Paradoks Harapan

Mard Issa The Wasteland of Hope

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Manusia memang mahluk yang berharap. Hidupnya didorong oleh harapan. Orang bisa bangun tidur, dan kemudian siap beraktivitas, juga karena punya harapan akan hidup yang lebih baik. Ketika kesulitan menerpa, harapan pula yang mampu menyelamatkan manusia.

Namun, harapan juga memiliki paradoks. Ia tidak hanya daya dorong kehidupan, tetapi juga sumber kehancuran, terutama harapan yang tak terwujud. Ketika harapan besar terhempas oleh gejolak kehidupan, patah hati, kebencian dan konflik adalah buahnya. Ini terjadi di banyak tingkat, mulai dari tingkat pribadi sampai dengan hubungan antar bangsa. Lanjutkan membaca Paradoks Harapan

Kisah Tujuh Paradoks

b-i.forbesimg.com
b-i.forbesimg.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Hidup manusia modern ditandai dengan satu ciri, yakni ketakutan. Di satu sisi, mereka hidup dengan menata masa depan. Mereka takut, jika masa depan mereka kacau, dan hidup mereka pun kacau. Di sisi lain, mereka takut akan masa lalu, karena telah melakukan sesuatu yang mereka sesali.

Rasa takut membuat pikiran kacau. Pertimbangan menjadi kacau. Banyak keputusan pun dibuat dengan kekacauan pikiran. Akhirnya, keputusan-keputusan itu justru menciptakan masalah yang lebih besar.

Pada tingkat politik, dampak keputusan yang salah amatlah merugikan. Banyak orang menderita, karena kesalahan kebijakan yang dibuat pemerintah. Sayangnya, banyak kebijakan tersebut dibuat atas dasar rasa takut akan masa depan. Rasa takut mengaburkan kejernihan berpikir, dan memperbesar masalah yang sudah ada sebelumnya.

Rasa takut juga menciptakan penderitaan batin yang besar. Banyak orang terjebak di dalam depresi, karena rasa takut yang berlebihan. Banyak orang jatuh ke dalam ketergantungan narkoba, karena penderitaan batin dan rasa takut di dalam hati mereka. Orang yang menderita cenderung kejam tidak hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga pada orang lain. Lanjutkan membaca Kisah Tujuh Paradoks

Paradoks Kepemimpinan dan Pemilu Kita di 2014

creativeintelligenceinc.com
creativeintelligenceinc.com

Oleh B. Herry Priyono

Musim gempita membandingkan dua calon presiden/wakil-presiden hampir usai. Negeri ini akan segera memasuki pucuk waktu. Kita hendak berdiri beberapa menit di bilik pemungutan suara untuk menerobos momen genting yang akan memberi nama hari esok Indonesia.

Apa yang berubah sesudah kedua kubu menjajakan rumusan visi dan misi, program, dan mematut-matut diri dalam debat di televisi? Tidak banyak, kecuali emosi politik yang terbelah ke dalam pertarungan abadi antara “memilih dari keputusasaan” dan “memilih bagi harapan”. Setelah berbagai timbangan nalar dikerahkan, yang tersisa adalah tindakan memilih yang digerakkan dua daya itu. Mungkin kita bahkan tidak menyadarinya.

Namun dengan itu dua kubu juga kian membatu. Masih tersisa beberapa hari bagi kita untuk menimbang pilihan dengan akal-sehat. Barangkali tiga pokok berikut dapat dipakai menambah aneka kriteria yang telah banyak diajukan. Lanjutkan membaca Paradoks Kepemimpinan dan Pemilu Kita di 2014

Paradoks

blogspot.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Hidup adalah pilihan. Kita diminta untuk memilih kiri atau kanan. Keduanya ekstrem yang seolah tak terdamaikan. Seolah memilih yang satu berarti otomatis menolak yang lain. Itu tetap hanya keseolahan.

Faktanya keduanya saling membutuhkan. Yang satu membutuhkan yang lain untuk bisa bertahan. Walaupun berbeda dan saling membenci, segala ekstrem di dalam hidup saling membutuhkan dan mengandaikan. Inilah paradoks sejati kehidupan.

Apa implikasinya untuk hidup kita? Lanjutkan membaca Paradoks

Untuk Eric Mulyadi Santosa

cdn1.1stwebdesigner.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Januari 2008, Atma Jaya, Jakarta, saya lupa tepatnya. Itulah ketika saya pertama kali berjumpa dengan Eric Mulyadi Santosa. Saya sudah sering mendengar namanya waktu itu. Namun kami belum pernah berjumpa langsung.

Percakapan pertama kali kami adalah soal apa itu manusia. Wah memang terdengar berat sekali, tetapi itulah yang terjadi. Ia dulu bilang begini, “manusia itu bukan substansi, tetapi jaringan.” Saya langsung setuju dengan pendapat itu.

Saya merasa berbicara dengan cermin. Yah, bagaikan berbicara dengan diri sendiri. Sejak awal berbicara kami langsung nyambung, terutama tentang tema-tema yang terkait dengan kehidupan manusia. Dalam banyak hal kami juga amat mirip.

Eric cenderung mengatakan segala sesuatu secara tegas. Saya pun sama. Ketika di kelas ia tidak ragu untuk bilang begini, “paper-mu dangkal.” Saya pun sama. Hehehe… Tak perlu diragukan lagi. Saya dan Eric memiliki posisi teoritis maupun nilai-nilai kehidupan yang “sama”. Lanjutkan membaca Untuk Eric Mulyadi Santosa

Paradoks Demokrasi

Paradoks Demokrasi

Reza A.A Wattimena

Sejalan dengan proses reformasi Indonesia yang terus bergejolak, cita-cita mewujudkan masyarakat demokratis yang adil dan makmur terasa masih jauh dari jangkauan. Demokrasi pun kini mulai dipertanyakan. Apakah demokrasi layak menjadi prinsip pemerintahan kita? Atau mungkinkah bangsa kita tidak cocok dengan demokrasi?

Pemilu adalah pesta demokrasi. Namun banyak kalangan berpendapat, bahwa pemilu hanya menghabiskan biaya negara, yang seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan lain yang lebih berdaya guna. Gejolak Pilkada Jawa Timur yang memakan biaya begitu besar masih basah di ingatan kita semua. Lagi pula banyak orang juga yakin, bahwa orang-orang yang terpilih tidak murni atas dasar kemampuan dan yang merupakan kehendak rakyat, tetapi lebih berdasarkan kekayaan material semata.

Kebebasan Berpendapat

Satu hal yang sungguh menandai masyarakat demokratis adalah kebebasan berpendapat. Setiap orang berhak mengajukan pandangannya tentang berbagai hal. Kebebasan berpendapat adalah roh demokrasi. Tanpanya penguasa bisa memerintah seenaknya tanpa adalah kontrol dari rakyatnya.

Kebebasan berpendapat itu disalurkan melalui Pers. Pers memiliki panggilan untuk menanggapi secara kritis semua kebijakan yang terkait dengan kehidupan bersama. Jika kebebasan berpendapat adalah roh demokrasi, maka pers adalah wujud nyata kebebasan berpendapat tersebut. Tidak ada demokrasi tanpa pers yang kuat, kritis, dan independen.

Yang terjadi di indonesia adalah, kini kebebasan berpendapat itu disalahgunakan. Alih-alih digunakan untuk memperjuangkan kepentingan bersama, banyak kelompok menyebarkan kebencian dan fitnah yang diselubungkan atas dasar klaim kebebasan berpendapat. Banyak berita yang bertujuan bukan untuk mengungkapkan kebenaran, melainkan untuk menimbulkan perpecahan. Alih-alih menciptakan masyarakat yang kritis dan cerdas, kebebasan berpendapat justru sering digunakan untuk memperbodoh dan memecah belah.

Kebebasan Berorganisasi

Hal yang sama terjadi pada prinsip kebebasan berorganisasi. Diktum dasar demokrasi adalah kebebasan bagi setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya melalui organisasi yang dilindungi sepenuhnya oleh hukum. Organisasi tersebut berfungsi untuk mengumpulkan opini dan menyalurkan aspirasi, yang kemudian diperjuangkan di dalam arena publik. Masyarakat demokratis yang ideal terdiri dari organisasi-organisasi independen yang kritis dan aktif memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat, sekaligus masih menyadari perlunya kesatuan untuk menciptakan kebaikan bersama.

Yang terjadi di Indonesia adalah kebebasan berorganisasi banyak terkena sensor, baik oleh pemerintah maupun oleh organisasi lainnya yang mendaku mewakili pendapat rakyat banyak. Di era reformasi ini, masih banyak kelompok-kelompok organisasi minoritas yang dianggap subversif, sehingga patut untuk ditutup. Dengan kata lain kebebasan organisasi bukanlah prinsip yang membantu mengembangkan masyarakat, tetapi justru menjadi ajang penindasan kelompok yang kuat terhadap yang lemah.

Paradoks Demokrasi

Dengan fakta-fakta itu, banyak orang tidak lagi percaya pada demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai ciptaan peradaban Barat yang tidak cocok untuk Indonesia. Demokrasi dianggap terlalu mahal, dan tidak cocok untuk masyarakat kita yang masih feodal. Alih-alih dianggap sebagai penyelamat, demokrasi dianggap sebagai penghalang.

Memang semua kritik itu masuk akal. Akan tetapi semua kritik itu tepat mengalami paradoks. Di dalam bukunya yang berjudul The Republic buku ke-8, Plato menulis begini, “Adalah mungkin kasusnya bahwa untuk melakukan apa yang telah kita lakukan (yakni melakukan kritik tajam terhadap demokrasi), kita mesti hidup dalam masyarakat demokratis.” (Roochnik, 2005) Artinya kita bisa leluasa berbicara tentang cacat-cacat demokrasi, dan upaya untuk menggantinya, justru ketika kita berada di dalam masyarakat yang tengah mengusahakan demokrasi. Demokrasi adalah satu-satunya prinsip politik yang memungkinkan kritik terhadapnya hidup dan berkembang.

Maka seperti dikatakan oleh Winston Churchill, “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk kecuali dari bentuk-bentuk pemerintahan lainnya yang pernah ada.” Kita boleh meremehkan demokrasi. Kita boleh tidak setuju dengannya. Kita boleh menghina demokrasi sebagai sebuah prinsip politik. Namun jangan lupa bahwa itu semua bisa kita lakukan, jika kita hidup di dalam masyarakat demokratis! Inilah sisi paradoks demokrasi yang sering terlupakan dari para kritikusnya.***

Paradoks Pengangguran

Paradoks Pengangguran

Reza A.A Wattimena

Salah satu masalah pokok yang dihadapi oleh banyak negara sekarang ini adalah masalah pengangguran. Jumlah penduduk yang siap kerja jauh melampaui kesempatan kerja yang tersedia. Akibatnya, banyak orang yang tidak bekerja. Mereka menjadi pengangguran.

Biasanya, pengangguran tidak pernah dilihat sebagai masalah pada dirinya sendiri. Pengangguran dianggap sebagai suatu masalah, karena hal ini akan menciptakan masalah-masalah lainnya, seperti kemiskinan, meningkatnya kriminalitas, dan sebagainya. Dengan kata lain, pengangguran tidak pernah dilihat sebagai problem pada dirinya sendiri.

Pada dirinya sendiri, pengangguran sebenarnya adalah sebuah paradoks: orang tidak bekerja, tetapi pikirannya dipenuhi dengan pekerjaan, tepatnya keinginan untuk mendapatkan pekerjaan. Olah fisik dan mental untuk mendapatkan pekerjaan sebenarnya adalah sebuah pekerjaan juga.

Pernyataan common sense: pengacara (pengangguran banyak acara) menunjukkan secara persis sisi paradoks dari pengangguran. Di dalam waktu luang seorang pengangguran, pikirannya dipenuhi dengan pekerjaan.

Sebaliknya, di dalam kesibukan bekerja, pikirannya dibuat rileks oleh rutinitas dan dateline, yang membuat ia selalu merasa aktif, berguna, dan dijauhkan dari pikiran-pikiran krisis, seperti kecenderungan bunuh diri, kecemasan eksistensial, krisis self image, dan kebosanan.

Krisis Self-Image

Pada dirinya sendiri, pengangguran adalah suatu momen krisis, yakni ketika situasi yang lama (bekerja) sudah berakhir, tetapi situasi yang baru (bekerja di tempat lain) belum juga muncul. Inilah yang disebut Thomas Kuhn sebagai krisis paradigma, yakni ketika paradigma yang lama sudah berlalu, namun paradigma yang baru belum juga bertumbuh.

Momen krisis ini berada di beberapa level, seperti level ekonomi (orang penggangguran biasanya hidup dari pesangon yang tidak seberapa besar), level sosial (status pekerjaan yang tidak jelas membuatnya terancam di dalam lingkungan sosial), dan level eksistensial (krisis persepsi diri: orang menjadi bingung, siapa dia sebenarnya)

Level pertama dan level kedua, yakni level sosial dan ekonomi, adalah akibat sampingan dari pengangguran. Akan tetapi, pengangguran pada dirinya sendiri sebenarnya bukanlah soal sosial ataupun ekonomi, tetapi soal eksistensial: soal keberadaan manusia mengarungi hidupnya di dalam dunia yang fana ini.

Krisis yang utama, ketika orang memasuki status sebagai pengangguran adalah krisis akan self-image, yakni krisis identitas. Krisis ini terkait dengan pertanyaan yang sederhana namun sulit dijawab, siapa saya?

Ketika orang bekerja sebagai montir, pada waktu malam sebelum ia tidur, ia akan mampu menjawab pertanyaan itu dengan tegas: saya montir. Ketika orang bekerja sebagai guru, ia akan menjawab pertanyaan tersebut: saya guru. Namun, apa yang akan dijawab seseorang, ketika ia pengangguran?

Tentu saja, ia bisa menjawab dengan mengajukan identitas lainnya, seperti saya orang Jawa, saya seorang ayah, tetapi jawaban itu pun tidak pernah memuaskan. Selalu saja ada yang tidak cukup.

Mengapa kerja menjadi begitu penting? Apakah itu soal uang? Mungkin jawabannya ya. Akan tetapi, saya yakin, kerja itu bukan hanya soal uang, tetapi soal kepuasan yang mencakup pula soal kepercayaan, pengakuan, dan kebanggaan.

Hegel dan Kerja

G.W.F Hegel, seorang filsuf Jerman, pernah menyatakan, bahwa kerja membuat manusia mengaktualisasikan dirinya ke level yang paling maksimal. Melalui kerjalah manusia menemukan keutuhan dirinya.

Dengan bekerja, manusia merasa bahagia. Dengan bekerja, tidak hanya kebutuhan ekonomi dan sosialnyalah yang terpenuhi, tetapi kebutuhan eksistensialnya. Ia bisa tidur dengan tenang, setelah menjawab pertanyaan, siapa saya?…

Hegel bisa dibilang terlalu romantis. Ia hidup pada masa, di mana orang bisa merasakan hasil kerjanya langsung. Artinya, setiap orang adalah pemilik modal yang bisa melihat bagaimana modalnya berkembang. Tidak ada yang menjadi buruh.

Seorang pelukis melukis, dan kemudian melihat hasil karyanya. Hasil karyanya dibeli oleh orang lain, dan uang hasil penjualan tersebut dipakainya untuk bertahan hidup.

Seorang petani bisa melihat bagaimana pertaniannya panen. Ia lalu menjual hasil panenannya. Uang hasil penjualan lalu digunakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya.

Jadi, setiap orang puas. Ia bekerja, melihat hasil kerjanya, dan menikmati hasil kerjanya tersebut. Akan tetapi, apakah keadaan sekarang masih seperti itu?

Kerja dan Keterasingan

Apa yang dikatakan oleh Hegel dibantah oleh Marx. Menurut Marx, di dalam masyarakat kapitalis, kerja bukanlah tanda aktualisasi diri, tetapi tanda keterasingan manusia.

Manusia menjadi terasing, karena ia tidak pernah menikmati hasil kerjanya sendiri. Ia bekerja untuk orang lain. Ia bekerja keras, tetapi orang lainlah yang kaya. Orang lain itu adalah pemilik modal.

Orang jadi tidak mengenali dirinya sendiri, yang tercermin di dalam hasil kerjanya, karena hasil kerjanya langsung menjadi milik orang lain.

Saya bekerja di pertanian orang lain. Ketika panen, panen tersebut bukan milik saya, tetapi milik bos saya, yakni si pemilik pertanian yang tidak pernah bekerja sehari-harinya.

Saya tidak mengenali hasil kerja saya, karena hasil kerja saya langsung diambil oleh bos saya. Saya mendapatkan uang dari kerja saya, tetapi uang itu pun bukan hasil dari kerja saya langsung, melainkan gaji dari bos saya.

Kondisi semacam inilah yang menciptakan keterasingan bagi para pekerja. Mereka tidak mengenali diri mereka lagi, sama seperti mereka tidak lagi mengenali hasil kerja mereka. Kerja pun menjadi sumber ketidakbahagiaan dan kecemasan hidup.

Disini, kita menemukan dilema kerja: ketika bekerja orang merasa tidak bahagia, karena ia merasa terasing. Ketika ia menganggur, ia menjadi tidak bahagia, karena ia mengalami krisis eksistensial.

Jadinya, orang dihadapkan pada buah simalakama: maju nyebur ke lautan api, mundur jatuh ke jurang. Pilih mana?

Being-Having

Keadaan semakin mencekam, ketika di dalam masyarakat modern kapitalis sekarang ini, orang menyamakan begitu saja hakekat manusia dengan kepunyaannya. Dalam kosa kata filsuf Perancis Gabriel Marcell, being seseorang disamakan dengan having-nya.

Saya adalah apa yang saya punya, itulah pandangan yang dianut banyak orang sekarang ini. Jika saya punya rumah, mobil, dan tabungan, maka itulah saya: sang pemilik rumah, pemilik mobil, dan pemilik tabungan. Tidak kurang dan tidak lebih.

Cara berpikir semacam ini tidak hanya berada di level orang yang satu memandang orang lainnya, tetapi juga cara kita memandang diri kita sendiri. Kita merasa tidak berguna, ketika kita tidak punya rumah, mobil, dan tabungan. Tanpa rumah, mobil, dan tabungan, saya bukanlah manusia.

Cara berpikir semacam inilah yang merusak, yang juga membuat situasi para pengangguran menjadi lebih menyakitkan. Di satu sisi, ia kehilangan konsep tentang dirinya sendiri. Di sisi lain, ia merasa tidak berguna, karena hampir semua miliknya terancam hilang.

Jadi, pengangguran pada dirinya sendiri bukanlah sebuah masalah sosial, tetapi sebuah masalah eksistensial yang terkait erat dengan keberadaan (eksistensi) seseorang. Tidak heran, banyak orang bunuh diri, karena menjadi pengangguran.

Kecemasan Eksistensial

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kecemasan eksistensial? Apa bedanya dengan kecemasan-kecemasan lainnya, yang tidak eksistensial?

Jika anda khawatir anak anda belum pulang, padahal hari sudah malam, itu bukanlah kecemasan eksistensial. Ketika anda hendak bepergian dan cuaca mendung, dan anda takut akan kehujanan, itu juga bukanlah kecemasan eksistensial.

Kecemasan berbeda dengan ketakutan. Obyek dari ketakutan jelas: takut pada anjing, takut pada kegelapan, dan sebagainya. Sementara, obyek dari kecemasan itu abstrak. Orang cemas, karena ia takut pada apa yang akan terjadi di depan. Padahal, tidak ada orang yang bisa meramal masa depan.

Kecemasan eksistensial juga sama, yakni obyeknya abstrak, yakni tentang keberadaan manusia itu sendiri. Orang mengalami kecemasan eksistensial, jika ia mempertanyakan segala sesuatu yang ia yakini sebelumnya di dalam hidupnya secara radikal. Biasanya, momen kecemasan eksistensial terjadi, ketika kita sedang mengalami krisis.

Misalnya, anda tidak jadi menikah, karena calon istri anda selingkuh. Akibat peristiwa yang menyakitkan ini, anda jadi bertanya: apakah saya ditakdirkan untuk menikah? Apakah ada wanita yang bisa sungguh memahami saya?

Ketika anda di PHK secara tidak adil, anda akan bertanya? Bisakah saya hidup setelah ini? Apakah saya masih punya kesempatan untuk bekerja di tempat lain? Bagaimana dengan masa depan istri dan anak-anak saya?

Itulah kecemasan eksistensial. Kecemasan yang terkait erat dengan seluruh keberadaan manusia. Inilah kecemasan paling parah yang diderita oleh banyak orang pengangguran.

Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman, pernah menulis, bahwa kecemasan eksistensial memiliki dampak positif. Dengan mengalami kecemasan eksistensial, orang menjadi terbuka terhadap realitas. Ia terbuka pada “Ada“.

Dengan mengalami kecemasan eksistensial, orang menjadi bercermin, dan melihat dirinya sendiri. Ia berhenti menjadi bagian dari masyarakat, dan menjadi otentik secara individual.

Tentu saja, tidak sembarang orang bisa melakukan ini. Banyak orang yang hancur secara emosional, ketika ia mengalami kecemasan eksistensial.

Dibutuhkan suatu pandangan yang jernih dan hati yang tegar untuk mencari sisi positif dari kecemasan eksistensial. Dan memang, tidak semua orang memiliki kemampuan seperti itu.

Belajar Hidup

Lalu bagaimana? Jika masalah utama dari orang pengangguran adalah masalah eksistensial, maka solusi utamanya juga harus berada di level eksistensial.

Tentu saja, kita harus memperjuangkan berdirinya sebuah sistem, yang sungguh menghargai martabat manusia, apapun status sosialnya di dalam masyarakat. Kita juga harus memperjuangkan berdirinya sebuah sistem, yang tidak begitu mudah merendahkan manusia di dalam pekerjaannya, seperti PHK misalnya.

Akan tetapi, itu semua masih jauh dari realitas di Indonesia. Bangsa kita belum bisa berpikir dan bertindak ke arah itu.

Richard Rorty, seorang filsuf Amerika, memberikan kita beberapa saran. Bagi dia, kehidupan manusia ditandai dengan satu hal, yakni kontingensi.

Artinya, kehidupan manusia itu tidak pernah pasti. Segala sesuatu berubah, dan perubahan itu tidak memiliki arah yang jelas.

Jika hakekat dari kehidupan adalah kontingensi, maka kita pun harus menyingkapi kehidupan ini dengan sikap yang kontingen pula. Jika hidup ini penuh dengan ketidakpastian, maka kita harus menyingkapinya juga dengan ketidakpastian.

Jika dipadatkan, argumen itu akan berbunyi seperti ini: belajarlah untuk hidup di dalam tegangan ketidakpastian, karena memang hakekat dari hidup ini adalah ketidakpastian! Belajarlah untuk selalu hidup di dalam suasana naik-turun, karena hidup ini memang naik-turun.

Dengan lincah bermain di antara ketidakpastian, kita akan menjadi terbuka pada realitas. Kita tidak lagi terikat pada apa yang kita punya, tetapi menjadi dinamis dan kontingen, sama seperti realitas itu sendiri.

Dengan menjadi terbuka pada ketidakpastian realitas, kita bisa melampaui paradoks pengangguran. Dengan terbuka pada realitas, siapa tahu, kita akhirnya bisa merasa bahagia.***