
Oleh Reza A.A Wattimena
Bagaimana kita melihat diri kita sendiri? Sebagian besar orang di Indonesia masih melihat dirinya sebagai bagian dari kelompok primordial. Dalam arti ini, primordialisme adalah ikatan-ikatan alami di dalam hubungan antar manusia. Bentuknya adalah ikatan ras, etnis dan agama, terutama agama warisan.
Bahaya Primordialisme
Di satu sisi, pandangan ini mengikat orang ke dalam sebuah ikatan. Ikatan tersebut bersifat primitif, karena terberi begitu saja. Tidak ada kebebasan dan pertimbangan akal sehat di sana. Orang lahir, dan ia, mau tak mau, terikat dengannya.
Di sisi lain, pandangan ini juga mengundang perpecahan. Orang-orang dengan ikatan primordial lain dianggap sebagai kelompok terpisah. Karena ikatan ini tidak diikuti dengan kebebasan dan pertimbangan akal sehat, maka ia dengan mudah berubah menjadi agresif. Kelompok yang berbeda kerap kali menjadi kambing hitam, ketika masalah datang.
Di masa demokrasi modern, ikatan primordial tidak lagi cocok untuk digunakan. Ikatan tersebut sebaiknya berdiam sebagai latar belakang. Yang dijalankan sehari-hari adalah ikatan posprimordial, yakni ikatan yang berpijak pada kesadaran hukum dan konstitusi yang terbuka untuk perbedaan. Dasar dari ikatan posprimordial ini adalah kesepakatan bersama, kebebasan dan pertimbangan akal sehat.
Indonesia dan Posprimordialisme
Indonesia adalah sebuah ikatan posprimordial. Orang-orang di dalamnya bisa memilih secara bebas dan rasional, apakah ingin tetap berada di dalamnya, atau tidak. Orang bisa dengan leluasa berpindah kewarganegaraan, jika ia merasa ingin dan perlu. Kebebasan dan pertimbangan rasional pribadi adalah tolok ukurnya. Inilah yang disebut sebagai ikatan konsitusional.
Di dalam demokrasi modern, ikatan konstitusional amatlah penting. Ia menjamin hak-hak asasi setiap orang di hadapan hukum. Ia juga menyediakan jalan keluar yang damai melalui hukum, ketika krisis terjadi. Perbedaan sudut pandang pun dikelola secara rasional dan beradab.
Ikatan posprimordial yang terwujud dalam ikatan konstitusional ini agak terlupakan di Indonesia. Gejala radikalisme agama yang tersebar begitu dalam tampak mengaburkan ikatan ini. Akibatnya, diskriminasi pun terasa begitu kuat di dalam hidup sehari-hari, terutama diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas. Radikalisme agama dan obsesi pada primordialisme seolah membawa Indonesia kembali ke jaman batu.
Pancasila?
Dalam banyak hal, Pancasila adalah bentuk dari ikatan konstitusional Indonesia. Ia memang diciptakan untuk membangun rumah bersama bagi kemajemukan Indonesia. Bahkan, ia dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Walaupun begitu, ada dua hal yang mesti diperhatikan.
Pertama, selama lebih dari tiga puluh tahun, Pancasila digunakan sebagai pembenaran untuk menindas segala kritik terhadap pemerintah. Pembunuhan massal pada 1965 dan setelahnya, penangkapan para aktivis dan pembungkaman kritik menggunakan Pancasila sebagai dasarnya. Ini tentu menciptakan trauma tersendiri terhadap Pancasila.
Dua, di masa sekarang, banyak gerakan untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila semata dilihat sebagai proyek. Artinya, kegiatan tersebut hanya dilihat sebagai upaya untuk menghabiskan anggaran semata. Berbagai bentuk korupsi pun tak terhindarkan. Lembaga-lembaga yang bernaung dengan nama Pancasila pun kerap kali tak terorganisir, dan penuh dengan tujuan politik kotor.
Dengan mempertimbangkan kedua hal tersebut, maka Pancasila bisa ditempatkan sebagai sebentuk ikatan posprimordial terbaik untuk Indonesia, terutama dengan memperhatikan sistem demokrasi modern dan kemajemukan masyarakatnya. Asalkan, ia dibaca secara konsisten dalam kelima silanya. Misalnya, Ketuhanan yang masa Esa tidak bisa diterapkan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab. Itu pun juga tidak bisa diterapkan dengan mengorbankan keutuhan bangsa, demokrasi dan keadilan sosial.
Ikatan primordial memang membentuk kita. Namun, jangan sampai itu menjadi penjajahan baru. Dalam konteks berbangsa di era globalisasi sekarang ini, Pancasila sebagai ikatan posprimordial di Indonesia harus dipegang teguh di dalam prinsip dan tindakan. Tidak ada yang lebih penting bagi kita yang tinggal di Indonesia sekarang ini.
setuju sekali dgn tulisan diatas.
dalam kehidupan sehari2 kita alami begitu kuat nya “ikatan2” yg sangat menghambat, bahkan dalam kalangan modern yg mampu “membaca dan menulis”, seperti nya diselubung i suasana “ikatan” yg begitu kuat, tidak sadar bahwa itu hanya kebodohan habis2 an.
pertanyaan : di mana letak “kunci rahasia” utk mendobrak kebodohan tsb ??
pendidikan , masyarakat harus berubah, mulai dari “pimpinan atas”, sbb umumnya di indonesia belum tercapai pemikiran bebas-kritis, yg umum adalah pemikiran anarchie-merusak, tanpa berpikir panjang utk generasi berikut.
kita lihat saja sebagai contoh, kesadaran umum utk alam semesta di lingkungan kita.
banya salam !
SukaSuka
Saat ini kita sedang dijajah filosofi ‘kearab-araban’.
SukaSuka
Cara Ngirim tulisan ke rumah filsafat ginana ya ?
SukaSuka
saya sepakat sekali Pak. Danke für das Mitteilen.
SukaSuka
betul sekali. Dan kebarat-baratan…
SukaSuka
anda tertarik? Coba kirim ke reza.antonius@gmail.com
SukaSuka
Bangsa ini sudah terpuruk dlm ke chaosan jatidiri, semua merasa diri nya sdh sbg “sang benar” sehingga bergerak cenderung menyalahkan. Padahal hrsnya mreka sadar adanya benar krna adanya pengakuan dr “salah” yg mmbenarkan nya. Smoga bangsa ini sgra sadar pd hukum kesepasangan alam kejadian, smangat terus Mas Reza, GBU
SukaSuka
Terima kasih. Dalam banyak hal, bangsa kita memang sangat irasional. Namun, harapan masih cukup besar. Gerakan perubahan menuju keadilan dan kemakmuran terus bekerja.
SukaSuka