Apakah Kita Memerlukan Negara?

The Flying Merchant by Christian Schloe

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Apakah kita masih memerlukan negara? Ketika negara harus berhutang ribuan trilyun rupiah, guna menggaji para pejabat negara ratusan juta rupiah setiap bulannya, apakah kita masih memerlukan negara? Ketika banyak kepala daerah dan pejabat negara melakukan korupsi terhadap uang rakyat, apakah kita masih memerlukan negara?

Ketika para penegak hukum tunduk pada suap dan hanya membela hak-hak orang kaya dan kelompok mayoritas, apakah kita masih memerlukan negara? Ketika pejabat negara bertindak layaknya raja kecil di jalan raya, dan menindas hak pengguna jalan lainnya, apakah kita masih memerlukan negara?

Ketika para pejabat negara memeluk paham radikal, dan menindas kelompok minoritas, apakah kita masih memerlukan negara? Ketika berbagai institusi pendidikan negeri, yang dibangun dan dipelihara oleh uang rakyat, menjadi sarang kaum radikal, dan melakukan diskriminasi kepada kelompok minoritas, apakah kita masih memerlukan negara?

Pertanyaan ini amatlah mendasar dan penting untuk dijawab. Bagi sebagian orang, ia mungkin terdengar provokatif. Namun, bagi sebagian besar orang, saya yakin, ini adalah pertanyaan yang amat mendesak untuk diajukan. Mari kita telaah lebih dalam.

Sebelum Negara

Sebelum negara, manusia hidup dalam berbagai kemungkinan. Ia tidak memiliki hukum yang mengikat. Tentu ada hukum adat dan hukum moral. Namun, lingkupnya masih amat kecil, dan daya paksanya pun seringkali amat lemah.

Di mata Thomas Hobbes, seorang pemikir politik asal Inggris, sebelum adanya negara, manusia hidup dalam keadaan kacau. Setiap orang hanya mengejar kebebasan dan kenikmatannya masing-masing. Alhasil, konflik terjadi secara berkelanjutan. Ini semua terjadi, sampai setiap orang menyerahkan hak-haknya kepada otoritas politik tertentu (Leviathan) yang akan menciptakan dan menjaga stabilitas sosial.

Pandangan berbeda dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau, seorang pemikir politik asal Perancis. Baginya, justru sebelum adanya negara, manusia hidup dalam kebebasan dan kedamaian. Tidak ada hirarki antar manusia. Semua orang hidup dalam keadaan bebas dan setara, bagaikan di surga.

Ini semua berubah, ketika negara terbentuk. Seluruh filsafat politik Rousseau ingin menjawab satu pertanyaan berikut, bagaimana manusia bisa hidup dalam sebuah tatanan politik, semacam negara, tetapi bisa tetap bebas dan setara? Rousseau berusaha memberikan pendasaran moral sekaligus filosofis, bahwa hal itu mungkin, dan bahkan harus terjadi. Untuk menjawab pertanyaan itu, ia merumuskan sebuah konsep yang amat penting di dalam kajian politik, yakni konsep kehendak umum (volonté générale).

Kehendak Umum

Kehendak umum adalah kehendak bersama dari seluruh rakyat sebagai kesatuan. Ia menjadi sumber dari segala hukum yang dibuat oleh negara tersebut. Hukum yang didasarkan pada kehendak umum adalah hukum yang sah, yang ditaati oleh semua warga negara dengan kebebasan yang mereka punya. Dengan mematuhi hukum yang didasarkan pada kehendak umum, warga negara juga menjalankan kebebasannya sendiri sebagai pribadi.

Bagaimana proses merumuskan kehendak umum ini? Ada dua jalan yang mungkin. Pertama, kehendak umum ditemukan melalui proses dialog antar warga tentang apa yang menjadi kehendak dan kepentingan bersama. Dua, kehendak umum ditemukan di dalam kehendak terdalam setiap warga melalui proses abstraksi.

Jalan pertama disebut sebagai jalan deliberatif. Sementara, jalan kedua disebut sebagai jalan transendental. Jalan kedua membutuhkan proses abstraksi tentang apa yang sesungguhnya menjadi kehendak terdalam setiap orang. Kehendak terdalam itu lalu menjadi kehendak umum yang diinginkan oleh semua warga.

Kehendak umum sulit ditemukan di dalam dua keadaan. Yang pertama adalah ketika masyarakat menjadi begitu majemuk dalam soal tata nilai dan gaya hidup. Yang kedua adalah ketika masyarakat hidup dalam ketimpangan sosial ekonomi yang amat tinggi. Dibutuhkan sebuah usaha untuk mengurangi ketimpangan sosial, sekaligus menemukan titik penyatu di antara berbagai kelompok yang berbeda tata nilai, supaya kehendak umum bisa ditemukan.

Bagaimana dengan negara yang memiliki sistem politik demokrasi perwakilan, seperti Indonesia? Rousseau berpendapat, bahwa setiap anggota parlemen, sebagai wakil rakyat, harus memiliki kemampuan untuk melihat masalah dari sudut pandang keseluruhan. Hanya dengan begini, semua kebijakan mereka bisa disepakati dan memiliki dampak bagi keseluruhan masyarakat. Jika keutamaan ini tak dimiliki, maka seorang wakil rakyat harus melepaskan kedudukannya.

Kebebasan   

Dasar dari kehendak umum adalah kebebasan setiap manusia. Di dalam negara yang dikelola seturut dengan kehendak umum warganya, setiap warga hidup dalam kebebasan. Inilah kiranya yang disebut Rousseau sebagai “dipaksa untuk bebas”. Ini juga sejalan dengan salah satu kutipan paling terkenal dari tulisan Rousseau, “Manusia dilahirkan bebas, namun di semua tempat ia dirantai.” Dengan kehendak umum sebagai acuan, maka rantai yang membatasi kebebasan itu dianggap sebagai sesuatu yang sah.

Apa pendapat Rousseau soal kebebasan? Baginya, kebebasan adalah kemampuan untuk memilih. Manusia tidak diperbudak oleh dorongan-dorongan instingtualnya. Inilah yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya, sehingga ia mampu merumuskan moralitas, dan bertindak sejalan dengannya.

Dengan kemampuan untuk memilih yang ia punya, manusia juga mampu menunda dorongan-dorongan alamiah yang ada. Walaupun lapar, ia bisa tidak makan. Walaupun lelah, ia bisa tidak tidur. Ini mungkin terjadi, karena manusia memiliki tujuan yang lebih tinggi, daripada sekedar mengikuti dorongan-dorongan alamiahnya.

Lebih jelasnya, Rousseau membagi dua bentuk kebebasan. Yang pertama adalah kebebasan alamiah, yakni kebebasan yang dimiliki manusia untuk bertindak sesuai keinginannya. Kebebasan alamiah tampak jelas di dalam keadaan alamiah manusia, sebelum adanya negara. Di dalam keadaan ini, manusia juga hidup dalam keadaan setara satu sama lain.

Yang kedua adalah kebebasan sipil. Kebebasan ini muncul, ketika manusia hidup dalam negara yang didasarkan pada kehendak umum. Disini, manusia menemukan kebebasan, karena ia mematuhi hukum yang sesuai dengan kehendaknya sendiri. Ia hidup dalam kekangan hukum, namun tetap bebas, karena hukum yang mengikatnya adalah hukum yang dibuatnya sendiri. Kebebasan sipil ini juga melingkupi kebebasan moral dan kebebasan dari perbudakan serta penindasan.

Melampaui Anarkisme

Dewasa ini, banyak orang memilih mengikuti paham anarkisme. Paham ini lahir dari kekecewaan banyak orang terhadap fungsi negara. Negara dianggap gagal menjalankan tugasnya, sehingga tidak lagi diperlukan keberadaannya. Tidak hanya itu, negara bahkan dianggap menjajah kebebasan pribadi warganya.

Di dalam wacana anarkisme, manusia dilihat sebagai mahluk yang bisa berkembang sendiri secara alami. Justru negara dengan segala lembaganyalah yang menghambat perkembangan manusia. Ini kiranya sejalan dengan keprihatinan Rousseau tentang keberadaan negara. Dalam arti ini, filsafat politik Rousseau kiranya bisa dijadikan salah satu kemungkinan untuk melampaui anarkisme.

Negara diperlukan, asal ia didasarkan pada kehendak umum warganya. Negara demokrasi perwakilan dimungkinkan, asal para wakil rakyat mampu melihat dari sudut mata keseluruhan masyarakat, dan bukan hanya dari kelompoknya semata. Jika syarat ini tak dipenuhi, maka upaya perubahan haruslah dilakukan. Jika tidak berhasil, maka tidak ada alasan untuk keberadaan negara itu sendiri.

Indonesia juga bisa belajar banyak dari pemikiran Rousseau ini. Pemerintah harus mengacu pada kehendak umum, ketika membuat kebijakan. Ia tidak boleh hanya berpihak pada kehendak kelompok mayoritas semata. Tindakan ini justru akan menciptakan perpecahan dan konflik berkelanjutan.

Sila ketiga dari Pancasila, yakni Persatuan Indonesia, kiranya harus dimaknai dalam terang pandangan Rousseau ini. Persatuan Indonesia hanya bermakna, jika kehendak umum seluruh warga Indonesia menjadi dasar dari semua kebijakan. Jika tidak, persatuan Indonesia akan menjadi sila yang membenarkan penindasan dan ketidakadilan, terutama kepada kelompok minoritas. Jangan sampai ini terjadi.

 

 

 

 

 

 

 

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

14 tanggapan untuk “Apakah Kita Memerlukan Negara?”

  1. Selamat siang Pak Reza, saya Yasuo. Saya senang membaca tulisan Bapak. Tapi sudah lama saya tidak membaca tulisan dari Bapak lagi karena beberapa hal. Saya penasaran saja, apakah Bapak tertarik tentang kaitan antara ekologi dan ekonomi, politik dan agama?

    Suka

  2. sepakat !! sewaktu membaca timbul pemikiran, begitu tata negara (judikatif, legislativ,eksekutif) tidak di laksanakan dengan konsequent ,negara menjadi instabil ,mudah timbul kekacauan diantara nya radikalisme dewasa ini.
    manusia diabad kini memerlukan hidup di bawah naungan negara, kasar nya rakyat membayar perongkosan (pajak) banyak segi ( budaya, pendidikan, kehidupan sosial dsb dsb ). perongkosan tsb sebagai “uang masuk” negara demi kesejahteraan rakyat dlm bentuk yg sudah saya urai kan di kalimat sebelum nya. teori nya sangat sederhana, seperti pemasukan dan pengeluaran uang dalam rumah tangga. selama kepala keluarga dan semua yg bersangkutan menjalankan tugas masing2 dgn baik, lancar lah system tsb. pertanyaan : apa kah mungkin berjalan lancar, dgn banyak nya pandangan dan godaan.( segala rupa) ??
    hanya dalam penerapan nya gitu banyak halangan.
    belum tercantum , birokrasi sebagai halangan besar,bak cumi raksasa yg mencekik semua krasi dan jalan hidup.
    banya salam !!

    Suka

  3. Kalau boleh komentar sedikit, Seorang yg belajar filsafat rentan merusak hubungan suami istri, dari filsuf ternama banyak yg tdk menikah dan eksis dibidang filsafat, dari filsuf Immanuel Kant dlm buku yg diceritakan oleh teman nya bahwa Kant tdk menikah karena takut melanggar hukum pribadi yg dibuatnya. Pada zaman saat ini Filsuf Franz Magnis Suseno juga tdk menikah dan eksis meski beliau adalah seorang romo. Bagaimana tanggapan anda ttg hal tsbt diatas?…
    Dan kemudian..menurut anda bagaimana anda menilai seorang romo (yg mempelajari teologia), namun juga, katakanlah seorang filsuf seperti Frans Magnis Suseno. Apabila anda dpt shearing ttg hal ini alangkah baik dan dermawan nya anda dimata saya. Terima kasih.

    Suka

  4. Terima kasih. Apakah peran itu harus dijalankan oleh negara? Bisakah rakyat sendiri mengerjakannya, menggunakan sistem pembagian tenaga kerja? Birokrasi yang lambat dan korup memang jadi banyak masalah untuk hidup.

    Suka

  5. Terima kasih. Jauh lebih banyak filsuf besar juga menikah dan berkeluarga. Belajar filsafat dan teologi sekaligus memang bermasalah. Pemahaman filosofisnya akhirnya harus tunduk pada iman, kecuali teologi yang dipelajari adalah teologi Timur yang sepenuhnya eksperimental, jadi bisa diuji. Teologi Eropa dan Timur Tengah kerap kali mencoba membuat filsafat tunduk pada iman dan tradisi. Ini berbahaya. Kebodohan dan fanatisme adalah buahnya.

    Suka

  6. Pertanyaan selanjutnya apakah kita memerlukan pemerintah?
    Bukankah secara pribadi kita bisa mengurus dirinya sendiri?

    Suka

  7. Lalu bagaimana dengan paham anarkis, paham anarkis juga menganut paham kebebasan?! Mereka tidak memerlukan negara

    Suka

  8. Lalu bagaimana dengan paham anarkisme, paham anarkisme yang saya dengar, tidak memerlukan negara tapi merekeka menjajikan kebebasan dan mempunyai kesetaraan yang sama!!?

    Suka

  9. Lalu bagaimana dengan pah anarkisme yang tidak menginginkan negara. Apakah paham seperti itu bisa di terapkan di indonesia ini!?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.