Pernahkah anda mendengar lagu tersebut? Harta yang paling berharga.. adalah keluarga. Belakangan ini, saya sering tergiang lagu itu. Lagu itu, pada hemat saya, berbahaya.
Orang lalu memuja keluarga. Seolah, keluarga tak pernah salah. Orang jadi buta di hadapan keluarga. Akal sehat tertutup kabut emosi yang disebarkan oleh iklan televisi dan industri musik dangkal. Lanjutkan membaca Harta yang Paling Berharga,… Bukanlah Keluarga
Satu lagi sahabat saya bercerai. Kata-kata kasar diungkapkan oleh dua orang yang dulunya saling mencinta. Dendam masa lalu diangkat keluar, terurai dalam pukulan dan air mata. Anak, yang sama sekali tak bersalah, harus menjadi saksi, dan mendekap luka di hati.
Setiap ada undangan pernikahan, saya selalu kagum. Di jaman seperti ini, orang masih berani menikah? Saya sudah mencobanya, dan lolos darinya. Saya bercerai, tanpa anak.
Jika anda sudah merasa tercerahkan, cobalah hidup bersama keluarga anda. Begitulah kata-kata seorang Zen master terhadap muridnya, setelah ia mendapat pencerahan. Hidup di dalam keluarga tak selalu seperti di dalam surga. Salah kata dan salah sikap bisa memicu konflik panjang yang menyesakkan jiwa.
Kita semua lahir di dalam keluarga. Keluarga bisa menjadi sumber kebahagiaan yang besar. Namun, ia juga bisa menciptakan derita tiada tara. Bahkan, menurut data yang dikumpulkan oleh UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) pada 2017, dari seluruh perempuan yang menjadi korban pembunuhan, 58% diantaranya terbunuh oleh anggota keluarganya sendiri. Lanjutkan membaca Zen di dalam Drama Keluarga
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Gadis itu bernama Sabina (bukan nama sebenarnya). Ia tinggal di Jerman. Wajahnya cantik. Ia sangat ramah dan rajin membantu ayahnya. Ayahnya berasal dari Indonesia, dan ibunya orang Jerman. Kini, Sabina sedang melanjutkan studi antropologi di universitas di kota tempat tinggalnya.
Seperti pengalaman banyak anak keturunan campur lainnya, ia seolah hidup di dua dunia. Ia merasa dekat dengan budaya Jerman, karena ia lahir di negara itu. Namun, ia juga merasa perlu untuk memahami budaya Indonesia yang dimiliki ayahnya. Kegelisahan kultural atas pertanyaan “siapa saya?” juga menjadi kegelisahan pribadinya.
Ia mencoba memahami pengalaman dirinya dengan menulis skripsi tentang pengalaman hidup anak yang orang tuanya berasal dari kultur yang berbeda. Namun, Sabina tidak sendirian. Semakin hari, semakin banyak orang yang berasal dari keluarga dengan orang tua yang memiliki budaya berbeda. Semakin banyak yang mengalami kegelisahan pribadi, dan kemudian bertanya, “siapa saya”? Lanjutkan membaca Sahabat sebagai “Rumah”
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman
Tak bisa disangkal lagi, kita hidup di dunia yang penuh dengan kemunafikan. Bagaikan udara, kemunafikan terasa di setiap nafas yang kita hirup. Kemunafikan juga tampak di setiap sudut yang dilihat oleh mata. Mungkin, konsep ini benar: kita munafik, maka kita ada. Mungkin?
Namun, seringkali, kemunafikan tidak disadari. Keberadaannya ditolak. Menyangkal bahwa kita adalah mahluk munafik sebenarnya adalah suatu kemunafikan tersendiri. Yang kita perlukan adalah menyadari semua kemunafikan yang kita punya, dan mulai “menelanjangi bentuk-bentuk kemunafikan” yang bercokol di dalam diri kita.
Kemunafikan Pendidikan
Kemunafikan bagaikan kanker yang menjalar ke seluruh tubuh bangsa kita. Di dalam pendidikan, kemunafikan menjadi paradigma yang ditolak, namun diterapkan secara sistematis. Guru mengajar tentang kejujuran, sementara ia sendiri menyebarkan contekan untuk Ujian Nasional. Pemerintah bicara soal sekolah gratis di berbagai media, sementara pungutan liar di sekolah-sekolah tetap berlangsung.
Para professor menerima tunjangan raksasa, sementara mereka tak memiliki karya berharga. Guru mendapat uang lebih, namun paradigma mengajar tetap sama, yakni memaksa untuk menghafal, dan memuntahkan kembali melalui ujian. Tujuan pendidikan yang luhur dipampang di muka umum, namun prakteknya justru menyiksa peserta didik, dan memperbodoh bangsa. Lanjutkan membaca Menelanjangi Bentuk-bentuk Kemunafikan
Namanya adalah Jono. Ia tinggal di sebuah kota besar di Indonesia. Sama seperti banyak anak remaja lainnya, Jono punya banyak teman, baik di sekolah, maupun di kampung tempat tinggalnya. Sejak SMP, ia sering berkumpul bersama teman-temannya.
Di waktu senggang, mereka merokok bersama. Siapa yang tidak merokok akan dianggap lemah, cemen. Jono pun ikut merokok. Ia membeli rokok dari uang jajan yang diberikan oleh orang tuanya, atau meminta dengan paksa dari adik kelasnya yang lebih lemah. Lanjutkan membaca Kisah “Kasih” Jono dan Sinta
Sosoknya masih terlihat perkasa, walau usianya sudah tua. Dari matanya kita bisa melihat, bahwa ia memiliki sifat yang keras. Suaranya lantang ketika bercerita. Memang di masa mudanya, ia terkenal sebagai jagoan di antara teman-temannya.
Sewaktu muda ia tak segan berkonflik dengan orang di jalan, jika ia merasa benar. Ya, ia memang pemberani yang sama sekali tak kenal takut. Itulah sosok Suwandi Tanoko, adik Pak Tik (Soetikno Tanoko), namun berbeda ibu.
Sewaktu Pak Tik sampai ke Indonesia, Suwandilah yang membantu Pak Tik belajar bahasa Indonesia, dan bahkan belajar naik sepeda. Itu semua mereka lakukan setiap hari, sampai akhirnya Pak Tik bisa berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia, serta naik sepeda. Lanjutkan membaca Arti Keluarga
Namanya Alex Sanjaya. Ia adalah saudara sepupu dari Soetikno Tanoko (Pak Tik). Kini ia tinggal di Malang bersama istrinya. Matanya bercahaya. Wajahnya tampak sehat. Kulitnya segar. Tutur katanya jelas. Alur pikirannya juga jernih.
Diolah dari kuliah terbuka yang diberikan Komaruddin Hidayat di UIN, Jakarta pada 2008 lalu
Oleh Reza A.A Wattimena
Keluarga
Setidaknya ada tujuh faktor yang bisa membuat Anda bahagia. Faktor pertama adalah family relationship. Keluarga adalah faktor utama pemberi kebahagiaan. Jika kebahagiaan dibayangkan sebagai sebuah bangunan, maka keluarga adalah fondasinya. Jika fondasinya kokoh maka Anda sudah mempunyai modal yang besar untuk bisa meraih kebahagiaan. Sebaliknya jika keluarga Anda berantakan, dan hubungan antar anggota keluarga diwarnai dengan konflik serta kebencian, maka Anda akan merasa tidak bahagia. Anda akan merasa pesimis terhadap dunia. Lanjutkan membaca Kebahagiaan: Tujuh Pilar