
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Ah, betapa sulitnya menjadi perempuan. Seperti kata Jean-Jacques Rousseau, seorang pemikir Perancis, manusia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara. Begitulah nasib perempuan. Ia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara.
Siapa yang memilih untuk menjadi perempuan? Ketika lahir, alat kelamin sudah ditentukan oleh alam. Namun, dengan perbedaan kelamin, perbedaan peran sosial pun lahir. “Perempuan” adalah peran sosial yang diciptakan oleh masyarakat, dan bukan oleh alam.
Semua orang memasuki gerbang kehidupan melalui perempuan. Sebagian besar manusia menjadi penghuni rahim perempuan sembilan bulan lamanya. Disanalah kehidupan tercipta, ketika benih pejantan membuahi telur betina. Disanalah keajaiban yang sesungguhnya terjadi.
Ketika pertama kali menginjak dunia, setiap orang juga dibimbing oleh perempuan. Cara-cara dunia juga pertama kali diajarkan oleh perempuan. Perempuanlah yang sesungguhnya menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa perempuan, keluarga akan tersesat di jalan.
Sayangnya
Sayangnya, hampir di seluruh penjuru dunia, perempuan dipenjara. Budaya memenjarakannya. Masyarakat menjajahnya. Perempuan memberi, namun ia tak pernah sungguh dihargai.
Dia tak boleh belajar. Kecerdasan dianggap sebagai sumber pemberontakan yang menganggu harmoni masyarakat. Dia bahkan tak boleh bekerja. Seumur hidupnya, semua keputusannya didikte oleh lingkungan sosialnya, terutama para pria.
Ajaran beberapa agama mengekangnya begitu erat. Tubuhnya dipenjara, karena takut mengundang nafsu pria. Perempuan bahkan tak bisa memilih, pakaian apa yang sesuai dengan dorongan hatinya. Ia harus tunduk pada ajaran masyarakat yang menindas.
Peradaban lain menelanjanginya. Lekukan tubuhnya dijadikan komoditi dagang. Keindahan ragawinya dijadikan tontonan murahan. Jati diri perempuan disempitkan menjadi semata obyek kepuasan para pria.
Ketika krisis dan perang tiba, perempuan juga menjadi korban. Mereka diperkosa, tanpa ampun. Beberapa dibunuh, setelah diperkosa. Lainnya harus hidup dengan trauma dan rasa malu.
Beberapa perempuan sudah menyerah. Mereka melihat penindasan sebagai takdir yang mesti dijalani. Mereka menyerap penjajahan menjadi bagian dari hidup mereka sendiri. Mereka justru ingin dijajah, dan dijadikan komoditi.
Beberapa perempuan berusaha melawan. Mereka ingin mengungkap berbagai penindasan yang terjadi. Mereka ingin melakukan perubahan sosial. Musuh utamanya adalah mental patriarki, yakni mental yang menindas perempuan dengan menggunakan ajaran-ajaran tradisional yang ditafsirkan serampangan.
Menanti Pembebasan
Sebagai ibu dari kehidupan, perempuan harus keluar dari penindasan. Ia mesti sadar, bahwa peran sosial yang ia jalani bukanlah sebuah kemutlakan. Pilihan ada di tangannya, asal didasari kesadaran, bahwa kehidupan bertopang di bahu mereka. Ia mesti bangkit dari perasaan tak berdaya yang ditimpakan kepadanya oleh masyarakat.
Namun, ini semua tergantung dari perempuan itu sendiri. Bisa dibilang, kunci perubahan sosial adalah perubahan di dalam cara perempuan memandang dunianya. Kaum perempuan bisa bekerja sama dengan gerakan-gerakan pembebasan lainnya. Namun, pengalaman perempuan tetaplah sebuah pengalaman yang unik, yang tak tergantikan oleh apapun juga.
Menjadi perempuan berarti menjadi perawat kehidupan. Menjadi perempuan juga berarti hidup dalam dilema. Ia dipuja dan dibutuhkan, namun dijajah sepanjang jalan kenangan. Sudah waktunya, dilema ini diakhiri. Kita perlu mendorong pembebasan kaum perempuan. Sekarang.
thema yg sangat menarik. ingin saya utara kan sedikit impuls2 tanpa nilai.
kita ketahui di banyak sudut dunia perjuangan kaum perempuan untuk maju, contoh : ibu kartini di indobesia , contoh lain :”revolusi 1968″ yg begitu menyolok. di bbrapa negara pembunuhan/pengguguran bayi perempuan, dgn akibat yg tak terpikir panjang, generasi yg terlalu banyak laki2, bahkan sangat di perlukan perempuan untuk perkembangan generasi berikut.
kita lihat juga kenyataan dewasa ini arah hasil perjuangan kaum perempuan beratus2 tahun utk maju, di beberapa negara malah dgn segala daya upaya “mahluk perempuan ditindas hak2 nya ” untuk mundur dgn level beratus2 tahun yg silam, dgn segala macam alasan.
walau kita betul2 sadar, kaum perempuan mempunyai hak yg sama dgn kaum lelaki.
saya hanya mampu utk mencari jalan
penerangan diri sendiri untuk sedikit “menolong” keadaan tsb diatas.
banya salam !
n.b.: sedikit anjuran dari “sudut lain “ada buku terbitan 2thn lalu dari terjemahan usa ” das verborgene licht”
SukaSuka
Tulisan pak Reza sangat bagus…. Saya sering membacanya. Bolehkah saya minta kontak pak Reza? Yang bisa di hubungi?
SukaSuka
Terimaksih Pak Reza yg telah memberikan banyak khasanah pemikiran filsafat. Saya selalu baca tulisan2 bernas Pak Reza. Sukses Selalu!!!
SukaSuka
Memang, di berbagai penjuru dunia, perempuan selalu ditindas. Ini memang fakta sejarah. Dalam tradisi Zen, hal yang sama juga terjadi, walaupun itu sangat bertentangan dengan inti ajaran Zen itu sendiri…
SukaSuka
terima kasih. Saya bisa dikontak di reza.antonius@gmail.com
SukaSuka
Terima kasih kembali. Salam hangat.
SukaSuka
Sangat bermanfaat, panjang umur perjuangan.
SukaSuka
terima kasih. Salam
SukaSuka
Pembahasan menarik Pak. Mayoritas perempuan masih tidak menyadari bahwa dirinya sebagai perempuan sebetulnya tertindas., Terima Kasih Ilmunya Pak
SukaSuka
Terima kasih kembali. Ini yang disebut sebagai hegemoni, yakni penindasan yang tak tampak seperti penindasan.
SukaSuka
Reblogged this on Fazdesign.id.
SukaSuka
Luar biasa ulasannya Pak Reza.
Mohon ijin untuk share yah…
SukaSuka
Terima kasih. Silahkan
SukaSuka