Bulan, bukan Jari

7281443-GYTXLTUE-7Oleh Reza A.A Wattimena

Alkisah, beberapa orang berkumpul. Mereka adalah pecinta keindahan. Mereka adalah pemuja malam. Mereka merindukan bulan.

Namun, bulan tak kunjung kelihatan. Cuaca terus mendung. Gelap mencekam di malam hari. Bulan bersembunyi malu-malu di balik awan.

Cuaca selalu berubah. Malam kini menjadi cerah. Bintang bersinar jelas di langit. Bulan pun tak malu menampilkan keindahannya. Orang pun berkumpul untuk menikmatinya.

Berbagai acara digelar. Ada pesta bulan purnama. Ada tarian bersama. Semua ingin menyambut indahnya bulan yang kini mulai terlihat.

Di dalam kesibukan, orang mulai terlena. Mereka sibuk dengan acara. Ada doa bersama. Ada pesta pora. Namun, yang terpenting justru mulai terlupakan, yakni sang bulan.

Pesta dan ritual adalah alat penunjuk ke arah bulan. Mereka adalah jari-jari yang mengarah ke bulan. Namun, dengan berjalannya waktu, dan miskinnya pemikiran kritis, jari-jari tersebut justru lebih penting daripada bulan. Pesta dan ritual diutamakan, sementara bulan justru terlupakan.

Kita bingung antara alat dan tujuan. Kita menuhankan alat, dan melupakan tujuan. Ini adalah kesalahan cara berpikir yang mendasar. Dampaknya pun amat merusak, mulai dari kedunguan, kedangkalan, konflik, perang sampai dengan penghancuran ekosistem.

Alam dijadikan alat untuk memperoleh keuntungan jangka pendek. Ekosistem hancur. Tumbuhan dan hewan mengalami kepunahan. Pada akhirnya, manusia juga yang akan hancur, akibat kesalahan cara berpikirnya sendiri.

Agama adalah alat untuk mencapai Tuhan. Namun, agama justru dituhankan. Tuhan yang sejati pun diabaikan. Dampaknya adalah kebodohan, kedangkalan dan perang.

Politik adalah jalan untuk mewujudkan kebaikan bersama. Kekuasaan diberikan, supaya orang bisa menciptakan kebaikan bersama untuk semua. Yang terjadi kini, politik dan kekuasaan dijadikan tujuan pada dirinya sendiri oleh manusia-manusia yang dangkal dan hampa. Yang tercipta adalah penipuan, korupsi, kekacauan, hancurnya moralitas dan konflik yang tak terhindarkan.

Kita semua ingin menikmati keindahan bulan. Kita semua ingin mendekat dengan Tuhan yang, sebenarnya, sudah selalu ada di dalam diri kita. Kita semua ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, jauh dari cengkraman penguasa busuk yang dangkal, bodoh serta rakus. Untuk itu, kita harus melihat bulan, dan meninggalkan jari yang menunjuk ke arahnya.

Artinya, kita perlu setia serta fokus pada tujuan, sambil bersikap santai dan relaks pada alat untuk mencapainya…

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.