Undangan Diskusi: Jantung Hati Filsafat dan Teori Sosial Jerman

Mari Merapat

Aku Berpikir, Maka Aku… Menderita

mind_tripOleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Unika Widya Mandala Surabaya, Doktor Filsafat dari Universitas Filsafat Muenchen, Jerman

Sejak kecil, kita diajar untuk menjadi pintar. Kita diajar untuk melatih pikiran kita, sehingga menjadi pintar. Dengan kepintaran tersebut, kita dianggap bisa hidup dengan baik di kemudian hari. Kita juga bisa menolong orang lain dengan kepintaran yang kita punya.

Hal ini bukan tanpa alasan. Dengan pikiran, manusia menciptakan filsafat. Dari filsafat kemudian berkembanglah beragam cabang ilmu pengetahuan, seperti kita kenal sekarang ini. Dari situ lahirlah teknologi yang kita gunakan sehari-hari. Lanjutkan membaca Aku Berpikir, Maka Aku… Menderita

Pencerahan

bt-enlightenment-goal
thespiritscience.net

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Unika Widya Mandala Surabaya, Sedang di München, Jerman

Untuk apa kita belajar filsafat? Untuk apa kita menekuni beragam teks sulit yang ditulis oleh orang-orang yang sudah mati? Saya tidak tahu dengan anda. Namun, saya punya tujuan yang saya pegang erat terus, sejak pertama kali saya menyentuh buku filsafat: saya ingin mencapai pencerahan (Enlightenment, Aufklärung, Erleuchtung).

Mungkin, ini terdengar naif. Akan tetapi, jika kita mendalami beragam pemikiran filsafat yang ada di dalam sejarah manusia, tujuan ini cukup umum ditemukan. Filsafat Yunani Kuno, terutama tradisi Stoa, mencita-citakan terciptanya “orang bijak Stoa”. Ia adalah manusia yang tak lagi terpengaruh oleh naik turunnya kehidupan. Di tengah beragam tantangan dan persoalan yang menerpa, ia tetap teguh berpegang pada kekuatan batin (innere Kraft) yang bercokol di dalam jiwanya, dan menemukan ketenangan yang sejati (Gelassenheit). Lanjutkan membaca Pencerahan

Menciptakan Perdamaian yang Sejati

http://unitedworldpeace.com

Komentar Kontekstual Indonesia

atas “Lima Pasal” Penting di dalam Buku

Toward Perpetual Peace tulisan Immanuel Kant

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

            Manusia hidup dalam lintasan konflik dan perang. Selama ratusan tahun sebelum Masehi, kekaisaran Romawi kuno menjajah Eropa dan Afrika Utara. Orang-orang yang kalah perang diperbudak, atau dijadikan gladiator yang siap mempertaruhkan nyawa untuk sekedar menghibur warga Roma. Anak-anak dan perempuan dijadikan budak yang siap ditukarkan dengan emas dan uang untuk membiayai perang kekaisaran. Di abad 15-19, negara-negara Eropa juga melakukan penjajahan di seluruh dunia. Begitu banyak korban jiwa berjatuhan. Kekayaan alam yang begitu besar diperas, sementara warga setempat tetap hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika yang terjajah, termasuk Indonesia, kebodohan dan kemiskinan adalah fakta nyata yang selama berabad-abad mengancam.

            Di sisi lain, sepanjang abad 20 dan awal abad 21, Amerika Serikat, yang mendaku dirinya sebagai negara adidaya, memaksakan kepentingan politiknya ke seluruh dunia. Negara-negara yang menolak untuk patuh bisa mengalami hukuman ekonomi, bahkan aksi militer yang memakan begitu banyak korban jiwa, dan hancurnya begitu banyak harta benda. Otonomi nasional negara-negara di dunia untuk menentukan kebijakan nasional dan internasionalnya menjadi relatif di hadapan kekuasaan Amerika Serikat. Korea, Vietnam, Afganistan, dan Irak adalah contoh-contoh nyata, bagaimana agresi militer bisa digunakan untuk memaksakan kepentingan politik dengan mengabaikan semua prinsip-prinsip politik peradaban modern, seperti otonomi nasional, dan keadilan internasional. Lanjutkan membaca Menciptakan Perdamaian yang Sejati

Jalan Berliku menuju Perdamaian Abadi

wikimedia.org

Pandangan Immanuel Kant

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Immanuel Kant adalah seorang filsuf Jerman yang lahir di Königsberg pada 1724.[1] Pada waktu itu, Jerman masih berbentuk Kerajaan Prussia. Sedangkan Königsberg secara tepat terletak di Prussia Timur. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah lokal, dan dari 1747-1754, ia mulai bekerja sebagai tutor pribadi.[2] Pada masa-masa itu, Kant menulis dua disertasi. Dengan ini, ia bisa mengajar sebagai instruktur yang tidak memiliki gaji tetap di Universitas Königsberg. Di sana, ia mengajar beragam mata kuliah, mulai dari matematika, filsafat, dan ilmu-ilmu alam. Ia hidup dari uang yang diberikan murid-muridnya, dan dari buku-buku yang ditulisnya tentang filsafat dan ilmu-ilmu alam pada masa itu.

Ia bercita-cita untuk menjadi professor filsafat di Königsberg. Sebelumnya, ia sudah mendapatkan beberapa tawaran bekerja. Akan tetapi, ia menolak semua tawaran itu. Akhirnya pada 1770, Kant menjadi professor Logika dan Metafisika di Universitas Königsberg.[3] Inilah masa, di mana Kant menjalani dekade-dekade sunyi (silent decades). Ia  hampir tidak menerbitkan karya apapun. Rupanya, ia fokus untuk menyempurnakan argumennya, yang nanti akan tertuang di dalam tiga buku yang mengubah sejarah filsafat, yakni Critique of Pure Reason, Critique of Practical Reason, dan Critique of Judgment. Di dalam Critique of Pure Reason, Kant menyelidiki batas-batas dari pengetahuan manusia.[4] Pendekatannya disebut dengan filsafat kritis. Dengan metode ini, ia “berhasil” menjelaskan, bahwa akal budi manusia secara aktif ikut serta dalam terciptanya pengetahuan mannusia, dan, dengan itu, memberikan batas yang tegas pada pengetahuan metafisis manusia. Pandangan ini kemudian dijelaskan lebih jauh di dalam bukunya yang berjudul Prolegomena (1783). Kant langsung menjadi terkenal sebagai seorang filsuf besar pada masa itu.[5]   Lanjutkan membaca Jalan Berliku menuju Perdamaian Abadi

Filsafat Negosiasi

http://kellycrew.files.wordpress.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala Surabaya

Apa yang anda perhatikan, ketika anda bernegosiasi? Ketika bernegosiasi mayoritas orang hanya memikirkan kepentingannya sendiri, atau kepentingan kelompok yang ia wakili. Ketika diminta memberikan suara pada pertemuan Uni Eropa di Brussels, Belgia, lalu, David Cameron, Perdana Menteri Inggris, berkata begini, “Yang ada di dalam tawaran tidak sesuai dengan kepentingan Inggris, maka saya tidak setuju dengannya.” (Arvanitis, 2011) Jadi, ia hanya setuju, jika kepentingan kelompoknya dapat terpenuhi. Apakah anda juga seperti Cameron?

Tujuan dari negosiasi adalah mencapai kesepakatan bersama yang bisa memberikan keadilan bagi semua pihak. Untuk itu, menurut saya, kita perlu memperhatikan tiga hal mendasar, yakni prinsip diskursus yang dirumuskan Habermas, prinsip kebaikan universal yang dirumuskan Immanuel Kant, dan prinsip keadilan yang dirumuskan oleh John Rawls. Saya menyebutnya sebagai Filsafat Negosiasi. Ingin tahu lebih jauh? Saya akan jelaskan lebih dalam. Lanjutkan membaca Filsafat Negosiasi

Filsafat

http://vivirlatino.com

 

Sebuah Tinjauan Dari Masa Yunani Kuno sampai Posmodernisme

Oleh: Reza A.A Wattimena[1]

Tulisan ini merupakan sebuah tinjauan historis tentang berbagai model berfilsafat yang ada di dalam sejarah filsafat Barat. Tujuannya adalah memperkenalkan, menanggapi secara kritis, serta mengembangkan berbagai metode tersebut untuk memahami dan menjawab berbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat kita, dan juga untuk melatih pola berpikir kita dalam aktivitas sehari-hari. Seperti yang tertulis pada judul, saya akan memaparkan model-model berfilsafat dari masa Yunani Kuno sampai posmodernisme.

1.Pencarian Archē dan Elenchus dalam Filsafat Yunani Kuno

Sulit sekali menemukan catatan otentik mengenai filsafat sebelum Sokrates. Yang dapat ditemukan adalah potongan tulisan yang seolah tidak memiliki hubungan satu sama lain. Satu-satunya sumber yang cukup bisa diandalkan adalah tulisan-tulisan Aristoteles mengenai para filsuf sebelumnya. Ia juga dikenal sebagai sejarahwan filsafat sistematis pertama di dalam sejarah. Maka dari itu halangan pertama kita untuk bisa memahami filsafat Yunani Kuno adalah halangan penafsiran, karena kita hanya bisa mengandalkan tulisan-tulisan para filsuf setelahnya. Kita hanya bisa mengandalkan sumber sekunder.

Yang kita miliki adalah kumpulan fragmen yang terobek dari naskah asli yang telah hilang. Akibatnya beragam penafsiran saling bertentangan tentang fragmen itu tidak didasarkan pada teks tulisan yang memadai, melainkan hanya copotan saja. Walaupun minimalis namun fragmen-fragmen tulisan para filsuf sebelum Sokrates tetaplah sangat berharga. Beberapa kutipan menyiratkan makna yang sangat mendalam untuk bisa dipelajari dan direfleksikan. Dari situ kita bisa memahami bagaimana tokoh-tokoh awal filsafat dan sains ini memahami realitas yang ada di hadapan mereka.

Berdasarkan teks-teks yang ada, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa setidaknya ada dua kelompok filsuf yang dominan di dalam Filsafat Yunani Kuno. Mereka adalah para filsuf pra-Sokratik dan kaum sofis. Kedua kelompok filsafat ini memiliki ajaran yang berbeda, namun keduanya penting untuk dipahami, karena dari merekalah filsafat dan sains selanjutnya berkembang. Aristoteles menyebut para filsuf pra-Sokratik pertama sebagai physiologoi (natural philosophers), atau para filsuf natural. Mereka hendak mencari prinsip terdasar (archē) dari seluruh realitas dengan menggunakan kosa kata naturalistik (naturalistic terms). Para filsuf natural ini berbeda dengan para pendahulunya yang lebih mengedepankan penjelasan-penjelasan mitologis (mythological explanations) dalam bentuk cerita dewa dan dewi.

Walaupun sama-sama mencari prinsip dasar dari realitas dengan menggunakan kosa kata natural, para filsuf prasokratik seringkali terlibat dalam perdebatan tulisan, karena perbedaan pendapat. Perdebatan itu muncul karena masing-masing filsuf saling bersikap kritis satu sama lain. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa filsafat adalah suatu displin berpikir yang selalu melakukan kritik diri (self-critique), bahkan dari awal mula berdirinya. Tidak hanya itu mereka bahkan melakukan kritik tajam terhadap cara berpikir mitologis yang dominan pada jamannya. Dengan kecenderungan untuk berpikir kritis seperti itu, muncullah para filsuf yang saling berdebat soal prinsip dasar yang menentukan seluruh realitas, yang juga bisa disebut sebagai archē.

Para filsuf natural itu, yang juga bisa kita sebut sebagai para filsuf prasokratik, menjadikan seluruh alam semesta sebagai obyek penelitian mereka. Mereka berusaha memahami alam semesta bukan dengan menggunakan penjelasan mitologis, melainkan dengan penjelasan-penjelasan naturalistik (naturalistic explanations), seperti prinsip air, udara, api, dan atom. Dalam arti ini mereka juga bisa disebut sebagai para ilmuwan (scientist) pertama di dalam sejarah. Proses mendekati realitas dengan tujuan mencari prinsip terdasar (fundamental principle) yang menyatukan keseluruhan ini nantinya akan mempengaruhi para filsuf dan ilmuwan selanjutnya. Lanjutkan membaca Filsafat

Bebas

man-free-sign Oleh: Reza A.A Wattimena

Semua orang mencari kebebasan. Mereka rela mati demi mendapatkannya. Mereka rela berjuang menempuh kesulitan hidup, guna merengkuhnya. Sejarah dunia adalah sejarah perjuangan mencari kebebasan, begitu kata Hegel, seorang filsuf Jerman pada abad 17.

Namun ketika orang mendapatkannya, mereka justru ragu. Kebebasan membawa orang pada ketidakpastian. Tidak ada lagi aturan yang mesti dipatuhi. Bahkan orang diminta membuat peraturan untuk dirinya sendiri. Ini bukan pekerjaan mudah.

Apakah itu terjadi karena kita salah dalam memahami kebebasan? Apa sebenarnya makna kebebasan sekarang ini?

Lanjutkan membaca Bebas