Setengah Hidup

675787_posterOleh Reza A.A Wattimena

Sudah bekerja setengah mati, hasilnya tak juga berarti. Yang tersisa hanya rasa lelah. Rasa tak puas menyusul. Depresi pun berkunjung dari waktu ke waktu.

Itulah yang saya dengar berulang. Teman dan kerabat bercerita. Lingkaran hidup manusia modern abad 21 begitu kuat mencekik. Di tengah cengkraman rezim politik yang korup, kehidupan juga menjadi semakin sulit. Kemiskinan dan kebodohan tersebar luas di nusantara yang kaya raya ini.

Ada yang berhasil secara ekonomi. Namun, waktunya menjadi langka. Selalu ada rasa kurang dan tak puas yang mencengkram dada. Kesehatan mental dan fisik pun terancam.

Inilah yang disebut sebagai setengah hidup. Bekerja setengah mati berarti orang menjalani setengah hidup. Ia terjebak pada pikiran dan ambisinya. Lalu, ia lupa untuk hidup.

Ia sibuk berpikir. Ia sibuk membuat rencana, mengukur serta membandingkan segala sesuatu. Ia sibuk mendengarkan kata orang. Akhirnya, ia pun lupa untuk sungguh hidup.

Tekanan sosial adalah sesuatu yang amat kuat. Orang sulit untuk keluar darinya. Tekanan sosial mendikte tidak hanya cara hidup seseorang, tetapi juga cara berpikir dan merasa yang ia punya.

Tekanan sosial membuat orang tidak hidup sepenuhnya. Hidupnya dijajah oleh kekuatan-kekuatan palsu di luar dirinya. Agama dan budaya kerap menjadi pelaku utama tekanan sosial tersebut. Orang pun hidup setengah mati.

Trend juga menjadi tekanan sosial. Di Indonesia, orang terkena proses Arabisasi. Begitu banyak orang meninggalkan budaya luhur nusantara, dan memeluk budaya kematian dari tanah gersang. Mereka menjadi mayat hidup di dalam kesehariannya.

Juga, yang terbaru seolah menjadi yang terbaik. Orang memanipulasi wajah dan kulit untuk mengejarnya. Mereka terkena cuci otak media dan dunia hiburan yang serba dangkal. Mereka bagaikan robot yang pola pikir dan cara merasanya diatur sepenuhnya oleh kapitalisme global.

Akar dari “setengah hidup” adalah pola pikir overkalkulatif. Artinya, kita hidup dengan memperhitungkan segalanya. Semuanya harus menguntungkan kita. Tidak boleh ada satupun yang merugikan kita.

Dalam bisnis, kita harus untung. Rugi adalah kesalahan yang tak terampuni. Untuk bisa selalu untung, seringkali, kita harus curang. Kita berbohong dan mencuri, supaya bisa selalu untung dan berhasil.

Dalam hubungan antar manusia, kita juga ingin selalu menang. Kita tidak mau berkorban. Kita tidak mau rugi. Berhadapan dengan pasangan dan keluarganya, kita ingin mengambil dan mendapatkan, serta menolak untuk kehilangan. Dalam hidup, kita rakus, dan menolak untuk memberi.

Overkalkulatif berarti kita terjebak pada pikiran dan ambisi sempit. Kita berpikir dan bekerja setengah mati. Artinya, kita setengah hidup. Setengah hidup, sesungguhnya, adalah derita tanpa akhir. Di dalam teori transformasi kesadaran yang saya kembangkan, orang setengah hidup berarti orang yang terjebak pada pola pikir dualistik-ditingtif yang membuatnya menderita.

Setengah hidup berarti kita hidup seperti mayat hidup. Kita bisa berpikir, lalu hanyut dalam pikiran. Kita bisa merasa, lalu hanyut dalam perasaan. Setiap kejadian tak terduga menjadi ancaman yang menganggu ketenangan batin.

Berulang kali, saya mengalami ini. Saya menjadi mahluk setengah hidup. Saya sibuk dengan ambisi, rencana, pikiran dan emosi yang saya rasakan. Berulang kali, saya lupa untuk hidup. Ini derita yang sangat besar.

Maka, kita harus belajar untuk hidup sepenuhnya. Caranya adalah menyadari sungguh, bahwa hidup lebih dari sekedar pikiran dan perasaan. Hidup bukanlah transaksi ekonomi, dimana kita selalu untung, dan orang lain selalu rugi. Hidup lebih dari sekedar menyesuaikan diri dengan tuntutan keluarga dan masyarakat.

Hidup adalah kesadaran utuh disini dan saat ini. Ia berada sebelum semua konsep dan bahasa yang dimiliki manusia. Ia adalah napas yang terus bergerak, jantung yang terus berdetak, darah yang terus mengalir, serta panca indera yang terus menyala. Dan hidup adalah Tuhan yang bertahta di dalam diri setiap insan, dan semua mahluk di alam semesta yang tak terbatas ini.

Hiduplah seutuhnya, sepenuhnya, di sini dan saat ini…

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.