Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di München, Jerman
Agama selalu merupakan bagian dari area kajian filsafat politik kontemporer. Di berbagai masyarakat di dunia, agama memainkan peranan penting di dalam perdebatan publik, maupun isu-isu sosial lainnya. Komunitas-komunitas religius di masyarakat, mulai dari agama Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Islam, dan yang lainnya, berperan aktif di dalam kegiatan-kegiatan politik maupun sosial. “Orang”, demikian tulis Michael Reder, pengamat filsafat politik dan agama dari München, “kini berbicara tentang repolitisasi dari agama… dimana simbol-simbol agama dan bahasa dipindahkan ke bidang-bidang yang non religius.” (Reder, 2008)
Di dalam realitas kehidupan banyak bangsa, agama dan kultur saling berpaut dan mempengaruhi kehidupan pribadi maupun sosial orang-orang yang ada di dalamnya. Di era globalisasi ini, muncul pula agama-agama baru yang memiliki banyak pengikut, walaupun sebelumnya mereka adalah sekte-sekte kecil saja yang terus berkembang pesat. Proses sekularisasi di Eropa, di mana agama ditempatkan semata sebagai urusan pribadi setiap orang, rupanya tidak mengecilkan peran agama di dalam kehidupan publik. Agama tidak mati. Ia memang berubah, dan perubahannya juga membawa perubahan sosial di dalam masyarakat.
Agama dan Pemikiran Kontemporer
Di dalam diskusinya dengan para dosen di Hochschule für Philosophie der Jesuiten München, Jürgen Habermas, filsuf Jerman kontemporer, mengembangkan dan menyampaikan pemikirannya mengenai agama. (Schmidt/Reder, 2008) Filsuf-filsuf kontemporer lainnya, seperti Jacques Derrida, Richard Rorty, dan Gianni Vattimo, mengajukan pemikirannya untuk memahami peran agama di dalam masyarakat demokratis modern. Lanjutkan membaca Agama di dalam Masyarakat Demokratis
Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman
Adalah sebuah tantangan berat untuk mendirikan sebuah masyarakat yang sistem pemerintahannya adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Itulah cita-cita ideal demokrasi yang dianggap, lepas dari segala kelemahannya, merupakan bentuk tata politik paling baik yang pernah dibuat oleh manusia. Namun, tantangan untuk mewujudkan ideal tersebut kini semakin berat, terutama jika kita mengikuti perkembangan situasi di berbagai negara di dunia yang jatuh bangun berusaha menerapkan sistem demokrasi.
Demokrasi di Berbagai Penjuru Dunia
Kelompok politik berbasis Islam menguat di Timur Tengah. Situasi ini, menurut Johannes Müller, pengamat politik perkembangan dari München, Jerman, menciptakan bahaya yang cukup besar untuk kelompok minoritas, termasuk kelompok Islam minoritas, di negara-negara Timur Tengah. (Müller, 2013) Semua ini, menurutnya, terjadi, karena menguatnya gejala fundamentalisme di dalam agama dan politik. Namun, prinsip demokrasi yang disalahartikan juga memainkan peranan besar disini, bahwa di dalam demokrasi, kelompok politik pemenang bisa seenaknya membuat hukum (the winner gets everything), termasuk hukum yang diskriminatif terhadap kelompok yang kalah dalam pemilu. Disini terciptalah apa yang disebut Müller sebagai demokrasi hibrida, yakni institusi demokratis yang lahir dari pemilu yang demokratis, namun memiliki ciri yang otoriter dan diskriminatif-menindas.
Rupanya, lanjut Müller, penyakit “hibrida” dari demokrasi ini tidak hanya dialami negara-negara Timur Tengah, namun juga di AS dan Uni Eropa. Perang “dingin” dan tidak adanya saling pengertian antara dua partai politik di sana membuat cara-cara demokratis di dalam membuat keputusan yang tepat, serta kultur demokratis yang menjadi wadah dari nilai-nilai demokratis, tidak tercipta. Di sisi lain, penduduk Uni Eropa juga semakin merasa, bahwa kedaulatannya sebagai rakyat tidak lagi penuh, karena negaranya harus tunduk di bawah sistem politik birokratis besar yang berpusat di Brussels, Belgia, yakni Uni Eropa. Maka, seringkali mereka merasa tidak lagi hidup di alam demokrasi, melainkan di alam totaliter. Lanjutkan membaca Demokrasi Hibrida
Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman
Massa memang mengerikan. Ribuan bahkan jutaan orang bergerak tanpa arah, siap merusak apapun yang ada di depan mata. Jutaan orang menghendaki hal-hal yang irasional, yang dalam jangka panjang justru akan menghancurkan dirinya sendiri. Dinamika “massa” ini menciptakan sejarah manusia, yang memang tak selalu cemerlang.
Massa dalam Sejarah
Di masa kekaisaran Romawi di Eropa, kekuasaan tertingi bukanlah di tangan kepala negara, melainkan di tangan massa yang berteriak keras menyaksikan tumpahnya darah dari pertarungan pada Gladiator di lapangan koloseum Roma. Selama masssa, dan dahaganya akan darah dan pertempuran, terpuaskan, situasi politik akan terus stabil, dan pemerintah, walaupun menindas, tetap akan memerintah.
Massa adalah kumpulan orang yang mendadak brutal, bukan karena orang-orang di dalamnya kejam dan jahat, melainkan karena mekanisme massa itu mengaburkan jati diri pribadi, serta meleburkannya ke dalam kesatuan ganjil yang bersifat destruktif, namun rapuh. Dalam sekejap mata, massa tercipta, lalu lenyap sedetik kemudian, meninggalkan segalanya dalam keadaan terserak. Lanjutkan membaca Demokrasi dan Tirani Massa
Pembacaan Sistematik Kritis atas Tulisan-tulisan Aristoteles tentang Demokrasi di dalam Buku Politics
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya
Jujur saja, saya tidak mengenal semua tetangga saya. Selama ini, saya pun tidak ada keinginan untuk mengenal mereka. Yang penting mereka mengurus dirinya sendiri, dan saya mengurus diri saya sendiri. Urusan selesai. Semua sama-sama senang. Di sisi lain, ketika menonton TV, atau membaca koran, saya juga sering merasa terasing dengan orang-orang yang diberitakan di dalamnya. Ada koruptor, orang-orang fanatik agama, para pencinta uang dan kuasa, serta orang-orang di penjuru lain Indonesia yang tidak saya kenal, dan tidak ada keinginan untuk mengenal. Saya merasa tidak sebangsa dengan mereka. Sebagai warga negara, apakah ini adalah sikap yang tepat? Apakah banyak orang yang berpikir dengan pola seperti saya? Jika banyak orang merasa seperti saya, apakah Indonesia masih bisa disebut sebagai negara, apalagi sebagai bangsa? Menurut saya, ketidakpedulian politis kini mulai menjadi gejala umum di berbagai kalangan masyarakat, terutama anak-anak muda yang lebih terpikat untuk membeli, mengumpulkan, dan memamerkan kekayaan ekonomis mereka.
Di sisi lain, para parasit, yakni orang-orang yang banyak menuntut dan terus menghisap sumber daya, tanpa ada keinginan untuk berkorban demi kepentingan yang lebih besar, terus bertambah. Memang, mereka membayar pajak. Tetapi, itu pun dilakukan atas dasar rasa takut, dan bukan pada kesadaran penuh untuk melindungi dan mengembangkan negara. Dengan kata lain, para parasit adalah orang-orang yang terus dengan bersemangat menghisap semua sumber daya yang ada untuk kesenangan hidup mereka, sambil tidak mau berkorban untuk melindungi sekaligus mengembangkan negara mereka. Keberadaan mereka juga memiliki sebab. Jajaran penguasa politis di Indonesia berbentuk oligarki, yakni sistem pemerintahan yang dikendalikan oleh sekelompok orang-orang kaya, dan bekerja untuk kepentingan orang kaya belaka. Banyak orang yang tidak puas dengan kebijakan-kebijakan politis yang lahir, maka mereka pun lari ke dalam ruang-ruang pribadi mereka, menjadi parasit, dan tidak lagi peduli dengan politik. Dalam arti ini, para penguasa politis gagal menciptakan negara yang memberikan keadilan, kemakmuran, serta kecerdasan untuk semua orang.
Di dalam tulisan ini, saya akan mencoba memahami segala kekacauan politis di atas dengan menggunakan kerangka teoritis filsafat politik Aristoteles. Untuk itu, saya akan membaca langsung tulisan-tulisan Aristoteles di dalam buku filsafat politiknya yang termasyur, yakni Politics. Argumen yang ingin saya ajukan adalah, bahwa krisis politis di Indonesia terjadi, karena krisis demokrasi, dan teori Aristoteles tentang demokrasi bisa memberikan sebuah cara baru untuk memimpin negara dengan cara-cara yang demokratis. Karena keterbatasan bahasa, maka saya menggunakan edisi bahasa Inggris yang telah diterjemahkan dan disunting oleh Jonathan Barnes. Di samping itu, saya juga akan mencoba menerapkan beberapa ide dasar Aristoteles tentang demokrasi untuk konteks Indonesia. Lepas dari rentang waktu dan tempat yang jauh berbeda dengan konteks kita di Indonesia, saya percaya, bahwa pemikiran Aristoteles masih bisa memberikan beberapa inspirasi untuk kehidupan politik kita di Indonesia dewasa ini.
Untuk itu, tulisan ini akan dibagi ke dalam empat bagian. Awalnya, saya akan memperkenalkan sosok pribadi sekaligus latar belakang pemikiran Aristoteles. (1) Pada bagian ini, saya banyak terbantu oleh tulisan Christopher Shields, Internet Encyclopedia of Philosophy, dan Stanford Encyclopedia of Philosophy. Kemudian, saya akan memberikan komentar kritis dan kontekstual Indonesia atas ide-ide Aristoteles yang tertuang di dalam buku The Politics. (2) Untuk ini, saya menggunakan versi terjemahan dari Jonathan Barnes. Saya juga banyak terbantu dari tulisan Thomas R. Martin, Neel Smith, dan Jennifer F. Stuart tentang Aristoteles. Berikutnya, saya akan mencoba menyimpulkan beberapa gagasan dasar Aristoteles, dan melihat kemungkinan penerapannya di Indonesia. (3) Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan, sekaligus catatan kecil saya atas pemikiran Aristoteles. Lanjutkan membaca Demokrasi, Negara, dan Good Life
Di dalam berbagai analisis maupun teori tentang demokrasi, pemerintahan demokratis di masa Yunani Kuno selalu menjadi bahan kajian yang menarik.[1] Salah satu teks filsafat yang paling menarik tentang demokrasi di masa Yunani Kuno adalah karya Aristoteles yang disebut sebagai Politeia, atau Politics. Buku tersebut juga amat menantang untuk dibaca. Di satu sisi, buku tersebut berbicara soal prinsip-prinsip teoritis bagi tata politik negara ataupun pemerintahan. Di sisi lain, buku tersebut juga banyak berbicara soal situasi aktual masyarakat Yunani Kuno yang memang menggunakan sistem demokrasi dalam pemerintahannya. Percampuran antara “yang teoritis” dan “yang praktis” terkait dengan ilmu politik amat kental di dalam buku tersebut.
Aristoteles memulai dengan pengandaian dasar tentang apa itu negara, dan siapa itu manusia. Baginya, adanya negara adalah sesuatu yang alamiah, karena manusia, pada hakekatnya, adalah mahluk politis. Dengan kata lain, karena manusia, secara alamiah, adalah mahluk politis, maka negara, sebagai komunitas politis, pun juga adalah sesuatu yang ada secara alamiah. “Dengan demikian,” tulis Aristoteles, “adalah jelas bahwa negara adalah ciptaan dari alam, dan manusia secara alamiah adalah binatang yang politis.”[2] Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang tak punya negara, atau yang tak tergabung dengan komunitas politis tersebut? Aristoteles secara jelas membedakan antara orang-orang yang tak memiliki negara secara sengaja di satu sisi, dan orang-orang yang terpaksa tidak memiliki negara. Orang-orang yang memilih untuk tak bernegara, bagi Aristoteles, adalah orang-orang yang jahat, yang sekaligus tidak mengenal hukum, pecinta perang dan kekacauan, serta kejam.
Benarkah manusia adalah mahluk politis, dalam arti mahluk yang membentuk polis, atau kota, atau komunitas politis? Benarkah bahwa dia, secara alamiah, terdorong untuk hidup bersama manusia-manusia lainnya dalam satu komunitas? Ini jelas merupakan pengandaian antropologis dari filsafat politik Aristoteles. Dan, menurut saya, ini bukan hanya konsep teoritis, melainkan juga selalu berpijak pada pengalaman nyata manusia-manusia konkret di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang hidup tanpa komunitas. Identitasnya sebagai manusia, termasuk kediriannya, pun diberikan oleh komunitas tempat ia hidup dan berkembang. Ada hubungan timbal balik antara manusia dan komunitasnya. Di satu sisi, manusia menciptakan komunitasnya. Di sisi lain, ia pun diciptakan oleh komunitasnya. Dalam arti ini, saya sepakat dengan Aristoteles, bahwa dorongan untuk menciptakan tata politik, yakni sebagai manusia manusia politis, adalah kodrat alamiah manusia. Lanjutkan membaca Demokrasi Menurut Aristoteles (Bagian 1)
Sejak berdirinya pada 1945 lalu, negara Indonesia sudah sepakat menjadikan demokrasi sebagai sistem politiknya. Namun, jika dilihat secara dekat, negara Indonesia tidak pernah bisa sungguh menjadi negara demokratis. Di masa Sukarno, demokrasi sempat dipelintir menjadi demokrasi terpimpin, yang sebenarnya adalah totalitarisme terselubung. Sukarno bagaikan seorang “raja” yang siap mengarahkan bangsa Indonesia ke arah yang ia kehendaki. Fungsi kontrol masyarakat, dan fungsi parlemen, pun otomatis lumpuh pada masa-masa itu. Pada era Orde Baru, situasi kurang lebih serupa. Soeharto berperan sebagai tiran militer yang bersembunyi di balik kedok demokrasi. Sekali lagi, Indonesia terjebak dalam sistem politik totalitarisme terselubung yang dijaga ketat oleh militer dengan cara-cara yang menindas. Di era reformasi, pasca 1998, Indonesia dilanda euforia kebebasan. Di dalam situasi semacam ini, anarkisme dan politik yang berpijak pada identitas-identitas primordial, seperti agama, ras, suku, dan golongan, memainkan peranan besar. Untuk ketiga kalinya, kita gagal membentuk masyarakat demokrasi yang sesungguhnya.
Di sisi lain, sebagai bangsa, ingatan kita amatlah pendek, terutama terkait dengan berbagai peristiwa-peristiwa jelek yang terjadi di masa lalu, mulai dari penculikan, pembantaian massal, penggusuran, korupsi, dan sebagainya.. Banyak peristiwa-peristiwa besar terlupakan, sehingga kita tidak bisa menarik pelajaran apapun darinya. Akibatnya, banyak peristiwa dengan pola yang sama terulang lagi, dengan skala yang lebih besar, dan orang-orang yang berganti. Pada hemat saya, ada kaitan amat erat antara kegagalan kita menciptakan masyarakat demokratis di satu sisi, dan ketidakmampuan kita untuk mengingat apa yang sungguh terjadi di masa lalu, terutama mengingat peristiwa-peristiwa negatif yang pernah terjadi. Kaitannya terletak pada kegagalan kita kembali untuk hidup dalam keberagaman, yang sebenarnya merupakan fondasi dari demokrasi, feodalisme yang mengalir deras dalam kehidupan politik dan sosial kita sebagai bangsa, serta korupsi yang terus terjadi, seolah tanpa henti. Lanjutkan membaca Demokrasi dan Ingatan Kolektif di Indonesia
Dosen Filsafat Politik Unika Widya Mandala Surabaya
Tulisan ini ingin mengajukan satu argumen sederhana, bahwa demokrasi berpijak pada tiga nilai dasar, yakni pengetahuan yang memadai tentang apa yang sungguh terjadi di masyarakat, otonomi individu sekaligus otonomi masyarakat di dalam membuat kebijakan-kebijakan publik, serta kesetaraan antar manusia sebagai subyek hukum yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Argumen ini merupakan pengembangan dari pemikiran Ros Harrison di dalam bukunya tentang demokrasi yang saya coba dialogkan dengan situasi Indonesia. Dalam konteks filsafat, pertanyaan kunci di dalam tulisan ini bisa dirumuskan begini, kondisi-kondisi apakah yang memungkinkan terciptanya masyarakat demokratis?
Demokrasi, secara harafiah, berarti pemerintahan yang dilakukan dengan menjadikan rakyat (demos) sebagai pemegang kekuasaan (kratos) tertinggi. Dalam arti ini, secara formal, demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tentu saja, di dalam negara-negara berpenduduk kecil, demokrasi bisa berjalan secara langsung, di mana rakyat secara langsung menentukan apa yang baik untuk dirinya sendiri melalui mekanisme diskusi publik. Namun, di negara-negara berpenduduk besar, seperti Indonesia, rakyat diwakili oleh orang-orang yang duduk di dalam perwakilan rakyat, dan mereka inilah yang memastikan, bahwa seluruh kerja pemerintahan mengacu pada kepentingan rakyat. Dari sudut pandang ini, menurut saya, demokrasi mengandaikan nilai-nilai moral tertentu di dalam prakteknya, seperti nilai kejujuran, keadilan, keterwakilan, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat yang lebih tinggi, dan bukan pada kepentingan sebagian kecil kelompok ataupun golongan yang ada di masyarakat.
Sejauh pengalaman di Indonesia pasca reformasi 1998 lalu, demokrasi dilihat dengan hati yang mendua. Di satu sisi, banyak orang memuja demokrasi sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang paling pas untuk mengantarkan bangsa Indonesia menuju keadilan dan kemakmuran. Di sisi lain, banyak juga orang mengutuk demokrasi, karena membiarkan kekacauan terjadi, atas nama kebebasan berpendapat. Karena banyak kekacauan yang bersembunyi dibalik adagium kebebasan berpendapat, maka usaha-usaha konkret untuk sungguh membangun keadilan dan kemakmuran di Indonesia pun terhambat. Pada level ontologis, yakni pada dirinya sendiri, konsep demokrasi pun juga sudah mengundang pro dan kontra. Banyak orang mendukung nilai-nilai dasar demokrasi, seperti kebebasan dan kesetaraan antar manusia. Namun, banyak juga yang berpendapat, bahwa nilai-nilai tersebut merusak tata sosial yang telah berabad-abad menyangga masyarakat manusia.[1] Lanjutkan membaca Nilai-nilai Dasar Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis
Dosen Filsafat Politik di Unika Widya Mandala Surabaya
Kemenangan Jokowi dan Ahok di Pilkada putaran pertama di Jakarta beberapa hari lalu menandakan satu hal, bahwa kita mulai cerdas di dalam memilih para pemimpin republik ini. Kita bukan lagi “kambing” yang bisa dibuai oleh iklan dan uang, supaya memilih orang-orang yang salah. Konsep otonomi publik dan otonomi privat, dimana setiap orang dan setiap komunitas memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri secara rasional, mulai bertumbuh di republik yang telah tercabik oleh totalitarisme militer selama lebih dari 30 tahun ini.
Politik Identitas
Di sisi lain, ada kabar baik. Politik identitas, yang telah lama mewarnai panggung politik Indonesia, pun mulai luntur. Identitas-identitas primordial, seperti suku, ras, agama, memang masih memainkan peranan penting dalam politik, terutama dalam soal pemilihan umum, namun pengaruhnya kini mulai terkikis. Di dalam wacana Kajian Budaya, politik identitas adalah bentuk politik yang menggunakan identitas-identitas kuno, seperti suku, ras, dan agama, di dalam gerak pembuatan sekaligus penerapan kebijakan-kebijakan publiknya. Bentuk politik semacam ini adalah musuh utama bagi demokrasi, dan kini bangsa Indonesia mulai bergerak melampauinya.
Apa yang salah dengan politik identitas? Dalam filsafat politik, politik identitas menyatukan yang serupa, dan memisahkan yang berbeda. Di dalam masyarakat homogen, seperti masyarakat purba, politik identitas bisa menjadi bentuk politik yang baik untuk menata kehidupan bersama. Namun, di dalam masyarakat demokratis, dimana perbedaan suku, ras, dan agama adalah bagian dari keseharian setiap orang, politik identitas justru memecah, dan menciptakan konflik-konflik sosial yang tidak perlu. Lanjutkan membaca Kabar Baik untuk Indonesia
Sudah lama Maria memiliki mobil. Ia membelinya dari seorang bapak yang sedang membutuhkan uang. Tentu saja, sampai sekarang, secara legal, mobil itu masih atas nama bapak tersebut. Setelah dua tahun mengendarai mobil yang telah ia beli itu, Maria punya keinginan untuk menjadikan mobil tersebut atas namanya sendiri. Ia pun pergi ke kantor resmi terdekat untuk mengurus balik nama mobil yang telah ia beli.
Sampai di kantor itu, Maria mengalami kesulitan. Ia dimintai beragam dokumen yang tak dijelaskan kegunaannya. Bahkan, ia diminta pergi ke berbagai macam kantor. Padahal, ia adalah wanita yang sehari-hari bekerja mencari nafkah untuk mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Inilah lingkaran birokrasi yang mencekik niat baik Maria. Akhirnya, ia menggunakan calo, karena tak punya waktu, tak punya pengetahuan, dan tak punya cukup tenaga serta kesabaran untuk berurusan dengan birokrasi yang terlalu rumit.
Anton punya pengalaman agak mirip. Ia hendak melanjutkan studi ke luar negeri. Ia mendapat beasiswa penuh beserta dengan biaya hidup. Masalah muncul, ketika ia hendak mengurus perpanjangan paspor. Di kantor resmi pengurusan paspor, ia diminta mengantri berjam-jam tanpa kepastian. Ia diminta untuk membeli bermacam-macam hal, serta dilempar ke berbagai kantor. Ia bahkan diminta untuk kembali setelah beberapa hari. Padahal, sama seperti Maria, ia juga perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta mengembangkan dirinya. Lanjutkan membaca Kegagalan Institusi di Indonesia
Namanya adalah Jono. Ia tinggal di sebuah kota besar di Indonesia. Sama seperti banyak anak remaja lainnya, Jono punya banyak teman, baik di sekolah, maupun di kampung tempat tinggalnya. Sejak SMP, ia sering berkumpul bersama teman-temannya.
Di waktu senggang, mereka merokok bersama. Siapa yang tidak merokok akan dianggap lemah, cemen. Jono pun ikut merokok. Ia membeli rokok dari uang jajan yang diberikan oleh orang tuanya, atau meminta dengan paksa dari adik kelasnya yang lebih lemah. Lanjutkan membaca Kisah “Kasih” Jono dan Sinta
Filsafat adalah ibu dari semua ilmu pengetahuan. Ini adalah pernyataan faktual historis. Selama lebih dari 2500 tahun, filsafat mewarnai pemikiran dan kebudayaan Eropa, dan nantinya mempengaruhi seluruh dunia, seperti kita rasakan sekarang ini. Oleh karena itu, sampai sekarang, gelar pendidikan tertinggi masih menggunakan kata Philosophy Doctor (Ph.D) di negara-negara berbahasa Inggris, atau Doktor der Philosophie (Dr. phil) di negara-negara berbahasa Jerman.
Di sisi lain, walaupun sumbangannya dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan manusia tak bisa lagi diragukan, filsafat, sebagai displin akademik, terutama di Indonesia, mendapat amat sedikit perhatian. Beberapa orang berpikir, bahwa filsafat adalah sejenis mistik, dan terkait dengan dunia perdukunan. Beberapa orang lain berpikir, bahwa filsafat adalah hamba agama, maka harus selalu dipelajari dalam kaitan dengan agama. Tempat terhormat yang dulu diduduki filsafat, sebagai alat utama manusia untuk memahami dunia, kini digantikan oleh ilmu pengetahuan. Lanjutkan membaca Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Demokrasi Kita
Sebagaimana dinyatakan oleh Dan Satriana dari Lembaga Advokasi Pendidikan dalam diskusi di ITB, Bandung pada 2011 lalu, pendidikan Indonesia dipenuhi oleh masalah pada tiga level.[2] Level pertama adalah minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Level kedua adalah pendidikan yang tidak bisa secara universal diakses oleh setiap warga negara Indonesia. Dan level ketiga adalah kurikulum pendidikan yang tidak menggunakan paradigma pendidikan yang tepat. “Liberalisasi pendidikan di Indonesia”, demikian katanya dalam diskusi tersebut, “jauh melebihi negara-negara yang mengaku menganut sistem liberal sekalipun. Liberalisasi ini akan membuat Anda dicetak sebagai pekerja tanpa peduli apa potensi Anda sebenarnya.”[3] Di dalam proses itu, soal-soal yang amat penting, seperti pendidikan karakter dan pendidikan nilai, justru sama sekali diabaikan.
Di sisi lain, dalam diskusi yang sama, Ramadhani Pratama Guna dari Majalah Ganesha- Kelompok Studi Sejarah, Ekonomi, dan Politik punya pendapat yang berbeda.[4] Baginya beragam masalah pendidikan muncul, karena kesalahan kebijakan yang dibuat pemerintah di bidang pendidikan nasional itu sendiri, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Kesalahan kebijakan itu berbuah pada krisis di tiga level pendidikan, sebagaimana dituliskan sebelumnya, yakni minimnya sarana dan prasarana pendidikan di berbagai tempat di Indonesia, sulitnya akses pendidikan, dan kesalahan paradigma pendidikan di dalam membuat kurikulum pendidikan nasional, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Lanjutkan membaca Pendidikan Manusia-manusia Demokratis
Sekarang ini di Indonesia, segala sesuatu harus dikelola secara demokratis. Artinya segala sesuatu sungguh harus dibicarakan bersama, lalu keluar keputusan dari proses pembicaraan tersebut. Keputusan tersebut akan mengikat semua pihak yang sebelumnya bersama-sama berdiskui untuk membuatnya. Inilah mekanisme standar demokrasi yang kini menjadi paradigma dunia.
Kegagalan menciptakan tata kelola demokratis akan menciptakan ketidakpatuhan sah (legitimate disobedience). Artinya ketidakpatuhan pada suatu keputusan ataupun kebijakan, atas dasar rasionalitas yang bisa diterima dengan akal sehat. Ketidakpatuhan muncul, karena orang tidak diajak ambil bagian dalam keputusan yang telah dibuat.
Sekarang ini Jakarta sebagai ibu kota Indonesia sedang mencari pemimpin yang baru. Jelas pemimpin yang baru ini harus terbiasa dengan tata kelola demokratis, sebagaimana saya jabarkan sebelumnya. Ia harus mampu mengajak berbagai pihak di Jakarta untuk bekerja sama menghadapi permasalahan-permasalah kota yang memang amat rumit. Jakarta yang baru, yang lebih baik, harus dikelola secara demokratis dengan melibatkan berbagai pihak yang ada di dalamnya. Lanjutkan membaca Filsafat Tata Kota
Bolehkah saya membaca buku-buku bajakan yang bisa dengan mudah diperoleh di internet dalam bentuk soft copy? Kalau boleh mengapa? Kalau tidak mengapa? Bukankah informasi dan pengetahuan itu untuk semua orang, sehingga bisa diakses oleh siapapun? Namun di sisi lain, bukankah buku itu adalah karya cipta seseorang yang berhak mendapatkan penghargaan atas karyanya tersebut? Kalau kita mengunduh secara gratis sebuah buku, bukankah kita melanggar hak si pengarang untuk mendapatkan penghargaan atas usaha kreatifnya menulis buku?
Pro Kontra
Di dalam salah satu eseinya yang berjudul The Ethics of Internet Piracy, Peter Singer mencoba menganalisis masalah ini. Ia membuat alur berpikir berikut. Bayangkan jika saya mencuri buku dari orang lain, maka orang itu akan mengalami kerugian. Saya untung, tetapi ia rugi. Ini jelas salah, dan tidak boleh dilakukan. Lanjutkan membaca Buku Bajakan di Alam Demokrasi
Sudah lama di Indonesia, profesi guru dan dosen dianggap sebagai profesi kelas dua. Mereka yang memiliki kompetensi tinggi justru lebih ingin menjadi praktisi bisnis, insinyur, ataupun dokter. Sementara, orang-orang yang kebingungan mau jadi apa nantinya justru memasuki sekolah-sekolah pendidikan. Pandangan ini jelas salah, dan perlu diubah.
Di sisi lain, salah satu akar utama masalah pendidikan di Indonesia adalah lemahnya otoritas pendidikan yang ada. Dalam arti ini, lemah berarti otoritas tersebut tidak memiliki konsep pendidikan yang jelas, dan sembarangan mengeluarkan kebijakan yang justru kontra produktif bagi pengembangan pendidikan. Saya yakin jika para petinggi pendidikan di Indonesia ditanya, apa arti pendidikan, mereka tidak akan mampu menjawab secara jelas dan tepat. Lanjutkan membaca Mengubah Paradigma Pendidikan di Indonesia
Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Perbedaan masih seringkali memicu konflik, bahkan konflik berdarah, di masyarakat kita. Perbedaan suku, ras, agama, dan cara hidup seringkali menajamkan prasangka yang berujung pada kekerasan antar manusia. Feodalisme politik masih tercium di udara. Orang menjadi penguasa bukan karena kemampuan nyatanya, melainkan karena kedekatannya dengan kekuasaan yang ada, dan kemampuannya melakukan manuver-manuver politis yang penuh tipu daya semata.
Di sisi lain, banyak kebijakan lahir dari mekanisme-mekanisme yang rahasia dan tidak masuk akal, seperti kebijakan Ditjen DIKTI yang secara tiba-tiba mengeluarkan aturan tentang penerbitan dan publikasi jurnal ilmiah di Indonesia, sampai dengan perpindahan tiba-tiba Angelina Sondakh, tersangka kasus korupsi, ke salah satu komisi di DPR yang mengurus anggaran. Pada saat yang sama, mayoritas rakyat dibuai dengan konsumsi, dan lupa tanggung jawab mereka sebagai warga negara untuk mengawasi kekuasaan. Barang-barang hasil produksi sistem ekonomi kapitalisme menutup mata mereka dari kebenaran “hitam” politis yang sebenarnya terpampang di depan mata. Lanjutkan membaca Empat Pilar Demokrasi untuk Indonesia
Ketika berhadapan dengan demokrasi, puisi adalah sangkaan dan sangkalan. Ia menantang dan menghardik. Karena demokrasi itu elitis dan dominatif, puisi pun pantas untuk menampik dengan rasa gerah dan marah. Demokrasi ternyata bukanlah sebuah garansi bagi kemakmuran, keadilan, dan kesetaraan. Demokrasi adalah sebuah kekuasaan, yang ternyata diskriminatif, berkah bagi elite, tetapi pelit bagi kaum yang pailit.
Maka, puisi pun dituliskan dan lantang disuarakan untuk mengoreksi cacat bawaan demokrasi itu. Puisi adalah resistensi dan menolak arogansi politik yang dibangun di atas fondasi demokrasi. Konon, serangan yang dilakukan Socrates pada demokrasi Yunani kuno antara lain juga menggunakan kutipan-kutipan puisi yang sarkastik. Puisi pun menjadi sangkalan atas selebrasi demokrasi sejak awalnya di Yunani. Dan, Socrates pun menjadi martir karenanya. Lanjutkan membaca Puisi yang Menyangkal Demokrasi
Proses demokratisasi yang berlangsung lebih dari satu dekade membawa banyak kemajuan dengan terciptanya iklim kebebasan dalam aneka ruang kehidupan berbangsa.
Namun, perkembangan demokrasi akhir-akhir ini diancam tindakan, perilaku, dan gerakan ”kontrademokrasi”, yang menggerogoti bangunan demokrasi dari dalam: korupsi, politik uang, kekerasan, terorisme, dan aneka konflik horizontal.
Ada semacam ”parasit” tumbuh di atas pohon demokrasi, merusak sistem metabolisme, mengacau arus sirkulasi, dan menghancurkan jejaring akarnya. Inilah para ”politikus parasit”, zoon politicon, yang menggerogoti tempat hidup mereka (partai, parlemen, departemen, dan negara) serta saling mengisap sesama di ruang komunitas politik. Dalam sepak terjangnya, parasit politik tak hanya individu, tapi juga membentuk kelompok atau jejaring. Lanjutkan membaca Parasit Demokrasi
Indonesia adalah bangsa “pecinta” agama. Hampir semua agama memperoleh pengikutnya disini. Bangsa kita mirip supermarket spiritual, dimana semua bentuk agama dan kepercayaan bertebaran, serta orang bisa memilih sekehendak hatinya. Konsumen utama agama adalah adalah jiwa-jiwa manusia, dan ketika jiwa seseorang dikuasai, segala yang ada di dalam dirinya pun turut serta.
Orang yang beragama memiliki mental tertentu. Mental ini terwujud di dalam perilaku hidupnya sehari-hari. Kata-kata dan tindakannya lahir dari penghayatan mentalitas semacam ini. Di dalam proses untuk menjadi negara demokratis, apakah mentalitas agama semacam ini cocok dengan mentalitas demokrasi yang ingin kita hayati? Lanjutkan membaca Agama dan Demokrasi
Dipresentasikan di Universitas Airlangga Surabaya, 19 Mei 2011
Oleh Reza A.A Wattimena
Ruang publik adalah sebuah ruang tempat dibentuk dan dimatangkannya opini publik. Di dalamnya orang-orang berkumpul, saling bertukar pendapat, saling memahami, dan sampai pada satu keputusan tentang satu masalah di dalam hidup bersama. (Wattimena, 2007)
Misalnya ada masalah terkait seorang mahasiswa yang terpaksa putus kuliah. Pihak BLM (Badan Legislatif Mahasiswa) Fakultas akan menanyakan penyebab utama dari peristiwa ini kepada dekanat. Lalu pihak BLM juga akan bertanya kepada mahasiswa terkait, apakah ia menerima keputusan ini dengan lapang dada. Jika ada masalah maka BLM akan membuat forum.
Forum ini bertujuan untuk dua hal, yakni perubahan keputusan, atau menjelaskan keputusan yang telah dibuat, sehingga seluruh pihak yang terkait bisa memahaminya. Tujuan forum adalah memberi legitimasi bagi setiap keputusan yang terkait dengan kepentingan bersama. Lanjutkan membaca Mahasiswa, Ruang Publik, dan Pendidikan