Tetralema

modny73.com
modny73.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, Peneliti PhD di Munich, Jerman

Ilmu pengetahuan modern telah berulang kali membuktikan kepada kita, bahwa apa yang kita anggap sebagai nyata dan benar ternyata salah. Berulang kali, kelima indera kita memberikan informasi yang tidak tepat tentang dunia. Akhirnya, kita sulit membedakan antara kenyataan dan ilusi. Banyak dari kita justru hidup dalam ilusi.

Kita mengira apa yang tidak ada sebagai ada. Sebaliknya, kita tidak tahu, apa sesungguhnya yang ada. Kita buta, akibat pikiran-pikiran yang bermunculan di kepala kita. Dalam arti ini, pikiran tidak mengantarkan kita pada kebenaran, melainkan justru menjadi penghalang terbesar kita untuk mencapai kebenaran.

Steve Hagen menulis tentang tetralema, yakni kebingungan kita, ketika kita hendak memahami hakekat dari materi. Ia mendasarkan dirinya pada pemikiran Nagarjuna, filsuf India yang hidup sekitar 2300 tahun yang lalu. Tetralema adalah jalan bagi pikiran kita, guna memahami materi yang ada di depan mata kita, misalnya komputer, layar televisi, meja, kursi dan sebagainya. Tetralema menggiring kita untuk meragukan keberadaan materi yang sebelumnya tampak begitu jelas kepada kita.

Tetralema

Tetralema berisi empat argumen tentang hakekat dari materi. Ini adalah empat jalan yang mungkin bagi pikiran manusia, guna mengetahui materi yang ada di depan matanya. Hagen dan Nagarjuna akan menunjukkan, bahwa semua argumen di dalam tetralema tidaklah meyakinkan.

Argumen pertama; suatu benda didefinisikan pada dirinya sendiri. Artinya, ia tidak membutuhkan benda-benda lainnya. Meja adalah meja, kursi adalah kursi. Mereka absolut pada dirinya sendiri. Titik. Lanjutkan membaca Tetralema

Spiritualitas tanpa “Spiritualitas”

Zen-circle-symbolSpiritualitas sebagai Dialektika Transrasionalitas Zen Buddhisme dari Sudut Pandang Tiga Master Zen: Ma-Tsu, Lin-Chi dan Ikkyu

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, Sedang di Jerman

Kita hidup di era krisis spiritualitas. Teknologi dan ekonomi berkembang maju, tetapi jiwa dan pikiran manusia justru semakin menderita. Mereka hidup terpisah dengan alam, dan akhirnya terasing dari alam itu sendiri, dan bahkan menghancurkan alam. Orang hidup dalam kelimpahan harta dan uang, namun hatinya penuh penderitaan, rasa takut dan rasa benci.1 Tak heran, tingkat bunuh diri, stress, depresi dan beragam penderitaan batin lainnya semakin meningkat. Banyak keluarga hancur di tengah jalan, karena rasa benci dan rasa takut yang menutupi pikiran. Pengguna narkoba pun semakin meningkat dan usianya semakin muda, persis untuk mengalihkan manusia dari penderitaan batin yang dirasakannya. Agama, yang dilihat sebagai dasar dari spiritualitas menuju hidup yang bermakna, pun kini terjebak pada fundamentalisme. Mereka mendewakan tradisi, ritual dan aturan, serta bersedia mengorbankan manusia. Bahkan, agama sering digunakan untuk pembenaran bagi tindakan-tindakan bejat dan kepentingan politik yang menutupi sejuta kemunafikan. Yang dibutuhkan oleh banyak orang sekarang ini adalah jenis spiritualitas yang baru, yang bisa memberikan makna bagi hidupnya, dan mengurangi penderitaan batinnya, guna menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Di dalam tulisan ini, saya akan menawarkan bentuk spiritualitas yang baru. Ia berpijak pada tradisi Zen Buddhisme yang berkembang di India, Cina dan Jepang. Saya akan belajar langsung dari riwayat hidup dan pemikiran-pemikiran tiga guru Zen yang amat berpengaruh di dalam tradisi perkembangan Zen, yakni Ma-tsu, Lin-chi dan Ikkyu. Sebagai acuan, saya memilih menggunakan buku Thomas Hoover dan Alan Watts.2 Keduanya adalah penulis dari Amerika Serikat. Mereka membaca dan menafsirkan Zen untuk orang-orang yang terbiasa dengan pola pendidikan Barat. Tulisan-tulisan asli para guru Zen seringkali begitu tenggelam pada konteks budaya mereka masing-masing, sehingga kurang bisa dimengerti oleh orang-orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Pada akhirnya, spiritualitas Zen adalah sebuah praksis hidup. Ia bukan cuma teori untuk menjelaskan dunia dan manusia. Ia adalah praksis hidup yang harus dijalankan, supaya manfaatnya sungguh terasa. Lanjutkan membaca Spiritualitas tanpa “Spiritualitas”