Buku Filsafat Terbaru: Bahagia, Kenapa Tidak?

cover1+4.cdr

Penulis: Reza A.A Wattimena

Ilustrator: Maria Wilis Sutanto

ISBN 978-602-08931-1-2 (pdf)

ISBN 978-602-08931-0-5 (cetak)

Buku ini ditujukan untuk para peminat filsafat yang berpendapat, bahwa filsafat harus berakar pada pengalaman nyata setiap orang. Lebih dari itu, filsafat juga bisa memberikan visi nyata untuk mengembangkan hidup pribadi maupun sosial manusia. Buku ini juga ditujukan untuk orang-orang yang ingin mencapai kebahagiaan di dalam hidupnya, juga termasuk orang-orang yang dengan kegiatan hidupnya sehari-hari berusaha membagikan kebahagiaan untuk semua orang. Buku ini juga menarik untuk para peneliti terkait dengan tema kebahagiaan, seperti para peneliti kesehatan mental dan praktisi psikoterapi.

Bisa dilihat di link berikut: Bahagia_Kenapa_Tidak-Reza_AA_Wattimena

Omong Kosong

pre05.deviantart.net
pre05.deviantart.net

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti PhD di Munich, Jerman

Kita hidup di dalam masyarakat yang penuh dengan omong kosong. Berita-berita di media dipelintir untuk mencipakan sensasi dan kegelisahan sosial di masyarakat. Dengan begitu, stasiun televisi lalu mendapatkan pemasukan iklan yang lebih besar. Iklan dan berbagai propaganda bohong lainnya juga memenuhi jaringan sosial kita.

Akibatnya, kita tidak bisa membedakan antara kenyataan dan penipuan. Pikiran kita tertipu oleh fitnah dan propaganda di berbagai media. Uang kita juga habis, karena sering salah ambil keputusan, akibat kurangnya informasi yang akurat. Waktu dan tenaga kita pun terbuang percuma untuk hal-hal yang tidak penting.

Di sisi lain, keluarga dan orang-orang yang kita sayangi terabaikan. Kita sibuk mengejar omong kosong, dan melupakan apa yang sungguh penting dalam hidup. Hidup kita tersesat, namun seringkali kita tidak menyadarinya. Pada akhirnya, kita pun menderita, dan membuat orang-orang di sekitar kita menderita.

Omong Kosong

Omong kosong adalah kebohongan yang dibungkus dengan cara-cara tertentu, sehingga ia tampak sebagai benar. Omong kosong diciptakan dan disebar untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak tertentu. Di Indonesia sekarang ini, ada dua kepentingan yang secara langsung ditopang oleh omong kosong ini, yakni fanatisme agama dan konsumtivisme ekonomi. Keduanya mengakar begitu dalam dan tersebar begitu luas di Indonesia.

Agama di Indonesia, dan mungkin di seluruh dunia, menyebarkan begitu banyak omong kosong, sehingga menutupi pesan luhur dan sejati agama tersebut. Omong kosong ini lalu menciptakan fanatisme yang akhirnya berujung pada kekerasan. Omong kosong ini juga menciptakan pembodohan di berbagai bidang, mulai dari larangan untuk sekolah, sampai dengan penindasan pada kaum perempuan. Omong kosong ini juga sejatinya melestarikan tata masyarakat feodal yang menguntungkan segelintir kecil orang, dan merugikan masyarakat secara luas. Lanjutkan membaca Omong Kosong

Ilmu Pengetahuan dan Tantangan Global

ilibrarian.net
ilibrarian.net

Oleh Reza A.A Wattimena

Kita hidup di dunia yang penuh tantangan. Di satu sisi, berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, perang dan kesenjangan sosial di berbagai negara, tetap ada, dan bahkan menyebar. Di sisi lain, krisis lingkungan hidup memicu berbagai bencana alam di berbagai tempat. Kita membutuhkan cara berpikir serta metode yang tepat, guna menghadapi dua tantangan tersebut.

Ilmu pengetahuan mencoba melakukan berbagai penelitian untuk memahami akar masalah, dan menawarkan jalan keluar. Beragam kajian dibuat. Beragam teori dirumuskan. Akan tetapi, seringkali semua itu hanya menjadi tumpukan kertas belaka yang tidak membawa perubahan nyata.

Bahkan, kini penelitian sedang dilakukan untuk memahami beragam penelitian yang ada. Jadi, “penelitian atas penelitian”. Dilihat dari kaca mata ilmu pengetahuan, kegiatan ini memang perlu dan menarik. Namun, dilihat dari sudut akal sehat sederhana, ini merupakan tanda, bahwa telah ada begitu banyak kajian dan teori yang lahir dari penelitian dengan nilai milyaran dollar, sementara hasilnya masih dipertanyakan.

Banjir Teori

Kondisi ini saya sebut sebagai “banjir teori” dan “banjir kajian”. Kajian dibuat demi kajian itu sendiri. Teori dirumuskan demi teori itu sendiri. Ini merupakan kesalahan berpikir mendasar di dalam dunia akademik sekarang ini. Lanjutkan membaca Ilmu Pengetahuan dan Tantangan Global

Spiritualitas tanpa “Spiritualitas”

Zen-circle-symbolSpiritualitas sebagai Dialektika Transrasionalitas Zen Buddhisme dari Sudut Pandang Tiga Master Zen: Ma-Tsu, Lin-Chi dan Ikkyu

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, Sedang di Jerman

Kita hidup di era krisis spiritualitas. Teknologi dan ekonomi berkembang maju, tetapi jiwa dan pikiran manusia justru semakin menderita. Mereka hidup terpisah dengan alam, dan akhirnya terasing dari alam itu sendiri, dan bahkan menghancurkan alam. Orang hidup dalam kelimpahan harta dan uang, namun hatinya penuh penderitaan, rasa takut dan rasa benci.1 Tak heran, tingkat bunuh diri, stress, depresi dan beragam penderitaan batin lainnya semakin meningkat. Banyak keluarga hancur di tengah jalan, karena rasa benci dan rasa takut yang menutupi pikiran. Pengguna narkoba pun semakin meningkat dan usianya semakin muda, persis untuk mengalihkan manusia dari penderitaan batin yang dirasakannya. Agama, yang dilihat sebagai dasar dari spiritualitas menuju hidup yang bermakna, pun kini terjebak pada fundamentalisme. Mereka mendewakan tradisi, ritual dan aturan, serta bersedia mengorbankan manusia. Bahkan, agama sering digunakan untuk pembenaran bagi tindakan-tindakan bejat dan kepentingan politik yang menutupi sejuta kemunafikan. Yang dibutuhkan oleh banyak orang sekarang ini adalah jenis spiritualitas yang baru, yang bisa memberikan makna bagi hidupnya, dan mengurangi penderitaan batinnya, guna menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Di dalam tulisan ini, saya akan menawarkan bentuk spiritualitas yang baru. Ia berpijak pada tradisi Zen Buddhisme yang berkembang di India, Cina dan Jepang. Saya akan belajar langsung dari riwayat hidup dan pemikiran-pemikiran tiga guru Zen yang amat berpengaruh di dalam tradisi perkembangan Zen, yakni Ma-tsu, Lin-chi dan Ikkyu. Sebagai acuan, saya memilih menggunakan buku Thomas Hoover dan Alan Watts.2 Keduanya adalah penulis dari Amerika Serikat. Mereka membaca dan menafsirkan Zen untuk orang-orang yang terbiasa dengan pola pendidikan Barat. Tulisan-tulisan asli para guru Zen seringkali begitu tenggelam pada konteks budaya mereka masing-masing, sehingga kurang bisa dimengerti oleh orang-orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Pada akhirnya, spiritualitas Zen adalah sebuah praksis hidup. Ia bukan cuma teori untuk menjelaskan dunia dan manusia. Ia adalah praksis hidup yang harus dijalankan, supaya manfaatnya sungguh terasa. Lanjutkan membaca Spiritualitas tanpa “Spiritualitas”