
Oleh Reza A.A Wattimena
Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya
Kita hidup dalam dunia yang telah disempitkan. Hal-hal yang kaya dan rumit disempitkan menjadi hal-hal sederhana yang justru membunuh arti pentingnya. Gejala ini dapat dilihat di semua bidang kehidupan, mulai dari pendidikan, politik, sampai dengan seni. Penyempitan dunia kehidupan ini perlu untuk kita refleksikan, lalu kita kurangi sisi merusaknya.
Politik
Dunia politik disempitkan menjadi pengejaran kekuasaan. Aliansi antar partai politik dibangun bukan untuk meningkatkan kinerja politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, melainkan untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Negosiasi dibangun bukan untuk menciptakan kebijakan yang efektif dan efisien untuk menunjang kinerja mesin politik, melainkan untuk membuat proyek-proyek baru yang penuh dengan lubang untuk dikorupsi.
Dunia politik juga disempitkan menjadi kesempatan untuk menumpuk uang. Orang berlomba-lomba menjadi anggota DPR dan DPRD bukan untuk melaksanakan pengabdian, melainkan untuk mencari celah, guna mengembangkan modal keuangan mereka. Ketika menjabat sebagai kepala daerah, orang berlomba-lomba untuk mendapatkan proyek dan tender, guna mendapatkan uang lebih banyak lagi, setidaknya untuk menutupi ongkos kampanye politik sebelumnya.
Padahal sejatinya, politik adalah soal pengabdian pada kepentingan rakyat untuk mewujudkan terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali. Ketika ini disempitkan semata menjadi pengejaran kekuasaan dan kesempatan untuk menumpuk uang, masalah besar muncul. Politik adalah soal tata kelola masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip yang bisa dipertanggungjawabkan bersama. Ketika politik tidak berjalan, tata kelola masyarakat pun tidak berjalan, dan semua urusan akan berantakan. Lanjutkan membaca Indonesia dan Kesempitan Berpikir Kita