Nilai Moral di Balik Pendidikan Sains

nettieshue.files.wordpress.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Andi adalah seorang insinyur teknik sipil. Ia memperoleh IPK tertinggi di universitasnya. Banyak orang mengagumi kecerdasannya. Masa depan cerah menantinya, begitu anggapan banyak orang.

Kini ia bekerja di salah instansi pemerintah yang terkait dengan pembangunan jalan raya di berbagai kota di Indonesia. Di dalam proses kerja, ia seringkali membuat tender untuk para kontraktor yang paling sesuai dengan keperluan proyek pemerintah.

Ia seringkali bermain curang dengan meminta uang sampingan dari para kontraktor tersebut, supaya mereka mendapatkan tender. Walaupun seringkali kontraktor tersebut tidak cukup kompeten untuk menjalankan proyek terkait.

Selama berpuluh tahun ia menggunakan cara itu. Ia pun menjadi kaya raya. Gaya hidupnya jauh melampaui pendapatan resminya. Bagaimana kita menanggapi fenomena ini? Andi ternyata tidak sendirian.

Namanya adalah Susan. Ia seorang manajer eksekutif di salah satu perusahaan minyak internasional. Tugasnya adalah berdiplomasi dengan perusahaan minyak lokal, supaya mendapatkan tender yang menguntungkan perusahaannya.

Seringkali ia memberi suap kepada pegawai setempat, supaya mendapatkan tender yang diinginkan perusahaannya. Ia biasa melakukan itu. Ia sama sekali tidak melihatnya sebagai korupsi.

Akibat kehebatannya Susan sering mendapat bonus dari perusahaannya. Bersama bonus yang diterimanya, Susan telah ikut membantu di dalam proses semakin rusaknya alam, rusaknya moral bangsa, dan mengorbankan kepentingan orang-orang yang lemah kekuatan politiknya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Krisis Moral

Kita khawatir dengan masa depan bangsa. Banyak orang memiliki ketrampilan teknis. Namun sayang; mereka tak punya watak yang baik. Lalu kita bingung dan bertanya, apa yang harus dilakukan?

Jawaban singkat adalah dengan membongkar pendidikan kita. Kita perlu lebih banyak pendidikan moral di sekolah-sekolah. Namun karena paradigma yang sempit, kita semua mengira, moral dapat dibangun melalui agama. Padahal tidak selalu seperti itu.

Moralitas adalah soal memahami, apa yang baik dan buruk di dalam kehidupan. Agama memang ikut mengajarkan. Namun agama berpijak pada dogma yang tak selalu abadi. Dunia berubah jauh lebih cepat, daripada kemampuan agama menanggapinya secara jeli.

Maka moral harus dipahami lebih luas dari agama. Moral adalah soal membangun kepekaan nurani di dalam melihat dunia. Moral tak semata berpijak pada ajaran dogma, tetapi juga pada akal budi yang terasah. Moralitas adalah soal hati nurani manusia yang selalu melihat kekejaman dengan gelisah.

Namun proses akal budi bukanlah proses yang universal. Setiap kultur memiliki pola penalarannya masing yang khas dan tak tergantikan.

Ruang untuk memperdebatkan apa yang baik dan apa yang buruk dalam satu konteks disebut sebagai etika. Etika bukanlah seperangkat norma, melainkan kesempatan bagi orang untuk sungguh mempertimbangkan sikapnya di dalam suatu masalah kehidupan yang nyata.

Maka porsi pendidikan moral dan etika haruslah cukup besar di dalam pendidikan kita. Lalu pertanyaannya adalah apakah kita perlu menambahkan mata kuliah atau mata pelajaran baru di dalam kurikulum yang sudah cukup “menyiksa”?

Pendidikan Sains

Jawabannya tidak. Moral dan etika tidak perlu menjadi mata pelajaran atau mata kuliah mandiri. Moral dan etika bisa hidup di dalam pelajaran-pelajarannya lainnya. Seperti sudah ditegaskan oleh para filsuf pendidikan, esensi pendidikan selalu mencakup tiga hal, yakni penyadaran, pemanusiaan, dan pembebasan manusia.

Melalui pendidikan manusia disadarkan akan perannya di dunia. Melalui pendidikan manusia dibebaskan dari kemiskinan dan kebodohan. Dan melalui pendidikan manusia menjadi semakin manusiawi dalam memandang kehidupan.

Ketiga hal ini bisa diterjemahkan di dalam pendidikan ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan alam, maupun sosial. Pendidikan sains bukan cuma pemindahan pengetahuan semata, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang tersembuyi di dalamnya. Bagaimana caranya?

Penerapan

Misalnya di dalam matematika. Ilmu ini tidak hanya soal menghafalkan rumus, tetapi juga mengajarkan nilai ketepatan berpikir. 1+1=2. Tidak bisa lainnya. Artinya kalau orang mulai mengubah itu, maka ia berpeluang menjadi koruptor di masa depan.

Di dalam ilmu biologi pun kita bisa melakukan hal yang sama. Guru biologi tidak boleh hanya mengajak anak menghafal anatomi tubuh, tetapi juga mengajar anak untuk sungguh menghargai tubuh. Jika tubuh itu berharga, maka tubuh harus sungguh dihargai dengan tidak menindik tubuh sembarangan, mengkonsumsi obat-obatan yang merusak tubuh, atau melakukan seks yang tidak aman.

Di dalam ilmu fisika, kita diajarkan soal hukum-hukum yang menggerakan alam. Namun guru tidak boleh hanya mengajarkan rumus untuk dihafalkan oleh peserta didik. Guru juga perlu mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang tersembunyi di balik rumus-rumus yang ada.

Misalnya ketika melihat kerumitan alam ini, peserta didik juga diajak untuk sungguh mencintai dan menghargai alam. Peserta didik juga diajarkan untuk melihat dirinya sebagai bagian dari alam, bahwa ia tidak akan bisa hidup dan berkembang sebagai manusia, jika alam tidak menopangnya. Maka sekali lagi perlu ditekankan, bahwa guru fisika tidak hanya mengajarkan rumus dan soal semata, tetapi juga nilai moral yang tertanam di dalam rumus maupun soal tersebut.

Hal yang sama bisa diajarkan melalui pelajaran kimia. Ilmu kimia bertujuan untuk mengungkap elemen-elemen yang menyusun alam semesta. Di dalam proses belajar kimia, para peserta didik diajak untuk melihat alam sebagai suatu harmoni agung yang seimbang tiada tara. Alam adalah sesuatu yang indah, yang perlu kita hargai dan cintai.

Di dalam pendidikan seni, peserta didik tidak hanya diajak untuk menghafalkan not balok ataupun not angka. Anak juga tidak boleh hanya diajarkan menyanyi dan bermain musik semata. Melalui musik anak diajar untuk mengasah rasa dan kepekaannya soal situasi sekitar, maupun kepada orang lain. Seni adalah alat untuk menggerakan hati peserta didik, dan mengajaknya untuk peka serta terlibat aktif di dalam lingkungannya.

Di sisi lain seni juga merupakan ekspresi dari diri manusia. Di dalam pelajaran seni, anak diajarkan untuk berani terbuka dan mengekspresikan perasaannya. Kemampuan mengekspresikan diri ini juga amat penting untuk menjaga kesehatan mentalnya.

Sekali haruslah diingat bahwa seni bukan hanya soal mengajar menyanyi, menggambar, atau bermain musik, tetapi juga soal yang lebih dalam, yakni mengasah kepekaan diri pada lingkungan sekitar, dan membiasakan peserta didik untuk mengekspresikan diri secara terbuka semua keinginan maupun pikirannya.

Di dalam ilmu pengetahuan sosial, peserta didik diajarkan soal kelas-kelas sosial yang ada di dalam masyarakat. Misalnya di dalam pemikiran Karl Marx, masyarakat terbelah menjadi dua kelas, yakni kelas proletar yang tak punya modal, dan kelas pemilik modal yang kaya raya.

Ajaran ini tidak boleh berhenti menjadi teori belaka. Nilai di baliknya adalah bahwa peserta didik perlu belajar tentang nilai empati dan solidaritas pada kelas sosial yang berbeda dari mereka. Teori bertujuan untuk membuat hidup manusia lebih bermutu, dan bukan hanya sekedar untuk dihafal belaka.

Di dalam semua mata pelajaran, peserta didik juga diminta untuk belajar mengenai nilai pentingnya kerja sama, kejujuran, ketekunan, komitmen, kerja keras, manajemen waktu, dan kesetiaan yang tertana di dalam setiap mata pelajaran. Ini semua harus diangkat oleh para guru, sehingga peserta didik memahaminya secara tepat, dan melakukannya di dalam kehidupan.

Pemahaman akan sesuatu juga harus melahirkan kecintaan dan penghargaan pada sesuatu itu. Ilmu bukan sekedar teori ataupun rumus untuk dihafalkan, tetapi juga ajakan untuk sungguh menghargai dan mencintai alam semesta, baik alam sosial maupun alam natural. Cinta dan penghargaan yang nantinya kita wujudkan di dalam sikap hidup sehari-hari.

Maka jelaslah bahwa pendidikan sains juga bisa menjadi jembatan untuk pendidikan moral, tanpa perlu menciptakan mata pelajaran baru dengan nama etika, moral, atau agama. Dengan cara ini kita semua bisa membangun kurikulum pendidikan yang bersifat integral antara pendidikan intelektual dan pendidikan karakter. Kedua hal itu sama sekali tidak terpisahkan.

Jika itu bisa terjadi, harapan saya, Susan dan Andi tidak perlu menjadi pribadi seperti yang saya ceritakan di atas. Mereka bisa tetap cerdas, sekaligus memiliki karakter yang baik. Bukankah itu yang kita inginkan untuk anak-anak kita?

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

           

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.