Sebagai sistem politik yang diakui seluruh dunia sekarang ini, demokrasi amatlah unik. Ia memiliki pola serupa sekaligus tak sama di berbagai tempat. Ia menampung perbedaan corak budaya ke dalamnya. Akibatnya, dua negara bisa memiliki demokrasi sebagai tata politiknya, namun berbeda di dalam bentuk maupun penerapannya.
Demokrasi menikah dengan budaya setempat. Beberapa negara masih menganut sistem kerajaan, namun dengan balutan konstitusi demokratis di dalamnya. Beberapa negara menganut demokrasi murni dengan menghapus sama sekali sisa-sisa pola kerajaan dari masa lalu. Uniknya, Indonesia menjauh dari dua pola umum tersebut. Lanjutkan membaca Feodemokrasi dan Teknokratisme Dangkal di Indonesia
Minggu-minggu terakhir September 2019, banyak mahasiswa kerap bertanya. Bagaimana pandangan bapak soal demonstrasi mahasiswa di berbagai kota belakangan ini? Komentar saya sederhana.
Isu yang diperjuangkan kali ini sangat berbobot. Mahasiswa harus punya pengalaman berdemo, dan kali ini, kalian harus aktif terlibat. Namun, hati-hati, karena banyak pihak busuk yang menunggangi demo, mulai dari preman pesanan, sampai dengan kepentingan asing berbau radikalisme agama. Lanjutkan membaca Emosi Demokrasi
“Tugas menyedihkan dari politik”, demikian tulis Niebuhr, pemikir asal Amerika Serikat, “Adalah untuk mewujudkan keadilan di tengah dunia yang penuh dengan dosa.” Itulah pergulatan Indonesia di pertengahan September 2019, ketika persoalan Komisi Pemberantasan Korupsi mengundang kontroversi besar di masyarakat. Banyak pihak yang merasa, bahwa ketidakadilan besar telah terjadi. Masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia pun kini dipertaruhkan.
Di abad click bait ini, dimana berita-berita sensasional dijual begitu cepat dan laku, media pun menggoreng isu tersebut besar-besaran. Semua sudut dianalisis. Semua tema sensitif diangkat ke permukaan. Semua dilakukan secara terus menerus demi memperpanas keadaan, dan memperoleh keuntungan finansial. Lanjutkan membaca Politik, Demokrasi dan Keadilan di Indonesia
Pendidikan adalah soal manusia dengan segala kompleksitasnya. Ia tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga di dalam keseharian, baik di dalam keluarga maupun masyarakat luas. Karena bersentuhan dengan manusia, pendidikan menopang semua bidang kehidupan lainnya. Seluruh teknologi dan infrastruktur akan menjadi percuma, jika pendidikan tetap bermutu rendah.
Pada tingkat yang lebih luas, pendidikan adalah soal “jiwa” bangsa. Ia mencakup rasa kebangsaan, yakni rasa keterikatan yang dimiliki seseorang terhadap bangsanya. Keterikatan ini yang membuat orang terdorong untuk terlibat dalam pembangunan bangsanya, walaupun begitu banyak tantangan menghadang. Keterikatan ini jugalah yang membuat orang tak terjatuh ke dalam segala bentuk radikalisme, baik agama maupun ekonomi. Lanjutkan membaca Pendidikan Demokrasi dan Demokratisasi Pendidikan
Pesta demokrasi, atau pemilihan umum, terbesar sudah dekat. Seperti layaknya pesta, ia bukanlah yang utama. Justru demokrasi yang sebenarnya dilaksanakan di antara masa-masa pemilihan umum semacam ini. Inilah yang kiranya terlupakan.
Demokrasi adalah kontrak sosial Indonesia. Ia tak bisa diubah sembarangan ke arah sistem politik lain. Upaya melakukan perubahan hanya akan membawa konflik berkepanjangan, karena mengkhianati kontrak sosial yang mengikat ribuan suku, ras dan agama ke dalam satu ikatan politik. Jika ini terjadi, perpecahan adalah buahnya, dan Indonesia pun hanya akan menjadi kenangan. Lanjutkan membaca Demokrasi “Dari, Oleh dan Untuk” Indonesia, Sebuah Pertimbangan
Banyak orang cerdas di jaman ini. Mereka penuh dengan informasi dan pengetahuan. Namun, kebijaksanaan tak mereka miliki. Akibatnya, kecerdasan tersebut digunakan untuk menipu, korupsi dan merusak kebaikan bersama.[1]
Yang dibutuhan kemudian adalah nalar kebijaksanaan (Vernunft-Weisheit). Nalar kebijaksanaan lebih dari sekedar nalar keilmuan. Di jaman sekarang ini, nalar kebijaksaanaan menjadi panduan utama, supaya kecerdasan bisa mengabdi pada kebaikan bersama. Ini juga menjadi amat penting di tengah tantangan radikalisme dalam segala bentuknya, dan banjir informasi palsu yang melanda kehidupan kita. Sebagai ibu dari semua ilmu, filsafat adalah ujung tombak untuk membangun nalar kebijaksanaan. Lanjutkan membaca Membangun Nalar Kebijaksanaan: Filsafat, Media dan Demokrasi
Dunia kini berada di persimpangan peradaban. Kita mencari pola yang paling sesuai untuk mengelola masyarakat dunia dengan segala perbedaan nilai dan ideologi yang ada. Jika gagal, perang berkepanjangan dan berbagai bentuk bencana lingkungan akan terjadi. Salah satu bentuk tata kelola masyarakat yang paling berhasil dalam sejarah adalah demokrasi liberal.
Di Indonesia, kata liberal memiliki makna yang jelek. Kata ini kerap disamakan begitu saja dengan peradaban Eropa yang menjadi pelaku penjajahan dan perbudakan di berbagai belahan dunia selama ratusan tahun. Namun, demokrasi liberal haruslah dibedakan dari imperialisme Eropa yang terwujud dalam berbagai bentuk penindasan tersebut. Ada lima hal yang kiranya perlu diperhatikan. Lanjutkan membaca Dunia yang Terus Mencari Bentuk
Masyarakat demokratis adalah masyarakat terbuka. Artinya, berbagai pemikiran dan paham berkembang di masyarakat tersebut. Kebebasan berpikir dan berpendapat menjadi tulang punggung dari masyarakat demokratis modern, seperti Indonesia. Pertanyaan kecil yang ingin dijawab di dalam tulisan ini adalah, apakah demokrasi boleh memberi ruang untuk kelompok-kelompok radikal yang memiliki paham intoleran dan tertutup?
Ada tiga pertimbangan yang perlu dipikirkan. Pertama, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Di dalam masyarakat majemuk yang besar jumlahnya, seperti Indonesia, rakyat diwakilkan oleh parlemen dan partai politik. Sistem semacam ini memang tidak ideal, karena memberi peluang bagi korupsi. Namun, sampai detik ini, belum ada jalan lain yang bisa diajukan. Lanjutkan membaca Demokrasi dan Intoleransi
Kita sudah hidup. Namun, kita belum hidup dengan akal sehat. Pikiran kita dijajah oleh emosi dan tradisi. Kita bahkan tak mampu melihat kemungkinan-kemungkinan di luar tradisi, baik itu tradisi budaya maupun agama yang diwariskan kepada kita.
Di dalam hidup, kita juga berpolitik. Sayangnya, kita belum berpolitik dengan akal sehat. Politik masih dilihat sebagai ajang perebutan kekuasaan dan pengumbaran kerakusan. Akibatnya, banyak keputusan politik justru merugikan rakyat banyak, dan menghancurkan dunia politik itu sendiri. Lanjutkan membaca Gunakan Akal Sehat
Apakah kita masih memerlukan negara? Ketika negara harus berhutang ribuan trilyun rupiah, guna menggaji para pejabat negara ratusan juta rupiah setiap bulannya, apakah kita masih memerlukan negara? Ketika banyak kepala daerah dan pejabat negara melakukan korupsi terhadap uang rakyat, apakah kita masih memerlukan negara?
Ketika para penegak hukum tunduk pada suap dan hanya membela hak-hak orang kaya dan kelompok mayoritas, apakah kita masih memerlukan negara? Ketika pejabat negara bertindak layaknya raja kecil di jalan raya, dan menindas hak pengguna jalan lainnya, apakah kita masih memerlukan negara? Lanjutkan membaca Apakah Kita Memerlukan Negara?
Tak sampai setahun Ahok meninggalkan kursi kepemimpinan ibu kota, semua seolah kembali seperti semula. Saya mengurus surat di kelurahan. Suasana begitu kacau. Puluhan orang berdiri, tanpa ada pelayanan dan pengaturan yang jelas. Kursi-kursi pegawai kelurahan tampak kosong, dan semua tampak bingung dengan pelayanan yang tak efektif dan efisien.
Semua ini dibarengi dengan tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme yang amat dalam mencengkram birokrasi pemerintahan negeri ini. Mulai dari tender pengadaan barang, pembangunan serta perawatan infrastruktur, sampai dengan proyek E-KTP, semua dipenuhi dengan unsur kecurangan yang merugikan rakyat. Tak dapat disangkal, bahwa korupsi merupakan tantangan terbesar di Indonesia sekarang ini. Beragam program pembangunan menjadi kotor dan terancam gagal, sehingga rakyat terjebak di lingkaran kemiskinan yang akan melahirkan beragam masalah lainnya. Lanjutkan membaca Harian Kompas 10 Maret 2018: Tekno-Demokrasi
Young Photographer Takes Surreal Self-Portraits to Cope with Depression
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Pengalaman ribuan tahun sejarah peradaban manusia menunjukkan, bahwa demokrasi merupakan bentuk tata pemerintahan terbaik yang pernah ada. Ia membuka peluang bagi rakyat untuk mengecek tata kelola pemerintahan yang ada. Ia membuka kesempatan bagi terwujudnya keadilan dan kemakmuran tidak hanya bagi segelintir orang, tetapi untuk semua. Namun, demokrasi dengan mudah tergelincir ke dalam depresi yang akan membunuh demokrasi itu sendiri.
Dari Depresi
Pada awalnya, demokrasi lahir dari eksperimen segelintir orang di dalam tata politik. Mereka muak dengan beragam penindasan politik dan ekonomi yang terjadi. Pemerintah tak peduli pada kebutuhan rakyat, dan sibuk terus memperkaya diri melalui korupsi. Di luar negeri, pemerintah terus melakukan menjalankan politik konflik, dan bahkan berperang dengan negara lain demi meraih kekayaan yang lebih besar. Lanjutkan membaca Demokrasi dan Depresi
Penistaan Agama, Ruang Publik, Permainan Bahasa dan Kritik Diri yang Berkelanjutan
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang
Naskah Pemancing Diskusi untuk “Ngompol” (Ngomong Politik), Fakultas Humaniora, Universitas Presiden, Cikarang, 16 Februari 2017.
2012 adalah tahun yang amat penting untuk penduduk Jakarta. Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) menjadi gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
Keduanya amat fenomenal. Mereka membawa perubahan-perubahan besar bagi perkembangan Jakarta, mulai dari pelaksanaan program Mass Rapid Transportation yang tertunda puluhan tahun, sampai dengan pembebasan Tanah Abang dari cengkraman preman-preman liar.
Tak lama kemudian, Indonesia pun mengalami peristiwa yang mengguncang: Joko Widodo naik menjadi presiden pada 2014. Ahok pun resmi menjadi gubernur Jakarta yang menggantikan Joko Widodo.
Sebagai gubernur, sepak terjang Ahok tak kalah mencengangkan. Birokrasi lambat dan korupsi di kalangan pemerintahan daerah Jakarta dibabat habis. Infrastruktur dan tempat-tempat kumuh juga dibereskan, walaupun banyak mengundang kontroversi. Lanjutkan membaca Ini tentang Ahok…
Dasar utama dari demokrasi adalah pemahaman dasar, bahwa manusia adalah mahluk politis. Artinya, manusia adalah mahluk yang secara alamiah terdorong untuk membentuk suatu komunitas hidup bersama, yakni komunitas politis. Ini penting untuk menjamin keberadaan manusia itu sendiri, sekaligus untuk mengembangkan kebudayaannya. Ini semua tidak akan mungkin terwujud, jika manusia hidup terputus dari manusia-manusia lainnya.
Demokrasi juga memiliki kaitan erat dengan perdamaian. Di satu sisi, untuk mewujudkan masyarakat demokratis yang menciptakan keadilan dan kemakmuran, kita membutuhkan perdamaian. Di sisi lain, perdamaian yang sesungguhnya hanya mungkin, jika masyarakat menerapkan tata politik demokratis secara konsisten. Oleh karena itu, tata politik demokratis dan perdamaian harus dilakukan secara berbarengan. Keduanya adalah sekaligus alat dan tujuan untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali. Lanjutkan membaca Demokrasi, Sebuah Refleksi
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman
Dunia kita adalah persepsi kita. Dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsinya. Itulah argumen yang diajukan oleh George Berkeley lebih dari dua ratus tahun silam. Sikap kita terhadap orang lain dan dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi yang bercokol di kepala kita.
Seringkali, persepsi yang ada di kepala kita tidak cocok dengan kenyataan yang sebenarnya. Persepsi yang salah inilah yang melahirkan konflik dan berbagai ketegangan di dalam hidup manusia, baik pada tingkat pribadi maupun sosial. Orang yang merasa, bahwa persepsinya adalah kebenaran mutlak dan sesuai 100 persen dengan kenyataan, adalah orang yang hidup dalam delusi. Teori-teori Marxis menyebutnya sebagai ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia.
Orang yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong kebohongan. Semua pendapat dan pikirannya lahir dari ideologi sesat yang bercokol di kepalanya. Tak heran, semua analisis dan pendapatnya begitu dangkal, karena hanya mengikuti saja kesesatan berpikir sehari-hari yang ada di dalam masyarakat luas. Hidup orang ini dipenuhi prasangka dan kesesatan berpikir di dalam melihat orang lain dan masyarakat sebagai keseluruhan.
Anatomi Persepsi
Bagaimana persepsi manusia terbentuk? Darimana asal persepsi yang bercokol di kepala kita? Salah satu jawaban lugas atas pertanyaan ini di dalam masyarakat jaringan sosial sekarang ini adalah media massa. Kita melihat dunia kita dari kaca mata media yang kita baca sehari-hari. Tak berlebihan jika dikatakan, kita adalah apa yang kita baca. Lanjutkan membaca Membangun Opini Cerdas
Pendasaran, Penerapan dan Refleksi Kritis untuk Konteks Indonesia
Oleh Reza A.A Wattimena
Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman
Mungkinkah filsafat diajarkan untuk anak1 pada tingkat sekolah dasar? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan tersebut dengan nada positif. Awalnya akan dijelaskan terlebih dahulu dasar teoritis dari program filsafat untuk anak yang telah dijalankan di berbagai negara di Eropa dan Amerika Serikat (1). Lalu akan dijelaskan juga argumen filsafat sebagai pendidikan nilai untuk anak-anak (2). Untuk memperjelas argumen ini juga akan akan dipaparkan program filsafat untuk anak-anak yang telah diterapkan di beberapa negara bagian di Jerman (3). Setelah itu akan dipaparkan beberapa kemungkinan penerapan untuk konteks Indonesia (4). Beberapa catatan kritis atas program filsafat untuk anak juga akan diberikan (5). Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan (6). Saya mengacu pada penelitian yang dibuat oleh Gregory,2 Höffling,3 Zeitler4 dan Brüning5 sebagai pendasaran teoritis sekaligus pemaparan penerapan program filsafat untuk anak di Jerman.
Pendasaran Teoritis
Mengapa filsafat itu penting untuk anak-anak? Anak-anak, pada dasarnya, adalah filsuf alamiah.6 Artinya, mereka selalu menjadi seorang filsuf yang mempertanyakan segala sesuatu, termasuk hal-hal yang sudah jelas bagi orang dewasa. Seringkali, anak-anak menanyakan pertanyaan yang mengandung unsur politis, metafisis bahkan etis. Jawaban atas pertanyaan tersebut membutuhkan pemahaman tentang sejarah, politik dan metafisika yang cukup dalam. Anak-anak sudah memiliki semacam intuisi filosofis yang sudah ada secara alamiah di dalam dirinya. Berbagai penelitian, seperti dikutip oleh Maughn Gregory, menyatakan, bahwa pemahaman dan gaya berpikir filsafat yang diberikan sejak usia dini dapat meningkatkan kemampuan berbahasa (linguistik), kemampuan berhubungan dengan orang lain (sosial), kemampuan untuk berhadapan dengan kegagalan (psikologis), dan kemampuan untuk berpikir terbuka anak (ilmiah), sehingga ia bisa menerima pelajaran dari luar dengan lebih cepat dan mendalam. Dengan keempat kemampuan ini, anak pun bisa mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada orang lain dengan lancar. Di Jerman, program “anak-anak berfilsafat” (Kinder Philosophieren) sudah dimulai sejak dekade 1960-an. Metode yang digunakan sebenarnya cukup sederhana, yakni perumusan pertanyaan yang dibuat bersama-sama dengan anak (1), berdiskusi bersama anak, guna menjawab pertanyaan ini (2), melihat beberapa kemungkinan jawaban yang bersifat terbuka (3) dan mencoba menggali pertanyaan lebih jauh dari jawaban yang telah ada (4). Lanjutkan membaca Pendidikan Filsafat untuk Anak?
Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya
Semua teori tentang demokrasi berpijak pada satu prinsip yang sama, yakni kesetaraan antar manusia. Setiap orang memiliki harkat dan martabat yang sama. Setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang setara. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara orang kaya atau orang miskin, lelaki atau perempuan, dan agama minoritas atau mayoritas.
Dari kesetaraan ini lahirlah lalu nilai kedua, yakni keterbukaan. Demokrasi, kata Karl Popper, filsuf kelahiran Austria, di dalam bukunya yang berjudul Open Societies and Its Enemies, adalah masyarakat terbuka. Ia menentang segala bentuk pemaksaan, baik menggunakan suap ataupun todongan senjata. Ia memberikan ruang kehidupan untuk semua orang, apapun latar belakangnya.
Namun, di dalam masyarakat demokratis seperti Indonesia, dua prinsip ini terus berada dalam ancaman. Orang dibeda-bedakan seturut agama, ras, dan bahkan jenis kelaminnya. Yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Orang-orang dengan latar belakang tertentu juga tidak bisa terlibat di dalam pemerintahan, semata karena ras, agama ataupun keyakinan politiknya yang berbeda. Lanjutkan membaca Demokrasi dan Rasa Jijik
Mungkin terdengar aneh, jika kita bertanya, mengapa ada politik? Jika membaca koran, sosial media, atau berita TV setiap harinya, kita selalu dikepung oleh berita-berita seputar politik. Namun, kita tidak pernah sungguh tahu, mengapa semua itu ada. Apakah kita sungguh membutuhkan politik, termasuk kehadiran negara dan pemerintah? Jika ya, mengapa?
Jika politik, termasuk kehadiran negara dan pemerintah harus ada, maka semua itu harus ditata, supaya bisa memberikan kesejahteraan bersama untuk semua orang, tanpa kecuali. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana menata politik secara tepat? Apa saja bentuk-bentuk yang mungkin ada? Tema ini dibahas panjang lebar oleh Aristoteles di dalam bukunya yang berjudul Politika.
Buku Politika adalah karya Aristoteles yang ditulis sekitar tahun 340 sebelum Masehi.1 Buku ini, yang terdiri dari kurang lebih 300 halaman, dapat dianggap sebagai lanjutan dari buku Ethika Nicomacheia (lebih berfokus pada filsafat moral). Buku Politika, terlihat dari judulnya, berisi uraian Aristoteles tentang filsafat politik. Lanjutkan membaca Aristoteles dan Bentuk-bentuk Politik
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di München, Jerman
Sebagai salah satu eksperimen sosial terbesar abad 20, demokrasi tampaknya bermuka dua. Di satu sisi, ia diinginkan, karena dianggap mampu menjadi sistem politik yang memberi wadah untuk kebebasan, dan berpeluang untuk mencapai kesejahteraan bersama di dalam masyarakat majemuk. Di lain sisi, ia ditakuti, karena begitu rapuh, terutama ketika diterjang oleh beragam gejolak sosial ekonomi, sehingga bisa terpelintir menjadi anarki ataupun melahirkan kekuasaan totaliter yang baru. Refleksi atas pengalaman sejarah berbagai negara kiranya bisa menerangi kita dalam tegangan ini.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, kita bisa dengan mudah melihat, bagaimana tata pemerintahan demokrasi (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat) lahir dari rahin kekuasaan totaliter (monarki, despot). Demokrasi lahir sebagai simbol pemberontakan dan ekspresi kebebasan manusia, yang tak lagi mau ditindas oleh kekuasaan totaliter di luar dirinya. Di sisi lain, sebagaimana pengalaman Yunani dan Romawi, kita juga bisa menyaksikan, bagaimana kekuasaan totaliter lahir dari sistem politik demokrasi yang gagal mengatasi kerumitan politik masyarakat itu sendiri. Demokrasi, harus diakui, adalah sistem yang rumit, dan ketika kerumitan itu tak lagi tertahankan, sehingga menciptakan kekacauan dan kemiskinan, orang dengan mudah menyerahkan kebebasan mereka kepada penguasa totaliter, supaya keadaan kembali terkendali.
Mengapa demokrasi bisa lahir dari kekuasaan totaliter? Jawabannya sederhana. Di bawah kekuasaan totaliter, ada satu penguasa yang mengatur semuanya, biasanya dengan kekuatan militer. Suasana relatif stabil. Di dalam stabilitas, lahirlah kelas menengah. Mereka bukan orang kaya raya, tetapi mereka memiliki sumber daya untuk hidup dan mengembangkan dirinya. Biasanya, mereka adalah para pedagang, bangsawan-bangsawan kecil yang memiliki tanah tak terlalu luas, ataupun para pendidik di berbagai institusi pendidikan. Mereka nantinya menjadi penggerak revolusi, ketika kekuasaan totaliter menjadi ekstrem, sehingga harus digulingkan. Lanjutkan membaca Demokrasi di bawah Cengkraman Kekuasaan Totaliter