Oleh Reza A.A Wattimena
Dulu, saya terkesan dengan Steve Jobs, pendiri dan CEO Apple. Saya membaca banyak biografinya. Saya juga banyak menonton videonya. Steve Jobs hanya punya satu tujuan, yakni mengubah dunia.
Dulu, pandangannya sangat menginspirasi saya. Saya pun ingin mengubah dunia, seperti Steve Jobs. Yang tercipta kemudian ambisi yang keras. Saya ingin memaksakan ide saya kepada dunia.
Akibatnya, saya menderita. Jobs pun mengalami hal serupa. Karena begitu kuat memaksakan idenya ke dunia, Jobs banyak berkonflik dengan orang. Ia pun meninggal, karena kanker yang menggerogoti tubuhnya.
Orang tua pun mengajarkan saya hal yang sama, yakni menjadi berguna. Saya harus bisa berguna untuk negara dan agama (yang dipilihkan oleh orang tua). Semua kemampuan yang ada pada saya harus bisa membantu mengembangkan bangsa dan agama. Namun, ada yang aneh dari ini semua.
Berguna yang tak berguna
Ada empat hal. Pertama, banyak orang ingin membuat dunia jadi lebih baik. Namun, yang dilakukan justru merusaknya. Mereka memiliki niat baik, tetapi tidak ada kejernihan pikiran. Mereka melestarikan pola penindasan yang lama, sambil berbangga hati, karena merasa sudah membantu, padahal tetap merusak.
Dua, banyak tindakan baik justru menciptakan ketergantungan. Pemberian sumbangan membuat orang tak kreatif dan mandiri. Di banyak tempat, sumbangan justru menjadi ajang korupsi. Secara keseluruhan, niat baik justru menciptakan dampak yang menghancurkan, karena dibuat tanpa kejernihan berpikir.
Tiga, banyak orang berbuat baik dengan pamrih. Mereka ingin menyebarkan agama tertentu. Tindakan baik menjadi topeng bagi penyebaran agama. Pada akhirnya, semua menjadi persoalan perluasan kekuasaan belaka.
Empat, tindakan baik untuk mengubah dunia kerap menjadi iklan politik. Lihatlah para politisi korup yang gemar memasang baliho di Indonesia di 2023 ini. Kemunafikan dan kepalsuan terpancar begitu jelas. Apakah mereka sudah kehilangan rasa malu?
Sumbangan Terbesar
Masalah dunia akan selalu sama. Sejak dulu, sudah ada kemiskinan, ketidakadilan dan perang. Sejak dulu, bencana alam dan pandemi sudah ada. Dan sudah sejak dulu, manusia berusaha menyelesaikan semua persoalan tersebut, namun gagal, dan bahkan justru memperbesar masalah yang sudah ada.
Di tengah itu semua, tugas sejati kita selalu sama, yakni menyadari jati diri kita yang asli. Siapa kita, sebelum semua pikiran dan emosi muncul? Pikiran dan emosi lalu berhenti. Buahnya adalah kejernihan dan ketenangan batin.
Dengan kejernihan dan ketenangan yang ada, kita bisa melihat keadaan dengan obyektif. Baru kita bisa sungguh membantu orang lain. Kita tidak menjadi bagian dari masalah yang ada. Kita tidak ingin mengubah dunia seturut ambisi kita, apalagi menyebarkan agama, atau melakukan iklan politik.
Penderitaan tentu tetap datang. Itu bagian dari hidup yang tak bisa dihindari. Namun, penderitaan bisa menjadi guru kita. Penderitaan menunjukkan cara berpikir mana yang kita pegang erat, namun ternyata tak sesuai dengan kenyataan.
Maka, sumbangan terbesar kita untuk dunia adalah perubahan kesadaran kita. Kita menyadari diri kita yang sebenarnya, sebelum pikiran dan emosi muncul. Kita lalu melihat dunia dari sudut pandang kosmik seluas semesta. Kita memahami kenyataan sebagaimana adanya, bukan yang kita inginkan. Baru setelah itu, kita bergerak untuk bertindak, guna menolong semua mahluk.
Andaikan Steve Jobs paham ini, ia mungkin bisa lebih sehat. Ia tidak harus berkonflik besar dengan keluarga ataupun koleganya. Tubuhnya bisa lebih seimbang. Andaikan…
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/