Sore itu di Ubud, Bali, cuaca cerah mendadak mendung. Hujan deras pun langsung turun, tanpa rasa malu. Saya bersama seorang teman. Ia seorang seniman Bali, yang juga bekerja di dunia pariwisata.
Tiba-tiba, anak laki-lakinya datang. Katanya, ia baru datang dari Banjar. Ada pelajaran musik dan menari di Banjar. Wajahnya tampak ceria dan segar. Lanjutkan membaca Belajar Seni dari Bali
Picasso kiranya tepat. Ia pernah berkata, “Seni adalah kebohongan yang mengungkapkan kebenaran.”
Warna, suara dan rasa boleh tak nyata. Namun, pengalaman yang ditimbulkannya senyata kehidupan itu sendiri. Tak ada uang yang mampu membayarnya.
Memang, orang butuh uang dan benda untuk hidup. Namun, tanpa seni di hidupnya, maka ia akan merasa hampa. Bunuh diri terasa lebih baik.
Begitulah keyakinan saya selama ini. Seni, dalam segala bentuknya, membuat hidup, yang selalu tak masuk akal, menjadi indah, dan berwarna untuk dijalani. Lanjutkan membaca Anatomi Jiwa Seniman
Sejak kecil, saya suka sekali mendengar musik. Masih terngiang teriakan Achmad Albar dengan lagu Semut Hitam-nya. Waktu itu, di dekade 1980-an,setiap hari lagu tersebut diputar di rumah kami. Gebukan drum dan melodi sangar para musisi Godbless terdengar keras, bahkan sampai di ujung gang.
Masa remaja saya pun diisi dengan musik. Karena pengaruh kuat dari Godbless, musik Rock menjadi pilihan saya. Lengkingan Axl Rose dari Guns and Roses dan sayatan gitar dari Eddie Van Halen mengisi hari-hari saya di masa itu. Pengaruh musisi Indonesia, seperti Dewa, Jamrud dan Boomerang, juga tak kalah kuat. Lanjutkan membaca Musik, Manipulasi dan Transendensi
Kita hidup dalam dunia yang telah disempitkan. Hal-hal yang kaya dan rumit disempitkan menjadi hal-hal sederhana yang justru membunuh arti pentingnya. Gejala ini dapat dilihat di semua bidang kehidupan, mulai dari pendidikan, politik, sampai dengan seni. Penyempitan dunia kehidupan ini perlu untuk kita refleksikan, lalu kita kurangi sisi merusaknya.
Politik
Dunia politik disempitkan menjadi pengejaran kekuasaan. Aliansi antar partai politik dibangun bukan untuk meningkatkan kinerja politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, melainkan untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Negosiasi dibangun bukan untuk menciptakan kebijakan yang efektif dan efisien untuk menunjang kinerja mesin politik, melainkan untuk membuat proyek-proyek baru yang penuh dengan lubang untuk dikorupsi.
Dunia politik juga disempitkan menjadi kesempatan untuk menumpuk uang. Orang berlomba-lomba menjadi anggota DPR dan DPRD bukan untuk melaksanakan pengabdian, melainkan untuk mencari celah, guna mengembangkan modal keuangan mereka. Ketika menjabat sebagai kepala daerah, orang berlomba-lomba untuk mendapatkan proyek dan tender, guna mendapatkan uang lebih banyak lagi, setidaknya untuk menutupi ongkos kampanye politik sebelumnya.
Padahal sejatinya, politik adalah soal pengabdian pada kepentingan rakyat untuk mewujudkan terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali. Ketika ini disempitkan semata menjadi pengejaran kekuasaan dan kesempatan untuk menumpuk uang, masalah besar muncul. Politik adalah soal tata kelola masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip yang bisa dipertanggungjawabkan bersama. Ketika politik tidak berjalan, tata kelola masyarakat pun tidak berjalan, dan semua urusan akan berantakan. Lanjutkan membaca Indonesia dan Kesempitan Berpikir Kita
Hal yang demikian dekat dengan kita seringkali justru jauh dari kesadaran. Layaknya ikan sulit menyadari dan memahami air, manusia modern pun harus melalui perjalanan panjang berputar untuk menyadari pentingnya lingkungan. Manusia modern dan lingkungan alam memang senantiasa berada dalam tegangan: antara melepaskan diri darinya atau justru meleburkan diri ke dalamnya, antara titik berat pada kultur atau menjadi bagian dinamis dalam natur. Dunia seni adalah manifestasi menarik dari tegangan macam itu.
Di satu pihak manusia modern menyadari misteri, keunikan dan pesona alam semesta umumnya melalui representasi artistiknya berupa lukisan, foto, musik, video atau pun film; di pihak lain kerangka artistik modern sendiri justru bertendensi kuat kian menghilangkan lingkungan alam sebagai bahan refleksinya (sebagai subject matter-nya). Ketika terlepas dari agama dan menjadi suatu wilayah otonom tersendiri dalam kiprah peradaban manusia, seni modern berangsur-angsur kian terlepas dari eksterioritas dan menyuruk kian mendalam ke wilayah interioritas, terperangkap dalam inflasi individu, dan memasuki wilayah skizofrenia yang ambigu dan kadang berbahaya.
Modernitas, estetika dan alam Sekurang-kurangnya sejak abad 17 hingga 18, dualisme Cartesian demikian kuat menguasai sikap manusia terhadap lingkungan alam. Alam adalah realitas wadag material, res extensa; sedangkan manusia, terutama akalnya, adalah realitas batin, pikiran-non-material, res-cogitans . Dualisme yang telah mengompori kinerja ilmiah awal ini lantas berselingkuh dengan kepentingan teknologi dan kapitalisme, sehingga kian terlembagalah pola sikap Subyek-Obyek : manusia adalah subyek, alam adalah obyek belaka, medan untuk ditaklukan, dieksplorasi dan dieksploitasi. Maka alam kehilangan pesona magisnya, kehidupan kehilangan misterinya. Pusat gravitasi adalah manusia, dengan segala kepentingannya.
Di sisi lain, sikap epistemologis-teknis macam itu diimbangi oleh sikap estetis, yang justru menghargai lingkungan alam. Memang tampak paradoks. Perspektif klasik estetika abad 18, yang menggumpal pada Immanuel Kant, meyakini bahwa yang pokok dalam apresiasi estetis adalah sikap “tanpa kepentingan” ( disinterestedness), yaitu sikap yang melepaskan diri dari kepentingan sehari-hari yang teknis dan praktis atau pun kepentingan pribadi. Lingkungan , baik urban, rural, atau pun belantara hutan, dilihat sebagai sesuatu yang sublim dan indah. Namun disini lingkungan alam sebenarnya tetaplah juga diapresiasi secara formalistik sebagai medan obyek, dan terutama sebagai lanskap, yang berkarakter picturesque. Pada abad ini memang ada juga orang seperti J.J.Rousseau, yang melihat lebih jauh, yakni melihat alam sebagai setting kodrat manusia yang lebih otentik ketimbang setting kultural iptek modern, yang dianggapnya meracuni potensi-potensi natural manusia. Namun pandangan macam ini baru menemukan gaungnya yang tepat kelak di abad 19 pada masa Romantik.