Cinta dan Kepemimpinan

lizkeever.files.wordpress.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Pada tulisan saya sebelumnya, saya menyatakan argumen, bahwa cinta itu harus dihidupi dengan enam komponen, yakni komponen hasrat (1), kehadiran (2), kemampuan memberi ruang untuk berkembang (3), komitmen (4), harus pakai akal budi (5), dan dijalankan dengan penuh kesadaran akan paradoks hidup (6). Yang juga menarik, keenam hal ini juga merupakan enam hal yang diperlukan oleh pemimpin yang baik. Apa kaitan antara kepemimpinan dan cinta? Kok, kelihatannya ga nyambung gitu?

Seorang pemimpin harus punya hasrat. Jelas donk, kalau tidak ada hasrat, tidak ada keinginan, tidak ada api, bagaimana ia bisa memberikan inspirasi pada orang-orang yang dipimpinnya? Bagaimana ia bisa berkomunikasi secara tegas dan jelas tentang visi pribadinya untuk organisasi? Tanpa hasrat, pemimpin adalah orang yang lemas dan membosankan. Capek deh, ya ga?

Saya punya seorang teman yang adalah pemilik pabrik besar di Jawa Timur. Kalau berbicara, suaranya keras. Matanya menatap tajam. Ide-ide yang keluar dari mulutnya juga tertata dengan baik. Tak heran, para pekerjanya amat menghormatinya. Pabrik yang dipimpinnya pun dipercaya konsumen, dan kini sukses besar.

Seorang pemimpin juga harus hadir untuk organisasinya. Ia harus hadir beserta seluruh pikiran, hati, dan tenagannya. Hanya dengan begitu, organisasinya bisa berkembang. Pemimpin yang selalu menghilang akan membuat organisasi tak ubahnya seperti anak ayam kehilangan induk. Mirip seperti lagu yang terkenal akhir 2011 lalu, mau dibawa kemana.. organisasi kita?

Saya pribadi punya banyak pengalaman terkait dengan pemimpin semacam ini. Indonesia rupanya jadi gudang pemimpin-pemimpin semacam ini. Mereka mau terima gaji besar, berpangkat tinggi, tetapi tak pernah hadir untuk para pekerjanya. Semua anggota organisasinya pun menyanyi, mau dibawa kemana… organisasi kita? Udah ah.. hush.. ganti lagu..

Pemimpin yang baik juga memberikan ruang bagi orang-orang yang dipimpinnya untuk mengembangkan diri. Pekerja yang bahagia adalah pekerja yang ideal, dan bahagia berarti ia memiliki kesempatan untuk mengembangkan bakat-bakat yang ia punya. Kalau anda memiliki bos yang amat peduli dengan pengembangan diri anda, bagaimana perasaan anda? Senang bukan? Kalau sudah senang, anda mau kerja lebih rajin kan? Amin!!

Jujur saja, sekarang ini, saya bekerja di tempat yang amat memperhatikan pengembangan diri saya (sekalian promosi nih.. hehehe). Saya merasa diajak terlibat, diberikan ruang untuk mengembangkan diri, dan, akhirnya, saya pun jadi bersemangat kerja (mengajar, menulis, dan sebagainya). Saya merasa dimanusiakan. Duh, semoga situasi ini tidak berubah ya. Atau kalau berubah, ya mbok jangan banyak-banyak. Heheheeh…

Pemimpin yang baik harus memiliki komitmen. Jelas donk, ia harus punya komitmen pada visi organisasinya, komitmen pada orang-orang yang ia pimpin, dan komitmen pada hati nuraninya sendiri. Segala hal di muka bumi ini, apalagi kepemimpinan, butuh komitmen. Jika cuma bicara-bicara saja, tidak ada komitmen untuk menjalankan, semuanya jadi sia-sia saja. Kalau kata anak jaman saya SMA dulu (1990-an akhir), NATO, no action talk only, atau omdo, omong doank. Capek deh…

Saya punya contoh buruk tentang ini, yakni diri saya sendiri. Hehehehe… Saya pernah diminta menjadi pemimpin suatu organisasi cukup besar, sewaktu kuliah dulu. Namun, saya malas. Saya tak punya komitmen. Saya lebih senang main di luar kampus, di geng bermotor pada saat itu. Akibatnya, kinerja organisasi saya pas-pasan, hidup segan, mati tak mau. Bagaimana pengalaman anda? Semoga tak seburuk saya… hiks..

Kepemimpinan, jelas, butuh akal budi. Siapa yang tak setuju dengan argumen ini? tunjuk tangan!.. loh.. ga bisa ya.. lagi baca.. atau melotot! Hehehe.. Memimpin terkait erat dengan membuat keputusan, dan membuat keputusan perlu mempertimbangkan data-data dan situasi yang ada. Semua proses itu perlu mikir. Ya ga? Kalo ga setuju, keterlaluan banget!

Saya sih tidak punya pengalaman tentang pemimpin yang tak pakai akal budi. Namun, saya punya banyak sekali pengalaman dengan pemimpin yang tidak menggunakan akal budinya secara maksimal. Ia hanya mampu berpikir teknis, tetapi tak mampu berpikir reflektif (melihat diri sendiri), kritis (tak mudah percaya kata orang), dan analitik (memecah masalah ke dalam bagian-bagian yang lebih sederhana, lalu kembali lagi ke keseluruhan). Duh, pusing banget, apa sih konkretnya?

Konkretnya, keputusan yang ia ambil hanya mempertimbangkan kepentingan jangka pendek semata. Pada jangka panjang, organisasi yang ia pimpin bisa hancur. Kalau dalam bahasa kerennya, kepemimpinannya tidak berkelanjutan. Semangat di awal, tetapi lemas di tengah, dan hancur di akhir. Mirip Edi Tansil=ejakulasi diri tanpa hasil. Hush.. porno.. eh ga juga sih.

Yang terakhir, pemimpin juga harus memiliki kesadaran tentang paradoks hidup. Paradoks itu, secara singkat, adalah dua hal yang bertentangan, namun bisa ada berbarengan, dan justru saling membutuhkan. Misalnya, kita perlu mengeluarkan uang, guna mendapatkan uang. Tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakatnya bukanlah beban, melainkan investasi yang amat menguntungkan untuk keberlanjutan perusahaan tersebut sebagai bagian integral dari masyarakat. Saya setuju sekali dengan ini. Bagaimana dengan anda?

Baru-baru ini, saya menulis biografi seorang pengusaha besar asal Surabaya. Ada satu ilmu menarik yang saya pelajari. Sebelumnya, ia adalah pemilik toko cat di Malang, sebelum akhirnya pindah ke Surabaya. Ada satu ilmu menarik yang menurut saya anda harus tahu. Mau kan?

Begini, ia selalu mau mencampur cat sesuai dengan kebutuhan konsumennya. Segala warna, ia buat, supaya konsumennya puas. Ketika mencampur cat, selalu ada cat yang kelebihan. Ia rela memberikannya kepada pembelinya, tanpa biaya. Akhirnya, banyak orang senang mengunjungi toko cat tersebut. Toko cat itu pun akhirnya menjadi toko cat terbesar di Malang.

Inilah inti paradoks. Semakin kita memberi, semakin kita menerima. Mirip seperti orang yang mencintai kan? Jangan-jangan, berbisnis itu tak jauh bedanya dengan mencintai. Bagaimana menurut anda?

Yang mau saya tegaskan adalah, bahwa kepemimpinan itu butuh cinta. Apa yang menjadi enam komponen cinta ternyata juga merupakan enam komponen untuk bisnis. Romantis ya? Cengeng ya? Terserah, tetapi ini adalah kebenarannya.

Saya ingin membuat pernyataan yang lebih tegas lagi, esensi kepemimpinan adalah cinta. Untuk menjadi pemimpin yang baik, belajarlah untuk membangun api dalam diri! Belajarlah untuk hadir! Belajarlah untuk punya komitmen! Dan yang lebih penting lagi, belajarlah untuk mencintai! Kepemimpinan yang sejati adalah cinta itu sendiri! Ini adalah dua hal yang tak pernah bisa dipisahkan.

Bagaimana pengalaman anda?

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

4 tanggapan untuk “Cinta dan Kepemimpinan”

  1. Selamat malam salam kenal mas reza, apa bisa tolong ditambah dengan menerjemahkan yg satu ini 🙂 http://www.philosophynow.org
    Žižek on Love
    Kathleen O’Dwyer asks what Slavoj Žižek means by ‘love thy neighbour’

    Api saya sudah mau padam 😦
    Tertatih tatih mencari jawab dalam filsafat sebagai satu satunya harapan

    Dalam prakteknya kompetisi(terutama dg perusahaan lain) efisiensi, efektifitas, upah dan tentu saja LABA, lebih berperan dalam dunia usaha. Emansipasi masih ada, dalam rasa kasihan, dan biasanya akan menjadi beban perusahaan….
    Apakah ada cinta dalam kondisi tanpa syarat..?

    Best Regards

    Jo, subyek dg 60an karyawan…..

    Suka

  2. Ya. Saya mengerti situasi anda. Saya pun juga hampir kehilangan api saya. Kita saling menguatkan ya dengan sadar, bahwa kita tidak pernah sendirian. Di sisi lain dunia, mungkin tak akan pernah kita kenal, ada orang yang masih punya cita-cita emansipasi. Di tengah rimba efektivitas, efisiensi, dan penumpukan laba, masih ada orang yang melihat MANUSIA sebagai sesuatu yang lebih berharga. Tentang cinta, saya tak bisa banyak bicara. Ini soal rasa dan intuisi, bukan soal rumusan ataupun teori.

    Suka

  3. nimbrung ya..sekedar share dengan pengalaman saya
    buat Jo,
    personally.. i dont believe with such an unconditional love 🙂 its about deal with it or leave it ..
    sama seperti layaknya dunia usaha. saya coba kaitkan dengan komponen ke-4 yang disebutkan oleh sdr Wattimena as above. Profit pastilah objective utama perusahaan (namanya juga “usaha” = hasil), dan sebagai “pimpinan/leader” kita harus pakai akal-budi dlm menjalankan peran dan itu yg sgt signifikan membedakan seseorg pd level R/F (Rank n File) – Managerial.
    Misalnya yg team kita lakukan : utk memastikan bahwa karyawan mendapatkan failitas kesehatan, pembayaran jamsostek yg lancar, mendapatkan pelatihan (mostly the expenses in USD) kami mencoba memonitor pengeluaran lain seperti : productivity report (usahakan memuaskan pengusaha dlm hal ini financial advisornya, bkn hanya diatas kertas tapi juga actual di lapangan), minimize loss and breakage (kerugian dan pembelian brg baru pengganti brg2 yg rusak), dan melakukan berbagai program saving energy and water consumption (sambil dukung program planet 21).
    Kalau berbagai upaya masih mentok, tinggal pakai akal sehat, dont take it personal you just do your part and done ur best. And a glass or two of Gin Tonic on weekend does help to keep the fire (for me)…

    Suka

  4. Hubungan antar manusia, terutama keluarga (dengan istri/suami/ayah/ibu), memang harus ada aspek transaksional, tetapi tidak boleh seluruhnya transaksional. Harus ada aspek yang melampaui relasi transaksional, seperti pengorbanan, dan kebesaran hati. Gua rasa, itu juga berlaku untuk dunia usaha, setidaknya dari yang gua alami selama ini. Rumusnya seringkali kebalik; banyak memberi sama dengan banyak menerima. Ini memang terkesan tidak rasional. Tetapi hidup memang tidak pernah rasional. Selalu ada hal-hal yang menggetarkan, dan mengubah semua yang sebelumnya tampak rasional. Thx for joining our discussion sis!

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.