Kompas 3 Juni 2011

Oleh Radhar Panca Dahana
Sungguh sebenarnya kita sudah menipu: menipu dunia, menipu diri sendiri, dan menipu sejarah kita sendiri. Bahwa kita adalah manusia dan masyarakat modern, bahkan posmodern, dan bahwa kita adalah masyarakat demokratis yang ditandai oleh manusia-manusia yang egaliter, progresif, mundial, dan menghargai minoritas. Sesungguhnya itu hanyalah sebuah tipu.
Sebagaimana para elite dan pemimpinnya yang getol menggunakan biaya rakyat untuk melakukan upaya pencitraan diri, kita pun sesungguhnya aktor-aktor murahan yang sibuk dengan pencitraan bahwa kita adalah masyarakat yang sama maju dan modernnya dengan bangsa-bangsa ”hebat” lainnya. Dalam realitasnya, kita tetap tenggelam dalam kemenduaan atau semacam skizofrenia kultural, di mana diri yang kita citrakan itu bertempur atau berebut tampil dengan diri kita yang tradisional, primordial, mistik, dan klenik.
Situasi mental semacam ini membuat diri kita sebagai pribadi maupun komunal (bangsa) senantiasa mengalami kerancuan dalam menentukan fundamen-fundamen nilai dan identitas kita sendiri. Situasi yang beberapa dekade lalu coba dipecahkan melalui sebuah mekanisme indoktrinal melalui simbol-simbol kekuasaan, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, kemudian pecah berserak dalam alam liberal yang dihasilkan oleh reformasi. Karena itu, kerancuan nilai dan moral, serta psikologi yang neurotik di atas pun menggelegak, memberi semacam permisi tanpa batas bagi siapa saja untuk mengekspresikan neurotika atau ”kegilaan” skizofreniknya masing-masing.
Tak pelak, usaha apa pun yang mencoba mengingatkan, mendesak, atau menghidupkan kembali nilai-nilai fundamental yang kita kenali lewat sejarah (misalnya dalam peringatan-peringatan hari kebangsaan nasional) tak pernah efektif dan akan selalu gagal dalam praksisnya. Reformasi dengan segala implikasi deliberatifnya sebenarnya tak lain adalah semacam penolakan, pengingkaran, bahkan pengkhianatan dari ide-ide dan realitas kultural yang hidup dan tumbuh di masa para pendiri bangsa ini berjuang.
Para pejuang dan pendiri bangsa itu, dalam semua keterbatasan, mesti diakui masih menggenggam dengan kuat apa yang disebut keyakinan serta jati dirinya yang tradisional dan primordial. Kesejatian itu masih ada. Kesejatian yang mampu menegakkan sikap dengan jernih dan tegas, misalnya dalam menghadapi penindasan kaum kolonial, hasrat memerdekakan diri, atau mengambil sikap secara bertanggung jawab terhadap ide-ide intelektual atau simbol-simbol kultural yang berasal dari luar.
Namun, dalam diri yang neurotik atau skizofrenik, kesejatian itu luntur dan lenyap. Kita pun mengalami kesulitan bahkan kehilangan posisi eksistensial kita sebagai manusia maupun bangsa dalam menyikapi tuntutan-tuntutan zaman, termasuk simbol-simbol kultural yang begitu gencar dipenetrasi gerak globalisme.
Ide persatuan itu
Karena itu, persoalannya mungkin bukan sekadar pada tidak berfungsinya lembaga-lembaga formal (modern, demokratis, dan kapitalis), produk-produk hukumnya, atau metode law enforcement-nya. Namun, lebih pada kualitas dan kapasitas, tepatnya pada realitas manusianya di tingkat individual maupun sosial.
Realitas kita sebagai manusia dan bangsa itulah yang sesungguhnya jadi bom bunuh diri terbesar bagi apa yang diidealisasikan sebagai ”Persatuan Indonesia”. Sebuah ide yang pada masa lalu sesungguhnya bukan sebuah visi atau harapan kosong, tetapi sudah menjelma dalam hidup perjuangan para pendahulu kita. Setidaknya dalam bentuk-bentuk dasar alamiahnya.
Semua itu, bila dicermati, berangkat bukan dari ide-ide nasionalisme yang merebak dan dibawa oleh pelajar-pelajar Indonesia dari Timur Tengah, Eropa, lalu ke Asia Tenggara sejak paruh pertama abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Kebiasaan dan tradisi yang kita hidupi selama ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya menunjukkan tidak ada ide atau simbol kultural asing yang dapat diterima, diterapkan, atau jadi praksis begitu saja dalam tempo yang begitu ringkasnya.
Tradisi ratusan etnik yang ada di negeri ini dalam memperlakukan ide atau simbol-simbol asing sebagai masukan dalam proses pendewasaan diri atau penciptaan identitas baru, butuh waktu berabad-abad. Itulah yang terjadi pada suku bangsa Jawa, Batak, Bugis, Betawi, dan lainnya. Karena itu, kelirulah jika kita mengira bahwa dasar-dasar etik, normatif, maupun intelektual-ideasional dari persatuan bangsa Indonesia itu berasal dari adopsi gagasan- gagasan asing.
Dalam realitas historis-kulturalnya sebagai komunitas (etnik) maupun sebagai ”bangsa”, Indonesia adalah sebuah wilayah di mana secara kultural memiliki satu tingkat interdependensi yang tinggi.
Keberadaan satu komunitas atau etnik tidak dapat dilepaskan dari keberadaan komunitas dan etnik lainnya. Satu sama lain sangat bergantung bukan hanya dalam arti ekonomis atau perdagangan, baik secara barter maupun dengan alat tukar, tetapi juga kultural. Yakni ketika etnik atau suku bangsa-suku bangsa itu meraih kedewasaannya—dalam pengetahuan atau ekspresi-ekspresi kebudayaannya—melalui perjumpaan dan proses hibridisasi dengan unsur-unsur simbolik dari kultur (suku-) bangsa lainnya.
Begitulah proses yang terjadi dalam ribuan tahun sejarah kawasan ini sejak ia terbentuk karena es yang mencair dan perpindahan serta persilangan penduduk yang terjadi dari arah timur (Papua), utara (Taiwan), dan barat (Sumatera). Sebuah proses pembentukan bangsa-bangsa yang hingga saat ini masih menjadi unsur kejutan dan tak terjelaskan oleh ilmuwan di atas muka bumi ini. Bagaimana proses itu kemudian melahirkan 500-an etnik dan 700-an bahasa dengan segala macam identitas fisiknya dan menjadi kekayaan sebuah bangsa yang tak tertandingi bangsa mana pun di dunia.
Sesungguhnya inilah kawasan terunik dalam sejarah yang bahkan tak dapat disamakan begitu saja dengan kawasan sejenis, seperti Mediterania di pertigaan Afrika, Eropa, dan Asia. Pembentukan suku bangsa-suku bangsa yang ada tak pernah melalui sebuah dominasi dari kekuatan atau kekuasaan satu suku atau etnik tertentu. Tidak juga oleh Jawa yang kebetulan berpenduduk paling banyak dan memiliki kegiatan sosio-ekonomi-politik-kultural paling aktif saat itu.
Itulah sebabnya, setiap etnik atau suku bangsa dapat mengembangkan kualitas dan kebudayaannya masing-masing, serta melahirkan karya-karya terbaiknya. Semua itu dihasilkan oleh sebuah kondisi masyarakat di mana multikulturalisme adalah keniscayaan, sebuah takdir yang diterima (given), dan menciptakan interkulturalisme yang tidak tertandingi masa mana pun hingga hari ini.
Betapa jenialnya multikulturalisme yang mutualistik itu mengembangkan sebuah ikatan yang tak terputus secara kultural, diikuti oleh produk-produk ekonomi, sosial, atau politiknya. Ikatan itu dibangun lewat kesadaran. Mereka terikat untuk ber-(kerja)-sama dalam proses pematangan dan pendewasaan diri.
Ikatan itu begitu primordial, mengendap dalam sanubari terdalam kita sebagai anggota komunitas, juga akhirnya sebagai bangsa. Kita tak mungkin merasa keberatan adanya suku bangsa lain di komunitas atau rumah kita karena adanya kau (mereka) menentukan adanya aku (kami): adanya kita! Betapa indah ketika Empu Prapanca menegaskannya dalam slogan pendek: Bhinneka Tunggal Ika.
Orang Indonesia
Itulah fundamen persatuan kita yang disilakan dalam Pancasila, yang mestinya lebih tepat diformulasikan sebagai ”Persatuan (dari keberagaman bangsa) Indonesia”. Tanpa kekuatan fundamental ini, semua ide baru tentang persatuan atau nasionalisme tiada gunanya. Tanpa kesadaran akan dasar realitas historis-kultural ini, kita akan mudah dipecah oleh kepentingan-kepentingan sempit-sementara yang membuat konflik tiada henti hingga mengerahkan kekerasan tak terperi.
Maka, sebuah ilusi bila kita bicara tentang ide-ide atau simbol-simbol kultural yang diadopsi begitu saja untuk menjelaskan, apalagi memproyeksikan kesatuan dan kemajuan bangsa ini tanpa memperhitungkan realitas primordial yang mengendap di balik kulit peradaban artifisial kita sekarang ini. Betapa mudah peradaban kulit itu dipermainkan, menjadi alat untuk menghancurkan, bisa kita saksikan belakangan ini.
Bila kita tak mengerti kenapa itu terjadi dan bagaimana solusinya, pertama, karena kita menerima kulit itu sebagai isi (esensi). Kedua, kita tidak mengakui psikologi kultural kita yang skizofrenik. Ketiga, karena kita tidak berani mengekspresikan jati diri primordial itu: menganggapnya kuno, terbelakang, beku, klenik, dan memalukan. Padahal dalam diri yang ”kuno” itu kekuatan kita sebenarnya berada.
Tidak bisa lain, kita harus melakukan terapi keras, sebagaimana para psikiater terhadap pasiennya pada tingkat patologi mental itu. Kita harus berani mengakui dan menerima diri kita yang ”tersembunyi” atau disembunyikan dengan sengaja atau direkayasa oleh kultur asing itu. Justru dalam kualitas yang disebut primordial itu unikum dan kesejatian kita ada, kekuatan sebenarnya yang kita punya.
Artinya, sungguh bukan kesalahan bila Anda (dengan khusyuk dan setia) menjadi Bali, Banten, Banjar, atau Madura. Tidak juga keliru jika Anda (juga dengan khusyuk dan setia) menganut agama apa saja. Ketika Anda sejati menjalaninya dan menjadi apa yang diidealkan oleh kesatuan etnik atau kepercayaan, sesungguhnya Anda sudah menjadi Indonesia. Karena itu, jika Anda masih tak mampu menenggang orang lain, merebut wilayah orang lain, memainkan kuasa dan dominasi atas orang lain, tentu saja Anda belum, bahkan—mungkin—bukan manusia dengan etnik dan agama di mana Anda terlahir di situ. Anda tidak sejati.
Konsekuensinya, Anda belum atau tidak layak menjadi orang Indonesia. Boleh jadi Anda justru menjadi pengingkar atau pengkhianatnya.
Radhar Panca Dahana Budayawan
maaf kata2 kurang lengkap tlg lengkapin ok
SukaSuka
ini tulisan Mas Radar dari kompas. saya tidak punya data lebih. Maaf
SukaSuka