Menyadari Sang Sadar

fbf94a43063bb4aeba7b9458215430f9Oleh Reza A.A Wattimena

Siapa yang ini yang sedang membaca? Unsur apa di dalam diri anda yang sedang membaca? Jawabannya bukan mata, dan bukan otak. Mayat memiliki mata dan otak, namun mereka tak lagi mampu membaca.

Di dalam tradisi Zen, pertanyaan ini menjadi bahan perenungan di dalam hening. Rumusannya begini: siapa yang menggiring mayat ini? Ada sesuatu di dalam diri manusia yang membuatnya hidup, dan bergerak. Jadi, siapa yang menggiring mayat ini?

Sang pengamat kini menjadi yang diamati (The observer becomes the observed). Begitu yang berulang kali dikatakan oleh Jiddu Krishnamurti, salah seorang pemikir terbesar di abad 20. Kita membalik perhatian kita dari dunia luar yang terus berubah. Kita beristirahat di kedalaman diri kita sendiri, atau beristirahat di dalam kesadaran (resting in awareness).

Apa artinya mengamati sang pengamat? Artinya, kita tidak lagi terpesona dengan dunia luar. Dunia luar adalah kenyataan yang sementara. Nagarjuna, pemikir India abad pertengahan, bahkan melihat, bahwa dunia adalah sesuatu yang ada, sekaligus tidak ada. Dunia adalah sumber derita, begitu kata Gautama, persis karena ia begitu sementara, seperti kabut pagi hari, awan ataupun mimpi malam yang terlupakan.

Ketika dunia luar disadari sebagai sementara, bahkan semu, apa yang kemudian dilakukan? Kita lalu memperhatikan sumber dari persepsi tentang dunia luar tersebut? Pada dasarnya, segalanya adalah persepsi, tanpa pijakan kokoh pada kenyataan. Apa yang kita kejar, yakni uang, keluarga, agama dan bahkan Tuhan, adalah kumpulan persepsi yang dibungkus dengan kata serta konsep. Mereka tak sungguh nyata.

Apa sumber dari segala persepsi kita tentang dunia? Dimana sumber itu terletak? Apa sumber dari segala perasaan maupun pikiran yang kita alami, termasuk itu marah, sedih, cemas, takut dan beragam rangkaian emosi berbalut pikiran lainnya? Inilah yang harus menjadi kita renungkan dalam hening.

Tidak ada jawaban konseptual atas pertanyaan itu. Kata dan konsep tidak cukup untuk menjelaskannya, karena kata dan konsep juga adalah sebentuk pikiran. Untuk hal-hal yang tak bisa dikatakan, begitu kata Wittgenstein, pemikir Austria, kita lebih baik diam. Apa yang ada sebelum pikiran muncul? Yang ada hanya pengalaman murni tanpa konsep di sini dan saat ini, yakni diri sejati kita.

Inilah inti dari kehidupan spiritual, atau spiritualitas. Pemahaman sebelum pikiran ini ada di jantung hati semua agama dan filsafat. Agama harus bergerak melampaui cara berpakaian dan ritual semu belaka yang merusak ketertiban hidup bersama. Agama harus menyentuh sang sadar di dalam diri, yakni menyadari Sang Sadar yang adalah Sang Pencipta itu sendiri.

Apa yang dimaksud dengan “menyadari Sang Sadar”? Artinya, kita membalik perhatian ke dalam diri kita sendiri. Kita menyentuh dan mengalami langsung sumber dari semua pengalaman maupun persepsi kita tentang dunia. Rumusan lain juga ada, yakni “mengamati sang pengamat”, “memperhatikan sang pemerhati” dan sebagainya.

Dunia spiritual tidak ada hubungannya dengan kesaktian. Kesaktian itu hanya permainan ego belaka. Yang tercipta adalah kesombongan dan kelekatan batin. Ujungnya hanya penderitaan belaka.

Dunia spiritual juga tidak ada hubungannya dengan moral dangkal. Spiritualitas tidak tunduk pada norma moral yang kerap kali menindas serta sempit. Spiritualitas menolak segala bentuk kemunafikan. Spiritualitas, sebagaimana teori tipologi agama yang saya rumuskan, adalah puncak dari agama kehidupan. (lihat buku ini: Kesadaran dan Agama)

Dari spiritualitas lahirlah moral kosmik. Moralitas semacam ini tidak berakar pada dunia sosial ataupun politik yang penuh kebusukan. Moral kosmik lahir dari kesadaran akan kesatuan dari segala yang ada, dan melahirkan cinta kasih alami. Di dalam teori transformasi kesadaran yang saya kembangkan, moral kosmik menyentuh tingkat non-dual, yakni tingkat ketiga dalam bentuk kesadaran holistik-kosmik. (lihat buku ini: Kesadaran dan Agama)

Jadi, dari saat ke saat, kita mengamati sang pengamat. Kita menyadari sang sadar. Kita memperhatikan sang pemerhati. Siapa yang menggiring mayat ini?

HAH!! Langit biru. Pohon hijau. Burung berkicau. Semua sempurna sebagaimana adanya.

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.