Darurat Revolusi Pendidikan di Indonesia

What You Need to Know About Surrealism, Pt 2Oleh Reza A.A Wattimena

2021 ini, Indonesia amat membutuhkan revolusi pendidikan. Sudah terlalu lama, pendidikan kita terpuruk jatuh. Sistem sekolah yang berantakan dipadu dengan tidak adanya filsafat pendidikan yang kokoh. Bangsa kita pun semakin dangkal dari hari ke hari.

Pendidikan Indonesia memang bermutu amat rendah. Ia begitu tercabut dari keseharian hidup manusia. Ia begitu tercabut dari budaya yang agung dan bijaksana. Ia justru menyiksa peserta didik dengan berbagai hal yang tak berguna.

Racun Pendidikan

Ada enam racun pendidikan Indonesia. Pertama, pendidikan kita membunuh pertanyaan. Sikap kritis dianggap pemberontakan yang mesti dibasmi sampai ke akar. Sikap kreatif dianggap menantang tradisi lama yang sudah membusuk.

Dua, pendidikan berisi hafalan buta. Berbagai hal mesti dihafal, tanpa ada dasar yang masuk akal. Peserta didik pun mengalami stress dan menderita di dalam belajar. Para guru hanya secara buta patuh pada kebijakan pemerintah yang merusak.

Tiga, pendidikan kita menekankan kepatuhan buta. Perintah guru harus diikuti, tanpa tanya. Jika ada pertanyaan terhadap keinginan guru, maka cap pemberontak dan hukuman sudah menanti. Pendidikan justru mematikan daya belajar dan semangat hidup para peserta didik.

Empat, pendidikan kita diracuni radikalisme agama. Ajaran agama kematian dijadikan kurikulum wajib pendidikan di banyak tempat di Indonesia. Ajaran agama kematian ini menindas perempuan, merusak budaya setempat dan menganggu kedamaian hidup bersama. Pendidikan yang berpijak pada Pancasila hanya slogan kosong, tanpa arti.

Lima, pendidikan Indonesia penuh dengan aturan dan birokrasi tak bermakna. Guru sibuk urusan administratif. Dosen dibebani dengan berbagai tugas birokratis yang tak berguna. Proses pendidikan pun tak berlangsung. Yang ada hanya proses cuci otak yang menyiksa para peserta didik.

Enam, pendidikan di Indonesia mengalami krisis kepemimpinan. Menteri dan pejabat pendidikan seolah tak bekerja sama sekali. Tidak hanya itu, ada kesan, bahwa mereka justru memperumit semua hal. Seluruh proses pendidikan di Indonesia menjadi kacau balau, kehilangan arah dan amat menyiksa semua pihak.

Akibatnya, bangsa kita semakin bodoh dan dangkal. Minat membaca buku-buku bermutu melemah, nyaris tak ada. Buku bermutu adalah buku yang menyediakan informasi yang akurat, mudah dimengerti, merangsang pemikiran kritis, pertanyaan dan dorongan untuk belajar lebih jauh. Buku-buku semacam itu semakin sedikit di Indonesia.

Yang tersisa adalah novel fiksi yang membakar emosi, sekaligus melemahkan daya pikir. Yang tersebar luas hanyalah buku-buku religi yang menumpulkan akal sehat, pemikiran kritis serta mengembangkan radikalisme. Bangsa kita semakin gampang diadu domba. Kita menjadi semakin bodoh.

Karena bodoh, kita gampang diperdaya oleh bangsa lain. Sumber daya alam kita diambil. Hutan kita dibabat. Manusia-manusia yang bermutu ditarik untuk bekerja di luar negeri. Di Indonesia, kita semakin sibuk dengan isu-isu dangkal, seperti cara berpakaian perempuan, poligami dan gosip artis. Kita pun semakin miskin secara keseluruhan.

Darurat Revolusi Pendidikan

Kita sangat membutuhkan revolusi pendidikan sekarang ini. Ada tujuh hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kita perlu membangun pendidikan organik. Ini adalah pendidikan yang berakar pada budaya dan kehidupan secara keseluruhan. Pendidikan organik tidak hanya akan menghasilkan manusia yang kritis dan cerdas, tetapi juga terampil.

Dua, pendidikan organik harus bergandengan dengan pendidikan yang membebaskan. Ini adalah pendidikan yang melatih berpikir kritis untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Tidak ada hafalan buta. Tidak ada kepatuhan pada apapun yang tak memiliki dasar yang masuk akal.

Tiga, pendidikan juga harus mengembangkan kemandirian para peserta didik. Kemandirian ini berarti dua, yakni kemandirian berpikir dan terampil memperoleh penghasilan. Kemandirian berpikir berarti keberanian untuk mempertanyakan pola pikir lama, termasuk agama dan tradisi. Manusia-manusia mandiri akan mampu menghasilkan hal-hal baru yang berguna untuk kemajuan bangsa.

Empat, pendidikan juga harus mengembangkan keterampilan mencari memperoleh penghasilan dan bertahan hidup. Karena Indonesia memiliki laut dan sawah yang luas, setiap peserta didik harus mampu mencari dan mengolah makanan dari dua sumber yang berlimpah tersebut. Ini juga termasuk pemahaman dasar tentang obat-obatan herbal yang berguna untuk cedera ataupun sakit ringan. Peserta didik juga harus belajar untuk bertahan hidup di alam dengan segala tantangannya.

Lima, semua ini dibarengi dengan pendidikan teknologi yang amat dibutuhkan sekarang ini. Peserta didik harus terbiasa bekerja dengan teknologi yang ada, serta mampu mengikuti perkembangan teknologi yang begitu cepat. Hanya dengan begini, manusia Indonesia bisa menjadi manusia yang seutuhnya. Ia tidak lagi berat sebelah, entah beragama namun buta, ataupun terampil teknologi namun rakus dan culas.

Enam, pendidikan moral tidak boleh diikuti dengan kemunafikan. Pendidikan moral harus lahir dari keteladanan yang diberikan oleh para pemimpin masyarakat, pemimpin agama dan para pengajar. Yang selama ini terjadi, para peserta didik diajarkan moral dengan begitu gencar. Namun, para pemimpin masyarakat, agama dan para pengajar tidak menerapkannya dalam hidup mereka. Kemunafikan pun tercium kuat di udara.

Tujuh, pendidikan organik yang membebaskan juga mengajarkan kepedulian sosial. Peserta didik menjadi paham akan akar penyebab ketidakadilan sosial yang ada di sekitarnya. Ia pun diajak untuk hidup sederhana dan bersahaja, walaupun mungkin sebenarnya cukup kaya. Lalu, ia juga diajak untuk berpikir bersama, guna mencari jalan keluar untuk memerangi kemiskinan maupun ketidakadilan sosial yang terjadi.

Indonesia harus melakukan revolusi pendidikan sampai ke akar. Jika menteri dan para pejabat yang sekarang tidak mau atau tidak mampu melakukannya, maka mereka harus mundur. Berikan tempat pada orang-orang yang mampu mengubah seluruh filsafat dan sistem pendidikan Indonesia ke arah kemajuan, keterbukaan dan kemandirian yang nyata. Jangan ditunda lagi!

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

8 tanggapan untuk “Darurat Revolusi Pendidikan di Indonesia”

  1. hati sangat pilu membaca karya diatas, begitulah kenyataannya.
    kita harap, pemikiran modern ttg pendidikan bisa cepat dimengerti dan di jalankan.
    umum nya masyarakat , bahkan kaum ” intelekt( mengaku )” mencari sebab musabab dengan alasan “kapal indonesia berlayar mundur” sebab di jajah 450 tahun.
    pandangan yg total meleset !
    pertanyaan : apa ada resonanz dr pihak “berwenang”(bidang apa saja) ttg pandangan2 penulis ??
    salam hangat !

    Suka

  2. Sebagai seorang pendidik (guru) saya bersyukur bisa membaca artikel ini. Sangat berani dan lugas. Perubahan bisa dimulai dari yang paling akar yaitu bagaimana guru mengajar di kelas. Saya sepakat dan berusaha melakukan 7 poin dalam revolusi pendidikan yang Pak Reza sampaikan.

    Suka

  3. Saya juga resah melihat pendidikan (kampus) di Indonesia. Makanya saya mengusulkan agar materi tentang Anti Korupsi dan Leadership menjadi Mata Kuliah wajib untuk seluruh kampus di Indonesia. Tapi, siapakah yang akan mendengar usul saya ini? saya bukan pemangku kebijakan, saya bukan Nadiem Makarim atau pun Yaqut Cholil. Apakan daya. Saya sedih melihatnya.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.