Tentang Menikah dan Punya Anak, Sebuah Pertimbangan Kritis

In These Surreal Times: Detecting Fake Reality with Pawel Kuczynski by  Shana Burleson
Pawel Kuczynski 

Satu lagi sahabat saya bercerai. Kata-kata kasar diungkapkan oleh dua orang yang dulunya saling mencinta. Dendam masa lalu diangkat keluar, terurai dalam pukulan dan air mata. Anak, yang sama sekali tak bersalah, harus menjadi saksi, dan mendekap luka di hati.

Setiap ada undangan pernikahan, saya selalu kagum. Di jaman seperti ini, orang masih berani menikah? Saya sudah mencobanya, dan lolos darinya. Saya bercerai, tanpa anak.

Lanjutkan membaca Tentang Menikah dan Punya Anak, Sebuah Pertimbangan Kritis

Jurnal Filsafat Terbaru: Pendidikan Filsafat untuk Anak?

Tulisan lama saya, ketika masih mengajar di Unika Widya Mandala Surabaya dulu: 

8e05d9d1c7a2fa5901c0a3a7d7af4ece
pinterest

PENDIDIKAN FILSAFAT UNTUK ANAK?

PENDASARAN, PENERAPAN DAN REFLEKSI KRITIS UNTUK KONTEKS INDONESIA
Reza A.A. Wattimena

Abstrak
Tulisan ini ingin memperlihatkan pentingnya pendidikan filsafat untuk anak di Indonesia. Filsafat disini dilihat sebagai pendidikan nilai sekaligus pendidikan hidup yang amat penting bagi perkembangan kepribadian manusia. Oleh karena itu, pendidikan filsafat harus diberikan sejak usia dini, yakni usia sekolah dasar. Namun, pola mengajar filsafat berbeda dengan pola mengajar ilmu-ilmu lainnya. Ia mengajak orang berpikir sendiri dan menemukan jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan hidupnya. Namun, filsafat untuk anak tidak boleh membebani proses belajar anak. Ia juga harus mempertimbangkan konteks kultur lokal yang sebelumnya telah ada di Indonesia.

Lengkapnya bisa dilihat dan diunduh di: https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/12782/9147 

Tulisan lainnya bisa dilihat di 

https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/search/search?simpleQuery=wattimena&searchField=query

 

Pendidikan Filsafat untuk Anak?

philosophierenmitkindern.de
philosophierenmitkindern.de

Pendasaran, Penerapan dan Refleksi Kritis untuk Konteks Indonesia

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman

Mungkinkah filsafat diajarkan untuk anak1 pada tingkat sekolah dasar? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan tersebut dengan nada positif. Awalnya akan dijelaskan terlebih dahulu dasar teoritis dari program filsafat untuk anak yang telah dijalankan di berbagai negara di Eropa dan Amerika Serikat (1). Lalu akan dijelaskan juga argumen filsafat sebagai pendidikan nilai untuk anak-anak (2). Untuk memperjelas argumen ini juga akan akan dipaparkan program filsafat untuk anak-anak yang telah diterapkan di beberapa negara bagian di Jerman (3). Setelah itu akan dipaparkan beberapa kemungkinan penerapan untuk konteks Indonesia (4). Beberapa catatan kritis atas program filsafat untuk anak juga akan diberikan (5). Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan (6). Saya mengacu pada penelitian yang dibuat oleh Gregory,2 Höffling,3 Zeitler4 dan Brüning5 sebagai pendasaran teoritis sekaligus pemaparan penerapan program filsafat untuk anak di Jerman.

  1. Pendasaran Teoritis

Mengapa filsafat itu penting untuk anak-anak? Anak-anak, pada dasarnya, adalah filsuf alamiah.6 Artinya, mereka selalu menjadi seorang filsuf yang mempertanyakan segala sesuatu, termasuk hal-hal yang sudah jelas bagi orang dewasa. Seringkali, anak-anak menanyakan pertanyaan yang mengandung unsur politis, metafisis bahkan etis. Jawaban atas pertanyaan tersebut membutuhkan pemahaman tentang sejarah, politik dan metafisika yang cukup dalam. Anak-anak sudah memiliki semacam intuisi filosofis yang sudah ada secara alamiah di dalam dirinya. Berbagai penelitian, seperti dikutip oleh Maughn Gregory, menyatakan, bahwa pemahaman dan gaya berpikir filsafat yang diberikan sejak usia dini dapat meningkatkan kemampuan berbahasa (linguistik), kemampuan berhubungan dengan orang lain (sosial), kemampuan untuk berhadapan dengan kegagalan (psikologis), dan kemampuan untuk berpikir terbuka anak (ilmiah), sehingga ia bisa menerima pelajaran dari luar dengan lebih cepat dan mendalam. Dengan keempat kemampuan ini, anak pun bisa mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada orang lain dengan lancar. Di Jerman, program “anak-anak berfilsafat” (Kinder Philosophieren) sudah dimulai sejak dekade 1960-an. Metode yang digunakan sebenarnya cukup sederhana, yakni perumusan pertanyaan yang dibuat bersama-sama dengan anak (1), berdiskusi bersama anak, guna menjawab pertanyaan ini (2), melihat beberapa kemungkinan jawaban yang bersifat terbuka (3) dan mencoba menggali pertanyaan lebih jauh dari jawaban yang telah ada (4). Lanjutkan membaca Pendidikan Filsafat untuk Anak?