Filsafat

http://vivirlatino.com

 

Sebuah Tinjauan Dari Masa Yunani Kuno sampai Posmodernisme

Oleh: Reza A.A Wattimena[1]

Tulisan ini merupakan sebuah tinjauan historis tentang berbagai model berfilsafat yang ada di dalam sejarah filsafat Barat. Tujuannya adalah memperkenalkan, menanggapi secara kritis, serta mengembangkan berbagai metode tersebut untuk memahami dan menjawab berbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat kita, dan juga untuk melatih pola berpikir kita dalam aktivitas sehari-hari. Seperti yang tertulis pada judul, saya akan memaparkan model-model berfilsafat dari masa Yunani Kuno sampai posmodernisme.

1.Pencarian Archē dan Elenchus dalam Filsafat Yunani Kuno

Sulit sekali menemukan catatan otentik mengenai filsafat sebelum Sokrates. Yang dapat ditemukan adalah potongan tulisan yang seolah tidak memiliki hubungan satu sama lain. Satu-satunya sumber yang cukup bisa diandalkan adalah tulisan-tulisan Aristoteles mengenai para filsuf sebelumnya. Ia juga dikenal sebagai sejarahwan filsafat sistematis pertama di dalam sejarah. Maka dari itu halangan pertama kita untuk bisa memahami filsafat Yunani Kuno adalah halangan penafsiran, karena kita hanya bisa mengandalkan tulisan-tulisan para filsuf setelahnya. Kita hanya bisa mengandalkan sumber sekunder.

Yang kita miliki adalah kumpulan fragmen yang terobek dari naskah asli yang telah hilang. Akibatnya beragam penafsiran saling bertentangan tentang fragmen itu tidak didasarkan pada teks tulisan yang memadai, melainkan hanya copotan saja. Walaupun minimalis namun fragmen-fragmen tulisan para filsuf sebelum Sokrates tetaplah sangat berharga. Beberapa kutipan menyiratkan makna yang sangat mendalam untuk bisa dipelajari dan direfleksikan. Dari situ kita bisa memahami bagaimana tokoh-tokoh awal filsafat dan sains ini memahami realitas yang ada di hadapan mereka.

Berdasarkan teks-teks yang ada, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa setidaknya ada dua kelompok filsuf yang dominan di dalam Filsafat Yunani Kuno. Mereka adalah para filsuf pra-Sokratik dan kaum sofis. Kedua kelompok filsafat ini memiliki ajaran yang berbeda, namun keduanya penting untuk dipahami, karena dari merekalah filsafat dan sains selanjutnya berkembang. Aristoteles menyebut para filsuf pra-Sokratik pertama sebagai physiologoi (natural philosophers), atau para filsuf natural. Mereka hendak mencari prinsip terdasar (archē) dari seluruh realitas dengan menggunakan kosa kata naturalistik (naturalistic terms). Para filsuf natural ini berbeda dengan para pendahulunya yang lebih mengedepankan penjelasan-penjelasan mitologis (mythological explanations) dalam bentuk cerita dewa dan dewi.

Walaupun sama-sama mencari prinsip dasar dari realitas dengan menggunakan kosa kata natural, para filsuf prasokratik seringkali terlibat dalam perdebatan tulisan, karena perbedaan pendapat. Perdebatan itu muncul karena masing-masing filsuf saling bersikap kritis satu sama lain. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa filsafat adalah suatu displin berpikir yang selalu melakukan kritik diri (self-critique), bahkan dari awal mula berdirinya. Tidak hanya itu mereka bahkan melakukan kritik tajam terhadap cara berpikir mitologis yang dominan pada jamannya. Dengan kecenderungan untuk berpikir kritis seperti itu, muncullah para filsuf yang saling berdebat soal prinsip dasar yang menentukan seluruh realitas, yang juga bisa disebut sebagai archē.

Para filsuf natural itu, yang juga bisa kita sebut sebagai para filsuf prasokratik, menjadikan seluruh alam semesta sebagai obyek penelitian mereka. Mereka berusaha memahami alam semesta bukan dengan menggunakan penjelasan mitologis, melainkan dengan penjelasan-penjelasan naturalistik (naturalistic explanations), seperti prinsip air, udara, api, dan atom. Dalam arti ini mereka juga bisa disebut sebagai para ilmuwan (scientist) pertama di dalam sejarah. Proses mendekati realitas dengan tujuan mencari prinsip terdasar (fundamental principle) yang menyatukan keseluruhan ini nantinya akan mempengaruhi para filsuf dan ilmuwan selanjutnya. Lanjutkan membaca Filsafat

Charles Taylor

Google Images

Oleh: Reza A.A Wattimena, Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Charles Taylor lahir pada 5 November 1931.[1] Ia berasal dari Kanada, yakni kota Montreal, Quebec. Ia adalah seorang filsuf yang memiliki jangkauan penelitian dan refleksi sangat luas, mulai dari filsafat politik, filsafat ilmu-ilmu sosial, dan sejarah filsafat. Pada 1952 Taylor meraih gelar B.A pada bidang sejarah dari Universitas McGill. Kemudian ia melanjutkan studi ke Oxford pada bidang filsafat, politik, dan ekonomi. Pada 1955 ia menjalani studi doktoral di bawah Isaiah Berlin dan G.E.M Anscombe pada bidang filsafat.

Setelah menyelesaikan studi doktoralnya, Taylor bekerja di Universitas Oxford sebagai professor pada bidang teori sosial dan teori politik. Selain itu dia juga adalah seorang professor pada bidang filsafat dan ilmu politik di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Sekarang ini ia telah pensiun, dan menjadi professor emeritus. Pada 1955 ia memperoleh gelar kehormatan Order of Canada, penghargaan tinggi pemerintah Kanada terhadap warganya. Pada Juni 2008 Taylor memperoleh Kyoto Prize pada bidang filsafat dan seni. Banyak ahli berpendapat bahwa Kyoto Prize adalah hadiah nobel versi Jepang.

Menurut Ruth Abbey ada beberapa hal yang membuat Charles Taylor dapat dianggap sebagai salah satu filsuf terbesar abad ke-20.[2] Selama lebih dari empat puluh tahun, Taylor menulis banyak sekali artikel dan buku, serta berdiskusi di forum-forum publik tentang masalah-masalah yang sedang relevan. Usia tua tidak membuatnya kedodoran. Sebaliknya pada usia tua, ia justru menulis karya-karya baru yang mencerahkan banyak orang di berbagai bidang. Tulisan-tulisannya dibaca orang hampir di seluruh dunia. Dia berbicara dan menulis dalam bahasa Jerman, Inggris, dan Perancis dengan sangat mahir. Menurut Abbey yang membuat Taylor layak disebut sebagai salah satu filsuf terbesar abad ke-20 adalah jangkauan tema analisisnya yang begitu luas dan mendalam. Ia banyak menulis tentang moral, subyektivitas, teori politik, epistemologi, hermeneutika, filsafat pikiran, filsafat bahasa, dan bahkan estetika. Belakangan ini ia banyak juga menulis tentang agama.

Pada era sekarang banyak ilmuwan begitu terspesialisasi di bidangnya, sehingga lupa dengan hal-hal lain di luar displin keilmuannya. Namun hal ini rupanya tidak terjadi pada Taylor. Ia mampu menulis tentang berbagai macam hal, namun dengan analisis maupun refleksi yang sangat mendalam. Oleh karena itu ia juga banyak disamakan dengan para filsuf klasik yang memang menulis tentang banyak hal, sekaligus secara mendalam. Abbey bahkan menempatkan Taylor setara dengan Plato, Aristoteles, Augustinus, Hobbes, Locke, Rousseau, Kant, Hegel, John Stuart Mill, dan Nietzsche dalam hal keluasan sekaligus kedalaman pemikiran. Lanjutkan membaca Charles Taylor

Dungu

imgname--dumb_money_and_the_meltdown---50226711--dunce2 Oleh: Reza A.A Wattimena

Ada gejala menarik belakangan ini. Segala bentuk wacana yang amat mendalam berubah menjadi amat dangkal, ketika sampai di tangan kita. Kedalaman makna tak dapat dirasa. Yang ditangkap oleh mata dan akal hanyalah potongan makna yang cacat sebelah.

Wacana pendidikan karakter berubah menjadi kebersihan kuku dan kerapihan jambang rambut. Kedalaman berpikir displin filsafat dianggap sebagai sekolah dukun. Orang banting tulang belajar psikologi dikira hanya untuk bisa “membaca orang”. Moralitas disempitkan semata menjadi urusan cium tangan.

Wacana kewirausahaan yang begitu mendalam menjadi semata urusan jaga toko. Pendidikan sebagai ajang pembebasan diterjemahkan semata menjadi menggurui. Investasi sebagai simbol kepercayaan antara pribadi diterjemahkan semata sebagai cara menggapai keuntungan finansial sesaat. Dan konsep kebebasan yang begitu luhur dan dalam diterjemahkan menjadi bersikap seenaknya.

Kedalaman iman diterjemahkan semata menjadi banyak atau sedikitnya orang “tampak” berdoa. Kualitas intelektual seseorang semata dilihat dari kumpulan sertifikat ataupun ijazah yang ia punya. Manajemen organisasi diterjemahkan menjadi semata urusan birokrasi miskin visi yang amat teknis dan dangkal, serta justru memperlambat semuanya. Ekonomi diterjemahkan semata-mata sebagai hitungan-hitungan jumlah kekayaan finansial.

Apa yang terjadi?

Lanjutkan membaca Dungu