Oleh Reza A.A Wattimena
27 Desember 2023 jam 8 malam. Orang itu menyetir mobil mewah. Tipenya Toyota Harrier. Mesin dan bodi mobil yang besar. Ia menyetir di bilangan Kelapa Gading, tepatnya di lampu merah Kelapa Gading menuju Pulomas, yang memang penuh dengan kendaraan.
Mobil mewah mengambil jalur kiri yang merupakan jalur motor. Ini menciptakan kemacetan yang parah. Lalu, ia memotong ke tengah, mengambil jalur penyebrang jalan. Ada pos polisi di dekat situ, namun tak ada yang bertindak sama sekali.
Saya mendekati pengendara mobil tersebut, dan menegurnya. Saya menyatakan, bahwa di jalan itu ada aturan demi keselamatan bersama. Sang pengemudi, seorang bapak tua dengan anak perempuannya, berkata, “Semau gua dong. Apa urusan elo? Gua pengacara.” Dia terus berteriak dengan penuh ketidakjelasan. Saya terpana.
Dari mana manusia semacam ini muncul? Saya memotret orang itu, dan plat nomor mobilnya. Saya sudah melaporkan ke pihak yang berwajib, dan tinggal menunggu proses. Saya termenung, di tengah abad 21 dengan segala kecanggihan teknologi dan ilmu pengetahuan yang ada, di tengah Indonesia yang tengah membangun menjadi negara maju yang berkeadilan sosial, dari mana manusia semacam ini muncul?
Ada enam hal muncul di kepala. Pertama, manusia semacam ini adalah manusia bodoh. Ia adalah produk dari sistem pendidikan yang busuk. Sistem pendidikan dipimpin oleh menteri yang sama sekali tidak memahami arti pendidikan. Sistem pendidikan yang diisi oleh pejabat-pejabat korup yang bermain mata dengan radikalisme agama, dan berselingkuh dengan oligarki kapitalis yang merusak.
Dua, pepatah lama kiranya tepat. Ikan membusuk mulai dari kepalanya. Sistem pendidikan yang bobrok berakar pada kepemimpinan nasional yang juga bobrok. Politik dinasti, kerakusan berkuasa, kemiskinan pemikiran kritis, rendahnya mutu kesadaran secara umum serta korupsi sistemik menjadi ciri kepemimpinan nasional Indonesia di 2023 ini.
Tiga, ini semua terkait dengan tersebarnya agama kematian di Indonesia. Di dalam teori tipologi agama yang saya kembangkan, agama kematian adalah agama yang membunuh akal sehat, menyiksa nurani, membunuh budaya, merusak ketenangan hidup bersama, menindas perempuan dari ujung kepala sampai ujung kaki dan menjadi dorongan untuk terorisme. Agama kematian dari tanah gersang tidak hanya memperbodoh bangsa Indonesia, tetapi juga mengancam keutuhannya.
Empat, mayoritas orang Indonesia masih terjebak pada tingkat kesadaran yang amat rendah. Di dalam teori transformasi kesadaran yang saya kembangkan, mereka masih berada di tingkat kesadaran distingtif-dualistik. Akibatnya, cara berpikir dan perilaku mereka masih sangat sempit dan egoistik. Kepentingan umum dan kepentingan orang lain dikorbankan demi kenikmatan diri, atau kepentingan kelompok kecilnya semata.
Lima, manusia-manusia bodoh dengan tingkat kesadaran sempit inilah yang akan merusak Indonesia. Di dalam pemilu, mereka akan memilih kandidat yang paling bobrok, entah bocah ingusan, pelaku pelanggaran HAM berat, atau politisi radikal agamis yang bermutu rendah. Akibat dari perilaku manusia-manusia bodoh ini, Indonesia akan mengalami banyak konflik yang menghambat kesejahteraan bersama. Energi untuk pembangunan dihabiskan untuk menghadapi isu-isu bermutu rendah yang menumpulkan akal sehat serta nurani.
Enam, teori Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan (Die Banalität des Bösen) dan teori Martin Heidegger tentang ketidakberpikiran (Die Gedankenlosigkeit) amat tepat untuk memahami hal ini. Banalitas kejahatan adalah perilaku jahat yang tidak lagi dilihat sebagai jahat, karena sudah berulang kali dilakukan, dan menjadi bagian dari budaya publik. Ketidakberpikiran adalah ketidakmampuan, sekaligus ketidakmauan, orang untuk menggunakan akal budinya secara kritis dan mendalam. Ia mampu berpikir teknis, misalnya untuk memperbaiki mesin atau mencari uang, tetapi tidak menyentuh kedalaman yang bersifat reflektif. Manusia-manusia bodoh mungkin pintar mencari uang, tetapi cara berpikir dan perilaku kesehariannya amat merusak.
Maka, secara umum, kita perlu merombak sistem kepemimpinan nasional yang ada. Jejak-jejak dinasti, korupsi dan kebodohan harus dibuang jauh-jauh. Pelaku pelanggaran HAM berat dan bocah ingusan tak punya kemampuan dan hak untuk memimpin bangsa. Politisi bermutu rendah yang bermain mata dengan kelompok radikal agamis juga tak layak mendapat tempat di ruang publik. Dunia pendidikan harus dilepaskan dari radikalisme agama, dan dari cengkraman oligarki kapitalise ekonomi yang merusak. Jalan kita masih panjang untuk menyibak akar kebodohan nasional, dan bergerak untuk melampauinya.