Menciptakan Perdamaian yang Sejati

http://unitedworldpeace.com

Komentar Kontekstual Indonesia

atas “Lima Pasal” Penting di dalam Buku

Toward Perpetual Peace tulisan Immanuel Kant

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

            Manusia hidup dalam lintasan konflik dan perang. Selama ratusan tahun sebelum Masehi, kekaisaran Romawi kuno menjajah Eropa dan Afrika Utara. Orang-orang yang kalah perang diperbudak, atau dijadikan gladiator yang siap mempertaruhkan nyawa untuk sekedar menghibur warga Roma. Anak-anak dan perempuan dijadikan budak yang siap ditukarkan dengan emas dan uang untuk membiayai perang kekaisaran. Di abad 15-19, negara-negara Eropa juga melakukan penjajahan di seluruh dunia. Begitu banyak korban jiwa berjatuhan. Kekayaan alam yang begitu besar diperas, sementara warga setempat tetap hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika yang terjajah, termasuk Indonesia, kebodohan dan kemiskinan adalah fakta nyata yang selama berabad-abad mengancam.

            Di sisi lain, sepanjang abad 20 dan awal abad 21, Amerika Serikat, yang mendaku dirinya sebagai negara adidaya, memaksakan kepentingan politiknya ke seluruh dunia. Negara-negara yang menolak untuk patuh bisa mengalami hukuman ekonomi, bahkan aksi militer yang memakan begitu banyak korban jiwa, dan hancurnya begitu banyak harta benda. Otonomi nasional negara-negara di dunia untuk menentukan kebijakan nasional dan internasionalnya menjadi relatif di hadapan kekuasaan Amerika Serikat. Korea, Vietnam, Afganistan, dan Irak adalah contoh-contoh nyata, bagaimana agresi militer bisa digunakan untuk memaksakan kepentingan politik dengan mengabaikan semua prinsip-prinsip politik peradaban modern, seperti otonomi nasional, dan keadilan internasional.

            Sebenarnya, mekanisme resmi untuk menangkal pelanggaran otonomi nasional itu sudah ada. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai lembaga internasional memiliki kewajiban untuk melindungi kemerdekaan sekaligus otonomi nasional negara-negara dunia. Namun, faktanya, otoritas PBB amat lemah, terutama ketika berhadapan dengan kepentingan politik maupun ekonomi negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Cina, dan Eropa Barat. PBB bagaikan kambing ompong di hadapan singa dunia AS dan Eropa Barat. Ketika ini terjadi, otonomi nasional negara-negara dunia terancam. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang memiliki kebebasan sepenuhnya untuk menentukan apa yang baik bagi negaranya sendiri, terutama ketika kebijakan yang mereka keluarkan secara diametral bertentangan dengan kepentingan politik maupun ekonomi negara-negara maju.

            Akhir abad 20 dan awal abad 21, dunia memasuki era globalisasi. Di dalam era ini, batas-batas negara menjadi relatif. Teknologi informasi dan komunikasi berkembang begitu pesat, dan menciptakan ruang dan waktu yang begitu fleksibel, sehingga proses komunikasi dari satu ujung dunia ke ujung dunia lainnya menjadi begitu mudah dan murah. Namun, ada paradoks disini. Ketika dunia menjadi semakin global dan terbuka, keutamaan-keutamaan yang sifatnya lokal, fundamentalistik, dan fanatisme identitas-identitas lokal justru berkembang pesat. Diskriminasi atas nama ras, agama, suku, dan etnis menjadi akar dari banyak masalah sosial yang terjadi. Paradoksnya disini, ketika dunia menjadi semakin global dan terbuka, justru kelompok-kelompok yang berpikiran sempit dan fanatik bermunculan, serta berkembang pesat.

            Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak dibarengi dengan perkembangan keutamaan diri manusia. Dengan kata lain, perkembangan infrastruktur fisik di era globalisasi ini tidak dibarengi dengan perkembangan mental spiritual manusia. Akibatnya terjadi ketimpangan, yakni peradaban global dunia dengan mental lokal yang takut pada perbedaan, serta kerinduan untuk kembali ke dunia purba yang penuh dengan kepastian nilai, dan homogenitas suku, ras, ataupun agama. Ketakutan pada imigran, pada orang-orang yang memiliki pandangan serta keyakinan yang berbeda, justru mewarnai kehidupan politik, sosial, dan ekonomi dunia yang telah terglobalisasi sekarang ini.

            Di sisi lain, politik, yang seharusnya menjadi penyangga kehidupan bersama, dan penjamin terciptanya keadilan, justru menjadi tak berdaya di hadapan berbagai fenomena ketidakadilan di dunia. Alih-alih menjadi penawar racun, politik justru memperkuat ketidakadilan dengan korupsi dan penindasan, baik penindasan militer maupun penindasan simbolik. Politik membiarkan ketidakadilan terjadi. Politik membiarkan hukum rimba (siapa yang kuat dialah yang menang) menggantikan peranan hukum legal. Dengan itu, politik kehilangan dimensi moralitasnya, dan semata-mata menjadi kaki tangan dari kerakusan akan kekuasaan, serta pelestari ketidakadilan global. Ketika dua hal ini terjadi, yakni kerakusan akan kekuasaan yang dibalut dengan proses-proses yang tidak adil, konflik sosial yang memakan korban jiwa dan harta benda adalah suatu kemungkinan yang tak boleh dibiarkan. Dalam konteks ini, perdamaian abadi, yang menjadi cita-cita semua manusia, terancam musnah. Di dalam semua situasi ini, yakni situasi ketidakadilan yang mengancam perdamaian dunia, apa yang mesti kita lakukan?

            Di dalam tulisan ini, saya akan  mencoba menjawab pertanyaan itu dengan mengajak anda mencicipi tulisan Immanuel Kant tentang perdamaian abadi di dalam bukunya yang berjudul Toward Perpetual Peace: A Philosophical Sketch yang ditulisnya pada 1875. Saya juga akan menarik beberapa relevansi dari pemikiran Kant tersebut untuk membantu mencerahkan kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia sekarang ini, demi terciptanya perdamaian yang abadi, yakni perdamaian yang sejati. Untuk itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian. Awalnya, saya akan menjelaskan beberapa proses politik yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk mewujudkan perdamaian. (1) Lalu, saya akan menjelaskan pandangan Kant secara detil tentang perdamaian abadi. (2) Pada bagian akhir, saya akan mengajukan kesimpulan dan beberapa catatan dari pemikiran saya sendiri tentang relevansi pemikiran Kant untuk melapangkan jalan bangsa Indonesia untuk sampai pada perdamaian yang sejati. (3)

1. Indonesia dan Perdamaian Abadi

            Sebagai negara yang baru belajar berdemokrasi, Indonesia adalah bangsa yang penuh dengan konflik.[1] Sejarah Indonesia sebagai bangsa, sebagaimana dituturkan oleh Cunliffe et.al, dipenuhi dengan kekerasan massa yang menjadikan jutaan manusia sebagai korbannya. Seringkali, kekerasan tersebut didorong oleh negara, ataupun oleh kelompok-kelompok masyarakat yang destruktif. Di dalam situasi semacam itu, cita-cita perdamaian, dan proses-proses yang dibutuhkan untuk mencapainya, amat perlu untuk diperhatikan. Dua contoh konflik yang cukup besar di Indonesia di akhir abad 20 dan awal abad 21, sebagaimana dicatat oleh Cunliffe, adalah konflik yang terjadi di Aceh dan Maluku.

            Proses perdamaian selalu diawali dengan negosiasi untuk menghentikan konflik bersenjata. Setelah itu, isu-isu terkait dengan keadilan dan pertanggungjawaban haruslah dihadapi secara tepat. “Pertanggungjawaban atas kejahatan-kejahatan masa lalu”, demikian tulis Cunliffe et.al, “amat penting sebagai alat untuk menciptakan perdamaian yang berlangsung lama.”[2] Mengapa Maluku dan Aceh? Pada hemat saya, dua konflik ini baru saja terjadi, tepatnya di awal abad ke 21, dan akhir abad 20. Keduanya berlangsung cukup lama, memakan banyak korban, dan  menjadi contoh pentingnya bagi bangsa kita untuk sungguh memikirkan cara-cara yang tepat, serta model tata kelola politik yang mencerminkan perdamaian sejati, perdamaian abadi. Dengan kata lain, konflik di Aceh dan Maluku, serta langkah-langkah konkret yang diambil untuk menghentikan sekaligus mencegah keterulangannya, adalah bukti konkret, betapa pentingnya kita mengupayakan perdamaian abadi di Indonesia, dan juga di dunia.

            Menurut Cunliffe et.al, konflik yang terjadi di Maluku dan Aceh di Indonesia berakar pada dua konteks yang berbeda. Sebagai propinsi yang terdiri dari sekitar 1000 pulau di bagian Timur Indonesia, Maluku cukup lama terjebak dalam lingkaran konflik sosial, terutama antara kelompok-kelompok yang beragama Islam dan beragama Kristen pada 1999 sampai dengan 2004 lalu. Sekitar 5000 orang tewas, dan 2,1 juta penduduk terpaksa meninggalkan propinsi tersebut untuk mencari penghidupan di tempat lain.[3] Di sisi lain, banyak fasilitas publik dan harta benda pribadi yang hancur, karena konflik sosial yang berkepanjangan. Pada 2002, kelompok-kelompok yang berkonflik telah membuat perjanjian Malino. Namun, suasana tegang terus berlanjut setidaknya sampai 2006 akhir.

            Konflik Maluku terjadi di Indonesia bagian Timur. Sementara, konflik Aceh terjadi di wilayah paling Barat dari Indonesia. Polanya, sebagaimana dicatat oleh Cunliffe, adalah perang saudara yang lebih tradisional. Pada dekade 1970-an, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendeklarasikan kemerdekaan mereka dari Republik Indonesia. Mereka adalah kelompok separatis yang menentang kedaulatan politis Indonesia atas Aceh. Pemerintah Indonesia mengirimkan militer untuk menanggapi pemberontakan itu. Terjadilah perang yang memakan korban ribuan jiwa, penculikan, dan pelanggaran HAM terhadap rakyat sipil yang terjadi sampai sekitar 2005. Pada 2005 itu dibuatlah perjanjian damai di Helsinki. Ada faktor luar yang berpengaruh besar, yakni terjadinya tsunami di Aceh pada 2004. Dengan bantuan dari pemerintahan Finlandia, tercapailah perjanjian damai antara GAM dan pemerintah Republik Indonesia.

            Kedua perjanjian tersebut, yang melibatkan ujung Timur dan ujung Barat Indonesia, menurut Cunliffe, tidaklah memadai. Jika dianalisis secara lebih dekat, proses-proses negosiasi yang dilakukan di kedua kasus tersebut masihlah belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Tanpa keadilan, maka negosiasi damai hanya akan menjadi “ruang sementara”, di mana konflik sosial di masa depan kemungkinan besar akan terulang kembali. “Di Aceh dan Maluku”, demikian tulis Cunliffe, “setelah perjanjian damai dilaksanakan, proses keadilan transisional kemudian diabaikan lebih jauh.”[4] Semua tindakan pembunuhan serta kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya tetap tertimbun di dalam sejarah masyarakat yang setiap waktu siap untuk menjadi pemicu lahirnya konflik serupa di masa depan.

            Tentu saja, kita boleh berbangga dengan proses negosiasi damai yang terjadi di Aceh dan Maluku, maupun konflik-konflik sosial lainnya di Indonesia. Namun tetap saja, sebagaimana berulang kali dinyatakan oleh Cunliffe, proses negosiasi tersebut seringkali bersifat sementara belaka, dan tidak menyentuh dimensi keadilan yang lebih dalam, yakni keadilan untuk para korban, dan para pelaku kejahatan selama masa konflik. Dengan kata lain, proses negosiasi tidak menciptakan perdamaian yang sejati, yang abadi, melainkan hanya untuk meredam konflik sementara, namun membuka peluang cukup besar untuk terjadinya konflik di masa datang. Belajar dari pemikiran politik Immanuel Kant, kita bisa merumuskan cara-cara yang lebih tepat untuk menjamin, bahwa proses negosiasi damai bukanlah hanya sebagai peredam konflik sementara, tetapi sebagai suatu upaya nyata untuk menjamin, bahwa perdamaian ini akan bertahan lama, dan akan membawa keadilan serta kebahagiaan untuk semua pihak.

 

2. Immanuel Kant dan Perdamaian Abadi

            Immanuel Kant adalah seorang filsuf Jerman yang lahir di Königsberg pada 1724.[5] Pada waktu itu, Jerman masih berbentuk Kerajaan Prussia. Sedangkan Königsberg secara tepat terletak di Prussia Timur. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah lokal, dan dari 1747-1754, ia mulai bekerja sebagai tutor pribadi.[6] Pada masa-masa itu, Kant menulis dua disertasi. Dengan ini, ia bisa mengajar sebagai instruktur yang tidak memiliki gaji tetap di Universitas Königsberg. Di sana, ia mengajar beragam mata kuliah, mulai dari matematika, filsafat, dan ilmu-ilmu alam. Ia hidup dari uang yang diberikan murid-muridnya, dan dari buku-buku yang ditulisnya tentang filsafat dan ilmu-ilmu alam pada masa itu.

            Ia bercita-cita untuk menjadi professor filsafat di Königsberg. Sebelumnya, ia sudah mendapatkan beberapa tawaran bekerja. Akan tetapi, ia menolak semua tawaran itu. Akhirnya pada 1770, Kant menjadi professor Logika dan Metafisika di Universitas Königsberg.[7] Inilah masa, di mana Kant menjalani dekade-dekade sunyi (silent decades). Ia  hampir tidak menerbitkan karya apapun. Rupanya, ia fokus untuk menyempurnakan argumennya, yang nanti akan tertuang di dalam tiga buku yang mengubah sejarah filsafat, yakni Critique of Pure Reason, Critique of Practical Reason, dan Critique of Judgment. Di dalam Critique of Pure Reason, Kant menyelidiki batas-batas dari pengetahuan manusia.[8] Pendekatannya disebut dengan filsafat kritis. Dengan metode ini, ia “berhasil” menjelaskan, bahwa akal budi manusia secara aktif ikut serta dalam terciptanya pengetahuan mannusia, dan, dengan itu, memberikan batas yang tegas pada pengetahuan metafisis manusia. Pandangan ini kemudian dijelaskan lebih jauh di dalam bukunya yang berjudul Prolegomena (1783). Kant langsung menjadi terkenal sebagai seorang filsuf besar pada masa itu.[9]

            Kant menerbitkan dua buku berikutnya yang berhasil membuat terobosan di dalam filsafat moral. Judul kedua buku itu adalah Groundwork for the Metaphysics of Morals (1785) dan Critique of Practical Reason (1788). Di sekitar waktu yang sama, ia menulis Metaphysical Foundations of Natural Science (1786), beberapa esei tentang filsafat sejarah dan filsafat politik dengan judul Idea of Universal History from a Cosmopolitan Perspective (1784), What is Enlightenment (1784),[10] dan Conjenctural Beginning of Human History (1786).  Buku The Critique of Judgment terbit pada 1790. Di dalamnya, Kant merumuskan pemikirannya tentang estetika. Pada 1793, ia menulis buku Religion within the Boundaries of Mere Reason. Buku ini membuatnya mengalami ketegangan dengan otoritas pemerintah yang ada. Pada dekade 1790-an, Revolusi Prancis terjadi. Peristiwa ini mendorong Kant untuk mulai melakukan refleksi filosofis tentang filsafat politik secara lebih intensif. Hasilnya adalah buku On the Common Saying: This May be True in Theory, but It Does Not Hold in Practice (1793), Toward Perpetual Peace: A Philosophical Sketch (1795), yang menjadi acuan utama dalam tulisan ini, dan Metaphysics of Morals (1797). Pada 1798, ia menerbitkan buku dengan judul The Contest of Faculties dan buku Anthropology from a Pragmatic Point of View. Buku yang terakhir berisi dengan filsafat manusia, dan didasarkan pada kuliahnya tentang filsafat manusia yang amat populer pada masa itu. Kant meninggal pada 1804, dan sebelumnya sempat mengalami sakit Alzheimer.[11]

            Wacana tentang perdamaian amatlah penting dan menarik. Kant melihat perdamaian tidak semata sebagai sebuah situasi, di mana tidak ada perang. Itu adalah definisi yang amat minimalis, dan tidak bisa menjadi definisi yang memadai. Di titik ini, pada hemat saya, kita harus membedakan antara perdamaian semu di satu sisi, yang banyak kita alami sekarang ini, dan perdamaian abadi.[12] Di dalam perdamaian yang bersifat semu, perdamaian hanya merupakan jeda sementara untuk mengumpulkan kekuatan, dan memulai perang berikutnya. Di dalam perdamaian semu, perdamaian hanyalah jeda perang, dan kemudian dilanjutkan dengan perang politik ataupun perang urat saraf (perang intelijen) berikutnya. Di dalam perdamaian semu, perdamaian hanya merupakan simbol kalahnya satu pihak dari pihak lainnya, dan melahirkan dominasi serta ketidakadilan baru. Dengan kata lain, perdamaian semu sama sekali bukanlah perdamaian. “Perdamaian sejati”, demikian tulis Kleingeld tentang Kant, “menurut Kant, membutuhkan aturan dari hukum-hukum yang adil di dalam negara, antar negara, dan antar negara dan orang asing, dan itu juga harus membuat situasi semacam ini menjadi situasi global.”[13]

2.1 Hukum menolak Penaklukan dan Penguasaan

            Kita lalu bisa bertanya, hukum-hukum macam apakah yang bisa menampung keadilan? Buku Toward Perpetual Peace yang ditulis Kant hendak merumuskan serta menjelaskan hukum-hukum tersebut. Hukum-hukum tersebut dijabarkannya dalam bentuk pasal-pasal. Saya akan menyeleksi pasal-pasal apa saja yang kiranya amat relevan untuk situasi Indonesia, dan menjelaskannya satu per satu dengan membaca secara detil tulisan Immanuel Kant tersebut. Pasal-pasal ini dapat dianggap sebagai kondisi-kondisi yang memungkinkan (die Bedingungen der Möglichkeit) dari terciptanya perdamaian abadi tidak hanya di Indonesia, tetapi di dunia. Pasal pertama berbunyi berikut, “Tidak ada negara bebas yang sudah (lepas dari negara itu besar atau kecil) dapat menguasai negara lain melalui warisan, pertukaran, pembelian, adan pemberian.”[14] Apa maksud pasal ini?

            Pengandaian dasar di balik pasal ini adalah, bahwa negara bukanlah merupakan sesuatu yang bisa dimiliki. Menurut Kant, negara adalah kumpulan dari manusia, dan manusia di dalamnya tidak boleh tunduk pada apapun, kecuali pada negara yang telah dibentuknya sendiri. Menguasai sebuah negara berarti menguasai orang-orang yang ada di dalamnya. Ini tidak mungkin dilakukan, karena manusia bukanlah barang yang bisa dimiliki, dan tidak pernah bisa diperlakukan semata-mata sebagai benda mati yang tak memiliki jiwa dan martabat.[15] Di sisi lain, secara hukum, tindakan tersebut menghancurkan kontrak sosial yang sebelumnya dibuat oleh manusia-manusia dalam keadaan bebas. Tindak penguasaan dan penaklukan adalah suatu pelanggaran terhadap kontrak politik dan kebebasan manusia itu sendiri.[16]

            Mengapa Kant menuliskan pasal ini? Ia mengalami sendiri, bagaimana Eropa melihat negara lain sebagai obyek yang bisa diperas demi kepentingan mereka sendiri. Di sisi lain, ia juga melihat bagaimana para penguasa negara-negara di Eropa mengawinkan anak-anak mereka untuk menciptakan persekeutuan, dan dengan demikian memperluas kekuasaan mereka sendiri. Kant juga mengamati, bagaimana negara-negara Eropa yang berperang menyewa tentara dari negara lain untuk melakukan perang mereka. Apa masalahnya dengan pola-pola politis semacam ini? Masalahnya adalah, menurut Kant, negara-negara menjadikan negara lain, yang terdiri dari manusia-manusia, sebagai tentara dan obyek kekuasaan berarti juga menjadikan manusia-manusia sebagai obyek, atau benda, yang bisa digunakan untuk tujuan apapun. Cara berpikir semacam inilah yang ditolak oleh Kant.[17]

            Pada hemat saya, pasal ini menjadi amat penting untuk Indonesia, karena secara langsung menolak ide penjajahan dalam segala bentuknya. Artinya, Indonesia tidak pernah boleh lagi mengalami penjajahan oleh bangsa asing, seperti pada era abad 16-20, dan sekaligus, Indonesia tidak pernah bisa lagi menjajah bangsa-bangsa lain yang lebih “lemah” daripada dirinya. Dengan mengakui, bahwa sebuah bangsa bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki, maka ide penjajahan, dalam segala bentuknya, akan menjadi menjijikan. Pada hemat saya, ini adalah prinsip pertama dan utama di dalam membangun perdamaian yang sejati. Artinya, tanpa penerapan prinsip ini ke dalam realitas, maka perdamaian pun tidak akan pernah bisa tercapai, dan kita akan tetap hidup dalam kondisi perang yang menyiksa semua pihak.

2.2 Otonomi Nasional

            Pasal kedua Kant yang, menurut saya, juga amat penting untuk diperhatikan adalah pasal tentang otonomi nasional sebuah negara. Bunyinya begini, “Tidak ada negara yang dengan menggunakan paksaan bisa ikut campur dalam konstitusi dan pemerintahan dari negara lain.”[18] Saya rasa artinya cukup jelas. Setiap negara punya otonomi, yakni hak untuk mengatur dirinya sendiri, yang tidak bisa dilanggar oleh negara lainnya. Dalam arti ini, otonomi selalu terkait dengan legitimasi kekuasaan negara itu sendiri. Negara yang terbentuk secara sah secara otomatis memiliki otonomi yang tidak bisa dilanggar oleh negara manapun. Bagi Kant sendiri, fakta bahwa satu negara bisa ikut campur di dalam masalah negara lainnya adalah suatu tanda, bahwa hukum yang berlaku tidak berfungsi, dan masyarakat hidup dalam situasi tanpa hukum (lawlessness).[19]

            Dalam situasi perang saudara (internal conflict), di mana satu negara yang sama akhirnya terpecah menjadi dua bagian yang sama-sama mengaku merupakan negara yang sah, ada perkecualian. Ini terjadi, karena, menurut Kant, negara yang sedang mengalami perang saudara seringkali jatuh ke dalam anarki, dan ini merupakan situasi politis yang amat buruk, yang harus dihindari. Jadi, jika dihadapkan pada dua pilihan, anarki atau intervensi, maka Kant pasti akan memilih intervensi, yakni campur tangan negara lain untuk menghindari terjadinya anarki. “Di dalam kasus ini”, demikian tulis Kant, “negara luar tidak dapat dituduh dengan ikut campur dalam konstitusi negara lain dengan memberi bantuan pada salah satu bagian, karena dalam kasus ini terdapat anarki.”[20]

            Namun, campur tangan ini tetap hanyalah sementara. Setelah ancaman anarki mereda, maka negara asing haruslah keluar dari negara yang tengah mengalami konflik tersebut. Jika negara asing tidak keluar dari konflik internal negara lainnya, maka, menurut Kant, negara asing tersebut telah melanggar hak-hak negara lainnya. Jika itu yang terjadi, maka otonomi nasional negara menjadi tak bermakna. Yang terancam kemudian bukan hanya negara yang tengah mengalami perang saudara tersebut, tetapi juga negara-negara lainnya. Jika satu negara bisa diintervensi, maka negara-negara lainnya pun juga mungkin untuk diintervensi, yakni diinjak-injak otonominya.[21]

            Saya amat setuju dengan Kant dalam soal ini. Intervensi satu negara ke negara lainnya hanya dimungkinkan, ketika anarki merupakan ancaman nyata di depan mata. Persoalan muncul, ketika kita diminta untuk menyatakan, apakah suatu perang saudara sudah diambang anarki, sehingga perlu untuk diintervensi, atau tidak, sehingga proses tetap harus dibiarkan tanpa intervensi. Apa ukuran anarki? Sejauh saya membaca, Kant tidak membahas soal ini. Cukuplah dicatat, bahwa anarki itu mirip dengan kondisi alamiah manusia, di mana teror, ketidakpastian, penderitaan, perang, dan kemiskinan merajalela. Selama situasi ini masih terasa kuat, maka, menurut saya, sejalan dengan Kant, intervensi adalah jalan yang mesti ditempuh, bukan untuk menginjak otonomi, melainkan untuk menyelamatkan manusia.

2.3 Federalisme Negara-negara Bebas

            Dua pasal sebelumnya adalah dasar untuk menciptakan perdamaian, yakni pasal anti penjajahan, dan pasal otonomi nasional. Pasal berikutnya merupakan bentuk tata kelola politik untuk terciptanya perdamaian abadi. Bunyinya sebagai berikut, “Hak-hak internasional selayaknya didasarkan pada federalisme dari negara-negara bebas.”[22] Dasar dari pasal ini adalah penolakan terhadap kondisi alamiah (state of nature) dari manusia itu sendiri, yakni kondisi sebelum adanya negara, ketika manusia masih terpecah di antara suku bangsa-suku bangsa yang berbeda, dan tak punya titik temu. Apa kondisi alamiah manusia, sebagaimana dirumuskan oleh Kant?

            Mirip seperti pemikiran Thomas Hobbes, yang melihat manusia dalam kondisi alamiah sebagai “serigala” bagi sesamanya (homo homini lupus), Kant berpendapat, bahwa di dalam kondisi alamiah, manusia adalah mahluk yang menyakiti mahluk lainnya. Kondisi alamiah adalah kondisi tanpa hukum. Di dalam kondisi ini, menurut Kant, manusia bisa merusak tubuh sesamanya, hanya karena keduanya berdekatan. Manusia adalah mahluk yang mengalami takut berlebihan, jika keduanya berdekatan, dan bersedia untuk saling membunuh, demi menjaga keamanan diri masing-masing. Untuk mencegah kepunahan dirinya, mereka memutuskan untuk berdamai, dan mendirikan suatu lembaga untuk mencegah mereka kembali dalam kondisi alamiah. Lembaga itulah yang disebut sebagai negara yang berpijak pada konstitusi, yang menjamin hak-hak dasar setiap orang yang ada di dalamnya.[23]

            Negara, dengan demikian, adalah bentuk konkret dari harapan setiap orang akan perdamaian. Seluruh institusi negara, termasuk eksekutif, legislatif, dan yudikatif, ada dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perang, dan menyelesaikan berbagai masalah sosial yang ada melalui jalan-jalan damai. Kant bahkan melangkah lebih jauh. Ia menegaskan perlunya semacam “negara internasional”, yakni negara yang mengatasi semua negara-negara lokal, dan berfungsi mengatur segala urusan yang ada secara damai dan adil.[24] Inilah yang disebutnya sebagai “hukum dan hak-hak internasional”, yakni hak yang mengikat berbagai bangsa ke dalam satu tata politis yang damai. Jika negara adalah kumpulan orang-orang bebas yang hendak menghindari perang dan mencapai perdamaian, maka “negara internasional”, menurut Kant, adalah kumpulan dari negara-negara bebas yang hendak mencegah terjadinya perang, dan menata segala sesuatunya melalui jalan damai.[25]

            Pada hemat saya, argumen Kant ini cukup penting untuk konteks Indonesia. Syarat utama dari kewarganegaraan adalah kebebasan. Orang tidak pernah bisa merasa menjadi warga negara, jika dia hidup dalam keadaan terpaksa. Keterpaksaan menjadi warga negara, atau dipaksa masuk dalam satu negara tertentu, adalah bentuk lain dari penjajahan, yang seharusnya sudah lama lenyap dari muka bumi ini. Negara yang terdiri dari warga-warga yang bebas tersebut nantinya juga akan membentuk persekutuan negara-negara yang juga bebas. Persekutuan negara-negara tersebut adalah “negara internasional”. Sebagai catatan, ini hanya bisa dicapai, jika kebebasan sungguh menjadi situasi yang nyata di masyarakat. Situasi yang amat jauh dari realitas keseharian hidup orang Indonesia.

2.4 Tentang Hospitalitas Universal

            Setelah berbicara tentang otonomi nasional, penolakan pada penaklukan dan penindasan, serta tentang perdamaian dan kebebasan, pasal berikutnya yang, menurut saya, cukup penting adalah pasal Kant terkait dengan keramahtamahan universal, atau hospitalitas universal. “Dalam konteks ini”, demikian tulisnya, “hospitalitas (perilaku tuan rumah pada tamunya) adalah hak dari orang asing untuk tidak diperlakukan dengan kejam pada saat kedatangannya di tempat orang lain.”[26] Syarat ini, menurut Kant, berlaku, jika si orang asing tidak bertindak dengan cara-cara yang bermusuhan. Maka, hospitalitas adalah sesuatu yang sifatnya timbal balik. Ia akan diberikan, jika pihak yang lain memberikannya. Hospitalitas adalah konsep yang berdiri di atas pengandaian dasar, bahwa setiap manusia, lepas dari suku, ras, agama, ataupun situasi sosial ekonominya, memiliki hak untuk mengunjungi (right to visit).

            Konsep “hak untuk mengunjungi” berdiri pada sesuatu yang lebih mendasar lagi, bahwa setiap jengkal tanah di muka bumi ini adalah milik bersama, yang bisa digunakan untuk kepentingan bersama. Juga bahwa setiap manusia adalah pemilik sah atas bumi ini, dan bukan hanya sekelompok orang yang memiliki kuasa untuk menaklukan orang lainnya, dan mengklaim memiliki tanah lebih besar daripada yang lain. Dalam arti ini, setiap orang adalah “tetangga” untuk orang lainnya. “Tidak ada orang”, demikian tulis Kant, “yang memiliki hak lebih daripada orang lainnya untuk menempati suatu tempat.”[27] Tujuan dari semua ini adalah supaya manusia yang berasal dari belahan bumi yang berbeda, yang memiliki kultur dan cara pandang dunia yang berbeda, bisa berjumpa, dan menciptakan hubungan yang didasarkan pada cita-cita perdamaian abadi. Inilah semangat dasar dari kosmopolitanisme, sebagaimana dijabarkan oleh Kant. “Dengan cara ini”, demikian tulisnya, “bagian-bagian terpencil dari dunia dapat menciptakan hubungan yang damai antara satu sama lain, hubungan yang nantinya diatur dalam hukum publik dan bisa nantinya membawa manusia menjadi semakin dekat pada konstitusi kosmopolitan.”[28]

            Hospitalitas, pada hemat saya, merupakan salah satu keutamaan terpenting di era globalisasi sekarang ini. Walaupun hidup lebih dari 200 tahun yang lalu, Kant seakan sudah memperkirakan terjadinya era globalisasi sekarang ini, di mana batas-batas negara seakan melebur, dan orang serta ide bisa bergerak leluasa seolah tanpa batas. Di dalam dunia semacam itu, menurut saya, hopitalitas, atau keramahtamahan, adalah sesuatu yang amat penting. Dalam arti ini, keramahtamahan adalah keterbukaan hati dan sikap di dalam menanggapi keganjilan-keganjilan yang muncul, akibat perjumpaan dua orang yang berasal dari dua kultur yang kontras berbeda. Perjumpaan tersebut pasti menghasilkan keanehan-keanehan, namun tak harus ditanggapi dengan kecurigaan ataupun konflik, melainkan dengan keterbukaan hati dan kesadaran, bahwa kita adalah sama-sama warga dunia, yang memiliki hak yang sama untuk menempati dunia yang sama. Sikap semacam itulah yang belum saya temukan di Indonesia.

2.5 Tentang Hubungan antara Moralitas dan Politik

            Kant juga menulis soal hubungan antara moralitas dan politik, dalam kaitannya dengan upaya untuk mewujudkan perdamaian abadi.  Maka, pasal berikutnya yang menarik untuk dicermati berbunyi begini, “Tentang ketidaksepakatan antara moralitas dan politik dengan rasa hormat pada perdamaian abadi.”[29] Apa yang sesungguhnya yang dimaksud Kant dengan moralitas? Seperti kita tahu bersama, ia memiliki ajaran tentang moralitas yang unik. Bagi Kant, moralitas adalah filsafat  yang berbicara di area praksis, yakni area terkait dengan tindakan manusia sehari-hari. Di sisi lain, moralitas juga memiliki dimensi yang tidak melulu praktis, namun bersifat metafisis. Dimensi itu, bagi Kant, adalah kewajiban. “Moralitas..”, demikian Kant, “adalah totalitas dari hukum-hukum yang tidak terkondisikan yang dengannya kita bisa bertindak.”[30]

            Artinya, moralitas adalah kewajiban untuk bertindak baik. Kewajiban berarti bertindak baik itu tanpa alasan, melainkan wajib untuk dijalankan pada dirinya sendiri. Pada level politik, berarti moralitas adalah kebaikan yang diterapkan sebagai kewajiban untuk menata hidup bersama. Kant menyebutnya sebagai “ajaran universal tentang kebijaksanaan.”[31] Kebaikan tidak dilakukan, karena alasan di luarnya, melainkan karena kebaikan adalah suatu kewajiban yang mesti dijalankan, tanpa syarat apapun. Tindakan baik yang dilakukan demi kebaikan itu sendiri, bukan karena ingin mendapatkan pahala dari Tuhan, atau mendapatkan nama baik. Ini adalah esensi dari tindakan bermoral, menurut Kant. “Dengan demikian”, tulis Kant, “tidak ada pertentangan antara moralitas dan politik sebagai ajaran terapan dengan kebaikan manusia, dan moralitas sebagai ajaran teoritis tentang kebaikan.”[32] Di dalam filsafat politik Kant, tidak ada perbedaan antara teori (moralitas) dan praksis (politik).

            Di dalam politik, menurut Kant, penghormatan pada hak-hak orang lain, yakni manusia yang berasal dari “dunia” yang berbeda, adalah sebuah kewajiban yang bersifat, mutlak, tanpa syarat, dan mengikat. Dalam arti ini, politik dapat dibagi menjadi dua, yakni sebagai seni negosiasi di satu sisi, dan sebagai moralitas di sisi lain. Yang pertama adalah sebuah pilihan, yakni memainkan posisi di dalam politik. Sementara yang kedua, bagi Kant, adalah kewajiban. Keduanya terkait, dan tak pernah bisa dipisahkan. Artinya, politik adalah seni mengelola posisi diri di dalam tata sosial, yang tidak pernah dapat dilepaskan dari moralitas. Dalam arti ini, dapat dengan lugas dikatakan, bahwa moralitas adalah esensi dari politik. Menurut Kant, inilah kondisi-kondisi yang memungkinkan lahirnya politik dalam arti sebenarnya, dan bukan politik sebagai pengejaran dan perluasan kekuasaan, seperti yang terjadi di Indonesia.[33]

            Politik, bagi Kant, juga selalu terkait dengan kehidupan publik. Maka, lobi-lobi rahasia yang biasa dilakukan oleh para politisi untuk membagi-bagi kue kekuasaan tidak pernah boleh dilakukan, karena itu langsung bertentangan dengan dimensi publik dari politik. Dimensi publik berarti, politik harus selalu terbuka untuk bisa diakses oleh semua orang. Dalam konteks ini, Kant merumuskan semacam prinsip transendental (kondisi-kondisi yang memungkinkan) dari hukum publik. “Semua maksim”, demikian tulisnya, “yang membutuhkan publisitas (sehingga maksim-maksim tersebut tidak kehilangan tujuannya) selalu sejalan dengan baik politik maupun hukum.”[34] Tujuan dari publikasi di dalam politik adalah, supaya semua orang bisa memahami, bahwa kekuasaan politis yang mereka percayakan pada para pemimpin politik tidak digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan kebahagiaan mereka (rakyat).

            Dengan kata lain, semua kebijakan politis haruslah memiliki aspek publikasi, supaya tercipta kepercayaan antara rakyat sebagai pemberi kekuasaan di satu sisi, dan para pemimpin politik sebagai pemegang amanat rakyat di sisi lain. Bagi Kant, prinsip ini, yakni prinsip publikasi politik dalam kaitannya dengan moralitas, adalah prinsip yang bersifat universal, dalam arti berlaku untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun.[35] Filsafat politik Kant dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk merumuskan prinsip-prinsip yang bersifat metafisis, tanpa syarat, dan universal untuk menciptakan politik yang etis, dan terarah pada terwujudnya perdamaian abadi. Cita-cita ini, yakni menuju perdamaian abadi, menurut Kant, bukanlah sebuah mimpi utopis yang tak mungkin terwujud. Baginya, cita-cita tersebut adalah suatu arah yang mesti secara perlahan namun pasti hendak dituju oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia.

            Menurut saya, apa yang ditulis oleh Kant ini lebih dari 200 tahun yang lalu sangatlah relevan untuk Indonesia. Di tengah badai korupsi, fundamentalisme agama, dan fundamentalisme ekonomi yang tengah menerkam politik Indonesia, peringatan Kant, bahwa politik harus selalu mempunyai unsur moralitas (penghargaan pada hak-hak dasar manusia), dan publikasi, amatlah penting untuk didengarkan. Sejalan dengan Kant, saya juga setuju, bahwa jika tata kelola negara kita tidak sejalan dengan prinsip ini, maka sebenarnya tidak ada politik di negara kita. Yang ada adalah penipuan besar-besaran para pimpinan politik kepada rakyat, yang ditutupi dengan slogan-slogan demokrasi, sehingga terlihat sah, dan rakyat seolah tak punya dasar untuk melakukan kritik. Belajar dari Kant, politik di Indonesia harus mulai melepaskan diri dari lobi-lobi kepentingan, yang seringkali bertentangan dengan kebahagiaan rakyat banyak, dan menjadikan moralitas sebagai jantung hatinya.

3. Kesimpulan dan Catatan

            Kant hendak merumuskan kondisi-kondisi yang memungkinkan (die Bedingungen der Möglichkeit) bagi terciptanya perdamaian abadi di dunia. Kondisi-kondisi tersebut bersifat tanpa syarat, metafisis (melampaui situasi-situasi empiris), dan bersifat universal, dalam arti berlaku untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Kant merumuskan banyak sekali kondisi-kondisi tersebut. Namun saya hanya akan menjelaskan lima pasal yang, menurut saya, paling tepat untuk membantu kita di Indonesia. Kondisi-kondisi yang memungkinkan terciptanya perdamaian abadi tersebut adalah penolakan mutlak terhadap segala bentuk penjajahan (1), jaminan mutlak pada otonomi nasional setiap negara, tanpa kecuali (2), adanya semacam otoritas internasional yang terdiri dari negara-negara bebas, yang menjamin, bahwa kebebasan tetap  menjadi atmosfer internasional (3), terciptanya keutamaan keramahtamahan universal (hospitalitas universal) (4), dan terkait eratnya moralitas dan politik di dalam kehidupan bersama (5). Sejauh saya menafsirkan pemikiran Kant, kelima pasal tersebut tidak bisa berdiri sendiri, melainkan saling terkait, dan tak bisa dipisahkan satu sama lain. Semuanya bersifat universal dan tanpa syarat.

            Kant hendak merumuskan kondisi-kondisi yang memungkinkan terciptaya perdamaian abadi. Pertanyaan yang bisa kita ajukan padanya adalah, sejauh mana kondisi-kondisi tersebut sungguh mampu mewujudkan perdamaian abadi, jika diterapkan di dalam kenyataan? Pada hemat saya, Kant tidak melihat adanya paradoks kebebasan, yakni kerinduan akan penindasan yang muncul dari alam yang penuh dengan kebebasan. Kita melihat sendiri, bagaimaan sistem politik yang mengedepankan kebebasan justru melahirkan kelompok-kelompok yang takut akan kebebasan, dan justru bersikap anti terhadap ide dan praktek-praktek kebebasan. Politik, sebagaimana segala sesuatu di dalam hidup ini, pada hakekatnya bersifat paradoksal.

            Di dalam sistem pemerintahan totaliter, penindasan selalu melahirkan kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan, dan menginginkan kebebasan. Inilah paradoks sistem politik totaliter, yakni ia selalu melahirkan musuhnya sendiri. Sebaliknya, di dalam sistem politik demokrasi yang mengedepankan kebebasan, kita akan melihat lahirnya kelompok-kelompok yang nantinya menolak kebebasan itu sendiri, dan merindukan untuk kembali hidup di dalam sistem politik totaliter. Artinya, kebebasan selalu melahirkan musuh-musuhnya sendiri. Kant rupanya tidak menampung paradoks semacma ini di dalam filsafat politiknya. Ini membuat pemikirannya menjadi terkesan normatif, dan tidak operasional. Lepas dari ide-idenya yang cemerlang dan revolusioner untuk mewujudkan perdamaian abadi di dunia, pemikiran Kant tetap memerlukan catatan dan pengembangan dari kita, para pembacanya.

Daftar Pustaka

Cunliffe, Scott, et.al, Negotiating Peace in Indonesia, Prospects for Building Peace and Justice in Maluku and Aceh, International Center for Transitional Justice, Jakarta, Juni 2009.

Kant, Immanuel, Toward Perpetual Peace and Other Writings on Politics, Peace, and History, Pauline Kleingeld (ed), Yale University Press, New Haven dan London, 2006.

Tjahjadi, Simon Lilik, Petualangan Intelektual, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

Wattimena, Reza A.A., Filsafat Kritis Immanuel Kant, Evolitera, Jakarta, 2010.

Kant, Immanuel, An Answer to the Question: What is Enlightenment?, Project Gutenberg, 2011.

Newey, Glenn, Hobbes and Leviathan, Routlege, London, 2008

Brock, Gillian, dan Brighouse, Harry, The Philosophy of Cosmpolitanism, Cambridge University Press, Cambridge, 2005.


[1] Saya mengikuti uraian dari Cunliffe, Scott, et.al, Negotiating Peace in Indonesia, Prospects for Building Peace and Justice in Maluku and Aceh, International Center for Transitional Justice, Jakarta, Juni 2009.

[2] Ibid, “Accountability for past violations is increasingly important as a tool to secure sustainable peace, and analysing the implementation of transitional justice at the very inception of the peace process provides significant insights.”

[3] Ibid, “The Maluku and Aceh conflicts were set in two very different contexts. The province of Maluku, consisting of approximately 1,000 islands in the eastern part of Indonesia, was plagued by communal violence, largely between Muslim and Christian communities, between 1999 and 2004, often with the explicit involvement of Indonesian security forces. The conflict left at least 5,000 people dead and displaced almost a third of the province’s 2.1 million population; it also caused large-scale destruction of public and private property. Since the Malino peace agreement in 2002, the region has sustained an uneasy peace.”

[4] Ibid, “In both Aceh and Maluku, once the peace agreement was signed, transitional justice mechanisms were further marginalised.”

[5] Bagian ini diinspirasikan dari buku Kant, Immanuel, Toward Perpetual Peace and Other Writings on Politics, Peace, and History, Pauline Kleingeld (ed), Yale University Press, New Haven dan London, 2006. Selanjutnya, saya singkat menjadi Kant, Toward…

[6] Ibid, hal. ix. “Immanuel Kant was born in Königsberg, East Prussia, in 1724, as the son of a harness maker. He attended the local university, and from 1747 to 1754 he worked as a private tutor. During this time he submitted two essays as dissertations, which qualified him for a position as an unsalaried instructor at the Königsberg university.”

[7] Kant tidak pernah meninggalkan Königsberg seumur hidupnya. Ia bahkan tidak pernah meninggalkan kota tersebut. Wawasan yang amat luas, dibarengi dengan gaya hidup yang amat sederhana, bagaikan seorang pertapa, membuat Kant menjadi figur yang kontradiktif (pemalu tetap amat kritis), namun unik. Lihat Tjahjadi, Simon Lilik, Petualangan Intelektual, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

[8] Di dalam buku ini, Kant memiliki tiga tujuan, yakni menyelidikan batas-batas pengetahuan manusia, menyelidiki kondisi-kondisi yang memungkinkan pengetahuan manusia, dan melakukan rekonstruksi atas metafisika klasik dogmatik. Lebih lengkapnya bisa dilihat di Wattimena, Reza A.A., Filsafat Kritis Immanuel Kant, Evolitera, Jakarta, 2010.

[9] Kant, Toward… hal. ix. “His revolutionary approach was based on the assumption that the specific makeup of the human cognitive faculties deter- mines crucial structural features of how world appears to us and, at the same time, sets radical limits to metaphysical knowledge. Initial misunderstand- ings among his readers prompted Kant to restate his views in the Prole- gomena (1783). Once the revolutionary nature of his theory was under- stood, Kant became famous.”

[10] Buku kecil yang amat terkenal, dan menjadi acuan utama orang pada masa itu untuk menjelaskan definisi “Abad Pencerahan”. Lihat Kant, Immanuel, An Answer to the Question: What is Enlightenment?, Project Gutenberg, 2011. “Enlightenment is man’s emergence from his self-incurred immaturity. Immaturity is the inability to use one’s own understanding without the guidance of another. This immaturity is self-incurred if its cause is not lack of understanding, but lack of resolution and courage to use it without the guidance of another. The motto of enlightenment is therefore: Sapere aude! Have courage to use your own understanding!” Saya terjemahkan: Pencerahan adalah terbangunnya kesadaran manusia dari ketidakdewasaan yang ia buat sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan manusia untuk menggunakan pemahamannya sendiri tanpa bimbingan dari orang lain. Ketidakdewasaan ini dibuat sendiri, seolah ini disebabkan oleh tidak adanya pemahaman. Yang terjadi sebenarnya adalah lemahnya kehendak dan keberanian untuk menggunakan akal budi tanpa bimbingan dari pihak lain. Motto dari pencerahan dengan demikian adalah; Sapere Aude! Beranilah untuk menggunakan pemahaman dan akal budi anda sendiri.”

[11] Kant, Toward… hal. x. “In the Critique of Pure Reason Kant stressed the importance of his new approach for ethics, and a few years later he went on to publish two ground- breaking works in ethical theory: the Groundwork for the Metaphysics of Morals (1785) and the Critique of Practical Reason (1788). During this time, Kant also wrote the Metaphysical Foundations of Natural Science (1786). During the 1780s he published a number of essays in the philosophy of history, touching on matters of politics and international peace: ‘‘Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Perspective’’ (1784), ‘‘An An- swer to the Question: What Is Enlightenment?’’ (1784), and ‘‘Conjectural Beginning of Human History’’ (1786). In 1790 he published the Critique of Judgment, in which he expounds his theory of aesthetics and theory of biology. His 1793 book, Religion within the Boundaries of Mere Reason, involved him in a conflict with the censor. During the 1790s Kant’s interest in political theory and practice intensified, as a consequence, no doubt, of the French Revolution and its aftermath. This is evident in ‘‘On the Com- mon Saying: This May Be True in Theory, but It Does Not Hold in Prac- tice’’ (1793), Toward Perpetual Peace: A Philosophical Sketch (1795), and the Metaphysics of Morals (1797). In 1798 Kant published The Contest of the Faculties and Anthropology from a Pragmatic Point of View, the latter based on his very popular lectures on the subject. During the final years of his life Kant suffered from Alzheimer’s disease. He died in Königsberg in 1804.”

[12] Sejauh saya amati, situasi perdamaian semu adalah perdamaian yang akan membawa manusia langsung ke dalam situasi yang disebut Hobbes sebagai perang semua melawan semua. Situasi ini adalah situasi alamiah manusia, di mana tata politik amat rapuh, dan anarki tercipta dimana-mana. Lihat Newey, Glenn, Hobbes and Leviathan, Routlege, London, 2008, hal. 50.

[13] Kant, Toward…  hal. xv. “Real peace, according to Kant, re- quires the rule of just laws within the state, between states, and between states and foreigners, and it requires that this condition be a global one.”

[14] Ibid, hal. 68. ‘‘No independently existing state (irrespective of whether it is large or small) shall be able to be acquired by another state through inheritance, exchange, purchase, or gift.’’

[15] Imperatif kategoris prinsip kedua; manusia harus menjadi tujuan pada dirinya sendiri.

[16] Ibid, hal. 69. “For a state is not a possession ( patrimonium), as is, for instance, the territory on which it exists. It is, rather, a society of human beings, whom no one but the state itself may command or dispose of. To annex a state, which, like a tree trunk, has its own roots, and thus to treat it as a graft onto another state, is to annul its existence as a moral person and to treat this moral person as a mere thing. Doing so hence contradicts the idea of the original contract, an idea without which no right over a people is conceivable.”

[17] Ibid, “Everyone knows the danger that the presumptive right to this manner of acquisition has brought to Europe—for the custom is unknown in other parts of the world—, even in the most recent times. It is thought that even states can marry one another, in part as a new kind of industry by which one can effortlessly increase one’s power through familial alliances, and in part as a means to expand one’s land possessions.—The hiring out of the troops of one state to another for the purpose of fighting an enemy not common to both parties is a further instance of this. For the subjects are thus treated as objects to be used and used up at will.”

[18] Ibid, hal. 70. ‘‘No state shall forcibly interfere in the constitution and government of another state.’’

[19] Ibid, “It can rather serve as a warning, by means of the example of the great ills that a people has brought upon itself through its lawlessness.”

[20] Ibid, “In this case, an external state could not be charged with interference in the constitution of the other by lending assistance to one of these parts, for in this case there is anarchy.”

[21] Ibid, “But as long as this internal conflict is still undecided, the intervention of external powers would constitute a violation of the rights of a people, a people which is dependent on no other and is merely struggling with its own internal infirmity, and such an intervention would itself therefore be an offense and render the autonomy of all states insecure.”

[22] Ibid, hal. 78. “international right shall be based on the federalism of free states”

[23] Ibid, “Peoples, as states, can be judged as individual human beings who, when in the state of nature (that is, when they are independent from external laws), bring harm to each other already through their proximity to one another, and each of whom, for the sake of his own security, can and ought to demand of others that they enter with him into a constitution, similar to that of a civil one, under which each is guaranteed his rights.”

[24] Ini adalah ide dasar dari wacanan tentang kosmopolitanisme, di mana manusia tidak lagi dilihat semata sebagai warga negara, tetapi sebagai warga dunia. Sebagai warga negara dunia, tanggung jawab moralnya merentang ke orang-orang di belahan dunia lain yang mungkin sekali tak ia kenal. Brock, Gillian, dan Brighouse, Harry, The Philosophy of Cosmpolitanism, Cambridge University Press, Cambridge, 2005, hal. 3.

[25] Kant, Toward… hal. 80. “It is understandable that a people would say: ‘‘There shall be no war among us, for we desire to form ourselves into a state, that is, to establish a supreme legislative, executive, and judicial authority over ourselves that will settle our disputes in a peaceful manner.’’ But when this state says: ‘‘There shall be no war between myself and other states, even though I acknowledge no superior legislative authority that guarantees me my rights and to which I guarantee them theirs,’’ then it is not at all clear what the con- fidence in my own rights is based on, if not on a surrogate for the compact of civil society, namely, a free federalism, which reason must necessarily connect with the concept of international right, if the latter is to mean anything at all.”

[26] Ibid, hal. 82. “in this context hospitality (a host’s conduct to his guest) means the right of a stranger not to be treated in a hostile manner by another upon his arrival on the other’s territory.”

[27] Ibid, “Since it is the surface of a sphere, they cannot scatter themselves on it without limit, but they must rather ultimately tolerate one another as neighbors, and originally no one has more of a right to be at a given place on earth than anyone else.”

[28] Ibid, “In this way, remote parts of the world can establish relations peacefully with one another, relations which ultimately become regulated by public laws and can thus finally bring the human species ever closer to a cosmopolitan constitution.”

[29] Ibid, hal. 94. “on the disagreement between morality and politics with respect to perpetual peace”

[30] Ibid, “Morality in itself belongs to the practical sphere, in the objective sense, as the totality of the unconditionally commanding laws according to which we ought to act.”

[31] Ibid, “Morality in itself belongs to the practical sphere, in the objective sense, as the totality of the unconditionally commanding laws according to which we ought to act.”

[32] Ibid, “Therefore there can be no dispute between politics as the applied doctrine of right and morality as a theoretical doctrine of right (and hence no dispute between theory and practice)”

[33] Ibid, hal. 109. “The duplicity of politics with regard to morality, in using one or the other branch to pursue its ends, promotes such sophistry. Both philanthropy and the respect for the rights of humankind are duties. The former is, however, only a conditional duty, whereas the latter is unconditional and absolutely obligatory, and one must first be fully certain that one has not violated the atter if one wishes to surrender oneself to the sweet feeling of beneficence. Politics is readily in agreement with morality in the first sense (as ethics), in order to surrender an individual’s rights to their leaders.”

[34] Ibid, “All maxims that require publicity (in order that they not miss their aim) are in agreement with both politics and right.”

[35] Ibid, “But if this end can be reached only through publicity, that is, by dispelling all mistrust toward the maxims of politics, then these maxims must also be in harmony with the right of the public, for it is in public right alone that the ends of everyone can be unified.—I must postpone the further explanation and discussion of this principle for another occasion, but the fact that it is a transcendental formula can be seen from the removal of all empirical conditions (of the doctrine of happiness) as the mat- ter of the law, and from the regard only for the form of universal lawfulness.”

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

Satu komentar pada “Menciptakan Perdamaian yang Sejati”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.