“?”

a7.sphotos.ak.fbcdn.net

 

Diskusi Screening Film

FISIP Universitas Airlangga, Surabaya,

12 April 2011

Oleh Reza A.A Wattimena

Karya-karya terbaik manusia mengangkat kita ke level yang lebih tinggi. Itulah yang saya rasakan, ketika menonton film “?” karya Hanung Bramantyo. Film itu mengangkat saya, dan orang-orang sekitar saya, ke level yang lebih tinggi. Setelah selesai menonton kami menjadi satu, lepas dari perbedaan latar belakang yang ada.

Film itu kompleks. Banyak emosi manusiawi tampil di dalamnya. Ada yang sedih, menakutkan, lucu, sampai yang menyentuh hati. Begitu banyak nilai terkandung di dalamnya untuk kita ambil, dan terapkan untuk mewujudkan hidup bersama yang semakin bijaksana.

Di dalam teologi Katolik Ignatian, dinyatakan dengan jelas, bahwa Tuhan ada di dalam segala sesuatu. Tuhan ada di dalam hal-hal baik yang kita punya, tetapi juga di dalam cacat-cacat yang kita punya sebagai manusia. Ia meresap dan hadir di dalam segala sesuatu, baik itu positif maupun negatif. (Martin, 2010) Inilah dasar teologi Katolik di dalam memandang keberagaman.

Di dalam filsafat multikulturalisme juga ditegaskan, bahwa semua kultur memiliki nilai pada dirinya sendiri. (Fraser, 2004) Dalam arti ini kultur adalah bentuk-bentuk kehidupan yang ada dan berkembang di dalam masyarakat. Kultur ini merentang melintas agama, ras, suku, dan batas-batas lainnya. Orang bisa sekaligus beragama Islam, menyukai lagu Gereja, senang bau Klenteng, amat menikmati buku-buku klasik Mahabharata dan Ramayana, serta membaca tulisan-tulisan kritis para pemikir ateis. Pola kultur semacam inilah yang semakin berkembang di masyarakat kita.

Di dalam menanggapi keberagaman, yang perlu dikembangkan kemudian adalah kerangka berpikir yang sifatnya kritis sekaligus rasional di dalam menafsir ajaran, sekaligus realitas di depan mata. Apa itu kerangka tafsir? Setiap orang melihat dunia dengan kaca mata pikirannya. Ia memahami dan membuat keputusan dengan berpijak pada kerangka tafsir yang dimilikinya.

Kaca mata itulah yang saya sebut sebagai kerangka tafsir di dalam melihat serta memahami dunia. Dengan mengembangkan kerangka tafsirnya, orang bisa beragama secara kritis dan rasional. Orang bisa hidup juga dengan sikap kritis dan rasional di dalam memahami dunia. Tak ada konflik dan diskriminasi yang merugikan kita semua.

Bagaimana membentuk kerangka tafsir yang kritis dan rasional semacam itu? Dua pandangan di atas dapat kita gunakan, yakni teologi yang melihat Tuhan hadir di dalam segala sesuatu, termasuk hal-hal yang kita anggap jahat, dan kesadaran rasional, bahwa segala sesuatu di dunia ini, seaneh apapun, memiliki nilai pada dirinya sendiri, maka perlu untuk diberi tempat untuk ada dan berkembang. Saya menyarankan kita mengadopsi dua pola berpikir ini secara kritis dan rasional, guna menciptakan kehidupan bersama yang lebih beradab.

Kerangka tafsir ini bisa dipakai untuk menafsirkan ajaran-ajaran agama yang ada. Kerangka tafsir ini juga bisa dipakai di dalam memahami peristiwa sehari-hari yang terjadi di depan mata kita. Dengan mengembangkan kerangka tafsir ini, orang bisa semakin beradab. Kita pun bisa hidup dan berkembang bersama di dalam masyarakat yang harmonis, walaupun banyak perbedaan di dalamnya.

Film “?” karya Hanung Bramantyo mengajarkan kita, bahwa Tuhan ada di dalam segala sesuatu. Film itu juga mengajarkan kita, bahwa kebaikan dan cinta juga tertanam di dalam segala sesuatu. Begitu pula kejahatan yang selalu tampil, bahkan di tempat yang kita anggap paling suci sekalipun. Yang perlu kita lakukan adalah memilih tempat kita di dalam dunia. Apakah kita akan menjadi aktor kejahatan yang memecah belah, atau aktor kehidupan yang membawa terang dan kebaikan di dalam kehidupan bersama?

Dengan penuh kerendahan hati, saya menyarankan anda mengambil pilihan kedua.****

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Satu komentar pada ““?””

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.