Kepemimpinan, Kebahagiaan, dan Keberlanjutan Organisasi

blogspot.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Lepas dari data-data bagus yang diterbitkan di koran-koran nasional, situasi ekonomi Indonesia tetap memprihatinkan. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin besar. Putaran uang hanya terfokus di kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Sementara mayoritas penduduk tidak mendapatkan akses terhadap putaran uang raksasa tersebut.

Para pengusaha kecil kesulitan bersaing dengan para pemilik modal besar. Mereka juga kesulitan bersaing dengan produk-produk asing yang membanjiri pasar Indonesia. Lulusan perguruan tinggi diminta untuk berwiraswasta di dalam situasi yang mencekik mereka. Padahal slogan pendidikan kewirausahaan seringkali hanya menjadi topeng untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah memberikan lapangan kerja yang memadai untuk rakyatnya.

Di sisi lain banyak orang merasa bersyukur, selama mereka masih memiliki pekerjaan, walaupun pekerjaan itu menyiksa nuraninya, dan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup minimal. Pada situasi semacam ini, masihkah relevan berbicara soal kebahagiaan pekerja, kebahagiaan para buruh?

Pekerja yang bahagia

Di dalam penelitiannya Spreitzer dan Porath menemukan, bahwa justru di dalam situasi ekonomi yang sulit, para pemilik perusahaan maupun pemimpin organisasi harus memusatkan perhatian mereka pada kebahagiaan pekerja, karena di tangan merekalah (para pekerja) produktivitas dan kreativitas perusahaan maupun beragam bentuk organisasi lainnya berada. (Spreitzer dan Porath, Creating Sustainable Performance, 2011)

Konkretnya begini. Pekerja yang bahagia bekerja lebih rajin, daripada pekerja yang tidak bahagia. Mereka akan datang tepat waktu, bahkan sebelum jam kerja dimulai. Mereka tidak gampang berhenti dari pekerjaan, atau berpindah perusahaan. Ketika diminta menjalankan tugas, mereka melakukannya sesuai tugas, bahkan lebih. Mereka menjadi semacam magnet yang menarik orang-orang seperti mereka untuk bergabung ke dalam perusahaan.

Pertanyaan kritisnya disini adalah, apa yang dimaksud sebagai pekerja, atau buruh, yang bahagia? Jelas pekerja yang bahagia bukan hanya pekerja yang tenang, setidaknya bukan hanya tenang. Mengapa? Karena orang yang tenang biasanya malas berpikir, sehingga kemampuannya tidak berkembang. Berdasarkan penelitiannya Spreitzer dan Porath menemukan, bahwa kebahagiaan pekerja tidak terletak pada ketenangan, melainkan pada kesempatannya untuk berkembang.

Di dalam lingkungan kerja yang memungkinkannya berkembang, orang tidak hanya puas, kreatif, dan produktif di dalam bekerja, ia juga mengambil bagian dalam menciptakan masa depan perusahaan atau organisasinya. Bisa dibilang bahwa masa depan perusahaan atau organisasi terkait erat dengan masa depan pribadinya sebagai manusia. Mereka bekerja dengan antusiasme dan semangat tinggi, karena mereka merasa sedang menciptakan masa depannya sendiri.

Berkembang

Ada dua tanda bagi perkembangan diri, sebagaimana dirumuskan oleh Spreitzer dan Porath. Yang pertama adalah vitalitas diri, yakni perasaan penuh semangat, hidup, dan antusias di dalam bekerja. Perasaan semacam ini menular ke orang-orang lainnya. Salah satu cara untuk membangkitkan vitalitas adalah dengan menyatakan kepada pekerja, bahwa yang mereka lakukan sehari-hari, walaupun kecil, tetap memberikan pengaruh besar pada perusahaan secara khusus, maupun kepada masyarakat secara umum.

Yang kedua adalah tersedianya ruang untuk belajar. Orang-orang yang berkembang adalah orang-orang yang memiliki kehendak dan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan maupun keahlian baru. Di sisi lain sikap mau untuk belajar, dan adanya kesempatan untuk itu, bisa menciptakan apa yang disebut sebagai lingkaran keutamaan, di mana orang-orang yang mampu mengembangkan dirinya akan memiliki kepercayaan, bahwa dia, dan orang lain, akan mampu berkembang melampaui kemampuannya yang sebelumnya.

Dua hal ini menjadi tanda, bahwa orang itu berkembang. Dan orang yang mampu berkembang adalah orang yang berbahagia. Juga perlu diperhatikan bahwa dua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Vitalitas tak bisa dipisahkan dari kemampuan dan kesempatan untuk belajar. Belajar tidak bisa dipisahkan dari semangat. Belajar tanpa semangat biasanya akan patah di tengah jalan.

Di sisi lain jika orang hanya punya semangat dan antusiasme, namun tak memiliki kesempatan untuk belajar, ia akan merasa terjebak melakukan hal-hal yang sama secara berulang, tanpa pernah mengalami perkembangan. Pada akhirnya ia menjadi mesin. Vitalitas hidupnya pun akan berkurang, bahkan hilang sama sekali. Kombinasi antara vitalitas dan kemauan/kesempatan untuk belajar akan mendorong orang bekerja demi mencapai hasil, serta mengembangkan diri maupun perusahaannya.

Motivasi kerja bukan lagi sekedar mendapatkan uang untuk mempertahankan hidup, melainkan karena bekerja memberikan makna maupun tujuan bagi hidup mereka. Di dalam semua proses itu, para pekerja akan merasa bersemangat, antusias, berkeinginan untuk terus belajar, berkembang, dan merasa bahagia. Semua keutamaan itu akan menular, dan menjadi budaya organisasi. Pada titik ini keuntungan finansial dan keuntungan sosial akan mengalir deras.

Budaya yang Membahagiakan

Maka sebuah perusahaan ataupun beragam organisasi lainnya harus amat memperhatikan kebahagiaan pekerjanya. Peran para pembuat kebijakan organisasi amat penting di dalam menentukan berhasil atau tidaknya proses ini. Namun perlu juga dicatat, bahwa dalam konteks ini, ada dua macam pekerja.

Yang mereka adalah orang-orang yang memang terdorong untuk terus mengembangkan dirinya secara bersemangat. Artinya mereka secara alamiah sudah memiliki daya untuk mengembangkan diri, dan mampu memberikan inspirasi bagi orang-orang sekitarnya. Orang-orang semacam inilah yang perlu anda cari untuk bekerja di organisasi anda. Namun sayangnya jumlah mereka amat sedikit.

Mayoritas pekerja adalah orang-orang yang tunduk pada situasi eksternal dirinya. Mereka mudah menyerah pada sulitnya situasi. Mereka pesimis. Sayangnya karakter semacam ini pun juga mudah menular. Bahkan orang-orang yang bersemangat tinggi untuk mengembangkan diri juga bisa tertular karakter ini, jika mayoritas koleganya memiliki karakter tersebut.

Namun kita masih punya harapan. Manusia adalah mahluk sejuta kemungkinan, maka ia bisa berubah. Para pemilik dan pemimpin organisasi bisa menciptakan kultur organisasi yang mendorong setiap pekerja untuk berkembang, dan berkarya secara bersemangat untuk organisasi, serta untuk diri mereka sendiri. Masalahnya bukan tidak adanya kemampuan, tetapi apakah para pemimpin dan pemilik organisasi memiliki kehendak untuk menciptakan kultur organisasi semacam itu?

Jika jawabannya adalah ya, maka, menurut Spreitzer dan Porath, ada empat hal yang mesti diciptakan. Yang pertama adalah ruang untuk membuat keputusan melalui pertimbangan pribadi. Yang kedua adalah penyebaran informasi yang merata dan adil. Yang ketiga adalah adanya peraturan-peraturan yang dijalankan untuk menjamin hubungan yang beradab antar manusia di organisasi. Dan yang keempat adalah adanya upaya untuk memberikan kritik dan saran pada kinerja masing-masing pekerja.

Perlu untuk dicatat bahwa empat hal ini harus ada berbarengan, tidak bisa satu per satu. Misalnya orang tidak akan bisa membuat pertimbangan-pertimbangan yang matang di dalam memutuskan sesuatu, jika ia tidak memiliki informasi yang diperlukan. Kritik dan saran juga bisa menjadi sia-sia, jika diberikan dengan menggunakan cara-cara yang tidak beradab. Jadi keempat hal tersebut harus secara bersamaan dikembangkan, guna menciptakan budaya organisasi yang mengembangkan dan membahagiakan semua pihak di dalamnya.

Ruang untuk Membuat Keputusan

Orang akan merasa dihargai, jika pendapatnya didengarkan. Orang akan merasa dihormati, jika ia diberi kesempatan untuk membuat keputusan di dalam pekerjaannya. Orang akan merasa dipercaya, jika ia diberi kesempatan untuk belajar dari kesalahannya. Inilah yang perlu dilakukan oleh para pemilik dan pemimpin organisasi, supaya para pekerja bisa mengembangkan dirinya menjadi lebih baik lagi.

Setiap organisasi perlu untuk menciptakan kultur yang menyenangkan sekaligus memicu produktivitas. Musik dan tawa harus menjadi bagian dari kultur organisasi, sambil berusaha memberikan pelayanan yang paling memuaskan kepada klien atau pengguna jasa organisasi tersebut. Pemimpin dan pemilik organisasi perlu untuk menciptakan suasana kerja dan interaksi yang memicu setiap orang untuk bersemangat mengembangkan diri.

Perlu juga disadari bahwa manusia itu adalah mahluk yang bisa berbuat salah. Justru kesalahan adalah peluang paling besar bagi orang untuk belajar memperbaiki dirinya. Maka para pimpinan dan pemilik organisasi tidak bisa menghukum orang, semata karena ia berbuat salah, apalagi jika kesalahan itu adalah kesalahan pertamanya. Sebaliknya para pimpinan dan pemilik justru harus berusaha mengajak para pekerja untuk melihat kesalahan sebagai peluang untuk belajar dan mengembangkan diri, serta juga menjadi contoh belajar bagi teman-temannya.

Berbagi Informasi

Orang bekerja harus berdasarkan data-data yang tepat, sehingga ia bisa mengambil posisi untuk membuat keputusan tentang pekerjaannya. Orang juga harus tahu, apa perannya sebagai individu bagi tujuan organisasi yang lebih besar. Dua hal ini akan memicu orang untuk bekerja lebih baik, dan lebih terinspirasi untuk mengembangkan dirinya. Intinya pekerja tidak boleh dibiarkan buta dari perkembangan-perkembangan terbaru yang dialami perusahaan.

Inilah yang disebut sebagai manajemen buku terbuka. Sistem tata kelola organisasi, di mana setiap informasi terbuka untuk setiap pekerja di dalam organisasi tersebut akan menciptakan kepercayaan di antara mereka. Setiap orang lalu bisa membuat keputusan berdasarkan informasi akurat yang mereka punya. Mereka pun bisa mengembangkan diri mereka seturut dengan situasi kontekstual yang ada.

Keberadaban Organisasi

Organisasi haruslah memiliki nilai-nilai yang melandasi aktivitasnya. Dan salah satu nilai yang amat perlu diperhatikan adalah nilai keberadaban di dalam organisasi tersebut. Menurut penelitian yang dibuat oleh Christine Pearson di berbagai perusahaan multinasional di dunia, organisasi yang tidak memperhatikan keberadaban interaksi antar pekerja di dalamnya akan mengalami kerugian yang amat besar. Lebih dari 50% pekerjanya akan secara sengaja menurunkan kualitas kerja mereka. Dua pertiga dari pekerja yang ada cenderung menghindari hubungan langsung dengan orang-orang yang mereka anggap telah bersikap tidak beradab pada mereka. Secara statistik seluruh kinerja pekerja di organisasi tersebut menurun. (Spreitzer-Porath, 2011)

Apa contoh dari sikap tidak beradab? Misalnya anda menghina hasil kerja pegawai anda, tanpa sebelumnya memberi petunjuk yang memadai. Atau jika anda menghina pendapat pegawai anda yang sebenarnya berniat baik untuk membantu mencarikan solusi atas permasalahan yang ada. Juga ketika anda memaki bawahan anda di depan teman-temannya.

Sikap-sikap semacam itu memasung keinginan orang lain untuk berkembang. Orang-orang yang menjadi korban dari sikap tidak beradab cenderung juga untuk bersikap tidak beradab pada koleganya. Dihadapkan pada perlakuan yang tidak beradab, orang akan cenderung bersifat defensif, malas mengambil resiko di dalam pekerjaan, dan pada akhirnya enggan untuk mengembangkan kemampuan diri.

Kritik dan Saran

Sikap beradab harus menjadi bagian dari kultur perusahaan. Dan sikap ini hanya dapat dibentuk, jika ada proses kritik dan saran yang berlangsung secara berkelanjutan antar kolega di dalam organisasi. “Masukan-masukan”, demikian tulis Spreitzer dan Porath, “menciptakan kesempatan dan energi untuk belajar yang amat penting untuk menciptakan kultur pengembangan diri.” Peran kritik dan saran amatlah penting untuk menciptakan kultur yang memungkinkan semua orang belajar dan mengembangkan diri.

Dalam konteks ini tugas seorang pemimpin adalah menunjukkan kelemahan serta kekuatan organisasi, dan mengajak setiap orang di dalam organisasi untuk membantu mengembangkan kekuatan, serta mengurangi kelemahan yang ada. Pendapat setiap orang dihargai, dan diberikan tempat yang semestinya. Dengan pola ini setiap orang akan merasa menjadi bagian dari pembentukan kultur dan proses mewujudkan visi organisasi.

Jika dilakukan secara berulang dan dalam jangka waktu yang pendek, kritik dan saran justru bisa melemahkan semangat kerja organisasi. Satu-satunya cara untuk mencegah ini adalah dengan tetap mempertahankan nilai-nilai serta perilaku beradab di dalam organisasi, dan tetap menegaskan kepada semua orang di dalam organisasi, bahwa proses kritik dan saran adalah bagian integral dari proses mereka sendiri untuk berkembang.

Seperti sudah saya tegaskan sebelumnya, menurut penelitian Spreitzer dan Porath, keempat unsur di atas tidak dapat dipisahkan, jika anda ingin menciptakan budaya organisasi yang memungkinkan setiap orang bahagia, berkembang, dan bersama-sama maju mengembangkan organisasi yang ada. Orang tidak mungkin membuat keputusan-keputusan tepat, jika ia tidak memiliki informasi yang memadai, jaminan bahwa pemikirannya akan ditanggapi secara beradab, dan tidak mendapatkan masukan yang tepat dari kolega maupun pimpinannya.

Yang paling dibutuhkan adalah kekuatan kehendak dan tindakan dari para pimpinan maupun pemilik organisasi untuk menegaskan budaya organisasi yang ada melalui keempat unsur di atas. Hal ini amat penting untuk dilakukan. Membantu orang untuk mengembangkan diri bukan hanya baik untuk kemajuan organisasi, tetapi itu adalah hal yang baik dan benar untuk dilakukan oleh kita sebagai manusia. Dan itu adalah tujuan tertinggi.

 

 

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.