

Tentang buku Ethika Nikomacheia
Oleh Reza A.A Wattimena
Sedang di München, Jerman
Di tengah pengaruh iklan dan media yang menawarkan kenikmatan hidup, sulit bagi kita untuk melihat apa yang sungguh penting dalam hidup ini. Kita pikir, kita perlu cantik, cerdas dan kaya dalam hidup. Lalu, kita pun melihat tiga hal itu sebagai tujuan utama yang harus diraih dalam hidup. Jika gagal, lalu kita merasa tak berguna.
Apakah kecerdasan, kecantikan dan kekayaan adalah tujuan tertinggi hidup manusia? Inilah pertanyaan penting yang harus kita pikirkan bersama. Ada yang bilang, Tuhan-lah yang menjadi tujuan hidup manusia. Bagi banyak orang, pendapat itu terdengar terlalu abstrak, dan tidak banyak membantu di dalam kehidupan sehari-hari.
Aristoteles di dalam bukunya yang berjudul Ethika Nikomacheia, atau Etika Nikomacheia, mencoba menjawab pertanyaan ini. Buku tersebut ditulis sekitar tahun 340 sebelum Masehi.1 Kemungkinan, Nikomacheia adalah anak dari Aristoteles. Buku ini terdiri dari 300 halaman dan dianggap sebagai salah satu karya paling penting di dalam sejarah filsafat, terutama dalam bidang etika. Argumen pertama Aristoteles adalah, bahwa setiap tindakan selalu mengarah pada tujuan tertentu, yakni yang baik itu sendiri di dalam bidang itu. Lanjutkan membaca Aristoteles dan Hidup yang Bermutu
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
“Para pekerja Bangladesh harus membayar dengan nyawa mereka, sehingga para pembeli dari negara lain bisa membeli pakaian murah.” Menyedihkan. Menyakitkan. Kepuasaan satu kelompok di belahan dunia tertentu dibayar dengan penderitaan dan nyawa dari orang-orang di belahan dunia lainnya.
Banyak suara berteriak dibalik runtuhnya bangunan. Orang menangis, berdoa, berteriak, dan mengeluh di bawah tumpukan materi bangunan yang ambruk. Di luar reruntuhan, orang terpana, nyaris tak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan tangis dan jeritan sakit yang terdengar keras. Gedung tua yang sebelumnya berfungsi sebagai pabrik itu kini menjadi tumpukan material yang telah membunuh banyak orang dan mengurung sisanya, membuat mereka terjebak tak berdaya.
Rana Plaza, terletak di daerah Savar, Bangladesh, tepat di ibu kota Dhaka, kini menjadi tempat yang tak akan terlupakan. Ribuan orang terjebak di dalam runtuhnya gedung tersebut. Ratusan di antaranya meninggal dalam sekejap mata. Sisanya mengalami cacat, entah cacat tubuh, atau cacat emosional.
Sekitar 3000 orang bekerja di gedung tersebut, ketika bencana itu terjadi. Sekitar 500 mayat manusia berhasil dikeluarkan. Ratusan lainnya masih hilang. Dengan berjalannya waktu, jumlah korban masih belum bisa dipastikan.
Bencana mengerikan di Savar, Bangladesh ini, sebagaimana dicatat oleh der Spiegel, merupakan bencana terbesar di sejarah Bangladesh terkait dengan industri. Ribuan orang bekerja di dalam situasi yang tidak manusiawi untuk menghasilkan produk-produk tekstil bagi perusahaan-perusahaan pakaian Amerika dan Eropa. Perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh keuntungan besar dari kultur korupsi yang mengakar di Bangladesh, dibarengi dengan ketidakpedulian para pemilik pabrik di sana tentang situasi kerja kaum buruh. (Hasnain Kazim et.al, Mei, 2013) Lanjutkan membaca Mati Demi Profit
Oleh Indra Tranggono
Seusai peristiwa pengeroyokan terhadap wartawan (19/9), seorang pelajar sebuah SMA di Jakarta melalui Twitter-nya mengaku puas memukuli wartawan.
Kata ”puas” mengindikasikan sang pelaku menganggap kekerasan sebagai kebenaran dan ”prestasi” yang wajib dirayakan. Ironisnya, pola pikir yang mengagungkan kekerasan fisik dan nonfisik itu kini kian menggejala dalam masyarakat dan negara.
Hukum harus menindak pelaku kekerasan. Siapa pun pelakunya, termasuk para pelajar. Lanjutkan membaca Budi Pekerti Elite Politik
Buku ini adalah ajakan untuk membangun komunikasi politik yang berkualitas, sehingga mampu membangun kehidupan bersama yang cerdas, sejahtera, berdasarkan pada kemerdekaan dan perdamaian abadi. Saya menulis satu artikel di dalam buku ini. Editor buku ini adalah mantan kolega saya di Universitas Atma Jaya, Jakarta, yakni Prof. Alois Agus Nugroho. Buku ini bisa didapatkan di Pusat Pengembangan Etika, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.
ISBN: 978-602-8904-07-0
Oleh Reza A.A Wattimena
Andi adalah seorang insinyur teknik sipil. Ia memperoleh IPK tertinggi di universitasnya. Banyak orang mengagumi kecerdasannya. Masa depan cerah menantinya, begitu anggapan banyak orang.
Kini ia bekerja di salah instansi pemerintah yang terkait dengan pembangunan jalan raya di berbagai kota di Indonesia. Di dalam proses kerja, ia seringkali membuat tender untuk para kontraktor yang paling sesuai dengan keperluan proyek pemerintah.
Ia seringkali bermain curang dengan meminta uang sampingan dari para kontraktor tersebut, supaya mereka mendapatkan tender. Walaupun seringkali kontraktor tersebut tidak cukup kompeten untuk menjalankan proyek terkait.
Selama berpuluh tahun ia menggunakan cara itu. Ia pun menjadi kaya raya. Gaya hidupnya jauh melampaui pendapatan resminya. Bagaimana kita menanggapi fenomena ini? Andi ternyata tidak sendirian. Lanjutkan membaca Nilai Moral di Balik Pendidikan Sains
Izinkanlah saya mengutip nasihat seseorang dari lima abad silam yang paling banyak dihujat sekaligus diikuti dalam politik: Niccolo Machiavelli. ”Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji, tak peduli agama,” demikian tulisnya, ”tidak dapat disebut kegagahan. Cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, tetapi bukan kemuliaan.”
Gloria, itulah martabat dalam politik. Politik yang bermartabat tak digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan. Martabat memancar dari tindakan otentik yang penuh kedaulatan dari seorang pemimpin berkarakter. Itulah kemuliaan yang membuat dirinya dihormati rakyatnya. Sisi gagasan tentang martabat ini jarang dicermati para pembaca yang telanjur menilai Machiavelli sebagai guru kelicikan politis. Lanjutkan membaca Politik yang Bermartabat
Oleh: Reza A.A Wattimena
Waktu menunjukkan jam 10 pagi tepat. Hari itu Sabtu 26 Maret 2011. Cuaca mendung. Udara cukup dingin untuk ukuran Surabaya.
Ruangan sudah mulai penuh. Beberapa orang saling berbicara. Tampak beberapa teman lama yang bertukar cerita. Tampak beberapa lainnya duduk membaca buku.
Dari kejauhan tampak dengan jelas Prof. Maramis. Beliau mengenakan kemeja hijau, dan sibuk berbincang dengan beberapa tamu yang baru saja hadir. Beberapa saat kemudian datanglah Dr. Aucky Hinting. Beliau adalah salah satu pembicara dari Diskusi Terbuka Bioetika dengan tema Teknik In Vitro Fertilisation (Bayi Tabung) dan Aspek Moralnya yang diselenggarakan Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya dalam kerja sama dengan Calon Fakultas Kedokteran di universitas yang sama. Lanjutkan membaca Diskusi Terbuka “Bayi Tabung” dan Aspek Moralnya
Oleh: Reza A.A Wattimena, Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Charles Taylor lahir pada 5 November 1931.[1] Ia berasal dari Kanada, yakni kota Montreal, Quebec. Ia adalah seorang filsuf yang memiliki jangkauan penelitian dan refleksi sangat luas, mulai dari filsafat politik, filsafat ilmu-ilmu sosial, dan sejarah filsafat. Pada 1952 Taylor meraih gelar B.A pada bidang sejarah dari Universitas McGill. Kemudian ia melanjutkan studi ke Oxford pada bidang filsafat, politik, dan ekonomi. Pada 1955 ia menjalani studi doktoral di bawah Isaiah Berlin dan G.E.M Anscombe pada bidang filsafat.
Setelah menyelesaikan studi doktoralnya, Taylor bekerja di Universitas Oxford sebagai professor pada bidang teori sosial dan teori politik. Selain itu dia juga adalah seorang professor pada bidang filsafat dan ilmu politik di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Sekarang ini ia telah pensiun, dan menjadi professor emeritus. Pada 1955 ia memperoleh gelar kehormatan Order of Canada, penghargaan tinggi pemerintah Kanada terhadap warganya. Pada Juni 2008 Taylor memperoleh Kyoto Prize pada bidang filsafat dan seni. Banyak ahli berpendapat bahwa Kyoto Prize adalah hadiah nobel versi Jepang.
Menurut Ruth Abbey ada beberapa hal yang membuat Charles Taylor dapat dianggap sebagai salah satu filsuf terbesar abad ke-20.[2] Selama lebih dari empat puluh tahun, Taylor menulis banyak sekali artikel dan buku, serta berdiskusi di forum-forum publik tentang masalah-masalah yang sedang relevan. Usia tua tidak membuatnya kedodoran. Sebaliknya pada usia tua, ia justru menulis karya-karya baru yang mencerahkan banyak orang di berbagai bidang. Tulisan-tulisannya dibaca orang hampir di seluruh dunia. Dia berbicara dan menulis dalam bahasa Jerman, Inggris, dan Perancis dengan sangat mahir. Menurut Abbey yang membuat Taylor layak disebut sebagai salah satu filsuf terbesar abad ke-20 adalah jangkauan tema analisisnya yang begitu luas dan mendalam. Ia banyak menulis tentang moral, subyektivitas, teori politik, epistemologi, hermeneutika, filsafat pikiran, filsafat bahasa, dan bahkan estetika. Belakangan ini ia banyak juga menulis tentang agama.
Pada era sekarang banyak ilmuwan begitu terspesialisasi di bidangnya, sehingga lupa dengan hal-hal lain di luar displin keilmuannya. Namun hal ini rupanya tidak terjadi pada Taylor. Ia mampu menulis tentang berbagai macam hal, namun dengan analisis maupun refleksi yang sangat mendalam. Oleh karena itu ia juga banyak disamakan dengan para filsuf klasik yang memang menulis tentang banyak hal, sekaligus secara mendalam. Abbey bahkan menempatkan Taylor setara dengan Plato, Aristoteles, Augustinus, Hobbes, Locke, Rousseau, Kant, Hegel, John Stuart Mill, dan Nietzsche dalam hal keluasan sekaligus kedalaman pemikiran. Lanjutkan membaca Charles Taylor
Reza A.A Wattimena*
Ciri mendasar masyarakat modern adalah kehadiran orang-orang yang memiliki keahlian mendalam pada satu bidang tertentu. Mereka disebut para ahli (experts). Bentuknya beragam mulai dari profesi guru, sekretaris, tukang listrik, tukang AC, pengacara, dokter, akuntan, manajer, apoteker, mekanik mesin mobil, dan sebagainya. Di dalam profesi-profesi tersebut terselip sebuah gelar yang mulia, yakni para profesional.
Apa konsekuensi menjadi seorang profesional di satu bidang? Pertanyaan itu semakin penting untuk diajukan, mengingat begitu banyak pekerja profesional di segala bidang sekarang ini yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) terkait profesi mereka. Misalnya seorang akuntan yang memalsukan pembukuan, seorang dokter atau perawat yang tidak mau bertanggungjawab atas kesalahan perawatan yang mereka berikan, seorang pengacara yang menggunakan argumen-argumen hukum untuk membebaskan orang yang terbukti bersalah, seorang dosen yang menggunakan statusnya untuk memeras mahasiswa, dan sebagainya.
Makna Profesi
Profesi adalah sebuah panggilan. Profesi tidak hanya sekedar seseorang belajar sampai level tertentu, lalu bisa disebut profesional, melainkan suatu panggilan untuk mengabdi pada kepentingan masyarakat secara keseluruhan, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Dari kata Inggris profess yang berarti menyatakan, seorang profesional juga menyatakan diri mau dan mampu untuk bekerja demi kepentingan orang banyak, dan bukan hanya berfokus pada kepentingan pribadinya sendiri. Ia adalah manusia-untuk-sesamanya (woman/man for others).
Apa artinya menjadi seorang profesional dalam bidang teknik sipil? Artinya adalah anda adalah orang yang memiliki kemampuan teknis dalam bidang teknik sipil, dan bersedia bekerja demi memajukan kehidupan bersama. Apa artinya seorang disebut profesional dalam bidang kedokteran? Artinya adalah anda memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk bekerja di bidang medis, serta siap untuk mengabdikan diri untuk mengembangkan kehidupan bersama.
Dua arti itu yakni keterampilan teknis dan pengabdian diri tidaklah boleh dipisahkan! Yang sekarang banyak terjadi adalah, dua hal itu dipisahkan, supaya si profesional, apapun bidangnya, bisa mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, jika perlu dengan merugikan kepentingan bersama. Si profesional menjadi arogan karena keterampilannya, lalu melupakan tujuan awal dari profesionalitasnya, yakni pengabdian diri. Dalam konteks itu pengabdian dirikepada masyarakat digantikan menjadi pengabdian diri untuk mengembangkan diri sendiri.
Apa salahnya mengembangkan diri sendiri? Bukankah seperti yang pernah diajukan secara tegas oleh Adam Smith, filsuf moral dan bapak ekonomi, pengejaran kepentingan diri sendiri adalah bentuk naluri dasariah manusia yang tidak bisa dihindarkan? Tidak ada salahnya mengembangkan diri sendiri. Bahkan sebaliknya orang yang malas atau tidak mau mengembangkan diri sendiri justru akan berakibat negatif untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Yang menjadi masalah adalah, ketika pengembangan diri itu menjadi tujuan utama, dan menghalalkan cara apapun untuk mencapainya, bahkan dengan merugikan orang lain. Pada titik ini kita perlu membedakan dua hal, tujuan (end) dan cara (means). Cara berpikir yang tepat adalah, bahwa pengembangan diri merupakan alat (means), dan pengembangan hidup bersama adalah tujuan (end). Dengan kata lain orang boleh mengembangkan diri sendiri semaksimal mungkin, sejauh pengembangan diri itu bisa memberikan kontribusi nyata bagi kebaikan masyarakat. Inilah esensi dari tanggung jawab seorang profesional, apapun bidangnya!
Krisis Profesionalitas
Apa yang saya jabarkan di atas adalah konsep normatif, yakni apa yang seharusnya terjadi (Das Soellen). Konsep di atas bisa digunakan untuk melihat situasi dunia profesional kita di Indonesia. Bagi saya pribadi situasi kehidupan para pekerja profesional di Indonesia tengah mengalami krisis, mungkin ini juga disebabkan krisis multidimensional yang masih menimpa kita sekarang ini. Saya menyebutnya sebagai krisis profesionalitas.
Apa tanda dari krisis tersebut? Dan mengapa krisis itu terjadi? Ada dua tanda yang jelas menandai krisis profesionalitas di negara kita. Yang pertama adalah semakin kurangnya keterampilan teknis maupun pengetahuan komprehensif pada ahli kita di bidangnya masing-masing. Hal ini menciptakan ketergantungan pada para ahli dari negara lain, sekaligus mengurangi kepercayaan diri pada ahli dalam negeri untuk berani bersaing di level internasional.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Setidaknya ada dua akar masalah. Yang pertama adalah banyak pemuda maupun pemudi yang menjalani pendidikan tidak memilih langsung bidang keahlian yang mereka tekuni. Mereka ditekan oleh lingkungan sosial untuk menekuni satu bidang yang sebenarnya tidak mereka sukai. Jamak ditemukan seorang anak yang sebenarnya tidak mau mengambil kuliah kedokteran, namun karena paksaan orang tua, ia kemudian terpaksa melakukannya. Akibatnya ia belajar tidak sepenuh hati, dan keterampilan maupun pengetahuannya sebagai dokter pun akhirnya juga tidak maksimal. Kasus yang serupa juga dapat ditemukan pada bidang keahlian lainnya.
Yang kedua adalah bangsa kita masih terpesona oleh segala sesuatu yang berbau Amerika Serikat dan Eropa. Antonio Gramsci menyebut keterpesonaan ini sebagai hegemoni, yakni penjajahan halus yang lebih mengutamakan rayuan daripada kekerasan. Akibatnya sebuah bangsa bisa tetap terjajah, walaupun mereka tidak menyadari, bahwa mereka sedang dijajah. Para ahli dalam negeri hampir tidak memperoleh kesempatan untuk membuktikan diri, karena mereka kalah bersaing dengan para ahli dari negara lain, terutama Eropa dan Amerika Serikat. Kedua sebab di atas, yakni keterpaksaan menekuni suatu profesi dan hegemoni Eropa maupun Amerika, saling berpaut tanpa bisa terpisahkan.
Tanda krisis profesionalitas kedua adalah, lemahnya integritas moral dan kesadaran akan pengabdian para pekerja profesional Indonesia hampir di semua bidang. Buktinya jelas yakni semakin banyaknya pelanggaran etika profesi yang dilakukan oleh para profesional, baik pelanggaran oleh dokter, akuntan, pengacara, dan sebagainya. Dan semakin banyaknya para pekerja profesional yang giat memperkaya diri sambil menipu dan merugikan kepentingan bersama. Tingkat korupsi yang tinggi, baik di perusahaan pemerintah ataupun swasta, adalah gejala permukaan dari semua masalah ini.
Mengapa begitu banyak pelanggaran etika profesi ini bisa terjadi? Setidaknya ada dua sebab yang bisa diajukan. Yang pertama terkait dengan kurangnya penghargaan terhadap para pekerja profesional di Indonesia. Penghargaan seringkali terjebak dalam retorika belaka, dan tidak menjadi bukti nyata. Pendapatan yang rendah adalah contoh nyata dari tidak adanya penghargaan terhadap para pekerja profesional. Orang yang paling baik di dunia pun bisa menjadi koruptor, jika untuk memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya pun ia tidak mampu.
Yang kedua adalah efek domino dari pelanggaran moral yang sudah seringkali terjadi. Apa yang dimaksud efek domino? Efek domino adalah efek menular. Biasanya argumen yang diajukan begini, “Karena semua orang melakukan korupsi, bahkan termasuk atasan saya, maka kenapa saya tidak melakukan korupsi juga?” Jadi orang melakukan penyalahgunaan jabatan bukan karena ia terjepit, tetapi karena ia terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya.
Orang sering lupa bahwa kejahatan adalah sesuatu yang menular, apalagi jika pelakunya adalah orang yang memiliki status terhormat. Orang menjadi tidak segan melakukan kejahatan, karena figur yang ia kagumi pun melakukannya pula. Tentu saja masalah mendasar disini adalah kurangnya integritas moral pelaku kejahatan, karena ia terpengaruh oleh lingkungan sosialnya. Namun faktanya adalah di Indonesia, para pelaku kejahatan menjadi tidak peduli pada tindakan mereka, karena tidak ada panduan dan figur yang bisa menggerakkan hati mereka untuk bertindak sebaliknya. Kejahatan pun menjadi tradisi.
Menegaskan Kembali Tanggung Jawab Profesional
Di hadapan rimba permasalahan di atas, teriakan untuk mengingatkan pentingnya tanggung jawab moral para pekerja profesional di Indonesia sangatlah masuk akal! Profesionalitas adalah panggilan untuk mengembangkan kehidupan bersama, dan bukan jalan pintas untuk memperkaya diri. Profesionalitas adalah panggilan untuk mengabdi, dan bukan untuk menipu! Profesionalitas adalah panggilan kemanusiaan, dan bukan panggilan untuk meraup uang ataupun kekuasaan sampai sepuas-puasnya!
Cara berpikir luhur di atas akan terjebak menjadi retorika belaka, jika tidak ditajamkan untuk menciptakan solusi nyata atas permasalahan yang ada. Setidaknya ada dua kemungkinan solusi yang bisa diajukan. Yang pertama berada di level konseptual, yakni soal penegasan makna etika di dalam kehidupan pekerja profesional. Yang kedua merupakan solusi praktis untuk memastikan para pekerja profesional tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan pengabdian di dalam pekerjaan mereka.
Yang pertama secara konseptual, etika adalah panggilan di dalam diri manusia untuk memahami apa yang baik dan apa yang buruk, serta kemudian hidup berdasarkan pengetahuan itu. Pada titik ini saya teringat apa yang dikatakan oleh seorang filsuf Jerman bernama Immanuel Kant sekitar 200 tahun yang lalu, bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan alat untuk tujuan lainnya. Tak berlebihan jika dikatakan, seluruh profesi manusia, apapun bentuknya, didasarkan pada pelayanan pada manusia lainnya sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat. Fokus dari profesi adalah manusia dengan segala kebutuhannya, dan bukan uang ataupun kekuasaan.
Saya ingin mengajak para profesional di berbagai bidang untuk mengingat kembali dasar profesi mereka, yakni sebagai pelayanan dan pengabdian untuk mengembangkan martabat manusia. Saya ingin mengajak para profesional untuk kembali ke dasar motivasi mereka untuk mengabdi, sebelum komersialisasi masuk menjadi cara berpikir yang dominan. Dan seperti yang sudah disinggung sebelumnya, alasan keberadaan para profesional adalah untuk mengembangkan hidup bersama. Sudah saatnya kita semua kembali ke tujuan awal profesionalitas itu.
Secara praktis pelanggaran etika profesi bisa dicegah, jika para konsumen, baik dalam bidang hukum, ekonomi, kedokteran, ataupun pendidikan, bersikap kritis terhadap para ahli. Dasar dari sikap kritis adalah keberanian untuk mengungkapkan kebenaran, terutama yang terkait dengan kehidupan bersama. Jika terjadi pemalsuan pembukuan dagang perusahaan, maka pegawai terkait harus berani mengadukannya ke wilayah hukum. Jika terjadi pelanggaran etis oleh dosen, maka mahasiswa harus berani menggugatnya.
Dalam satu satu seminar di Jakarta, F. Budi Hardiman menegaskan pentingnya keberanian sipil (civil courage) untuk memutus tali kejahatan yang ada. Keberanian sipil adalah keberanian kita semua untuk menggugat segala bentuk praktek profesional yang salah yang terjadi di Indonesia. Memang awalnya kebenaran itu menyakitkan. Akan tetapi kebenaran memiliki kekuatan yang membebaskan. Dalam konteks tanggung jawab profesional, pengungkapan kebenaran bisa mencegah kerusakan sistemik lebih jauh, yang dalam jangka panjang bisa merugikan banyak pihak yang tidak bersalah.
Sebagai lembaga pendidikan Universitas Widya Mandala, secara langsung maupun tidak, juga menjadi penyebab dari rendahnya kualitas para profesional di Indonesia. Namun UNIKA Widya Mandala masih bisa memilih, apakah akan tetap menjadi bagian dari masalah (part of problem), atau menjadi bagian dari solusi (part of solution)? Saya menyarankan agar kita semua mulai menjadi bagian dari solusi. Caranya sederhana yakni coba selipkan pendidikan etika menyangkut kesadaran moral di semua profesi yang terkait aktivitas pembelajaran di universitas. Tidak perlu menambah kuliah baru. Dosen cukup mengingatkan dua hal, yakni bahwa mahasiswa harus mencintai apa yang mereka pelajari, dan mengingatkan bahwa mereka nantinya akan menjadi abdi masyarakat, dan bukan semata pengejar harta ataupun kuasa.
Dua hal itu tidak hanya harus diajarkan di dalam ruang kuliah, tetapi juga menjadi praktek nyata di dalam manajemen universitas, sekaligus dalam perilaku para pegawai sehari-hari. Pendidikan juga adalah sebuah panggilan. Di dalamnya selalu terkait dua unsur, yakni pengetahuan yang mendalam, dan pengabdian diri. Mengutip apa yang dikatakan Bapak Uskup sewaktu berkhotbah pada misa ulang tahun Yayasan Widya Mandala Surabaya ke 51, “Jadikanlah kerja sebagai persembahan diri.” Jika sudah begitu uang dan kuasa akan mengalir dengan sendirinya, bukan dalam bentuk yang merugikan, melainkan dalam bentuk yang manusiawi. Marilah kita tetap bertekun dalam pengharapan dan pengabdian.***
*Pengajar di UNIKA Widya Mandala, Surabaya.