
Oleh Indra Tranggono
Seusai peristiwa pengeroyokan terhadap wartawan (19/9), seorang pelajar sebuah SMA di Jakarta melalui Twitter-nya mengaku puas memukuli wartawan.
Kata ”puas” mengindikasikan sang pelaku menganggap kekerasan sebagai kebenaran dan ”prestasi” yang wajib dirayakan. Ironisnya, pola pikir yang mengagungkan kekerasan fisik dan nonfisik itu kini kian menggejala dalam masyarakat dan negara.
Hukum harus menindak pelaku kekerasan. Siapa pun pelakunya, termasuk para pelajar.
Apa kabar pendidikan karakter? Pertanyaan ini tak hanya relevan untuk dunia pendidikan, tetapi juga bagi seluruh pemangku kepentingan negara-bangsa, terutama aktor-aktor penyelenggara negara. Masihkah mereka tega membangun pencitraan atas dirinya sebagai negarawan sejati dan hebat, sementara negara-bangsa semakin babak belur?
Budi pekerti bukan hanya untuk publik. Saatnya diupayakan pendidikan budi pekerti bagi elite politik dan para penyelenggara negara. Terlalu naif menyerahkan pendidikan karakter hanya kepada pendidik atau institusi sekolah.
Dalam konteks keadaban negara-bangsa, sekolah tak lebih dari ceruk kecil laboratorium kebudayaan. Seluruh upaya sang ceruk kecil itu sia-sia ketika lapangan besar bernama negara gagal menciptakan ekologi kebudayaan yang sehat. Apalagi selama ini praktik-praktik penyelenggaraan negara justru sering memompa gas busuk dan limbah beracun hasil dari ”pabrik” korupsi, baik dalam arti material maupun nilai. Aktor-aktor penyelenggara negara pun kadang justru mematikan tunas-tunas bangsa dengan menyemprotkan gas ketakpastian hukum dan limbah ”keteladanan” yang buram.
Anak-anak muda itu pun tumbuh jadi ilalang yang membelukar dan siap terbakar oleh percikan api sekecil apa pun. Sementara itu, di layar televisi mereka dicekoki berbagai impian tentang hidup mewah yang dapat dicapai dengan cara mudah. Pikiran mereka ditelikung oleh konsumtivisme yang dipompa kuasa kapital bengis dan direstui negara. Akal sehat mereka pun dimatikan budaya instan. Mereka dipaksa bermimpi kaya mendadak seperti dilakukan banyak politisi muda melalui korupsi.
Impian ala Amerika
Seiring menguatnya liberalisme, impian ala Amerika—kaya dan terkenal—kini tersemai dan tumbuh subur di bawah sadar bangsa ini, termasuk anak-anak muda itu. Celakanya, mereka tak dibekali kemampuan, etos, dan etika. Mereka disuruh improvisasi dan menerapkan ngelmu bejo (ilmu untung-untungan) dan aji mumpung ketika berhasil menggenggam kekuasaan.
Sedahsyat apa pun nilai budi pekerti yang ditanamkan kepada anak-anak muda itu akan dengan cepat disapu tsunami kebudayaan yang ditimbulkan negara. Membangun karakter atau budi pekerti bangsa ternyata harus holistik. Upaya-upaya parsial hanya akan melahirkan kosmetika kebudayaan yang cepat luntur.
Budi pekerti berbicara tentang sikap dan perilaku berbasis etika dan etos. Etika berbicara kepantasan/kepatutan. Etika adalah kendaraan bagi moralitas untuk menentukan nilai baik dan buruk. Adapun etos berbicara tentang spirit (daya juang, kerja keras) untuk melahirkan kreativitas yang bermakna. Perkawinan etika dan etos melahirkan harkat (personal) dan martabat (sosial).
Persoalan etika dan etos itulah yang kini membungkus negara-bangsa ini sehingga melahirkan politik, hukum, dan ekonomi tak bermartabat. Menurut Bibit Samad Rianto, unsur pimpinan KPK, negara-bangsa ini dicengkeram komunitas politik hitam, komunitas hukum hitam, dan komunitas ekonomi hitam. Tak ada idealisasi tentang negara-bangsa karena nilai-nilai ideal telah digerus ketamakan, keculasan, dan kebohongan.
Menyalakan lilin budi pekerti harus selalu dilakukan meski selalu muncul badai besar dari komunitas politik, hukum, dan ekonomi hitam. Mereka takut lilin- lilin budi pekerti itu makin bermunculan dan memancarkan cahaya sehingga bopeng-bopeng mereka pun tampak. Karena itu, kegelapan (ketidakpastian hukum) ”sengaja” dipelihara.
Pendidikan karakter/budi pekerti semestinya bukan hanya untuk publik (siswa sekolah, mahasiswa, dan lainnya). Elite politik dan aktor kekuasaan pun sangat mendesak untuk dididik dan dibangun budi pekertinya. Ini tidak lepas dari pemahaman bahwa hidup-matinya kebudayaan sangat ditentukan kekuasaan.
Membangun karakter bangsa di tingkat kekuasaan tentu tidak dengan cara-cara kuno dan naif seperti penataran. Menurut Ki Hadjar Dewantara, budi pekerti bukan serangkaian ceramah atau khotbah, melainkan tindakan dan keteladanan.
Ada banyak cara untuk mendidik aktor-aktor negara, misalnya aktualisasi nilai-nilai ideologis (Pancasila) dalam penyelenggaraan negara. Juga, penegakan hukum yang konsisten dan obyektif (adil). Ini berarti harus ada upaya besar untuk mengembalikan Indonesia dari negara kekuasaan menjadi negara hukum.
Penegakan hukum yang konsisten dan obyektif jadi lokomotif bagi distribusi kesejahteraan. Keadilan dan kesejahteraan merupakan oksigen dan gizi yang menjadikan rakyat bernapas dan memiliki energi untuk membangun kebudayaan. Budi pekerti/karakter bangsa otomatis terbangun.
Politik, hukum, dan ekonomi yang bermartabat akan melahirkan negara-bangsa bermartabat; negara yang kuyup dengan etika dan etos. Juga dibutuhkan kepemimpinan berkualitas. Semua ini merupakan titik tolak untuk membangun karakter bangsa.
Negara semestinya jadi ”sekolah besar” bagi bangsa yang dikelola para negarawan. Negara semestinya bukan ”kantor” tempat para ”pegawai” politik memburu penghasilan atau menumpuk kekayaan, apalagi dengan cara-cara menyimpang.
INDRA TRANGGONO Pemerhati Kebudayaan dan Anggota Majelis Luhur Tamansiswa