Kajian yang selalu penting dan relevan
Info lebih lengkap disini:
https://ingatan.org/pendaftaran-siri-seminar-ikmas-2022-siri-kuliah-kajian-ingatan/
Kajian yang selalu penting dan relevan
Info lebih lengkap disini:
https://ingatan.org/pendaftaran-siri-seminar-ikmas-2022-siri-kuliah-kajian-ingatan/
Oleh Reza A.A Wattimena
Kita bisa sadar, dan memilih dalam hidup kita. Kita bisa belajar tentang berbagai hal baru secara sadar. Kita bisa membentuk cara berpikir dan kebiasaan hidup baru secara sadar. Di dalam dunia yang tak pernah asli, kita bisa mengambil keputusan yang memutus pola, dan mengubah kebiasaan.
Namun, di Indonesia, kesadaran untuk memilih ini nyaris dihabisi oleh agama maupun tradisi. Dari cara berpakaian sampai pola bercinta, semua sudah diatur dengan detil. Penyimpangan tak hanya dianggap melawan tradisi, tetapi juga diancam dengan api neraka (yang sesungguhnya tak pernah ada). Ketakutan dan hukuman semu, yang berpijak diatas tradisi maupun agama konservatif, nyaris membunuh kesadaran untuk memilih bangsa ini. Lanjutkan membaca Artikel di Kompas: Anatomi Tekanan Sosial, Sebuah Refleksi Kritis
Oleh Reza A.A Wattimena
Di Indonesia, kebenaran rupanya kerap tunduk pada tekanan gerombolan. Jika banyak orang berkumpul menuntut sesuatu, biasanya akan dituruti, walaupun itu bertentangan dengan akal sehat. Beragam kasus bisa dideret, mulai dari ketidakadilan yang menimpa Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) pada 2017 lalu, sampai tekanan para supir ojol terhadap petugas keamanan salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Mengapa gerombolan bisa mendikte kebijakan?
Di abad 21 ini, gerombolan bisa dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah gerombolan nyata. Ini adalah gerombolan orang yang berdemo di jalan menuntut sesuatu. Gerombolan ini dapat dengan mudah dilihat dengan mata. Lanjutkan membaca Membongkar Jeroan “Gerombolan”
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman
Dunia kita adalah persepsi kita. Dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsinya. Itulah argumen yang diajukan oleh George Berkeley lebih dari dua ratus tahun silam. Sikap kita terhadap orang lain dan dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi yang bercokol di kepala kita.
Seringkali, persepsi yang ada di kepala kita tidak cocok dengan kenyataan yang sebenarnya. Persepsi yang salah inilah yang melahirkan konflik dan berbagai ketegangan di dalam hidup manusia, baik pada tingkat pribadi maupun sosial. Orang yang merasa, bahwa persepsinya adalah kebenaran mutlak dan sesuai 100 persen dengan kenyataan, adalah orang yang hidup dalam delusi. Teori-teori Marxis menyebutnya sebagai ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia.
Orang yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong kebohongan. Semua pendapat dan pikirannya lahir dari ideologi sesat yang bercokol di kepalanya. Tak heran, semua analisis dan pendapatnya begitu dangkal, karena hanya mengikuti saja kesesatan berpikir sehari-hari yang ada di dalam masyarakat luas. Hidup orang ini dipenuhi prasangka dan kesesatan berpikir di dalam melihat orang lain dan masyarakat sebagai keseluruhan.
Anatomi Persepsi
Bagaimana persepsi manusia terbentuk? Darimana asal persepsi yang bercokol di kepala kita? Salah satu jawaban lugas atas pertanyaan ini di dalam masyarakat jaringan sosial sekarang ini adalah media massa. Kita melihat dunia kita dari kaca mata media yang kita baca sehari-hari. Tak berlebihan jika dikatakan, kita adalah apa yang kita baca. Lanjutkan membaca Membangun Opini Cerdas
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman
Massa memang mengerikan. Ribuan bahkan jutaan orang bergerak tanpa arah, siap merusak apapun yang ada di depan mata. Jutaan orang menghendaki hal-hal yang irasional, yang dalam jangka panjang justru akan menghancurkan dirinya sendiri. Dinamika “massa” ini menciptakan sejarah manusia, yang memang tak selalu cemerlang.
Massa dalam Sejarah
Di masa kekaisaran Romawi di Eropa, kekuasaan tertingi bukanlah di tangan kepala negara, melainkan di tangan massa yang berteriak keras menyaksikan tumpahnya darah dari pertarungan pada Gladiator di lapangan koloseum Roma. Selama masssa, dan dahaganya akan darah dan pertempuran, terpuaskan, situasi politik akan terus stabil, dan pemerintah, walaupun menindas, tetap akan memerintah.
Massa adalah kumpulan orang yang mendadak brutal, bukan karena orang-orang di dalamnya kejam dan jahat, melainkan karena mekanisme massa itu mengaburkan jati diri pribadi, serta meleburkannya ke dalam kesatuan ganjil yang bersifat destruktif, namun rapuh. Dalam sekejap mata, massa tercipta, lalu lenyap sedetik kemudian, meninggalkan segalanya dalam keadaan terserak. Lanjutkan membaca Demokrasi dan Tirani Massa
Manusia dan Fenomena Kekerasan Massa menurut
Pemikiran Elias Canetti di dalam Buku Crowds and Power
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Indonesia adalah tanah yang penuh dengan konflik sosial. Ungkapan itu tidak berlebihan. Seperti dicatat oleh Imparsial, lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pengembangan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia, pada 2008 lalu saja, ada setidaknya 1136 konflik kekerasan massal di Indonesia, dengan rata-rata 3 kejadian setiap harinya. Detilnya sebagai berikut; Penghakiman massa terjadi 338 kali (30 %), tawuran massal terjadi 240 kali (21 %), konflik massal bernuasa politik terjadi 180 kali (16%), konflik bernuansa perebutan sumber daya ekonomi terjadi 123 kali (11%), konflik perebutan sumber daya alam terjadi 109 kali (10%), pengeroyokan massal terjadi 47 kali (4%), konflik bernuansa agama dan etnis terjadi 28 kali (2 %), dan konflik massal lainnya terjadi 56 kali (5%). Dari semua konflik tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Rusdi Marpaung, Direktur Imparsial, ada 112 orang meninggal, dan 1736 orang mengalami luka-luka.[1] Kita masih belum menyimak beragam konflik massal lainnya yang lolos dari pengamatan Imparsial. Lanjutkan membaca Menyingkap Kodrat Hewani Manusia
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Elias Canetti (1905-1994) [1]adalah orang Jerman keturunan Bulgaria. Ia dikenal sebagai seorang filsuf, penulis novel, penulis esei, sosiolog, dan penulis naskah drama. Pada 1981 ia meraih hadiah Nobel untuk kategori sastra dan literatur. Karyanya yang paling terkenal adalah Crowds and Power yang diterbitkan pada 1960. Buku itulah hendak saya jabarkan dan tanggapi di dalam tulisan ini. Di dalam buku itu, ia mencoba memahami fenomena gerakan massa, dan aspek-aspek yang mengitarinya. Untuk itu ia membaca berbagai peristiwa sejarah, mitos, dan karya-karya sastra yang tersebar di berbagai kebudayaan dunia. Lanjutkan membaca Hakekat Massa Menurut Elias Canetti
Elias Canetti (1905-1994) adalah orang Jerman keturunan Bulgaria. [1] Ia dikenal sebagai seorang filsuf, penulis novel, penulis esei, sosiolog, dan penulis naskah drama. Pada 1981 ia meraih hadiah Nobel untuk kategori sastra dan literatur. Karyanya yang paling terkenal adalah Masse und Macht, atau Crowds and Power, yang diterbitkan pada 1960. Buku itulah hendak saya jabarkan dan tanggapi di dalam tulisan ini. Di dalam buku itu, ia mencoba memahami fenomena gerakan massa, dan aspek-aspek yang mengitarinya. Untuk itu ia membaca berbagai peristiwa sejarah, mitos, dan karya-karya sastra yang tersebar di berbagai kebudayaan dunia.
Menurut beberapa komentator pemikiran Canetti, buku itu sendiri lahir dari keprihatinan Canetti, ketika melihat pembakaran Palace of Justice di Wina, Austria pada 1927. Buku itu sendiri nantinya terbit pada 1930-an, namun baru menarik perhatian banyak orang pada dekade 1960-an, tepatnya setelah Canetti memperoleh hadiah Nobel untuk kategori sastra dan literatur. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di London. Namun begitu ia tidak banyak mengembangkan hubungan dengan para penulis maupun pemikir dari Inggris. Lanjutkan membaca Mengenal Elias Canetti
“Segala yang jahat berasal dari kelemahan”
Jean-Jacques Rousseau
Mengapa manusia melakukan kekerasan kepada sesamanya? Pertanyaan sederhana ini menyimpan keheranan. Keheranan adalah sebuah perasaan yang timbul saat orang menghadapi yang tidak lazim. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di dalam sebuah masyarakat yang menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang lazim. Tak ada keheranan yang muncul atasnya, akal pun tertidur, dan bersamaan dengan itu kekerasan tidak pernah dipersoalkan. Sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan sudah kehilangan keberadabannya. Karena itu, pertanyaan di atas sangat penting untuk dilontarkan dan dijawab.
Jawaban atasnya sangat mendesak justru di saat merebaknya peristiwa-peristiwa kekerasan massa setelah tumbangnya rezim Soeharto. Kita ingat kembali katalog kekerasan massa di negeri kita: kerusuhan Mei 1998 dengan target etnis China, perang saudara di Maluku antara orang Kristen dan Muslim, perselisihan etnis di Kalimantan antara Dayak dan Madura, pengejaran dukun-dukun santet di Blambangan, tawuran antar pelajar, dan seterusnya. Dan dalam pertarungan politis dalam rangka Pemilu 2004 kecemasan akan kekerasan massa tak juga dijauhkan dari kita. Ia justru meningkat. Orang bisa berkilah bahwa saat itu kita berada dalam keadaan tidak normal. Namun, dalam keadaan yang dianggap “normal” pun pencuri sandal di masjid di wilayah Tangerang sudah bisa mengalami nasib mengenaskan seperti bidaah di Eropa abad pertengahan: dibakar massa.
Keheranan kita bertambah saat membaca bagaimana sikap para pelaku kekerasan itu terhadap korban-korban mereka. Dalam konflik etnis di Kalimantan kepala manusia dipenggal dan diarak beramai-ramai dengan penuh kebanggaan. Ekstasis massa semacam itu juga terjadi di dalam peristiwa Blambangan dan banyak peristiwa lain, seperti dalam perang, pogrom, masaker, dan seterusnya. Yang ganjil dalam perilaku massa itu adalah berciri psikologis: para pelaku mengalami penumpulan rasa salah atas tindakan kekerasan mereka. Akal sehat sirna dan moralitas kehilangan daya gigitnya. Setelah berjarak dari peristiwa itu, orang lalu mengatakan bahwa individu terseret oleh desakan kebersamaan mereka sehingga tak bisa lain kecuali melakukan seperti yang dilakukan orang yang lain. Individu yang terlibat dalam kekerasan massa sekonyong-konyong dipindahkan dari ruang kontak sehari-hari ke dalam suatu ruang peleburan kolektif yang mengisap ciri-ciri personalnya sebagai seorang individu. Saya menyebutnya “ruang kolektif’ karena ruang ini diproduksi oleh kebersamaan dan menjadi tempat bergeraknya tindakan-tindakan kolektif. Di dalam ruang kolektif itu tindakan-tindakan yang tak lazim dalam ruang keseharian dirasa lazim. Memenggal kepala dirasa lazim di tengah-tengah situasi tak lazim dinamika kekerasan massa. Dengan kata lain, rasa salah raib ditelan oleh suatu “kelaziman dari ketaklaziman” dinamika kekerasan massa.
Yang kita bicarakan di sini bukan kekerasan individual-yaitu kekerasan yang dilakukan oleh individu, seperti membunuh karena dendam pribadi, memerkosa atau merampok-melainkan kekerasan massa, yakni kekerasan yang dilakukan oleh massa. Kekerasan jenis ini berbeda dari kekerasan yang dilakukan individu karena para pelaku melakukan kekerasan itu tidak semata-mata atas dasar dendam atau kebencian personal, melainkan banyak dipengaruhi dinamika sebuah kelompok. Kekerasan individual terliput oleh hukum pidana dan situasi sehari-hari, tetapi kekerasan massa sering melampaui hukum positif itu. Bentuk gigantis dari kekerasan massa itu adalah revolusi dan perang. Sulitlah menghukum demikian banyak pelaku. Karena itu, semakin banyak pelakunya semakin gigantis massa yang bertindak destruktif, semakin kurang personallah motif kekerasan dan semakin merasa benarlah para pelaku kekerasan itu. Kekerasan massa tidak beroperasi di dalam hukum, tetapi melawan dan melampaui tatanan hukum itu sendiri. Karena kompleksnya peristiwa ini, akar-akar penyebabnya juga kompleks. Namun, dalam ulasan ini saya akan menarik perhatian Anda pada tiga akar kekerasan yang terkait dengan conditio humana, yaitu: yang bersifat epistemologis, antropologis, dan sosiologis.
Lanjutkan membaca Inspirasi dari STF Driyarkara: Memahami Akar-akar Kekerasan Massa