Oleh Dhimas Anugrah,Pendiri dan Ketua Lingkar Filsafat (Circles) Indonesia, komunitas pembelajar budaya, filsafat, dan sains.
“Mental manusia Indonesia itu tidak suka berpikir logis, tidak suka berusaha dengan gigih dan tekun, suka meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak disiplin, dan suka mengabaikan tanggungjawab,” ujar Prof. Koentjaraningrat.
Anda marah atas simpulan itu?
Tunggu dulu. Coba tilik amatan Mochtar Lubis yang tiba pada konklusi bahwa “Manusia Indonesia pada umumnya bermental munafik, enggan bertanggung-jawab, berjiwa feodal, percaya takhyul, berwatak lemah, boros, bukan pekerja keras, suka mengeluh, mudah dengki, arogan, dan tukang tiru. Lanjutkan membaca Revolusi Spiritual
Pendidikan adalah urusan semua orang. Ia bukanlah semata urusan pemerintah, atau ahli pendidikan semata. Pepatah lama mengatakan, bahwa dibutuhkan satu desa untuk membesarkan seorang anak. Pendidikan adalah sebuah upaya bersama yang membutuhkan landasan nilai, sekaligus usaha bersama dari seluruh masyarakat.
Mutu pendidikan mempengaruhi mutu kehidupan masyarakat di masa kini dan masa depan. Segala bentuk kejahatan, mulai dari pencurian, pembunuhan, pemerkosaan sampai dengan korupsi, berakar pada kegagalan sebuah masyarakat mewujudkan sistem dan filsafat pendidikan yang bermutu tinggi. Mutu pendidikan juga mempengaruhi masa depan sebuah bangsa. Kemampuan sebuah bangsa untuk tetap ada dan terlibat di dalam pembentukan masyarakat global yang adil dan makmur amat ditentukan dari mutu pendidikan di dalamnya. Lanjutkan membaca Buku Terbaru: Merancang Revolusi Pendidikan Indonesia Abad 21
2021 ini, Indonesia amat membutuhkan revolusi pendidikan. Sudah terlalu lama, pendidikan kita terpuruk jatuh. Sistem sekolah yang berantakan dipadu dengan tidak adanya filsafat pendidikan yang kokoh. Bangsa kita pun semakin dangkal dari hari ke hari.
Pendidikan Indonesia memang bermutu amat rendah. Ia begitu tercabut dari keseharian hidup manusia. Ia begitu tercabut dari budaya yang agung dan bijaksana. Ia justru menyiksa peserta didik dengan berbagai hal yang tak berguna. Lanjutkan membaca Darurat Revolusi Pendidikan di Indonesia
Juli 2021, Indonesia di ambang bencana. Pandemik COVID 19 masih menghantui. Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang salah total terkait bencana ini. Rakyat pun semakin sulit hidupnya.
Jutaan pandangan sudah diajukan. Namun, semua tampak diabaikan. Pemerintah terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Dewan perwakilan rakyat pun tidak pernah sungguh mewakili kepentingan rakyat, melainkan hanya memperkaya diri sendiri dan partai semata. Negara tampak tuli pada suara dan kepentingan rakyatnya. Lanjutkan membaca Apa yang Harus Dilakukan, Jika Negara Memperbodoh dan Mempermiskin Rakyatnya Sendiri?
Di dalam filsafat, Marxisme adalah cinta pertama saya. Saya masih ingat buku tulisan Franz Magnis-Suseno yang berjudul Pemikiran Karl Marx. Seingat saya, buku itu terbit pada 1999. Itu merupakan salah satu buku filsafat pertama yang saya baca sampai selesai.
Sewaktu itu, saya masih di bangku SMA. Saya masih ingat perasaan saya waktu itu. Pikiran begitu tercerahkan. Dada begitu berkobar oleh semangat untuk membuat perubahan. Sejak itu, saya menjadi seorang Marxis. Lanjutkan membaca Pengakuan Seorang Marxis-Zennist
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang
Sepanjang sejarah manusia, kita melihat ribuan konflik, akibat perbedaan latar belakang sosial. Keanekaragaman, yang sejatinya bisa menjadi daya dorong kemajuan peradaban, justru dipelintir untuk memecah belah, sehingga menciptakan konflik berdarah, semata demi memenuhi kepentingan politik yang bejat.
Di abad 21 ini, kita pun kembali ke jatuh ke lubang yang sama. Di beragam tempat di dunia, kita bisa menyaksikan, bagaimana perbedaan memicu konflik berkepanjangan yang memakan banyak korban.
Jelas, dunia membutuhkan perubahan mendasar dan menyeluruh terkait hal ini. Kita membutuhkan revolusi atas intoleransi yang menyebar dalam bentuk kebencian, rasisme dan diskriminasi dalam berbagai bentuk.
Tingkat-tingkat Toleransi
Untuk itu, kita perlu memahami secara mendalam makna toleransi sesungguhnya. Pemikiran Rainer Forst, di dalam bukunya yang berjudul Toleranz im Konflikt: Geschichte, Gehalt und Gegenwart eines umstrittenen Begriffs, bisa membantu kita dalam hal ini. Lanjutkan membaca Toleransi dan Revolusi
Revolusi adalah perubahan yang cepat, mendasar dan menyeluruh. Ia bisa terjadi di level sosial dan politik, tetapi juga bisa terjadi di level pribadi. Kita bisa menderet berbagai contoh revolusi sosial politik di dalam sejarah manusia, mulai dari revolusi Prancis di abad 18 sampai dengan revolusi kemerdekaan Indonesia di awal sampai dengan pertengahan abad 20. Buku ini saya tujukan bukan hanya pada para peminat filsafat, tetapi juga pada semua orang yang merasa, bahwa Indonesia, dan juga dunia ini, butuh perubahan yang cepat dan mendasar; revolusi.
oleh Sindhunata (Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta) dan Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta, Calon Presiden PDI Perjuangan 2014)
KITA memerlukan pemimpin yang taat beragama, yang bisa membawa perbaikan moral bangsa. Begitu dikatakan mantan Wakil Presiden Hamzah Haz baru-baru ini. Hamzah Haz juga menyarankan perlunya dibangun lebih banyak tempat ibadah, agar semakin banyak orang berdoa sehingga semakin banyak pula orang yang memiliki moral yang baik.
Hamzah Haz tidak keliru jika ia menghubungkan doa dan moral yang baik. Hanya masalahnya, doa manakah yang bisa membuahkan moral yang baik? Pertanyaan ini kebetulan juga sedang digeluti sejumlah sarjana antropologi dan teologi Islam maupun Kristen. Pergulatan mereka dikumpulkan di bawah tema ”Prayer, Power, and Politics” dalam jurnal Interpretation, Januari 2014.
Para antropolog kultural memahami doa sebagai aktivitas ritual. Dari sudut kultural, ritus adalah kesempatan, di mana orang menjalin hubungan baik dengan kelompoknya, maupun realitas sosialnya, termasuk kekuasaan. Sementara karena pada hakikatnya kekuasaan selalu relasional, kekuasaan mau tak mau juga memengaruhi ritus dan dirasakan secara riil oleh mereka yang menjalankan aktivitas ritual itu. Di situlah terletak hubungan antara doa dan kekuasaan. Dengan pendekatan di atas, Rodney A Werline, profesor studi agama-agama di Barton College, North Carolina, meneliti bagaimana doa-doa dihidupi tokoh-tokoh Kitab Suci Perjanjian Lama, seperti Hannah, Ruth, Salomo, dan Daniel. Dari penelitiannya terlihat doa terjadi dalam cakupan relasi sosial dan historis yang amat luas.
biografi.blogspot.de
Doa bisa berfungsi sebagai dinamika keluarga, sebagai ekspresi cinta di antara sahabat, sebagai ratapan orang jujur yang tidak bersalah tetapi menjadi korban, sebagai teguran pemuka agama terhadap umatnya dan sebagai upaya bagaimana mengobati luka sosial umatnya, sebagai jalan bagi para pemimpin untuk menjalankan kepemimpinannya, juga sebagai jalan menentang kekuasaan represif. Lanjutkan membaca Revolusi Doa dan Revolusi Mental
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya
Dunia memang semakin kacau. Ini terjadi, karena kesenjangan sosial yang begitu besar antara si kaya dan si miskin. Orang yang kaya semakin kaya, karena memiliki kemampuan dan kesempatan untuk memutar uangnya, guna menghasilkan keuntungan yang lebih besar lagi dan lagi. Sementara, orang yang miskin semakin sulit hidupnya, karena harga barang makin tinggi, sementara daya beli entah tetap, atau justru semakin menurun.
Kesenjangan sosial lalu menghasilkan kemiskinan. Seperti di Jakarta, mobil BMW seri terbaru berseliweran, dibarengi dengan pengemis yang belum menemukan rejeki untuk makan pagi ini. Pemandangan yang kontras semacam ini juga banyak ditemukan di berbagai kota-kota besar dunia. Kemiskinan tidak hanya membuat perut kosong, tetapi juga menghancurkan harga diri seorang manusia.
Dari kemiskinan muncul lalu beragam masalah lainnya. Pemukinan kumuh bertambah jumlahnya di samping pemukiman mewah. Masalah kebersihan dan kesehatan kota lalu muncul, karena akses terhadap air bersih dan lingkungan layak semakin berkurang. Angka kriminalitas juga meningkat, karena orang tidak memiliki pilihan lain, selain menjadi maling dan perampok. Hidup bersama lalu menjadi tidak nyaman, karena selalu dibayangi oleh ketakutan dan kekumuhan. Akarnya sama: kesenjangan sosial. Lanjutkan membaca Kapitalisme sebagai Revolusi
Cuplikan dari Buku Filsafat sebagai Revolusi Hidup, Terbit 2014
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Saya beruntung, karena mendapat kesempatan mendengar kuliah yang amat bagus dari Hendra Sutedja tentang Filsafat Timur. Saya ingat, ia mengajukan pendapat, bahwa inti dari seluruh Filsafat Cina adalah perubahan. Orang-orang Cina melihat perubahan iklim, perubahan cuaca, dan perubahan di dalam segalanya. Alam adalah perubahan itu sendiri, dan perubahan adalah inti dari revolusi, yakni perubahan yang cepat dan mendasar.
Pendapat yang sama dapat ditemukan di dalam pemikiran Herakleitos, filsuf Yunani Kuno. Ia berpendapat, bahwa inti terdasar dari seluruh kenyataan yang ada adalah perubahan. Ia kemudian merumuskan argumen: pantha rei, yang berarti mengalir. Seluruh alam, termasuk manusia, itu terus mengalir dan berubah, tanpa henti.
Revolusi adalah sebentuk perubahan. Bedanya, revolusi adalah perubahan yang disadari, terjadi secara cepat dan mendasar. Reformasi, seperti yang dilakukan di Indonesia sejak 1998, adalah perubahan di permukaan, bagaikan menambal kain yang rusak. Ini jelas bukanlah revolusi. Revolusi bagaikan membakar kain yang lama, lalu berusaha menjahit baju yang baru dari kain yang baru dengan teknik yang lebih baik. Lanjutkan membaca Filsafat dan Revolusi yang Tak Berhenti
Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, Sedang di München, Jerman
Buku ini adalah buku filsafat yang lahir dari kegelisahan. Saya memberinya judul “Filsafat sebagai Revolusi Hidup.” Judul ini langsung menyentuh pemikiran saya yang tertuang di dalam buku ini. Dengan judul ini, saya juga berusaha menafsir ulang, apa arti filsafat sesungguhnya, dan apa perannya dalam hidup kita.
Di dalam buku ini, saya melihat filsafat sebagai suatu cara hidup yang revolusioner. Pemahaman ini lahir dari pergulatan pribadi saya dengan pelbagai makna filsafat yang tersebar di dalam sejarah peradaban manusia, mulai dari pencinta kebijaksanaan, sampai dengan pemahaman tentang segala sesuatu. Filsafat mengajak orang untuk berpikir sistematis, masuk akal dan mendasar tentang hidupnya, dan hidup orang-orang di sekitarnya. Dari tiga hal itu, filsafat lalu menjadi revolusi; cara hidup revolusioner.
Apa makna revolusi? Revolusi adalah perubahan yang cepat, mendasar dan menyeluruh. Ia bisa terjadi di level sosial dan politik, tetapi juga bisa terjadi di level pribadi. Kita bisa menderet berbagai contoh revolusi sosial politik di dalam sejarah manusia, mulai dari revolusi Prancis di abad 18 sampai dengan revolusi kemerdekaan Indonesia di awal sampai dengan pertengahan abad 20. Lanjutkan membaca Filsafat sebagai Revolusi: Pendahuluan Buku Filsafat Terbaru
Dosen Filsafat Politik Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman
Di dalam bahasa Jerman, kepemimpinan diterjemahkan sebagai Führungspersönlichkeit. Secara harafiah, arti kata ini adalah kepribadian yang memimpin. Bisa ditafsirkan, bahwa kepemimpinan bukan hanya teknik atau tips, tetapi sebuah bentuk kepribadian. Di dalam tulisan ini, saya mengajukan satu argumen, bahwa kepemimpinan perlu untuk menjadi revolusioner. Apa arti revolusioner?
Revolusioner berakar pada kata Latin, revolutio, yang berarti berputar balik. Kata ini lalu berkembang artinya menjadi perubahan politik dalam waktu singkat dan drastis. Tujuannya membangun tata kelola politik dan ekonomi yang baru. Di dalam tulisan ini, saya ingin menafsirkan ulang makna revolusi secara baru, yakni sebagai suatu gaya kepemimpinan. Saya menyebutnya kepemimpinan revolusioner.
Ide tentang kepemimpinan revolusioner sudah selalu tertanam di dalam sejarah filsafat Barat yang usianya sudah lebih dari 2300 tahun. Di dalam tulisan ini, saya ingin mengangkat ide-ide tersebut dalam kerangka teori tentang kepemimpinan revolusioner. Lalu, saya akan coba mengaitkan ide tersebut dengan situasi di Indonesia sekarang ini. Ide tentang kepemimpinan revolusioner bisa membantu kita untuk memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, terutama setelah Pemilu 2014 nanti. Lanjutkan membaca Kepemimpinan Revolusioner
Dutch Fishing Boats, Verso: Sketches of Boats Johan Barthold Jongkind (Dutch, 1819–1891)
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman
Dunia tersentak oleh revolusi yang nyaris tanpa darah di Mesir 2011 lalu. Sosok pimpinan yang telah memimpin begitu lama dengan teror dan senjata rontok oleh desakan ratusan ribu orang yang menggedor pintu politisnya. Setahun setelah peristiwa itu, suasana berubah.
Revolusi belum selesai, karena presiden terpilih (dengan dukungan kelompok Muslim Brotherhood) membuat kebijakan yang seolah mengangkat dirinya sendiri sebagai diktator baru, mengancam keberadaan kelompok minoritas, maupun cita-cita revolusi sebelumnya. Revolusi harus dilanjutkan, mungkin kali ini dengan pertumpahan darah. Musim Semi di Arab seolah berganti muka menjadi Musim Dingin di Arab (Der Spiegel, Dezember 2012)
Hampir dua tahun, Suriah dicabik oleh perang saudara. Kelompok pemberontak berperang melawan pemerintah untuk menguasai negeri itu. Berbagai skenario bertebaran, siapa yang mendukung siapa, atau siapa menolak siapa. Namun, satu pertanyaan menggantung, apa yang terjadi, setelah perang usai? Apakah keadaan akan lebih baik, atau sebaliknya, bagaikan keluar dari mulut singa masuk ke mulut harimau, justru terperosok lebih dalam ke dalam penderitaan? Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan ini.
Revolusi dan Perang Saudara
Revolusi adalah suatu perubahan politis yang relatif cepat, yang biasanya diikuti dengan gerakan massa yang besar, serta gencetan senjata yang memakan korban jiwa. Indonesia, dan ratusan negara lainnya, telah mengalaminya. Dua tahun belakangan ini, badai revolusi bergerak dari Afrika Utara, dan kini sedang menyerang Timur Tengah. Apa yang terjadi setelah revolusi? Tak ada yang tahu.
Jarang sekali, kita menemukan revolusi yang berjalan damai. Seperti situasi Mesir, revolusi yang berjalan damai, mungkin saja, berarti, bahwa revolusi belum selesai, dan harus terus dilanjutkan. Bagaikan saudara kembar yang senantiasa bergandengan tangan, revolusi dan perang saudara yang mencabik banyak korban jiwa selalu ada berbarengan. Apakah ini hukum sejarah? Mungkin.
Dengan adanya revolusi, orang mengharapkan perubahan politis ke arah yang lebih baik, yakni terciptanya tata politik yang memungkinkan orang untuk hidup secara damai, adil, dan sejahtera. Namun, harapan luhur ini bisa tak terwujud, ketika orang tak mempersiapkan, apa yang mesti dilakukan, setelah revolusi usai. Pertanyaan apa yang harus segera dilakukan setelah revolusi, pada hemat saya, tak kalah pentingnya dengan pertanyaan, bagaimana melakukan revolusi secepat mungkin, dan tanpa darah. Lanjutkan membaca Sesudah Revolusi, Sebuah Refleksi
Di Mesir awal 2011, tepatnya di Tahrir Square, kita melihat sesuatu yang mengagumkan. Massa berkumpul untuk menyatakan protes mereka pada rezim yang berkuasa. Di sampingnya ada orang-orang yang menyediakan makanan gratis untuk massa demonstran, juga ada pelayanan medis, dan bahkan hiburan, supaya para demonstran tidak bosan. Di akhir demonstrasi massa yang sama kemudian membersihkan tempat demonstrasi, dan bubar secara damai.
Tahrir Square adalah ruang publik, yakni ruang milik masyarakat. Maka masyarakat memiliki tanggung jawab untuk merawatnya. Ruang publik adalah rumah sesungguhnya dari rakyat, yakni tempat mereka berjumpa, dan menyatakan kegelisahan serta harapan mereka. Maka ruang publik harus bersih, dan rakyatlah yang harus menjamin kebersihannya. (Benhabib, 2011) Lanjutkan membaca Satu Dunia, Satu Luka
April 2011 buletin Cogito Fakultas Filsafat ingin membedah kaitan antara Facebook dan Gerakan Massa. Ada tiga tulisan. Yang pertama adalah tulisan berjudul Facebook: Awal sebuah Revolusi karangan Aloysius Luis Kung, mahasiswa Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya.
Yang kedua adalah tulisan berjudul Anarki karangan Kristoforus Sri Ratulayn, juga mahasiswa Fakultas Filsafat. Dan yang ketiga adalah tulisan mengenai pemikiran Karol J. Wojtyla yang ditulis oleh Adrian Adiredjo, Dosen di Fakultas Filsafat. Lanjutkan membaca Facebook dan Gerakan Massa
Revolusi tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam sejarah modern.
Pada usia 20, Lafayette, aristokrat dari Auvergne, Prancis Selatan, itu berangkat ke Amerika. Ini tahun 1777, ketika belum ada harapan bagi perjuangan orang Amerika untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris. Saat itu Raja Prancis tak mengizinkan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Tapi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur. Hatinya berkobar dengan keyakinan yang disuratkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Ia pun berangkat dari pantai Spanyol dengan menyamar sebagai seorang perempuan.
Akhirnya—setelah menyatakan diri tak hendak menerima bayaran sepeser pun—ia diterima bergabung dengan tentara pembebasan yang dipimpin George Washington. Di antara pasukannya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyambut pemuda Prancis yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus merasa malu, mempertontonkan diri di depan seorang perwira yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menjawab: ”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.”
Dan Lafayette memang belajar banyak, melalui perang, luka, intrik politik—dengan gairah yang tak kunjung menciut. Ia kembali ke Prancis setelah empat tahun bertempur. Beberapa tahun kemudian ia terlibat langsung dengan Revolusi Prancis.
Profil Singkat seorang Filsuf Perempuan Revolusioner
Oleh: REZA A.A WATTIMENA
Apakah anda pernah mendengar nama Rosa Luxemburg? Jika anda seorang aktivis sosial, pemikir kritis, pencinta ide-ide Karl Marx, pejuang keadilan sosial, dan tidak mengenal nama itu, anda perlu lebih banyak membaca.
Ia adalah seorang penulis, filsuf, dan aktivis sosial ternama. Ia dipenjara bertahun-tahun, karena menentang terjadi perang dunia pertama.[1] Di sisi lain ia juga banyak melakukan kritik terhadap ajaran-ajaran Marx yang tradisional. Saya ingin mengajak anda mengenalnya lebih dalam.
Salah satu cara untuk mengenalnya lebih dalam adalah dengan membaca surat-surat pribadinya. Itu semua ada di dalam buku The Letters of Rosa Luxemburg yang dikumpulkan dan diterjemahkan oleh George Shriver. Membaca buku itu anda akan diajak untuk menyelami pribadi seorang perempuan yang memiliki integritas tinggi, seorang pemikir sejati, sekaligus seorang aktivis keadilan sosial yang tak kenal lelah.
Semua itu bukanlah tanpa tantangan. Ia dipenjara dari 1904-1906, dan tiga setengah tahun berikutnya, karena ia menentang dengan keras terjadinya perang dunia pertama. Bahkan ia dibunuh secara brutal oleh kelompok militer pada 1919, ketika terjadi pemberontakan kaum pekerja di Berlin. Jelaslah ia adalah orang yang tidak pernah gentar, ketika nilai-nilai hidupnya ditantang.
Di balik semua itu, seperti dijelaskan oleh Rowbotham, ia adalah seorang perempuan yang amat penuh cinta dan humoris.