpikir. Hal yang sama terjadi dalam soal kerusakan lingkungan. Lanjutkan membaca Wabah Kesempitan Berpikir
Aku Berpikir, Maka Aku… Menderita
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Unika Widya Mandala Surabaya, Doktor Filsafat dari Universitas Filsafat Muenchen, Jerman
Sejak kecil, kita diajar untuk menjadi pintar. Kita diajar untuk melatih pikiran kita, sehingga menjadi pintar. Dengan kepintaran tersebut, kita dianggap bisa hidup dengan baik di kemudian hari. Kita juga bisa menolong orang lain dengan kepintaran yang kita punya.
Hal ini bukan tanpa alasan. Dengan pikiran, manusia menciptakan filsafat. Dari filsafat kemudian berkembanglah beragam cabang ilmu pengetahuan, seperti kita kenal sekarang ini. Dari situ lahirlah teknologi yang kita gunakan sehari-hari. Lanjutkan membaca Aku Berpikir, Maka Aku… Menderita
Filsafat dan Kemandirian Berpikir

Oleh Reza A.A Wattimena
Kepalanya botak. Sisa rambutnya sudah putih semua. Sorot matanya tajam. Suaranya berwibawa, dan ia berbicara secara perlahan, sambil menyusun konsep-konsep yang tercecer di dalam pikirannya.
Namanya adalah Godehard Brüntrup. Ia adalah Professor Filsafat di Universitas Filsafat München, Jerman. Ia sedang diwawancarai oleh salah satu stasiun televisi Jerman. Temanya adalah soal peran filsafat untuk perkembangan pendidikan di Jerman dewasa ini. Lanjutkan membaca Filsafat dan Kemandirian Berpikir
Musik Rock, Stand-Up Comedy dan Filsafat

Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang di München, Jerman
Apa yang sama dari musik rock, Stand-Up Comedy dan filsafat? Ketiganya digemari banyak orang, mulai dari usia muda sampai tua. Bahkan, di salah satu video youtube, kita bisa menyaksikan anak balita menari-nari dengan gembira, ketika mendengar lagu Enter Sandman dari Metallica. Sewaktu di Jakarta dulu, saya pernah menyaksikan ibu-ibu yang mengenakan Jilbab melakukan head bang (menggoyangkan kepala), ketika mendengar konser Metallica.
Stand-Up Comedy berkembang pesat baru-baru ini di Indonesia. Yang pertama menyiarkan adalah Kompas TV, lalu diikuti oleh siaran televisi lainnya. Orang dari beragam usia menikmati dan bahkan ikut menjadi stand up komedian, atau komik, mulai dari anak SD sampai dengan seniman senior sekelas Sujiwo Tedjo. Di AS dan negara-negara Eropa, Stand-Up Comedy memiliki sejarah yang lumayan panjang, sejak dari abad 19.
Di sisi lain, filsafat adalah ilmu tentang segalanya. Ia adalah sebuah tindakan berpikir secara teratur, guna mendapatkan pengetahuan tentang dunia. Keteraturan itulah yang menjadi amat penting di dalam filsafat. Di dalam sejarah, filsafat adalah ibu dari semua ilmu pengetahuan. Saya berpikir, musik rock, Stand-Up Comedy dan filsafat memiliki jiwa dan tujuan yang sama. Lanjutkan membaca Musik Rock, Stand-Up Comedy dan Filsafat
Keberanian untuk Berpikir

Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya
Berpikir adalah tindakan khas manusia. Sudah sejak sekitar 400 tahun yang lalu, Rene Descartes, filsuf asal Prancis, menyatakan, bahwa aku berpikir, maka aku ada. Artinya, keberadaan manusia menjadi unik dan nyata, ketika ia menggunakan pikirannya. Ketika ia berhenti berpikir, atau malas berpikir, maka jati dirinya menjadi tidak jelas.
Namun, berpikir memiliki banyak aspek. Banyak orang mengira, bahwa berpikir hanya melulu soal teknis, yakni soal menghitung, melihat guna, dan mencari keuntungan. Namun, berpikir teknis hanyalah satu bagian kecil dari tindak berpikir manusia. Ada pola berpikir lainnya, misalnya berpikir reflektif dan kontemplatif untuk memahami suatu hal di dunia secara mendalam.
Berpikir, pada pengertiannya yang paling mendalam, juga bergerak melampaui ilmu pengetahuan dan filsafat. Kedua bidang ini sekarang sudah menjadi begitu teknis. Begitu banyak konsep yang sangat rumit dan sulit dimengerti, sehingga justru membunuh kemampuan berpikir kritis manusia untuk mempertanyakan hal-hal yang ada, dan kemudian mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Dengan kata lain, tindak berpikir manusia lebih luas dari sekedar ilmu pengetahan dan filsafat. Lanjutkan membaca Keberanian untuk Berpikir
Enam Kesesatan Berpikir Orang Indonesia

Oleh Reza A.A Wattimena
Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya
Mengapa bangsa kita sulit sekali untuk bergerak menjadi bangsa maju? Dalam arti ini, bangsa maju memiliki tiga ciri berikut, yakni kemakmuran ekonomis yang merata di seluruh warganya (kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin tipis), keadilan hukum dan jaminan atas hak-hak asasi bagi semua rakyat (lepas dari ras, suku, agama, ideologi, dan orientasi seksual), dan munculnya produk-produk dari bangsa tersebut, baik dalam bentuk barang ataupun jasa, yang berguna bagi banyak orang. Jika dilihat dari tiga indikator ini, maka jelas, bahwa bangsa Indonesia sama sekali belum bisa disebut sebagai bangsa maju.
Mengapa ini terjadi? Pada hemat saya, ini terjadi, karena kita mengalami kesesatan berpikir yang melanda berbagai bidang kehidupan di Indonesia. Saya setidaknya menemukan enam kesesatan berpikir yang bisa dengan mudah ditemukan di dalam diri orang Indonesia pada umumnya, yakni cara berpikir teologis-mistik, kemalasan berproses/kultur instan, logika jongkok, konformisme kelompok, tidak taat perjanjian, dan bekerja setengah hati. Lanjutkan membaca Enam Kesesatan Berpikir Orang Indonesia
Indonesia dan Kesempitan Berpikir Kita

Oleh Reza A.A Wattimena
Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya
Kita hidup dalam dunia yang telah disempitkan. Hal-hal yang kaya dan rumit disempitkan menjadi hal-hal sederhana yang justru membunuh arti pentingnya. Gejala ini dapat dilihat di semua bidang kehidupan, mulai dari pendidikan, politik, sampai dengan seni. Penyempitan dunia kehidupan ini perlu untuk kita refleksikan, lalu kita kurangi sisi merusaknya.
Politik
Dunia politik disempitkan menjadi pengejaran kekuasaan. Aliansi antar partai politik dibangun bukan untuk meningkatkan kinerja politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, melainkan untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Negosiasi dibangun bukan untuk menciptakan kebijakan yang efektif dan efisien untuk menunjang kinerja mesin politik, melainkan untuk membuat proyek-proyek baru yang penuh dengan lubang untuk dikorupsi.
Dunia politik juga disempitkan menjadi kesempatan untuk menumpuk uang. Orang berlomba-lomba menjadi anggota DPR dan DPRD bukan untuk melaksanakan pengabdian, melainkan untuk mencari celah, guna mengembangkan modal keuangan mereka. Ketika menjabat sebagai kepala daerah, orang berlomba-lomba untuk mendapatkan proyek dan tender, guna mendapatkan uang lebih banyak lagi, setidaknya untuk menutupi ongkos kampanye politik sebelumnya.
Padahal sejatinya, politik adalah soal pengabdian pada kepentingan rakyat untuk mewujudkan terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali. Ketika ini disempitkan semata menjadi pengejaran kekuasaan dan kesempatan untuk menumpuk uang, masalah besar muncul. Politik adalah soal tata kelola masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip yang bisa dipertanggungjawabkan bersama. Ketika politik tidak berjalan, tata kelola masyarakat pun tidak berjalan, dan semua urusan akan berantakan. Lanjutkan membaca Indonesia dan Kesempitan Berpikir Kita
Mengapa Kita Perlu Belajar Filsafat?

Oleh Reza A.A Wattimena
Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Pernahkah anda bertanya dalam hati, apa tujuan hidup ini? Atau mengajukan pertanyaan, mengapa saya ada? Memang, agama memberikan jawaban. Namun, apakah anda puas dengan jawaban yang diberikan agama?(1)
Jika anda tidak puas dengan jawaban dari agama, ataupun dari tradisi anda, maka belajar filsafat adalah sesuatu yang mesti anda lakukan. Setidaknya dengan mempelajari filsafat, anda bisa menemukan metode yang lebih tepat untuk memahami dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tersebut. Lanjutkan membaca Mengapa Kita Perlu Belajar Filsafat?
Cara Berpikir Kita

Oleh Reza A.A Wattimena
Bagaimana mungkin seorang hakim ditangkap (Kompas, 2 Juli 2011)? Bukankah ia sosok tertinggi penjaga hukum (dan keadilan) di suatu masyarakat? Bagaimana mungkin sosok tertinggi penegak hukum justru menjadi pelanggar hukum? Bukankah dampak moral dan sosialnya akan lebih parah untuk masyarakat kita? Pasti ada yang salah dengan cara berpikirnya.
Peristiwa di Desa Gadel masih menjadi perhatian saya. Bagaimana mungkin institusi pendidikan (sekolah) meminta siswanya menyontek? Bukankah tindakan itu jelas bertentangan dengan alasan keberadaan institusi pendidikan itu sendiri? Sekali lagi; ada yang salah dengan cara berpikirnya. Lanjutkan membaca Cara Berpikir Kita
Berpikir

Oleh Reza A.A Wattimena
Untuk hidup orang perlu berpikir. Setiap saat setiap waktu, orang berpikir. Perilaku lahir dari proses berpikir. Aku berpikir maka aku ada, begitu diktum Descartes yang tetap relevan sampai sekarang.
Bahkan untuk merasa orang perlu berpikir. Tidak ada pemisahan tegas antara perasaan dan pikiran. Proses emosional terbentuk dari campuran antara pikiran dan perasaan.
Tindakan juga lahir dari pikiran. Proses pertimbangan pikiran melahirkan keputusan. Dan dengan keputusan hidupnya, manusia mengubah dunia. Tak ada yang lebih penting daripada membentuk cara berpikir. Disitulah filsafat berperan. Lanjutkan membaca Berpikir