Terbitan Terbaru: Kosmopolitanisme, Universalisme dan Radikalisme Agama

KOSMOPOLITANISME SEBAGAI JALAN KELUAR ATAS TEGANGAN ABADI ANTARA NEOKOLONIALISME, RADIKALISME AGAMA, DAN MULTIKULTURALISME

Diterbitkan di

JURNAL LEDALERO, Vol. 17, No. 7, Juni 2018

Oleh Reza A.A Wattimena

Abstrak

Tulisan ini hendak mengajukan jalan keluar teoritis untuk perdebatan universalisme dan partikularisme. Perdebatan ini berkembang menjadi tegangan antara neokolonialisme, multikulturalisme dan radikalisme agama di abad 21. Metode yang digunakan adalah analisis tekstual kritis dengan terlebih dahulu memberikan definisi tentang universalisme, partikularisme, multikulturalisme dan radikalisme agama, serta masuk pada jalan keluar yang diajukan, yakni kosmopolitanisme. Sebagai sebuah pendekatan, kosmpolitanisme juga memiliki dampak luas di berbagai bidang. Dampak ini juga akan menjadi bagian dari tulisan.    Lanjutkan membaca Terbitan Terbaru: Kosmopolitanisme, Universalisme dan Radikalisme Agama

Kepemimpinan yang “Tak Pernah Lupa”

Oleh Reza A.A Wattimena

Saat ini Indonesia tengah mengalami krisis kepemimpinan. Di berbagai sektor kehidupan sangat sulit dijumpai seorang pimpinan yang bisa sungguh mengarahkan organisasi yang dipimpinnya untuk mencapai kegemilangan secara manusiawi. Yang banyak ditemukan adalah pemimpin yang permisif. Mereka mencari popularitas dengan bersikap ramah dan baik, namun tidak memiliki ketegasan untuk membuat keputusan. Akibatnya organisasi menjadi tidak memiliki arah yang jelas, dan ketidakpastian menghantui aktivitas organisasi tersebut. Dalam hal ini negara dan masyarakat bisa dipandang sebagai sebuah organisasi yang, juga, mengalami krisis kepemimpinan. Lanjutkan membaca Kepemimpinan yang “Tak Pernah Lupa”

Tak Lupa

wordpress.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

             Saat ini Indonesia tengah mengalami krisis kepemimpinan. Di berbagai sektor kehidupan sangat sulit dijumpai seorang pimpinan yang bisa sungguh mengarahkan organisasi yang dipimpinnya untuk mencapai kegemilangan secara manusiawi. Yang banyak ditemukan adalah pemimpin yang permisif. Mereka mencari popularitas dengan bersikap ramah dan baik, namun tidak memiliki ketegasan untuk membuat keputusan. Akibatnya organisasi menjadi tidak memiliki arah yang jelas, dan ketidakpastian menghantui aktivitas organisasi tersebut. Dalam hal ini negara dan masyarakat bisa dipandang sebagai sebuah organisasi yang, juga, mengalami krisis kepemimpinan. Lanjutkan membaca Tak Lupa

Mengapa Kita Bersatu?

Kompas 3 Juni 2011

blogspot.com

Oleh Radhar Panca Dahana

Sungguh sebenarnya kita sudah menipu: menipu dunia, menipu diri sendiri, dan menipu sejarah kita sendiri. Bahwa kita adalah manusia dan masyarakat modern, bahkan posmodern, dan bahwa kita adalah masyarakat demokratis yang ditandai oleh manusia-manusia yang egaliter, progresif, mundial, dan menghargai minoritas. Sesungguhnya itu hanyalah sebuah tipu.

Sebagaimana para elite dan pemimpinnya yang getol menggunakan biaya rakyat untuk melakukan upaya pencitraan diri, kita pun sesungguhnya aktor-aktor murahan yang sibuk dengan pencitraan bahwa kita adalah masyarakat yang sama maju dan modernnya dengan bangsa-bangsa ”hebat” lainnya. Dalam realitasnya, kita tetap tenggelam dalam kemenduaan atau semacam skizofrenia kultural, di mana diri yang kita citrakan itu bertempur atau berebut tampil dengan diri kita yang tradisional, primordial, mistik, dan klenik. Lanjutkan membaca Mengapa Kita Bersatu?

“?”

a7.sphotos.ak.fbcdn.net

 

Diskusi Screening Film

FISIP Universitas Airlangga, Surabaya,

12 April 2011

Oleh Reza A.A Wattimena

Karya-karya terbaik manusia mengangkat kita ke level yang lebih tinggi. Itulah yang saya rasakan, ketika menonton film “?” karya Hanung Bramantyo. Film itu mengangkat saya, dan orang-orang sekitar saya, ke level yang lebih tinggi. Setelah selesai menonton kami menjadi satu, lepas dari perbedaan latar belakang yang ada.

Film itu kompleks. Banyak emosi manusiawi tampil di dalamnya. Ada yang sedih, menakutkan, lucu, sampai yang menyentuh hati. Begitu banyak nilai terkandung di dalamnya untuk kita ambil, dan terapkan untuk mewujudkan hidup bersama yang semakin bijaksana. Lanjutkan membaca “?”

Charles Taylor

Google Images

Oleh: Reza A.A Wattimena, Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Charles Taylor lahir pada 5 November 1931.[1] Ia berasal dari Kanada, yakni kota Montreal, Quebec. Ia adalah seorang filsuf yang memiliki jangkauan penelitian dan refleksi sangat luas, mulai dari filsafat politik, filsafat ilmu-ilmu sosial, dan sejarah filsafat. Pada 1952 Taylor meraih gelar B.A pada bidang sejarah dari Universitas McGill. Kemudian ia melanjutkan studi ke Oxford pada bidang filsafat, politik, dan ekonomi. Pada 1955 ia menjalani studi doktoral di bawah Isaiah Berlin dan G.E.M Anscombe pada bidang filsafat.

Setelah menyelesaikan studi doktoralnya, Taylor bekerja di Universitas Oxford sebagai professor pada bidang teori sosial dan teori politik. Selain itu dia juga adalah seorang professor pada bidang filsafat dan ilmu politik di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Sekarang ini ia telah pensiun, dan menjadi professor emeritus. Pada 1955 ia memperoleh gelar kehormatan Order of Canada, penghargaan tinggi pemerintah Kanada terhadap warganya. Pada Juni 2008 Taylor memperoleh Kyoto Prize pada bidang filsafat dan seni. Banyak ahli berpendapat bahwa Kyoto Prize adalah hadiah nobel versi Jepang.

Menurut Ruth Abbey ada beberapa hal yang membuat Charles Taylor dapat dianggap sebagai salah satu filsuf terbesar abad ke-20.[2] Selama lebih dari empat puluh tahun, Taylor menulis banyak sekali artikel dan buku, serta berdiskusi di forum-forum publik tentang masalah-masalah yang sedang relevan. Usia tua tidak membuatnya kedodoran. Sebaliknya pada usia tua, ia justru menulis karya-karya baru yang mencerahkan banyak orang di berbagai bidang. Tulisan-tulisannya dibaca orang hampir di seluruh dunia. Dia berbicara dan menulis dalam bahasa Jerman, Inggris, dan Perancis dengan sangat mahir. Menurut Abbey yang membuat Taylor layak disebut sebagai salah satu filsuf terbesar abad ke-20 adalah jangkauan tema analisisnya yang begitu luas dan mendalam. Ia banyak menulis tentang moral, subyektivitas, teori politik, epistemologi, hermeneutika, filsafat pikiran, filsafat bahasa, dan bahkan estetika. Belakangan ini ia banyak juga menulis tentang agama.

Pada era sekarang banyak ilmuwan begitu terspesialisasi di bidangnya, sehingga lupa dengan hal-hal lain di luar displin keilmuannya. Namun hal ini rupanya tidak terjadi pada Taylor. Ia mampu menulis tentang berbagai macam hal, namun dengan analisis maupun refleksi yang sangat mendalam. Oleh karena itu ia juga banyak disamakan dengan para filsuf klasik yang memang menulis tentang banyak hal, sekaligus secara mendalam. Abbey bahkan menempatkan Taylor setara dengan Plato, Aristoteles, Augustinus, Hobbes, Locke, Rousseau, Kant, Hegel, John Stuart Mill, dan Nietzsche dalam hal keluasan sekaligus kedalaman pemikiran. Lanjutkan membaca Charles Taylor

Multikulturalisme untuk Indonesia

charles-taylor-philosopher Pemikiran Charles Taylor

tentang Politik Pengakuan dan Multikulturalisme,

serta Kemungkinan Penerapannya di Indonesia.

Reza A.A Wattimena,

Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

“..Jika hanya ada satu agama di Inggris maka akan ada bahaya despotisme, jika ada dua, mereka akan saling membunuh, namun jika ada tiga,

maka mereka akan hidup dalam kedamaian dan kebahagiaan..”

Voltaire

Abstract:

Inspired by Charles Taylor’s Political Philosophy, the author will argue that to become a meaningful society, Indonesian society first of all have to respect various forms of life in it. The various forms of life have to live authentically according to its identity, value, and customs in the relation with another forms of life that co-exist in the society. The author will also try to apply Taylor’s political philosophy in the context of Indonesian society. In the end, Indonesian context can give a certain critical remarks to the development of Taylor’s philosophy.

Keywords: Identitas, multikulturalisme, politik pengakuan.

Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah cerita. Sandra adalah orang Jawa yang tinggal Prancis. Ia adalah seorang gadis yang sangat berbakti pada orang tuanya. Orang tuanya tinggal di Surabaya. Mereka berasal dari suatu kota di Jawa Tengah. Mereka merasa bahwa Sandra perlu untuk mengenal dunia luar. Maka kedua orang tuanya menyekolahkan Sandra untuk menempuh pendidikan lanjut di Paris, Prancis. Ia menjadi gadis yang cerdas, kritis, dan sangat mencintai orang tuanya. Di Paris ia berhasil menyelesaikan studinya dengan gemilang, dan bahkan menjalin hubungan serius dengan teman sekolahnya. Mereka siap untuk menikah dan membina hidup bersama.

Namun orang tua Sandra memiliki rencana berbeda. Mereka sudah mempersiapkan orang yang, menurut mereka, tepat untuknya, yakni seorang pria yang memiliki latar belakang persis sama dengan Sandra. Secara kultural pria tersebut adalah pasangan yang tepat untuk Sandra. Namun ia menolak dengan alasan sudah memiliki pasangan jiwa. Tegangan pun terjadi. Atas nama budaya dan tradisi, orang tua Sandra menyarankan pria tersebut sebagai pasangan hidupnya. Atas nama kebebasan dan cinta (yang juga merupakan bagian dari tradisi masyarakat tertentu), Sandra memilih pasangan jiwanya di Paris sana. Ia bingung. Orang tuanya pun bingung.[1] Apa yang harus mereka lakukan?

Sekilas kisah ini mirip cerita sinetron. Namun di balik cerita ini terdapat problem masyarakat multikultur yang sangat mendalam, yakni apa yang harus dilakukan, ketika dua kultur bertemu dan saling berbeda pandangan? Jawaban yang biasanya langsung muncul adalah melakukan dialog. Namun dialog tanpa dasar nilai dan pemikiran yang sama tidak akan banyak membuahkan hasil. Dialog hanya menjadi gosip ataupun ngerumpi semata yang seringkali berakhir dalam kebuntuan. Maka yang diperlukan adalah menemukan dasar nilai yang sama untuk menjadi titik tolak dari dialog. Sebelum itu inti terdalam dari tegangan kultural yang terjadi juga perlu untuk dipahami. Pada titik inilah wacana multikulturalisme menemukan relevansinya.

Banyak kasus lainnya dengan intensitas jauh lebih besar berlatar pada tegangan kultur tersebut. Di dalam filsafat politik kontemporer, pertanyaan inti yang diajukan sebagai titik awal penelitian adalah, bagaimanakah bentuk politik kultural yang mampu menampung semua identitas kultural secara harmonis (hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan) dan dinamis (terbuka pada perubahan, baik dari dalam maupun dari luar)? Itulah kiranya pertanyaan yang juga menjadi pergulatan wacana multikulturalisme. Pada tulisan ini saya hendak menjawab pertanyaan tersebut dengan mengacu pada filsafat politik Charles Taylor sebagaimana ditulisnya di dalam Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition.[2] Pada akhir tulisan saya berharap juga mampu memberikan alternatif untuk permasalahan Sandra dan orang tuanya.

Untuk itu saya akan membagi tulisan ini ke dalam empat bagian. Awalnya saya akan memperkenalkan sosok hidup maupun pemikiran Charles Taylor (1). Lalu saya akan menjelaskan pandangannya soal politik pengakuan dan multikulturalisme (2). Pada bagian berikutnya saya akan mencoba menerapkan pandangan Taylor tersebut di dalam konteks masyarakat Indonesia.[3] Bagian ini bukanlah sebuah analisis komprehensif tentang Indonesia melalui kaca mata filsafat politik Charles Taylor, melainkan sebuah eksperimen berpikir awal tentang kemungkinan penerapan multikulturalisme dan politik pengakuan di dalam masyarakat Indonesia dengan terlebih dahulu mempertimbangkan faktor demografis, kultural, filosofis, dan geografis Indonesia (3). Tulisan ini akan saya tutup dengan kesimpulan dan tanggapan kritis, sekaligus mengajukan beberapa prinsip dasar yang sekiranya bisa menjadi panduan bagi Sandra dan orang tuanya untuk membuat keputusan (4).

Untuk membaca lebih jauh, silahkan hubungi Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya (http://filsafat.wima.ac.id/)


[1] Cerita ini saya adaptasi dengan konteks Indonesia, namun mengacu pada Parekh, Bhikhu, Rethinking Multiculturalism, London: MacMillan Press, 2000.

[2] Pada tulisan ini saya ingin membahas pandangan Charles Taylor tentang politik pengakuan dan multikulturalisme, serta menanggapinya secara kritis. Saya mengacu pada Taylor, Charles, “The Politics of Recognition”, dalam Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition, New Jersey: Princeton University Press, 1994.

[3] Bandingkan dengan pemaparan yang sangat menarik di dalam Hefner, Robert W. (ed), The Politics of Multiculturalism, Honolulu: University of Hawai’i Press, 2001. Saya sadar sekali Taylor berangkat dari tradisi intelektual yang sangat berbeda dengan Indonesia. Oleh karena itu saya tidak akan menerapkan pemikirannya begitu saja, namun dengan catatan kritis. Secara sederhana dapat dikatakan, pemikiran Charles Taylor dapat memberikan kontribusi penting bagi Indonesia, dan situasi serta kultur Indonesia bisa memperkaya pemikiran Charles Taylor secara khusus, maupun wacana politik pengakuan dan multikulturalisme pada umumnya.

Gambar dari http://filipspagnoli.files.wordpress.com/2009/09/charles-taylor-philosopher.jpg

Politik Multikulturalisme


Technorati Tags: filsafat,politik,multikulturalisme

Oleh: Reza A.A Wattimena

Kabinet Indonesia bersatu II sudah terbentuk. Sumpah dan komitmen politis sudah diucapkan. Harapan dan kesangsian bermunculan di masyarakat. Sama seperti pemerintahan sebelumnya, Kabinet Indonesia Bersatu II ini adalah hasil kompromi dari berbagai kepentingan, terutama kepentingan yang ada di partai politik. Namun apakah kompromi tersebut sungguh mampu mencerminkan kepentingan dan kebutuhan setiap kelompok yang ada di masyarakat? Ataukah kompromi politik yang terjadi sifatnya hanya pembagian kekuasaan, tanpa ada keterkaitan dengan kepentingan masyarakat luas?

Pemerintahan Multikultural

Indonesia adalah negara dengan banyak bangsa. Tidak hanya itu beragam ‘bangsa’ yang ada di Indonesia juga memiliki kelompok-kelompok identitas partikular di dalamnya. Dalam arti ini Indonesia adalah bangsa multikultur. Kultur sendiri adalah pandangan hidup, pandangan dunia, horison makna, dan nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang atuapun suatu kelompok sebagai dasar pemikiran ataupun tindakannya. Adanya beragam kultur bisa menjadi potensi kekayaan budaya bangsa yang besar, sekaligus potensi pemecah dan pemicu konflik.

Pemerintahan berdasar politik multikulturalisme haruslah memberikan ruang bagi semua identitas partikular yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat. Setiap kelompok identitas partikular haruslah memiliki wakil di parlemen maupun di kabinet. Inilah ide dasar dari parlemen dan kabinet multikulturalisme. Kepentingan setiap kelompok identitas kultural partikular haruslah diberikan tempat untuk kemudian berdialog dengan kepentingan identitas kultural partikular lainnya.

Selama ini parlemen hanya terdiri dari perwakilan propinsi yang telah memenangkan pemilu legislatif. Kabinet eksekutif pemerintahan pun hanya merupakan hasil kompromi politik dari partai-partai politik besar. Dalam kondisi ini kepentingan dan pemikiran yang berkembang dari kelompok identitas partikular yang tersebar di seluruh Indonesia seringkali tidak mendapatkan ruang untuk didengar. Padahal kehadiran jutaan kelompok identitas partikular di seluruh Indonesia sangat menentukan jati diri bangsa secara keseluruhan.

Jika parlemen dan kabinet tidak memberi ruang bagi perwakilan setiap kelompok identitas partikular, maka demokrasi akan tersumbat. Kepentingan dan pemikiran mereka yang unik seturut dengan kulturnya tidak akan terdengar. Identitas kelompok mereka akhirnya terancam musnah. Jika kelompok-kelompok identitas partikular di Indonesia musnah, maka potensi kekayaan budaya bangsa akan musnah. Indonesia dapat terjatuh kembali menjadi negara totaliter.

Keberadaan parlemen dan kabinet multikulturalisme memungkinkan setiap kelompok identitas partikular yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia mendapatkan pengakuan yang selayaknya. Adanya pengakuan terhadap keberadaan kelompok identitas partikular merupakan awal perkembangan identitas nasional bangsa Indonesia yang multikultur. Pengakuan merupakan syarat eksistensi suatu kelompok ataupun individu. Identitas kelompok partikular bisa berkembang secara dialogal dengan identitas kelompok lainnya, jika pengakuan sudah diberikan.

Prinsip dasar yang harus dijadikan acuan adalah, bahwa setiap kultur memiliki nilai pada dirinya sendiri. Setiap orang ataupun kelompok berhak hidup seturut dengan kultur yang mereka yakini secara otentik. Pemerintahan multikultural adalah cerminan dari masyarakat Indonesia yang juga multikultur. Pemerintahan multikultural bisa menjamin otentisitas kehidupan dari individu ataupun kelompok yang dipimpinnya. Di dalam masyarakat yang otentik, potensi konflik sosial antar kelompok sangatlah kecil. Kekerasan di dalam masyarakat pun bisa dikurangi.

Kompromi Politik

Pada level praktis keberadaan parlemen dan kabinet multikulturalisme bisa memberi warna positif bagi kompromi politik yang terjadi di pemerintahan, terutama eksekutif dan legislatif. Dewasa ini kompromi politik yang terjadi adalah kompromi antar kepentingan golongan yang berkuasa di pemerintahan. Masyarakat secara umum termasuk kelompok-kelompok identitas partikular tidak mendapatkan ruang untuk sungguh memperjuangkan kepentingan mereka. Akibatnya banyak kelompok identitas partikular tersebut merasa asing dengan pemerintahan yang ada. Apatisme politik pun tercipta. Orang tidak lagi peduli dengan politik bangsanya.

Jika parlemen (legislatif) dan kabinet (eksekutif) memberikan tempat yang memadai untuk setiap kelompok identitas partikular, maka kompromi politik yang terjadi adalah kompromi untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama, karena setiap kelompok identitas partikular hanya bisa berkembang dalam relasi dengan kelompok identitas partikular lainnya. Inilah inti dari politik multikulturalisme. Kesejahteraan bersama hanya dapat tercipta, jika setiap kelompok identitas partikular memperjuangkan kepentingannya dalam relasi dialogal dengan kelompok identitas partikular lainnya. Para politikus dan akademisi bisa mulai melihat kemungkinan terwujudnya politik multikulturalisme di Indonesia.***

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Multikulturalisme di dalam Masyarakat Majemuk

Multikulturalisme

di dalam Masyarakat Majemuk[1]


Reza A.A Wattimena



Di dalam dunia ilmu-ilmu sosial telah muncul semacam kesadaran, bahwa penelitian sosial tidak pernah boleh berhenti pada pengumpulan data-data semata. Penelitian sosial haruslah menekankan dan mengajarkan nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan bersama. Hal yang sama kiranya juga berlaku di dalam penelitian-penelitan mengenai multikulturalisme. Seorang ilmuwan sosial asal Swedia, Gunnar Myrdal, mempunyai pendapat menarik tentang hal ini.[2] Pertama, baginya ilmu-ilmu sosial haruslah melibatkan sesuatu yang lebih dari sekedar penggambaran fakta-fakta. Dalam arti ini ilmu sosial haruslah menyentuh problem-problem mendasar kehidupan manusia, seperti soal nilai dan makna. Kedua, setelah menggambarkan fakta ilmu-ilmu sosial haruslah menjelaskan keterkaitan antara fakta-fakta yang beragam tersebut tersebut. Ilmu sosial haruslah mampu menunjukkan relasi yang memberikan kerangka berbagai data yang ada. Ketiga, di dalam ilmu-ilmu sosial problem mengenai sudut pandang sangatlah penting untuk diperhatikan. Suatu masalah bisa begitu signifikan di lihat dari satu sudut pandang tertentu, tetapi juga bisa menjadi sangat tidak signifikan jika dilihat dari sudut pandang lain. Seorang ilmuwan sosial haruslah memberikan argumen yang kuat, jika ia hendak memutuskan bahwa satu sudut pandang dianggap lebih penting daripada sudut pandang lain. Myrdal merumuskan pandangannya ini dalam konteks analisisnya problem multikulturalisme di Amerika. Pertanyaan yang menjadi fokusnya adalah struktur, institusi, dan kebijakan macam apakah yang diperlukan untuk mencapai tujuan akhir yang sesuai dengan konstitusi dasar Amerika?

Pertanyaan itu tentunya kurang relevan untuk kita. Akan tetapi problematika yang muncul akibat fakta adanya kehidupan bersama antara orang-orang yang berasal dari kultur maupun agama yang berbeda jelas sangat relevan untuk Indonesia. Dalam hal ini tentunya kita bisa banyak belajar dari pada peneliti dan ilmuwan yang sudah banyak melakukan analisis di bidang ini. Pelajaran yang ditarik bisa di level deskripsi data, tetapi juga lebih dari itu, yakni suatu konsep tentang masyarakat multikultural, seperti Indonesia, yang ideal. Pada bagian ini, saya akan mencoba untuk menelusuri beberapa pendapat John Rex mengenai problematika multikulturalisme di dalam masyarakat majemuk.

Multikulturalisme untuk Masyarakat Majemuk

Mari kita telusuri beberapa gagasan mengenai tata masyarakat di dalam konteks masyarakat majemuk. Teori sosiologi klasik biasanya selalu berfokus pada konflik-konflik sosial yang muncul di dalam masyarakat yang kurang lebih homogen. Pada 1939 Furnivall membuat terobosan baru dengan mencoba memahami dinamika dan problematika masyarakat plural.[3] Kebetulan juga ia mencoba mempelajari dinamika masyarakat Indonesia pada saat itu. Ia menemukan fakta menarik. Di Indonesia banyak orang yang berasal dari beragam latar belakang suku dan agama hidup di dalam daerah yang sama. Akan tetapi interaksi sesungguhnya justru dilakukan di dalam pasar, dan bukan di tempat tinggal mereka. Artinya walaupun setiap orang hidup di dalam wilayah yang memiliki nilai moral dan agama yang berbeda-beda, tetapi mereka bisa bertemu di pasar. Pasar dianggap sebagai tempat yang tidak memiliki kontrol moral ataupun religius partikular. Di Eropa kapitalisme berkembang sangatlah lambat, dan melibatkan interaksi yang luar biasa rumit dengan nilai-nilai moral di dalam budaya maupun agama. Hal ini tidaklah terjadi di Indonesia. Perkembangan kapitalisme di Indonesia selalu melibatkan pasar, di mana relasi yang terjadi adalah relasi dominasi antara kelompok yang satu atas kelompok yang lain.[4]

Suatu masyarakat disebut sebagai masyarakat majemuk, jika masyarakat tersebut memenuhi satu dari dua definisi berikut ini. Pertama, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari komunitas etnik yang berbeda-beda. Komunitas etnik tersebut hidup terpisah-pisah, dan masing-masing memiliki moralitasnya sendiri. Yang kedua, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang hidup di dalam satu komunitas yang sama, namun dipisahkan satu sama lain oleh pasar. Pada titik ini ada baiknya kita bertanya, apakah masyarakat majemuk semacam itu akan mendorong terciptanya semacam moralitas bersama untuk memampukan mereka hidup bersama secara harmonis, atau mereka justru akan menciptakan relasi dominatif antara kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, di mana justru relasi dominatif itu yang akan menjadi pengikat kehidupan bersama?

Salah satu sosiolog yang mencoba menganalisis hal ini adalah M.G Smith.[5] Menurutnya suatu masyarakat yang homogen selalu memiliki seperangkat aturan sistem sosial yang uniter. Artinya masyarakat tersebut mempunyai seperangkat aturan yang mengatur kehidupan privat, religius, hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Akan tetapi masyarakat majemuk tidaklah memiliki hal semacam itu. Masyarakat majemuk ditandai dengan beragamnya perangkat aturan nilai yang digunakan untuk menata kehidupan sosial manusia, dan masing-masing aturan nilai tersebut bersifat total hanya bagi orang-orang yang berada di dalam kultur ataupun agama tertentu. Di dalam masyarakat semacam ini tidak ada sabuk pengikat kehidupan bersama. Bahkan menurut Smith, masyarakat majemuk justru diikat oleh adanya dominasi kelompok yang satu atas kelompok yang lain. Jadi elemen yang mengikat masyarakat majemuk untuk tetap eksis sebagai masyarakat justru adalah dominasi. Dalam konteks ini Smith menawarkan suatu model untuk menjelaskan terjadinya diskriminasi rasial di dalam masyarakat majemuk.

Tentu saja model ini bukanlah suatu model yang ideal bagi masyarakat multikultur. Untuk mencoba merumuskan model ideal bagi suatu masyarakat multikultur, kita pertama-tama perlu untuk membedakan wilayah privat dan wilayah publik dari kehidupan sosial. Rex menawarkan tiga model dalam konteks ini. Pertama, kita dapat memikirkan sebuah masyarakat yang memiliki ruang publik yang tunggal, namun justru mendorong terciptanya perbedaan di dalam ruang privat. Kedua, kita dapat membayangkan sebuah model masyarakat, di mana masyarakat sekaligus mendorong kesatuan di dalam ruang publik maupun di dalam ruang privat. Kesatuan tersebut tentunya didasarkan pada seperangkat nilai-nilai moral yang disepakati bersama. Ketiga, suatu masyarakat juga dapat mendorong perbedaan dan mengakui pluralitas nilai sekaligus di ruang publik, dan di dalam ruang privat. Masyarakat multikultur yang ideal, menurut Rex, adalah masyarakat yang memenuhi model pertama, di mana setiap orang dan setiap kelompok diberi kebebasan untuk mengekspresikan nilai-nilai maupun cara hidup mereka, namun tetap mengacu terus pada ruang publik bersama sebagai satu kesatuan. Model kedua adalah model yang dipakai oleh praktek-praktek kolonialisme, seperti pada sistem Apartheid di Afrika Selatan.

Saya tertarik untuk membahas lebih jauh pandangan Rex mengenai ruang privat dan ruang publik ini. Menurutnya refleksi tentang ruang publik dan ruang privat masihlah jarang ditemukan di dalam teori-teori sosiologi klasik. Para pemikir klasik cenderung untuk memandang masyarakat sebagai kumpulan institusi yang saling terhubung, dan kemudian membentuk satu sistem tunggal. Pandangan semacam ini dengan mudah dapat ditemukan di dalam pemikrian Talcott Parsons,[6] serta para pemikir Strukturalis Perancis, seperti Althusser.[7] Mereka cenderung untuk berpendapat bahwa ruang publik dibentuk oleh semacam moralitas bersama, dan moralitas itu pula yang mengatur kehidupan ruang privat melalui institusi-institusi sosial, seperti institusi agama.

Institusi-institusi sosial yang ada sekarang sangatlah didasarkan pada paradigma fungsionalis semacam ini. Sistem ekonomi dan sistem hukum telah dilepaskan dari tata nilai tradisional, dan mengadopsi tata nilai yang sama sekali baru. Tentu saja nilai-nilai kultural dan nilai-nilai agama tradisional tidak otomatis sama sekali lenyap. Akan tetapi praktek-praktek yang didasarkan atas tata nilai tradisional tidak pernah boleh mencampuri kinerja sistem-sistem sosial yang ada, baik sistem politik, ekonomi, maupun hukum.

Teori-teori sosiologi klasik cenderung untuk memfokuskan analisisnya pada sistem nilai yang berlaku di dalam sebuah masyarakat. Sistem nilai itulah yang menjadi aturan moral yang menata kehidupan masyarakat tersebut. Ferdinand Tőnnies pernah menulis, bahwa suatu masyarakat harus mendasarkan kerja sama dan interaksinya pada suatu dasar yang bersifat historis.[8] Durkheim juga pernah menulis tentang "solidaritas organik" (organic solidarity) yang didasarkan pada pembagian kerja (division of labour). Solidaritas organik ini dibedakannya dari solidaritas mekanik pada masyarakat kecil yang didasarkan pada kekeluargaan (kinship).[9] Solidaritas organik ini juga dibedakan dari logika yang menjalankan suatu masyarakat egoistik, di mana nilai-nilai yang menata kehidupan bersama terletak pada beberapa individual yang dominan saja. Beragam pandangan ini semakin dilengkapi oleh Weber, ketika ia menulis bahwa etika Protestan dan Calvin mendorong terciptanya rasionalisasi di bidang agama. Dalam konteks ini, kehidupan bersama semakin didasarkan pada otoritas legal-rasional, dan bukan lagi pada otoritas religius-metafisis.[10]

Dalam arti ini proses perubahan sosial, pembentukan sistem negara modern, dan pembentukan sistem ekonomi kapitalis didorong oleh rasionalitas moral dan hukum di dalam masyarakat. Dengan inilah, menurut Parsons, problematika mengenai bagaimana terbentuknya tatanan masyarakat untuk mencegah ‘perang semua melawan semua’ dapat diselesaikan. Akan tetapi proses rasionalisasi bidang-bidang kehidupan ini tampaknya tidak berjalan secara universal. Seperti yang pernah dirumuskan oleh Furnivall, proses terbentuknya sistem negara modern dan sistem ekonomi kapitalis berdasarkan kehendak bersama tidaklah terjadi di Indonesia. Di Indonesia proses rasionalisasi identik dengan proses kolonialisasi dan dominasi dunia kehidupan bangsa Indonesia oleh kekuatan-kekuatan asing dari Eropa. Tidak seperti di Indonesia, proses pembentukan sistem di Eropa berjalan paralel dengan proses perubahan kulturalnya, sehingga terjadi kesinambungan yang harmonis di antara keduanya.[11] Inilah yang disebut Rex sebagai kultur publik (public culture).

Kultur publik ini terlihat dengan jelas di dalam moralitas publik, hukum, dan agama yang didasarkan pada rasionalitas. Munculnya kultur publik ini juga menandakan berakhirnya kultur rakyat (folk culture) yang terwujud di dalam moralitas, hukum, dan agama rakyat. Hukum, politik, dan moralitas yang didasarkan pada rasionalitas ini kemudian memiliki fungsi sosial yang baru. Di satu sisi, elemen-elemen publik ini mengikat orang-orang yang berbeda untuk bisa hidup di dalam satu komunitas tertentu. Tidak hanya mengikat, elemen-elemen publik ini juga memberikan orang-orang tersebut identitas sosial yang solid. Di sisi lain, elemen publik ini juga memberikan apa yang Parsons sebut sebagai "pemeliharaan pola dan pengaturan tegangan" (pattern maintenance and tension management). Parsons juga lebih jauh berpendapat, bahwa kehidupan di dalam dunia yang rumit dan plural ini hanya mungkin, jika orang memiliki semacam ‘ruang tenang’ yang memungkinkan mereka untuk merasa nyaman. Ruang tenang inilah yang disebutnya sebagai ruang intim.

Tentu saja, pengandaian-pengandaian yang ada di dalam masyarakat multikultur itu hanya mungkin, jika masyarakat telah mengalami perubahan menjadi masyarakat bermentalitas modern. Di dalam masyarakat yang masih sederhana, seluruh kehidupan masyarakat diatur oleh seperangkat aturan nilai tertentu. Hal yang sama kiranya berlaku di dalam masyarakat multikultur, walaupun dengan pola yang berbeda. Seperangkat nilai yang didasarkan pada moralitas bersama haruslah diterapkan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat dalam skala yang masif. Sementara, perangkat nilai yang sama haruslah juga memungkinkan individu-individu yang ada di masyarakat tersebut untuk memperoleh kenyamanan dan stabilitas eksistensial. Masyarakat multikultur haruslah memiliki perangkat nilai semacam itu. Dengan kata lain adalah suatu keharusan, bahwa perangkat nilai yang didasarkan pada moralitas bersama dapat mengatur kehidupan masyarakat, baik di dalam ruang publik maupun di dalam ruang privat. Tanpa perangkat nilai semacam itu, kehidupan bermasyarakat di dalam masyarakat multikultur tidak akan mungkin dapat terjadi.

Institusionalisasi Ruang Publik

Di dalam masyarakat multikultur, menurut Rex, ruang publik dan ruang privat seringkali bersinggungan. Ketika bersinggungan, tegangan dan konflik kepentingan pun tidak dapat dihindarkan. Bidang-bidang yang kiranya menandai persinggungan itu adalah bidang pendidikan dan bidang politik. Pendidikan dan pengaruh ideologi politik terasa dari ruang publik sampai ke dalam ruang privat. Ketika sudah terhubung di dalam ruang publik, pendidikan dan ideologi politik pun kini juga berurusan dengan hukum dan ekonomi.

Hukum menentukan bagaimana orang, baik secara individual dan komunal, dapat hidup bersama dan terintegrasi secara positif ke dalam masyarakat. Inilah yang kiranya menandai ciri dari masyarakat modern, bahwa orang-orang yang berasal latar belakang berbeda dapat terintegrasi secara positif ke dalam masyarakat. "Di dalam masyarakat multikultur yang ideal", demikian tulis John Rex, "bagaimanapun juga, kita mengandaikan bahwa semua individu secara setara terintegrasi dan dan bahwa mereka memiliki kesetaraan di hadapan hukum."[12] Ideal semacam ini tidak akan pernah tercapai ke dalam realitas, jika banyak orang masih mengalami diskriminasi di hadapan hukum, atau hak-haknya sebagai warga negara tidak lagi diakui sepenuhnya.

Dalam konteks politik misalnya, kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat multikultur seringkali juga memiliki kekuatan politis yang berbeda-beda pula. Ini tentu saja bukanlah suatu kondisi yang ideal. Di dalam masyarakat multikultur yang ideal, kelompok-kelompok sosial yang berbeda haruslah memiliki kekuatan politik yang setara. Kesetaraan ini dapat dirasakan dalam bentuk partisipasi yang setara di dalam kehidupan-kehidupan publik, maupun di dalam proses-proses pembuatan keputusan yang terkait dengan kehidupan bersama.

Salah satu bidang yang memiliki dampak besar bagi kehidupan bersama adalah bidang ekonomi. Artinya, bidang ekonomi haruslah memiliki seperangkat aturan moral yang memungkinkan bidang tersebut bisa ditata demi kepentingan publik. Bidang ekonomi haruslah mengalami proses institusionalisasi. Proses ini melibatkan proses tukar menukar dan kompetisi antara penjual dengan penjual, ataupun pembeli dengan pembeli. Proses tukar menukar dan kompetisi ini haruslah dibebaskan dari penggunaan kekerasan ataupun pemaksaan. Moralitas yang berlaku di dalam bidang ekonomi adalah moralitas pertukaran yang damai (peaceful bargaining). Upaya untuk mempertahankan proses pertukaran yang adil dan harmonis sangatlah menentukan tingkat keberadaban suatu masyarakat multikultur.[13]

Akan tetapi, walaupun masyarakat multikultur telah memiliki seperangkat tata nilai yang dianggap sebagai moralitas bersama, hal ini sama sekali tidak menjamin bahwa masyarakat tersebut akan selalu hidup dalam keadaan damai. Seringkali, upaya-upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan politis menghasilkan konflik politik yang lebih besar intensitasnya. Upaya-upaya politis tersebut tidak pernah boleh menyangkal hak-hak individual seorang pun, terutama atas dasar alasan-alasan perbedaan etnis.

Dengan demikian, proses pembentukan hukum, politik, dan ekonomi merupakan suatu proses institusionalisasi ruang publik. Proses institusionalisasi tersebut haruslah didasarkan pada nilai-nilai moral yang telah disepakati bersama. Nilai-nilai moral yang sama jugalah yang dapat digunakan untuk menata kehidupan privat yang berkaitan dengan moralitas dan agama. Akan tetapi, terutama pada praktek politik welfare state, ruangp publik, dengan menggunakan kekuasaan birokratis politiknya, bisa memaksakan otoritasnya juga pada persoalan-persoalan agama maupun moralitas.

Dalam batas tertentu, ekspansi kekuasaan birokrasi negara ini memiliki dampak negatif. Negara, misalnya, memiliki kekuatan untuk melakukan intervensi ke dalam ekonomi melalui mekanisme kontrol kepemilikan, dan campur tangan melalui subsidi maupun peraturan hukum. Lebih dari itu, negara juga memiliki otoritas untuk ikut campur tangan dalam soal-soal moralitas privat maupun keluarga. Mekanisme intervensi ini tentu saja juga mempunyai dampak positif, yakni memungkinkan terjadinya pembagian kekayaan yang merata. Negara juga memiliki otoritas untuk menjamin berfungsinya serikat buruh, sekaligus memastikan bahwa setiap orang, apapun sukunya, memiliki pekerjaan yang layak.[14] Dengan otoritas politiknya, negara juga bisa menjamin bahwa setiap orang yang tidak memiliki pekerjaan memperoleh pendapatan secukupnya. Negara juga bisa membentuk suatu instansi pemerintahan yang memperhatikan problem-problem di dalam keluarga maupun problem individual. Semua ini tentunya membutuhkan pelampauan batas antara ruang publik maupun ruang privat. Dalam arti ini, negara wajib untuk melampaui batas ruang publik dan ruang privat, dan menjamin bahwa kepentingan yang lebih besar dan lebih universal dapat tercapai.

Di dalam bukunya, T. Marshall pernah berpendapat bahwa di dalam masyarakat multikultur, negara tidak hanya memenuhi hak-hak politik maupun hak-hak legal rakyatnya, tetapi juga hak-hak sosial maupun kultural warganya. Harapannya adalah, dengan diperhatikan hak-hak sosial maupun kulturalnya, warga bisa memahami bahwa kepentingan bersama lebih penting dari sekedar kepentingan kelas sosial semata. Dengan kata lain, rakyat jadi memiliki loyalitas yang otentik pada negaranya, dan bukan hanya pada kelas sosialnya semata. Rex menulis begini, "banyak dari perasaan identifikasi yang dimiliki individu dulunya hanya pada ruang privat, kini ditransfer ke level negara."[15] Setiap orang menghargai dan menghormati kepentingan partikular kelas sosialnya, tetapi lebih dari itu, setiap orang lebih menghargai dan menghormati kepentingan negaranya yang melingkupi kelas sosial yang lebih luas.

Memang, yang terjadi disini adalah seolah peran keluarga kini telah digantikan oleh negara. Akan tetapi, tidak ada yang salah dengan hal ini, terutama ketika justru negara dapat menjalankan fungsi sosialisasi dan penanaman nilai-nilai secara lebih efektif daripada keluarga. Pada titik inilah ruang publik dan ruang privat menyatu. Namun, ketika negara dengan otoritas politiknya mulai mencampuri urusan pendidikan, ada beberapa masalah baru muncul.

Pendidikan, Ruang Publik, dan Ruang Privat

Di dalam masyarakat modern, pendidikan setidaknya memiliki tiga fungsi. Pertama, pendidikan berfungsi untuk memilih individu-individu sesuai dengan kriteria keahlian mereka, untuk kemudian mempersiapkan mereka menempati peran-peran tertentu di dalam masyarakat. Peran-peran sosial tersebut tentunya sesuai dengan apa yang menjadi keahlian mereka. Kedua, pendidikan juga mengajarkan kemampuan-kemampuan praktis yang dibutuhkan oleh setiap orang untuk mempertahankan hidupnya, seperti untuk bekerja di bidang industri, ekonomi, ataupun bidang-bidang lainnya. Dan ketiga, pendidikan berfungsi untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Fungsi terakhir inilah yang seringkali mengalami konflik dengan kepentingan privat.

Memang adalah wajar, jika pemerintah ikut campur dalam soal pendidikan. Yang terpenting adalah, proses pendidikan ini tidak bersifat eksklusif. Sejauh pengajaran nilai-nilai moral tersebut terkait dengan moralitas kehidupan bernegara, maka sebenarnya campur tangan pemerintah di dalam pendidikan dapatlah dibenarkan. Akan tetapi, setiap kultur di dalam masyarakat memiliki nilai-nilai partikularnya sendiri yang dijunjung tinggi. Masalah muncul, ketika nilai-nilai partikular tersebut bertentangan dengan moralitas kehidupan bernegara yang diajarkan secara umum oleh pemerintah.

Konflik semacam ini banyak terjadi di Inggris. Orang-orang Asia yang tinggal di Inggris seringkali sudah merencanakan pernikahan anak-anak mereka, ketika anak-anak mereka masih dalam usia muda. Dalam beberapa kesempatan, sekolah seirng mengadakan kegiatan berenang bersama, dan kegiatan ini seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Asia yang tidak memperbolehkan wanita yang sudah menikah memakai pakaian renang di hadapan orang yang bukan suaminya. Para pemikir dan aktivis feminisme juga memberikan tanggapan kritis mengenai praktek ini. Mereka berpendapat bahwa pernikahan haruslah muncul dari keinginan individual, dan bukan karena kehendak orang tua. Praktek semacam ini dianggap sebagai praktek yang menindas.

Tentu saja, pandangan itu tidaklah disetujui oleh keluarga yang masih meyakini nilai-nilai ketimuran tertentu. Perjodohan, menurut mereka, adalah tanda kepedulian orang tua pada anak perempuannya, yakni bahwa anak perempuannya sudah ada yang menjaga dan mengusahakan kebahagiaannya. Kemungkinan untuk memperoleh calon suami yang baik juga jauh lebih besar di dalam proses perjodohan, daripada jika hanya mengandalkan pencarian yang acak dan romantis, seperti yang kiranya menjadi cita-cita banyak gadis Eropa. Benturan budaya juga terjadi, ketika kultur Eropa yang sangat terbuka pada seksualitas berhadapan dengan kultur ketimuran tertentu yang masih menempatkan seks sebagai persoalan privat semata. Para feminis, dalam hal ini, menuntut diperbesarnya kebebasan kaum perempuan untuk mengekspresikan seksualitas mereka. Akan tetapi, hal ini secara langsung bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran.

Data tentang terjadinya benturan-benturan nilai semacam itu bisa diperpanjang lagi. Yang penting untuk diketahui adalah bahwa benturan itu terjadi, dan frekuensinya semakin sering sekarang ini. Sebuah masyarakat yang ingin memberi tempat bagi keberagaman kultural sekaligus tetap hendak menjamin kesetaraan kesempatan bagi semua pihak, haruslah berhadapan dengan benturan-benturan nilai semacam ini. Juga diperlukan kesadaran, bahwa pemerintah tetap dapat menjamin kesetaraan partisipasi sosial semua pihak sekaligus tetap memberikan ruang bagi pluralitas kultural anggota masyarakatnya.

Seperti sudah dilihat sebelumnya, pendidikan merupakan bidang yang kental dengan benturan nilai semacam ini. Banyak kultur yang merasa, bahwa sistem pendidikan yang dilangsungkan oleh pemerintah tidaklah menampung nilai-nilai kultural mereka. Oleh sebab itu, mereka kemudian menuntut untuk diberikannya kesempatan mendirikan sekolah yang mengajarkan secara langsung nilai-nilai kultural mereka. Hal ini banyak terjadi, baik di Eropa, Amerika, maupun Indonesia, dan belum ada kebijakan yang jelas tentang hal ini. Banyak orang-orang yang berasal dari kultur minoritas lalu memutuskan untuk menanamkan nilai-nilai kultural mereka di luar jam sekolah. Hal yang sebenarnya ingin saya tekankan disini adalah, bahwa walaupun kultur minoritas haruslah belajar dari kultur mayoritas, tetapi kultur mayoritas tetap juga harus belajar dari kultur minoritas. Proses ini tentunya akan mendorong terciptanya penghormatan terhadap kesetaraan kultur di dalam masyarakat majemuk.

Persoalan tentang bahasa juga menimbulkan banyak dilema. Bagi kelompok minoritas kultural, pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan bahasa kultur mereka sudah sejak dahulu dianggap sebagai sesuatu yang penting. Hal ini tentunya haruslah mendapatkan akomodasi lebih jauh. Menurut John Rex, adopsi penggunaan bahasa kultur minoritas justru dapat mendorong terjadinya asimilasi yang positif di dalam masyarakat majemuk. Pengakuan terhadap keberadaan bahasa kultur minoritas justru dapat mendorong terciptanya kesetaraan sosial di dalam masyarakat multikultur.

Apa yang ingin ditekankan disini adalah, bahwa tegangan internal di dalam sistem pendidikan haruslah diakui keberadaanya terlebih dahulu, termasuk tegangan antara kepentingan privat dan kepentingan publik di dalam sistem pendidikan. Sekolah, sebagai agen pendidikan, haruslah mengajarkan ketrampilan dan moralitas publik kepada warga negara. Dan lebih dari itu, komunitas sebagai keseluruhan haruslah berpartisipasi di dalam proses pendidikan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan bahasa, agama, dan moral-moral privat. Hanya dengan begitulah masyarakat multikultur yang harmonis dapat terwujud.

Memang, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur selalu berkisar di dalam perdebatan ini, apakah pendidikan harus mengacu pada kepentingan untuk mempertahankan kultur minoritas tertentu, atau untuk mengabdi pada kepentingan publik luas secara keseluruhan? Jika pendidikan terlalu mengabdi pada kepentingan publik yang lebih luas, maka identitas kultural akan terancam musnah. Dan sebaliknya, jika pendidikan terlalu berfokus pada nilai-nilai kultural yang bersifat partikular, maka nilai-nilai publik yang lebih luas juga dapat terancam.

Persoalan diperumit dengan problematika kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial seluruh warga negara. Banyak ahli berpendapat, bahwa kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial warga negara haruslah sensitif terhadap perbedaan kultur dan kepercayaan. Jadi diperlukan adanya kesadaran multikulturalisme di dalam kebijakan-kebijakan politik yang terkait dengan kesejahteraan sosial. Penerapan kesadaran semacam ini memang sangatlah sulit. Yang seringkali terjadi bukanlah para pemegang kebijakan publik memiliki kesadaran akan pentingnya penghargaan terhadap kultur minoritas, melainkan orang-orang yang berasal dari kultur minoritas dipaksa menyesuaikan diri dengan keinginan dan kultur para pemegang kebijakan publik. Dilihat secara khusus ataupun secara umum, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur masihlah merupakan problematika yang terbuka, dan menuntut refleksi lebih jauh.

Struktur dasar Ruang Privat

Di dalam masyarakat multikultur, anggota masyarakat yang mayoritas memandang keluarga dan komunitas mereka sebagai bagian integral dari keseluruhan masyarakat. Anggota masyarakat ini berfungsi secara maksimal di dalam dinamika sistem sosial yang ada. Sementara itu, anggota masyarakat yang berasal dari kultur minoritas mengalami nasib yang sama sekali berbeda. Bagi mereka, keluarga dan komunitas mereka merupakan bagian dari sistem sosial yang lain; yang berbeda. Mereka seolah berasal dari kebudayaan yang sama sekali berbeda dari kebudayaan yang dominan di dalam masyarakat.

Juga di dalam masyarakat multikultur, orang-orang yang berasal dari kultur dominan hidup harmonis sebagai bagian dari sistem sosial secara keseluruhan. Proses pendidikan di dalam keluarga pun relatif tidak bermasalah, karena nilai-nilai pendidikan di dalam keluarga searah dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Akan tetapi, hal yang sama kiranya tidak berlaku bagi orang-orang yang berasal dari kultur minoritas. Mereka harus menyeimbangkan antara pendidikan nilai-nilai kultural mereka yang khas di satu sisi, dan pendidikan berkaitan dengan nilai-nilai publik yang lebih luas di sisi lain. Dan bagi orang-orang yang berasal dari kultur minoritas, pernikahan tidak pernah bisa menjadi melulu soal individu. Pernikahan, bagi mereka, adalah soal pertukaran nilai antara satu kultur dengan kultur lainnya. Pernikahan adalah suatu proses asimilasi budaya yang tentunya menuntut banyak pertimbangan dari berbagai dimensi.

Pernikahan adalah salah satu cara yang paling efektif untuk melakukan proses asimilasi budaya. Proses ini membuat orang tidak lagi bersandar melulu pada nilai kultural mereka yang spesifik, tetapi juga mampu melihat realitas dari sudut pandang kultur yang berbeda. Rex berpendapat, bahwa proses asimilasi setidaknya memiliki empat akibat.[16] Pertama, proses asimilasi dapat menolong suatu kultur untuk mampu melepaskan diri dari isolasi sosial yang mungkin saja mereka alami. Kedua, proses asimilasi juga memungkinkan diselesaikannya berbagai dilema moral ataupun sosial, yang muncul akibat dari benturan budaya di dalam masyarakat multikultur. Ketiga, proses asimilasi juga memungkinkan kultur yang bersangkutan untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka dengan menggunakan ‘bahasa-bahasa’ yang bisa dimengerti secara publik, tepat karena interaksi di antara kultur yang berbeda tersebut telah terjadi sebelumnya. Dan keempat, proses asimilasi juga memungkinkan terciptanya nilai-nilai dan identitas baru, yang didasarkan pada interseksi berbagai nilai kultural yang beragam di dalam masyarakat multikultur.

Nilai dan aturan moral, yang merupakan hasil dari proses interseksi berbagai kultur yang beragam tersebut, nantinya akan menjadi sistem nilai yang bersifat otonom yang mampu menjelaskan pola ideal hubungan antar manusia, maupun hubungan dasar antara manusia dengan alam. Tentu saja, nilai hasil proses interseksi berbagai kultur tersebut tidaklah dapat menggantikan seluruhnya peran yang tadinya dimiliki oleh identitas kultural. Sebut saja bahwa, nilai-nilai masyarakat modern tidak akan pernah sepenuhnya dapat menggantikan nilai-nilai tradisional yang telah diyakini sebelumnya. Akan tetapi, nilai-nilai modern hasil interseksi beragam kultur tersebut tetap mampu berperan di dalam menciptakan solidaritas bagi masyarakat sebagai keseluruhan, maupun kenyamanan eksistensial bagi individu yang terkait. Dua hal yang kiranya menjadi kebutuhan utama dari sebuah masyarakat multikultur.

Nilai-nilai modern itulah yang, menurut Parsons, akan menjadi alat untuk mempertahankan pola-pola berlaku di masyarakat, dan mengatur tegangan-tegangan sosial yang muncul akibat benturan antar kultur.[17] Nilai-nilai tersebut memberikan identitas bagi individu-individu di dalam masyarakat multikultur, sekaligus membantu mereka untuk mengatasi berbagai problematika yang muncul, baik dalam konteks moral maupun material. Jika semua anggota masyarakat sudah menjalankan nilai-nilai tersebut ke dalam praktek sosial, maka nilai-nilai modern akan menjadi bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan.

Jadi tetaplah harus disadari, keberadaan kultur minoritas tidak pernah dapat dipandang sebagai ancaman bagi kesatuan sebuah masyarakat. Keberadaan kultur minoritas, menurut Rex, juga tidak pernah dapat dianggap sebagai suatu celah bagi terjadinya ketidaksetaraan kultural.[18] Masyarakat multikultur haruslah menerima perbedaan kultural yang ada di dalamnya, sekaligus menjamin terciptanya kesempatan yang sama bagi setiap warganya. Jika yang pertama terlalu ditekankan, maka yang terjadi adalah ketidaksetaraan kultural yang akan bermuara pada kesenjangan ekonomi, sosial, maupun politik. Sementara, penekanan berlebihan pada aspek kedua justru akan menciptakan suatu bentuk pemerintahan totaliter baru yang tertutup pada semua bentuk perbedaan. Keduanya tidaklah boleh terjadi di dalam masyarakat multikultur.

Beberapa Butir Kesimpulan

Haruslah diakui, bahwa kultur minoritas memiliki cara hidup dan cara memandang dunia yang berbeda, jika dibandingkan dengan kultur dominan. Bagi beberapa orang, ide-ide yang muncul dari kultur minoritas terdengar revolusioner. Sementara, bagi beberapa orang lainnya, cara hidup kultur minoritas seolah terlihat sangat asing. Apakah ini berarti bahwa kultur minoritas itu berbahaya, dan harus ditekan?

Saya, dan begitu juga John Rex, berpendapat bahwa keberadaan kultur minoritas tidak bisa dicap sebagai suatu bahaya ataupun ancaman tertentu.[19] Hal ini berangkat dari suatu fakta sederhana, bahwa tidak ada satupun kultur di muka bumi ini yang sepenuhnya homogen. Kultur, dalam arti Marxian, selalu bisa ditafsirkan sebagai suatu bentuk perjuangan kelas (class struggle). Kelas pekerja telah membentuk semacam organisasi bersama yang berbasiskan pada solidaritas sosial untuk kemudian menantang tatanan sosial yang sudah mapan, sekaligus mempertanyakan otoritas kultur dominan yang sudah lama memerintah sebelumnya. Tentu saja, konflik tidak terelakkan. Akan tetapi, konflik disini adalah suatu proses yang harus ditempuh untuk merumuskan suatu bentuk identitas kultural yang baru. Tatanan sosial multikultural yang ada sekarang sebenarnya juga bisa dilihat dengan menggunakan kerangka teoritis ini.

Semua bentuk kultur bisa hidup bersama di dalam masyarakat multikultur. Hanya kultur yang menolak kesetaraan kesempatan dari individu ataupun kelompoklah yang tidak bisa menjadi bagian dari masyarakat multikultur. Masyarakat multikultur sekaligus juga adalah, dalam bahasa Rex, masyarakat yang menolak semua bentuk rasisme dan diskriminasi di dalam segala bentuknya.

Penutup

Saya akan menyimpulkan beberapa pendapat Rex pada bagian ini. Pertama, di dalam masyarakat multikultur, kita harus membedakan secara jelas antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah ruang, di mana setiap individu diikat oleh satu set norma-norma yang menjamin kesetaraan kesempatan di dalam segala bidang. Sementara, ruang privat adalah ruang, di mana setiap keragaman kultur diberi tempat, dan diberi pengakuan sepenuhnya. Kedua, ruang publik mencakup dunia hukum, politik, dan ekonomi. Ruang publik mencakup pula pendidikan, sejauh pendidikan terkait dengan pembentukan moralitas publik yang harus dimiliki oleh semua warga negara.

Ketiga, pendidikan moral, terutama yang terkait dengan sosialisasi dan penanaman ajaran-ajaran religius, haruslah tetap berada di dalam ruang privat. Keempat, keberadaan nilai-nilai kultur minoritas tetaplah harus dipertahankan, karena nilai-nilai tersebutlah yang memberikan makna dan identitas bagi setiap orang yang hidup di dalam kelompok tersebut. Nilai-nilai tersebut mencakup mulai dari tata organisasi sosial yang ada di masyarakat, sampai keyakinan religius yang menjadi ciri unik dari kelompok kultur minoritas yang ada. Dan kelima, konflik dan benturan budaya antara kultur minoritas dan kultur dominan tidaklah terelakkan. Di dalam masyarakat multikultur, benturan tersebut haruslah dimaknai sebagai bagian dari dialog, dan dialog adalah satu-satunya cara yang mungkin, supaya masyarakat yang terdiri dari beragam kultur bisa hidup secara harmonis bersama.

Apakah Indonesia sudah siap mewujudkan masyarakat semacam itu? Saya rasa tidak. Kehidupan di Indonesia sekarang ini hampir sama sekali tidak memberikan peluang bagi kelompok minoritas untuk berkembang. Bahkan bisa dikatakan, bahwa masyarakat kita masihlah jatuh pada apa yang disebut Rex sebagai masyarakat totaliter yang menolak hampir semua bentuk perbedaan cara hidup, cara pandang, dan cara beragama. Cita-cita tentang kehidupan masyarakat multikultur yang harmonis masih jauh dari jangkauan tangan kita.



[1] Tulisan ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap tulisan John Rex, "Multicultural and Plural Societies", dalam The Ethnicity Reader, Montserrat Guibernau dan John Rex (eds), Great Britain, Polity Press, 1997, hal. 205-228.

[2] Lihat, Gunnar Myrdal, The American Dilemma: The Negro Problem and Modern Democracy, New York, Harper & Row, 1944, seperti dalam Rex, ibid, hal. 205.

[3] Lihat, Furnivall, Netherlands India, Cambridge, Cambridge University Press, 1939, seperti dalam Rex, 1997, hal. 207.

[4] Lihat, Rex, 1997, hal. 208.

[5] Lihat, Smith, The Plural Society in the British West Indies, Berkeley and Los Angeles, University of California Press, 1965.

[6] Lihat Talcott Parsons, The Social Systems, London, Tavistock, 1952.

[7] Lihat Louis Althusser, For Marx, London, Lane, 1969.

[8] Lihat F. Tőnnies, Community and Association, London, Routledge and Kegan Paul, 1963, dalam Rex, 1997, hal. 209.

[9] Lihat E Durkheim, The Division of Labour in Society, Illinois, Free Press, 1933.

[10] Lihat Max Weber, The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism, London, Allen an Unwin, 1930.

[11] Lihat, Rex, 1997, hal. 209.

[12] Rex, 1997, hal. 210.

[13] Lihat, ibid, hal. 211.

[14] Lihat, hal. 212.

[15] Rex, 1997, hal. 212.

[16] Lihat, ibid, hal. 217.

[17] Lihat, Parsons, 1952.

[18] Lihat, Rex, 2003, hal. 218.

[19] Lihat, ibid.