Artikel Jurnal Ilmiah Terbaru: Mengurai Ingatan Kolektif

Mengurai Ingatan Kolektif Bersama Maurice Halbwachs, Jan Assmann dan Aleida Assmann dalam Konteks Peristiwa 65 di Indonesia

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti dan Konsultan, Doktor dari Hochschule für Philosophie München, Jerman

Diterbitkan di  Jurnal studia philosophica et theologica Vol. 16 no. 2 Oktober 2016, ISSN 1412-0674 pages 164-196

Abstrak

Tindak mengingat adalah tindakan sosial. Tindak mengingat mengandaikan latar belakang sosial tertentu. Ia juga menggunakan simbol dan bahasa yang adalah ciptaan dari masyarakat tertentu. Ingatan juga adalah dasar bagi identitas, baik pada tingkat pribadi maupun sosial. Citra diri sebuah masyarakat lahir dari ingatannya atas apa yang terjadi di masa lalunya. Beragam peristiwa tersebut lalu ditafsirkan, dan menjadi identitas sosial masyarakat tersebut. Dewasa ini, ingatan kolektif mengalami krisis. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengubah ingatan kolektif menjadi semata kumpulan informasi yang tanpa arti. Namun, kehadirannya tetaplah diperlukan. Dalam konteks Indonesia, ingatan kolektif bisa menjadi dasar bagi proses rekonsiliasi terkait dengan peristiwa 65. Tulisan ini diinspirasikan dari pemikiran Maurice Halbwachs, Jan Assmann dan Aleida Assmann.

Kata Kunci: Ingatan Kolektif, Identitas, Sistem, Paradoks Ingatan Kolektif, Peristiwa 65.

Abstract

Remembering is a social action. It assumes the existence of certain social context as a background. It uses also language and various symbols which also a product of collectivity. Memory is also the foundation of identity in both personal and social levels. Collective self image of a society is formed by its collective memory and interpretation of events in the past. However, with the development of information and communication technology, collective memory experiences crisis. It changes to a mere technical information without meaning. This does not change the importance of collective memory. In Indonesian context, collective memory plays a very important role as the foundation of reconciliation in the context of 1965 events.This article is inspired by Maurice Halbwachs, Jan Assmann and Aleida Assmann.

 Keywords: Collective Memory, Identity, System, Paradox of Collective Memory, 1965 Events

Artikel lengkap klik link berikut: Ingatan Kolektif

Mengurai Ingatan Kolektif

r169_457x256_13915_Memory_2d_illustration_surrealism_fantasy_house_picture_image_digital_art
digital-art-gallery.com

Bersama Maurice Halbwachs, Jan Assmann dan Aleida Assmann dalam Konteks Peristiwa 65 di Indonesia

 Oleh Reza A.A Wattimena[1]

Peneliti, Penulis dan Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman.

Banyak orang masih mengira, bahwa mengingat adalah tindakan pribadi. Hanya aku dan kepalaku yang mengingat. Namun, anggapan ini kini banyak dibantah. Ingatan mengandaikan banyak hal sebagai latar belakangnya. Ia menggunakan bahasa dan simbol yang sebenarnya adalah ciptaan masyarakat. Tindak mengingat juga menggunakan lingkungan sosial, seperti tempat dan orang lain, sebagai titik acunya. Pendek kata, orang tidak mungkin mengingat, tanpa konteks sosial tertentu yang menjadi latar belakangnya. Lanjutkan membaca Mengurai Ingatan Kolektif

Karya Filsafat: Zwischen kollektivem Gedächtnis, Anerkennung und Versöhnung

Karya Filsafat: Zwischen kollektivem Gedächtnis, Anerkennung und Versöhnung

Disertasi Filsafat Politik di Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman

Penulis: Reza A.A Wattimena (Reza Alexander Antonius Wattimena) Lanjutkan membaca Karya Filsafat: Zwischen kollektivem Gedächtnis, Anerkennung und Versöhnung

Demokrasi dan Ingatan Kolektif di Indonesia

http://kachinlandnews-jinghpaw.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Sejak berdirinya pada 1945 lalu, negara Indonesia sudah sepakat menjadikan demokrasi sebagai sistem politiknya. Namun, jika dilihat secara dekat, negara Indonesia tidak pernah bisa sungguh menjadi negara demokratis. Di masa Sukarno, demokrasi sempat dipelintir menjadi demokrasi terpimpin, yang sebenarnya adalah totalitarisme terselubung. Sukarno bagaikan seorang “raja” yang siap mengarahkan bangsa Indonesia ke arah yang ia kehendaki. Fungsi kontrol masyarakat, dan fungsi parlemen, pun otomatis lumpuh pada masa-masa itu. Pada era Orde Baru, situasi kurang lebih serupa. Soeharto berperan sebagai tiran militer yang bersembunyi di balik kedok demokrasi. Sekali lagi, Indonesia terjebak dalam sistem politik totalitarisme terselubung yang dijaga ketat oleh militer dengan cara-cara yang menindas. Di era reformasi, pasca 1998, Indonesia dilanda euforia kebebasan. Di dalam situasi semacam ini, anarkisme dan politik yang berpijak pada identitas-identitas primordial, seperti agama, ras, suku, dan golongan, memainkan peranan besar. Untuk ketiga kalinya, kita gagal membentuk masyarakat demokrasi yang sesungguhnya.

Di sisi lain, sebagai bangsa, ingatan kita amatlah pendek, terutama terkait dengan berbagai peristiwa-peristiwa jelek yang terjadi di masa lalu, mulai dari penculikan, pembantaian massal, penggusuran, korupsi, dan sebagainya.. Banyak peristiwa-peristiwa besar terlupakan, sehingga kita tidak bisa menarik pelajaran apapun darinya. Akibatnya, banyak peristiwa dengan pola yang sama terulang lagi, dengan skala yang lebih besar, dan orang-orang yang berganti. Pada hemat saya, ada kaitan amat erat antara kegagalan kita menciptakan masyarakat demokratis di satu sisi, dan ketidakmampuan kita untuk mengingat apa yang sungguh terjadi di masa lalu, terutama mengingat peristiwa-peristiwa negatif yang pernah terjadi. Kaitannya terletak pada kegagalan kita kembali untuk hidup dalam keberagaman, yang sebenarnya merupakan fondasi dari demokrasi, feodalisme yang mengalir deras dalam kehidupan politik dan sosial kita sebagai bangsa, serta korupsi yang terus terjadi, seolah tanpa henti. Lanjutkan membaca Demokrasi dan Ingatan Kolektif di Indonesia

Teori Ingatan Kolektif

http://www.terminartors.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya

Konsep ingatan kolektif adalah konsep yang elusif, artinya sulit untuk didefinisikan, namun amat dirasakan kehadirannya. Walaupun begitu, di abad kedua puluh, banyak pemikir dari berbagai bidang ilmu mulai menganalisis konsep ini, dan mengamati dampaknya bagi kehidupan manusia secara luas. Kata ingatan kolektif terdiri dari dua kata, yakni kata ingatan, dan kata kolektif. Keduanya memiliki makna berbeda, dan memiliki arti yang lebih luas, ketika kedua kata tersebut disandingkan. Untuk memahami makna konsep ini, saya akan menggunakan pemikiran Bridget Fowler dan Jill Edy.

Filsuf pertama yang secara komprehensif mencoba memahami fenomena ingatan manusia, menurut Fowler, adalah Henri Bergson.[1] Pada masa ia hidup, yakni sekitar akhir abad 19 di Paris, Bergson mencoba mengajak kita memikirkan konsep ingatan dan pikiran manusia dengan cara-cara yang baru, yang sebelumnya tak ada. Sebelumnya, ingatan dipandang sebagai suatu gudang yang berisi beragam bentuk ide dan informasi. Pandangan ini ditantang oleh Bergson. Baginya, sesuai dengan semangat filsafat modern yang kental pada jamannya, ingatan adalah proses dialektis antara tubuh manusia dan peristiwa yang dialaminya. Lebih dalam dari itu, baginya, ingatan adalah hubungan antara pikiran dan materi. Interaksi antara pikiran dan materi ini, menurut Fowler, akan menghasilkan apa yang kita sebut sebagai persepsi. “Seluruh proses persepsi”, demikian tulisnya, “tergantung pada seleksi yang rumit, di mana informasi dari saraf yang diterima dari dunia luar disaring melalui gambaran ingatan dari masa lalu, di dalam pusat visual dari ingatan di dalam otak.”[2]

Dalam arti ini, menurut Fowler, pemikiran Bergson tentang ingatan menjadi jembatan antara paham subyektivisme dan obyektivisme di dalam memahami ingatan. Secara singkat, subyektivisme dalam teori tentang ingatan menyatakan, bahwa ingatan itu bersifat subyektif, dalam arti hanya dimengerti oleh orang yang mengalaminya, dan tidak memiliki acuan di luar dari diri orang itu. Sementara, paham obyektivisme dalam teori tentang ingatan menyatakan, bahwa ingatan merupakan cermin dari dunia di luar diri manusia. Ingatan menjadi semacam film yang mengulang secara persis apa yang pernah terjadi di luar diri manusia. Lanjutkan membaca Teori Ingatan Kolektif

Kepemimpinan yang “Tak Pernah Lupa”

Oleh Reza A.A Wattimena

Saat ini Indonesia tengah mengalami krisis kepemimpinan. Di berbagai sektor kehidupan sangat sulit dijumpai seorang pimpinan yang bisa sungguh mengarahkan organisasi yang dipimpinnya untuk mencapai kegemilangan secara manusiawi. Yang banyak ditemukan adalah pemimpin yang permisif. Mereka mencari popularitas dengan bersikap ramah dan baik, namun tidak memiliki ketegasan untuk membuat keputusan. Akibatnya organisasi menjadi tidak memiliki arah yang jelas, dan ketidakpastian menghantui aktivitas organisasi tersebut. Dalam hal ini negara dan masyarakat bisa dipandang sebagai sebuah organisasi yang, juga, mengalami krisis kepemimpinan. Lanjutkan membaca Kepemimpinan yang “Tak Pernah Lupa”