Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Mengapa rakyat yang hidup di dalam masyarakat demokratis membiarkan pemerintahnya melanggar hak-hak asasi manusia warganya sendiri, maupun negara lainnya? Di Indonesia, dua hal kiranya muncul di depan mata. Pertama, rakyat yang membiarkan pemerintahnya menarik pajak dan beragam uang illegal lainnya (coba saja bikin surat di kelurahan), sementara korupsi dari level pusat sampai daerah terus meningkat. Kedua, serangan militer Indonesia kepada Timor Leste yang sampai sekarang belum diberi pertanggungjawaban yang memadai oleh pemerintah Indonesia.
Di depan peristiwa-peristiwa itu, rakyat seolah diam. Hanya beberapa orang yang peduli, dan kemudian membangun gerakan untuk melawannya. Sisanya tenggelam dalam kesibukan menumpuk uang, dan menikmati hidup dengan berbelanja. Dua alasan muncul di mulut mereka, ketika berdiskusi soal ini.
Pertama, mereka sudah muak dengan segala berita buruk terkait dengan politik. Rasa muak itu berlangsung begitu lama, bahkan diwariskan ke generasi berikutnya. Rasa muak lalu melahirkan sikap tidak peduli, atau apati politik. Mereka pun menarik diri dari kehidupan politik, dan menjadi warga negara yang pasif. Akar dari sikap mundur ini sebenarnya adalah rasa sakit, hati kecewa dan rasa muak. Lanjutkan membaca Bahasa dan Dunia yang Terbalik
Seringkali kita mendengar kata “alay” dalam percakapan sehari-hari, terutama dalam kalangan remaja. Walaupun kita sering mendengar, itu tidak langsung membuat kata ”alay” dipahami. Kata ”alay” memang berasal dari ”dunia gaul”. Namun bahasa dalam dunia gaul memang tidak memiliki asal dan aturan yang pasti, sehingga pengertiannya pun seringkali tidak jelas. Akibatnya, muncul banyak jawaban tentang arti dan asal kata ”alay” ini. Ada banyak singkatan yang muncul dari ”alay” seperti anak layangan, anak kelayapan (baca: jarang pulang), anak layu ataupun anak lebay (baca: berlebihan).
Secara umum bahasa ”alay” dianggap sebagai suatu bahasa yang terlalu melebih-lebihkan. Namun, pengertian negatif terhadap bahasa ”alay” sebaiknya ditangguhkan terlebih dahulu. Tentunya kita akan mengalami kesulitan untuk memahami sesuatu, bila langsung diawali dengan prasangka yang buruk. Bahasa ”alay” akan dibahas bukan sebagai bahasa yang terlalu berlebihan, tetapi sebagai suatu bahasa inovatif yang muncul dari kaum muda. Alasan disebut inovatif, karena menambahkan unsur ekspresi, itu menunjukan jati diri remaja, dan indikator perkembangan bahasa. Lanjutkan membaca Indonesia atau “Alaynesia”?
Grüße dich. Mein Name ist Reza Alexander Antonius Wattimena. Ich wohne in Keputih, Surabaya, Indonesien. Ich komme aus Duren Sawit, Jakarta, Indonesien. Ich bin Philosophie Lehrer / Professor. Ich bin achtundzwanzig Jahre alt. Ich liebe Lesebuch, lehre, Musik hören, folgende Diskussion, und Basketball spielen. Ich möchte weiterhin dem Studium der Philosophie in Deutschland. Sie verstehen mich? Ich hoffe so (Banyak salah grammatiknya, biarin aja, masih belajar soalnya)
Sudah seminggu ini, saya belajar bahasa Jerman. Setiap hari Senin sampai Jumat, pukul 7.30 sampai jam 12.00 siang, saya berkutat dengan kata-kata asing, dan aturan-aturan bahasa yang tak pernah saya tahu sebelumnya. Memusingkan, tetapi juga menyenangkan. Apakah anda juga pernah belajar bahasa baru sebelumnya? Bagaimana perasaan anda? Lanjutkan membaca Belajar Bahasa itu sama Seperti Memimpin. Kok Bisa?
Mbulet itu artinya membingungkan, berbicara berputar, dan sulit dipercaya. Orang berbicara namun membuat orang lain bingung. Orang bertindak juga dengan memaksa orang lain untuk memutar otak, dan bingung. Setiap buih kata yang keluar hanya menghasilkan kegelapan bagi orang sekitar yang mendengar. Lanjutkan membaca Indonesia dan Demokrasi Mbulet
Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya, 1 April 2011.
Kata ini bagaikan belut. Tidak ada makna pasti. Kata ini hidup dalam konteks. Cara mengucapkan sampai siapa yang dituju menentukan maknanya.
Sahabat dekat mengucapkan kata ini untuk menyapa. Musuh besar juga mengucapkan kata ini, ketika menyatakan rasa bencinya. Kata ini bukanlah kata sifat, atau kata kerja. Ia hanya kata. Ia adalah ekspresi.
Kata ini lahir dari “rahim” orang Surabaya. Kata ini secara singkat menggambarkan identitas orang Surabaya. Ia menggambarkan secara gamblang roh masyarakat pinggir pantai yang amat unik ini.
Seorang Filsuf asal Austria, Ludwig Wittgenstein, pernah berpendapat, bahwa bahasa lahir dari suatu konteks. Konteks itu disebutnya sebagai permainan bahasa (language games). Di dalam permainan bahasa, ada aturan yang harus dipatuhi. Makna suatu kata atau suatu aktivitas selalu harus dilihat dalam konteks permainan bahasanya. Lanjutkan membaca Jancuk
Oleh: Reza A.A Wattimena, Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Charles Taylor lahir pada 5 November 1931.[1] Ia berasal dari Kanada, yakni kota Montreal, Quebec. Ia adalah seorang filsuf yang memiliki jangkauan penelitian dan refleksi sangat luas, mulai dari filsafat politik, filsafat ilmu-ilmu sosial, dan sejarah filsafat. Pada 1952 Taylor meraih gelar B.A pada bidang sejarah dari Universitas McGill. Kemudian ia melanjutkan studi ke Oxford pada bidang filsafat, politik, dan ekonomi. Pada 1955 ia menjalani studi doktoral di bawah Isaiah Berlin dan G.E.M Anscombe pada bidang filsafat.
Setelah menyelesaikan studi doktoralnya, Taylor bekerja di Universitas Oxford sebagai professor pada bidang teori sosial dan teori politik. Selain itu dia juga adalah seorang professor pada bidang filsafat dan ilmu politik di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Sekarang ini ia telah pensiun, dan menjadi professor emeritus. Pada 1955 ia memperoleh gelar kehormatan Order of Canada, penghargaan tinggi pemerintah Kanada terhadap warganya. Pada Juni 2008 Taylor memperoleh Kyoto Prize pada bidang filsafat dan seni. Banyak ahli berpendapat bahwa Kyoto Prize adalah hadiah nobel versi Jepang.
Menurut Ruth Abbey ada beberapa hal yang membuat Charles Taylor dapat dianggap sebagai salah satu filsuf terbesar abad ke-20.[2] Selama lebih dari empat puluh tahun, Taylor menulis banyak sekali artikel dan buku, serta berdiskusi di forum-forum publik tentang masalah-masalah yang sedang relevan. Usia tua tidak membuatnya kedodoran. Sebaliknya pada usia tua, ia justru menulis karya-karya baru yang mencerahkan banyak orang di berbagai bidang. Tulisan-tulisannya dibaca orang hampir di seluruh dunia. Dia berbicara dan menulis dalam bahasa Jerman, Inggris, dan Perancis dengan sangat mahir. Menurut Abbey yang membuat Taylor layak disebut sebagai salah satu filsuf terbesar abad ke-20 adalah jangkauan tema analisisnya yang begitu luas dan mendalam. Ia banyak menulis tentang moral, subyektivitas, teori politik, epistemologi, hermeneutika, filsafat pikiran, filsafat bahasa, dan bahkan estetika. Belakangan ini ia banyak juga menulis tentang agama.
Pada era sekarang banyak ilmuwan begitu terspesialisasi di bidangnya, sehingga lupa dengan hal-hal lain di luar displin keilmuannya. Namun hal ini rupanya tidak terjadi pada Taylor. Ia mampu menulis tentang berbagai macam hal, namun dengan analisis maupun refleksi yang sangat mendalam. Oleh karena itu ia juga banyak disamakan dengan para filsuf klasik yang memang menulis tentang banyak hal, sekaligus secara mendalam. Abbey bahkan menempatkan Taylor setara dengan Plato, Aristoteles, Augustinus, Hobbes, Locke, Rousseau, Kant, Hegel, John Stuart Mill, dan Nietzsche dalam hal keluasan sekaligus kedalaman pemikiran. Lanjutkan membaca Charles Taylor