
Tentang Buku Politika tulisan Aristoteles
Oleh Reza A.A Wattimena
Mungkin terdengar aneh, jika kita bertanya, mengapa ada politik? Jika membaca koran, sosial media, atau berita TV setiap harinya, kita selalu dikepung oleh berita-berita seputar politik. Namun, kita tidak pernah sungguh tahu, mengapa semua itu ada. Apakah kita sungguh membutuhkan politik, termasuk kehadiran negara dan pemerintah? Jika ya, mengapa?
Jika politik, termasuk kehadiran negara dan pemerintah harus ada, maka semua itu harus ditata, supaya bisa memberikan kesejahteraan bersama untuk semua orang, tanpa kecuali. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana menata politik secara tepat? Apa saja bentuk-bentuk yang mungkin ada? Tema ini dibahas panjang lebar oleh Aristoteles di dalam bukunya yang berjudul Politika.
Buku Politika adalah karya Aristoteles yang ditulis sekitar tahun 340 sebelum Masehi.1 Buku ini, yang terdiri dari kurang lebih 300 halaman, dapat dianggap sebagai lanjutan dari buku Ethika Nicomacheia (lebih berfokus pada filsafat moral). Buku Politika, terlihat dari judulnya, berisi uraian Aristoteles tentang filsafat politik.
Bagian pertama buku ini dimulai dengan argumen dasar Aristoteles, bahwa manusia adalah mahluk politis, atau mahluk yang bermasyarakat. Ada beragam hubungan antar manusia, mulai dari hubungan antara pria dan wanita, sampai dengan hubungan antara penguasa yang budaknya. Semuanya menunjukkan ciri dasar, bahwa manusia adalah mahluk sosial. Ia membutuhkan orang lain, dan masyarakatnya.
Namun, Aristoteles menolak dengan tegas ide, bahwa manusia itu setara. Ia melihat perbudakan sebagai sistem sosial yang alamiah dan tidak dapat dihindari. Namun, sebagai penguasa atas para budak, orang memiliki tanggung jawab dan visi yang jelas untuk mengembangkan hidup bersama. Ia tidak bisa sembarangan.
Dasar dari setiap masyarakat adalah keluarga. Dalam arti ini, keluarga adalah kelompok sosial terkecil yang terdiri dari pria, wanita, anak-anak, dan budak. Mereka bukan hanya dasar dari masyarakat, tetapi juga dasar dari seluruh sistem ekonomi. Dari keluarga lalu berkembanglah nanti desa, kota, dan akhirnya negara.
Aristoteles lebih jauh berpendapat, bahwa negara harus cukup besar, sehingga bisa menjaga dan memenuhi kebutuhan warganya. Namun, ia juga tidak boleh terlalu besar, sehingga warga mampu mengaturnya dengan baik. Peran negara amat penting di dalam mengatur masyarakat. Hanya di dalam kehidupan bermasyarakatlah, orang bisa menjalani kehidupan yang bermutu. Jika ia mengurung dirinya atau lari dari masyarakat, maka ia hidup seperti hewan dan binatang saja, yakni hanya untuk pelestarian diri semata.
Kehadiran negara dan masyarakat juga merupakan dari kodrat alamiah manusia. Artinya, manusia tidak bisa menghindarinya, karena itu kecenderungan alamiahnya. Hanya di dalam kehidupan bermasyarakatlah kita bisa menemukan keadilan yang sejati. Walaupun negara dan masyarakat berkembang dari keluarga, mereka mempunyai ciri yang berbeda.
Di dalam keluarga yang terjadi adalah penguasaan sang pria atas seluruh anggota keluarga, yakni perempuan, anak-anak, dan budak. Namun, di dalam negara, yang terjadi adalah hubungan antar manusia yang bersifat bebas dan setara, kecuali para budak. Rakyat memiliki hak (dan kewajiban) penuh untuk ambil bagian di dalam politik dan tata pemerintahan.
Sebagian besar buku Politika menjelaskan beragam bentuk pemerintahan. Bagi Aristoteles, setidaknya ada enam bentuk pemerintahan yang mungkin. Ukuran yang dipakai olehnya untuk membedakan adalah keterkaitan pemerintah yang ada dengan kesejahteraan rakyat, atau kesejahteraan beberapa orang saja.
Bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh satu orang, namun demi kesejahteraan bersama, disebutnya sebagai monarki. Jika satu orang itu memerintah dengan sewenang-wenang demi kepentingan pribadinya, maka itu disebut sebagai tirani. Jika sebuah negara diperintah oleh beberapa orang, namun demi kepentingan semua orang, maka negara itu disebut sebagai Aristokrasi. Namun, jika beberapa orang itu hanya memerintah untuk kepentingan mereka semata, maka itu disebut sebagai oligarki.
Aristoteles juga berbicara tentang demokrasi, yakni pemerintahan oleh mayoritas orang miskin dengan mengorbankan kepentingan orang-orang kaya dan berkeutamaan. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang jelek, yang tidak dianjurkan oleh Aristoteles. Ia kemudian menawarkan alternatif, yakni Politie, dimana rakyat miskin dan kaya bekerja sama secara aktif di dalam politik, guna mewujudkan kesejahteraan bersama.
Enam bentuk pemerintahan ini, yakni monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan politi, dirumuskan Aristoteles dengan berpijak pada pengamatannya pada perkembangan politik di dalam sejarah peradaban manusia, sampai pada masanya. Ia pun mengajukan pertanyaan yang sederhana, namun amat penting, mengapa konstitusi suatu negara berubah, dan mengapa banyak negara yang tumbang, lalu melahirkan negara-negara baru lainnya?
Ia mengajukan jawaban, bahwa itu semua adalah bagian dari lingkaran sejarah peradaban manusia. Peradaban manusia tidak bergerak maju semakin baik, melainkan melingkar. Ia perlu untuk mundur dulu untuk kemudian maju lagi. Hal yang sama terjadi dengan politik dan berbagai bentuk-bentuk negara lainnya.
Ada empat hal yang kiranya bisa kita pikirkan lebih lanjut dari buku Politika. Pertama, kita diajak untuk menyadari kodrat kita sebagai manusia sebagai mahluk sosial. Kita membutuhkan orang lain. Kita membutuhkan masyarakat. Kita membutuhkan negara, guna melestarikan sekaligus mengembangkan hidup kita seutuhnya.
Dua, yang penting diperhatikan adalah ukuran dari negara, atau pemerintah yang ada. Ia tidak boleh terlalu besar, sehingga justru menjajah dan menghambat kehidupan warganya. Namun, ia juga tidak boleh terlalu kecil, sehingga tidak mampu melindungi warganya. Ukuran negara dan pemerintahan yang pas amatlah penting di dalam mencapai kesejahteraan bersama.
Tiga, Aristoteles merumuskan politik yang berpijak pada kerja sama, yakni Politie. Kerja sama itu dilakukan melampaui kelas-kelas sosial kaya maupun miskin, demi mencapai kesejahteraan bersama. Politik yang melampaui pertentangan kelas inilah yang amat diperlukan sekarang ini, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Ketika politik terbelah di antara kaya dan miskin, dan tidak kehendak untuk bekerja sama di antara keduanya, kita siap menantikan perpecahan dan perang saudara.
Empat, kita juga diajak untuk melihat sejarah manusia tidak sebagai sejarah kemajuan, melainkan sejarah yang melingkar. Kita memang berkembang sebagai manusia, tetapi tidak linear, melainkan kita seringkali harus mundur satu langkah, supaya bisa maju dua langkah. Kemunduran itu kerap berupa perang berdarah yang memakan banyak korban. Apakah itu harga yang harus dan layak dibayar, supaya kita bisa berkembang sebagai manusia? Ini pertanyaan yang paling sulit, bukan?
1 Saya mengikuti uraian König, Siegfried, Hauptwerke der Philosophie: Von der Antike bis 20. Jahrhundert, 2013 bab dengan judul Aristoteles: Politika (um 340 v. Chr.), dan Aristotle, Politics, Hackett, Indiana, penerjemah: C.D.C Reeve. hal. xvii bagian Introduction.
“Ukuran negara dan pemerintahan yang pas amatlah penting di dalam mencapai kesejahteraan bersama” Bagaimana dengan Indonesia?? sudah pas kah ukuran daerah dengan pemerintahannya? apakah pemerintah yg dimaksud disini boleh juga pemerintah daerah & pusat?.
SukaSuka
“Kita memang berkembang sebagai manusia, tetapi tidak linear, melainkan kita seringkali harus mundur satu langkah, supaya bisa maju dua langkah. Kemunduran itu kerap berupa perang berdarah yang memakan banyak korban”. Indonesia sudah sering berdarah2, tapi ga maju-maju (jika dibandingkan dengan negara lain yg lebih dulu merdeka), menurut anda kenapa ga maju-maju? Terimakasih.
SukaSuka
hehehe.. maju kali. Tiap hari tambah maju. Selangkah demi selangkah
SukaSuka
Ukuran pemerintah di INdonesia selain kurang besar, juga kurang bersih.
SukaSuka
Reblogged this on Agung Pramudyanto.
SukaSuka
Bisakah filsafat dan teologi berjalan bersama ?
SukaSuka
sangat bisa,…
SukaSuka